Chapter 18
"Keluarkan benda itu dan buang jauh-jauh dari sini!"
Aku sungguh terkejut dengan perintah Sangmin yang tiba-tiba. Ia datang tanpa kabar, lalu bersikap sesuka hati. Aku tahu, ia adalah putra mahkota, tapi itu bukan alasan untuk semena-mena.
"Seja Joeha, apa yang Anda lakukan," sergahku tak terima. Ia berjanji mengirim bunga setelah memecahkan riddle-ku, tapi mengapa harus mengambilnya sekarang? Apakah ini karena aku sempat menciumnya waktu itu?
Aku benar-benar menyesal. Hari itu rasanya tubuhku tak sepenuhnya dalam kendali. Kebahagiaanku membuncah hingga intuisiku tak terkendali. Sayangnya, ini justru memicu Sangmin menjauhiku dan kini merusak kebahagiaanku tanpa alasan yang jelas.
"Anda boleh marah, tapi jangan merusak kesenangan saya."
Aku masih bicara formal mengingat banyaknya pengawal yang mengikutinya dan para dayang turut mematuhi perintahnya. Pria itu tak menggubrisku. Fokusnya terarah pada setiap bunga berwarna biru yang mengisi kamar tidur putri mahkota.
"Seja Joeha, katakan apa salah saya! Jangan langsung menghakimi!"
Aku menaikkan nada bicaraku beberapa oktaf karena itu yang dibutuhkan di sini. Persetan dengan tatapan terkejut para abdi istana. Aku hanya butuh penjelasan.
Ia menarik napas panjang dan membuangnya dengan keras. "Maaf."
Wajah murkanya berubah jadi pias. Sepertinya, aku yang menyalahartikan ekspresinya. Ia menatapku dengan raut sedih dan ... khawatir.
"Apa ada yang salah?"
Ia mengangguk dan menarik tanganku menjauh dari ruangan. Entah mengapa, aku patuh mengekorinya ke arah jembatan kecil di taman samping kediamanku.
"Aku sudah ceroboh. Tidak seharusnya bunga-bunga itu ada di istana. Apalagi di kamar putri mahkota."
"Apa maksudmu?"
Pria itu menatapku dengan serius. "Aku rasa sudah saatnya kau tahu."
"Tentang?"
Untuk kesekian kalinya, ia membuang napas kasar. Pandangannya terarah ke sembarang arah dan tampak belum tenang.
"Aku pernah bilang kalau aku sedang memecahkan teka-teki bersama permaisuri, bukan?"
Pertanyaannya mengingatkanku pada kunjungan terakhirku bersama permaisuri ke kediaman ibu suri.
"Sebenarnya aku sedang mengungkap bagaimana putra mahkota terdahulu meregang nyawa."
Kalimat itu tak membuatku terlalu terkejut, tapi ia belum membuatku paham hubungan kematian putra mahkota terdahulu dengan bunga-bunga tadi. Permaisuri bilang kalau besar kemungkinan mendiang putra mahkota dibunuh dengan cara yang sama dengan pendahulunya.
"Kau boleh mencaciku sekarang, tapi aku memang memecahkan riddle-mu tanpa mengingat kalau bunga hortensia adalah salah satu sampel penelitianku. Ya, aku dan tabib istana sedang menguji toksisitas bunga hortensia dan tanaman lain yang diduga sebagai tumbuhan beracun. Lethal dose*-nya memang tinggi, tapi efeknya untuk hewan uji sudah cukup berbahaya."
"Astaga!"
Aku menutup mulutku saking terkejutnya. Mendadak, memoriku kembali pada kejadian beberapa waktu lalu di Jeju. Maksudku adalah perjalananku bersama para wisatawan.
"Aku melihat bunga-bunga ini di arboretum .... Apa mungkin seseorang mencoba meracuniku dengan bunga itu. Tapi, aku hanya sebentar di sana."
Pria itu terdiam dan tampak berpikir. "Arboretum banyak didatangi wisatawan. Kalau tumbuhan itu beracun dan hanya dengan mengendusnya mereka keracunan, sudah sejak dulu ada laporan keracunan masal setiap pengunjung datang."
Bukannya aku meragukan analisisnya, tapi mengeluarkan semua bunga hortensia dari dalam ruanganku seperti sebuah keputusan gegabah. Aku yakin, Sangmin hanya panik. Bunga itu tidak akan beracun dengan hanya dicium aromanya.
"Atau, apa yang terakhir kau minum di sana?"
"Mana mungkin aku ingat. Aku makan mie dingin, air mineral," cerocosku seadanya.
"Tidak ada yang beracun kecuali seseorang meneteskan racun ke dalamnya."
"Memang," jawabku tegas, "tapi ... seorang gadis memberiku power cap bubblegum cair."
Matanya membola dan menatapku penuh selidik. "Berwarna biru?"
"Tahu dari mana?"
"Apa kau tidak merasa ada yang aneh waktu itu?"
"Sungguh, aku tidak ingat apapun. Lagi pula, aku bukan orang yang sensitif soal rasa saat haus."
Ia mengusap wajahnya dengan gusar, seakan mendapatkan pencerahan dari langit. "Shit! Bisa jadi memang ada orang yang sengaja meracunimu dengan minuman itu."
Aku sama sekali tak suka dengan pertanyaannya yang terdengar retoris.
"Jangan bercanda! Apa artinya hidupku di masa depan segera berakhir seperti putra mahkota?"
"Aku tidak bisa bilang apa-apa. Ini hanya dugaanku dari sini."
***
Aku benar-benar kesal pada Moon Sangmin! Jawabannya tadi sama sekali tak menenangkanku. Kalau ia hanya bisa membuatku takut, lebih baik ia tidak bicara apapun soal keracunan-keracunan itu. Ia pikir mentalku terbuat dari baja, apa?
Tak tahu apa yang bisa mengembalikan mood-ku dengan cepat tanpa berjalan-jalan, aku minta para dayang untuk mencarikan bunga apapun untuk kujadikan alat meramal nasibku. Di tepi danau, kupetik satu per satu kelopak bunga sembari berharap ada keajaiban untuk kehidupanku di masa kini dan masa depan.
"Bin-gung Mama!"
Aku tersentak mendengar sapaan riang dari tiga pria yang kukenal sebagai adik putra mahkota. Ketiganya berjalan dengan semangat menghampiriku seperti karakter Flower Four di Boys Over Flower. Sangat menyilaukan.
"Jarang-jarang Anda bermain ke sini," tegur Pangeran Agung Muan antusias. Ia selalu memulai pembicaraan di antara ketiga saudaranya, termasuk putra mahkota.
"Sedang ingin. Mau ikut?" tawarku sambil menyodorkan beberapa tangkai bunga magnolia.
"Terima kasih, tapi kami punya penawaran lain."
"Apa?"
"Anda harus datang ke kediaman saya."
"Hufth. Maafkan aku, tapi aku sedang malas."
Tiba-tiba kudengar Pangeran Agung Ilyeong ikut menyeletuk, "Pasti karena Hyung mengeluarkan bunga-bunga kesukaan Anda dari kamar, ya?"
"Oh ... tidak."
"Jujur saja. Kadang dia memang mudah panik dan suka aneh, tapi saya yakin ia tak punya maksud buruk padamu."
Mungkin benar, maksudnya sangat baik. Hanya saja, sulit menerima kenyataan yang terlontar dari mulutnya. Apalagi, sulit membantah dalam logikaku sendiri.
"Saya dengar, bunga itu pernah memenuhi kamar mendiang putra mahkota sebelum meninggal. Pantas saja Hyung khawatir akan terjadi sesuatu pada Anda."
"Aku tahu, tapi aku benar-benar sedang tidak baik," tolakku masih bersikukuh.
Pangeran Agung Muan terlihat kecewa dan ia bergumam pelan, "padahal kami ingin mengajak Anda bermain dengan Ara."
"Ara?"
Ketiga pangeran itu menoleh ke belakang dan mengusir para dayang. Aku jadi curiga dengan tingkah laku mereka.
"Bayi Hyung," jawab Pangeran Agung Ilyeong singkat.
"Hyung yang mana?"
Sepertinya Pangeran Agung Gyeseong menangkap kecurigaanku hingga ia spontan menjelaskan, "Tenang saja, bukan milik putra mahkota. Kalau Anda lupa, ia adalah anak Pangeran Agung Muan."
Tentu aku terkejut, tapi kata 'lupa' yang ditekankan membuatku sadar untuk pura-pura tahu.
"Kalau begitu, aku ikut."
Sepanjang perjalanan kami, Pangeran Agung Muan dan Pangeran Agung Ilyeong asik membicarakan soal Hanyang. Biasanya aku tertarik, tapi untuk hari ini aku sama sekali tak ingin tahu. Mengikuti mereka melihat Ara pun karena aku penasaran.
"Apa Anda masih terganggu dengan tindakan putra mahkota?" tegur Pangeran Agung Gyeseong yang entah dari mana.
"Tidak. Hanya saja, bagaimana kalau aku mati sebelum melahirkan penerus kerajaan ini," dustaku.
"Anda takut tak bisa melahirkan penerus Joseon atau berpisah dengan putra mahkota?"
Wah, ucapannya benar-benar tidak disangka. Biasanya hal seperti ini hanya mencuat dari mulut putra ketiga dari permaisuri, tapi, ya, mereka saudara, pasti ada miripnya.
"Ehm ...."
"Sekalipun kalian berpisah di masa ini. Ketika kalian berreinkarnasi, pasti akan berjodoh lagi," ucapnya penuh keyakinan.
"Bagaimana Anda yakin? Kalau bisa memilih, justru saya tak ingin bertemu dengaannya di masa kini atau masa depan. Setahu saya, Anda memang belajar banyak bahasa, tapi bukan meramal, 'kan?"
Ia tertawa ringan. "Benar ternyata, Anda masih marah pada putra mahkota. Bicara soal masa depan, sebenarnya saya punya ketertarikan yang besar pada futurologi. Pendekatan ilmiah bisa dilakukan untuk hal yang kasat mata, tapi kudengar di masa depan orang akan mengenal metafisika untuk mempelajari soal supranatural."
"Sebentar ... bagaimana Anda bisa tahu?"
"Sudah saya bilang, saya suka belajar dan tak ada batasan akan apapun untuk dipelajari. Yang jelas, saya menantikan dunia yang jauh lebih toleran terhadap berbagai macam perspektif."
"Kalimat Anda, sama sekali tak terdengar seperti orang Joseon," celetekku apa adanya.
"Benarkah? Sepertinya Anda juga banyak membaca untuk tahu dunia luar?"
"Aku yakin, tidak ada buku di masa Joseon yang bicara soal toleransi. Sepertinya, Anda memang belajar ilmu nujum," sergahku tak sependapat, "kalau begitu, tolong katakan, apa aku memang akan segera mati dan kapan aku akan hidup lagi?"
Pria yang berusia beberapa tahun lebih muda dariku tertawa. "Untuk yang satu itu ... rahasia."
"Hyung, cepat jalannya! Kasihan Ara menunggu kita."
Pangeran Agung Gyeseong tak menjawabnya, ia justru berlari menyusul kedua pangeran agung yang berjalan di depanku. Hufth. Dasar kakak beradik tidak ada bedanya, sama-sama suka mengerjaiku. Dia pikir aku bodoh, apa?
***
Berita kesedihanku sudah merebak ke seluruh penjuru istana bak jamur dengan berbagai versi alasan. Ada yang mengatakan putri mahkota kecewa karena tak kunjung hamil, tidak bisa berkeliaran di Hanyang, hingga dugaan soal wanita lain yang dimiliki putra mahkota. Padahal, sudah jelas kalau aku hanya benar-benar takut mati. Saking hebatnya rumor itu, permaisuri menginstruksikan putra mahkota menemaniku di tengah kesibukannya untuk pergi keluar istana dan bertemu orang baru.
"Bin-gung Mama, kenalkan, ia adalah Putri Min Hwibin. Putri mahkota sebelumnya."
Aku menunduk memberi salam terlebih dulu. Bagaimanapun statusnya sekarang, ia adalah kakak ipar putri mahkota yang harus dihormati.
"Senang bisa bertemu dengan putri mahkota baru," ucapnya terdengar tulus. Ia tampak anggun dan lembut. Membuatku merasa ... insecure.
"Salam kenal, Bin-gung—"
"Jangan! Aku sudah bukan lagi putri mahkota. Kau bisa panggil aku unnie. Aku yakin usia kita tidak terpaut terlalu jauh."
Sepertinya begitu, tapi aku yakin ujian yang mendewasakannya. Di usia semuda itu, ia harus kehilangan suaminya dan hidup bersama dua anak yang masih kecil. Benar-benar hidup yang berat.
Aku merasa Putri Min adalah sosok putri mahkota yang ideal. Peduli, baik, dan hangat. Ia mengenalkanku pada para penghuni rumah besar ini yang ternyata diisi oleh wanita-wanita terlantar. Sebagian besar dari mereka pernah menjadi budak ataupun seorang janda yang ditinggal mati.
Mungkin, ini jaminan yang permaisuri pernah katakan akan ia berikan pada wanita Joseon. Benar-benar gagasan yang luar biasa. Aku terus berjalan sampai tak menyadari Putri Min yang sudah tak disampingku.
"Aaah!"
Aku terperanjat akibatan pekikan barusan. Lamunanku buyar dan kutolehkan wajahku ke asal suara dan kudapati Putri Min dalam dekapan Sangmin. Tak hanya itu, keduanya seperti membeku dengan netra yang terpaku satu sama lain. Entah kenapa, aku merasa rongga pernapasanku tercekat. Dalam beberapa detik, Sangmin melepaskan rengkuhannya dan mempersilahan seorang dayang untuk membantu berdiri.
"Di mana Sangtak? Sudah kubilang berkali-kali untuk memperbaiki jalan setapak ini."
"Maafkan kami, Seja Joeha!"
"Untuk saat ini, aku maafkan. Kalian harus perbaiki jalan ini dan jangan biarkan siapapun lewat sampai benar-benar layak."
"Baik, Seja Joeha."
"Kalau sampai terulang lagi dan ada yang terluka, aku akan memaafkan kalian semua."
Peringatan pria itu terdengar tajam dengan pandangan yang kejam pada para pekerja di rumah ini. Seumur-umur, baru sekali ini aku melihatnya begitu. Waktu Pangeran Uiseong mengancamku saja, ia hanya menggertak.
Aku mendengus mendengar amukan pria yang sudah nekat kucium kemarin. Sepertinya, selama ini aku salah membaca situasi. Moon Sangmin memang sedang jatuh cinta, tapi bukan padaku.
***
Penolakanku pada tawaran Sangmin untuk menginap di rumah singgah permaisuri mengantarkan kami untuk kembali ke istana malam ini. Bukan apa, aku hanya tak ingin jadi pengecut dengan lari dari masalah. Satu lagi ... aku tak bisa lama-lama melihat wajah Putri Min setelah kejadian tadi.
Perjalanan malam ini benar-benar sepi karena aku seorang diri di dalam tandu, sementara Sangmin menunggang kuda bersama para pengawal. Aku bisa mendengar suara jangkrik dengan sangat jelas ataupun napas para pengawal yang mulai berkempul-kempul.
"Apakah perjalanan kita masih lama?" tanyaku sambil melongok keluar tandu.
Salah seorang pria yang mengangkat tanduku pun merespon bahwa kami baru separuh perjalanan. Biasanya perjalanan pulang selalu terasa cepat. Tapi, untuk kali ini, aku merasa jauh lebih lama.
Tak berselang lama, tanduku berhenti bergerak dan tirainya disibak. Yang lebih mengejutkan adalah wajah Sangmin terpampang jelas. "Lelah?"
"Tidak."
"Tapi wajahmu pucat. Kita istirahat sebentar dan minumlah air ini," tuturnya seraya menyerahkan botol minum berbentuk labu.
Aku tak menerima ulurannya dan minta untuk menghirup udara bebas. Berada di dalam tandu membuatku sesak.
"Tetaplah di sini, udara malam dingin."
"Sebentar saja," bantahku. Ia memundurkan tubuhnya dan membantuku keluar dari tandu. Aku mengambil posisi duduk pada batu besar, tak jauh dari tempat para pengawal berbaris. Kulihat para pengawal yang wajahnya kuyu. Mereka pasti lebih lelah dariku.
"Seja Joeha, sebaiknya Anda instruksikan mereka untuk mencari air sebentar. Mereka lebih butuh minum dariku."
Sangmin mengiyakan, ia mengirim beberapa pengawal untuk mencari air ke sumber terdekat. Kemudian, ia duduk di sampingku dan membuka botol minum yang belum kusentuh sejak tadi.
"Ayo minumlah dulu!"
Padahal aku sudah membuang muka, tapi pria itu justru menyodorkan botol minum yang sudah dibukanya. "Minumlah sekarang kalau kau tak ingin membuat para pengawalku semakin lelah."
Hmm. Kuturuti ucapannya dan kuhabiskan setengah botol minum itu, sebelum kuserahkan kembali padanya. Tanpa babibu, ia menerimanya dan meneguknya sampai habis.
"Terima kasih," ucapnya yang tak kugubris, "kenapa lagi? Sepertinya kau kesal padaku?"
Malam ini aku sangat malas untuk membuat alasan, tapi aku juga tidak ingin mengatakan semua dengan gamblang. Mau ditaruh mana mukaku? Jadi biarkan saja kuberi silent treatment.
"Kalau kau tidak bicara, aku tak akan pernah tahu. Aku bukan cenayang. Pasti kau pernah dengar kalau pria tak pintar membaca kode, bukan?"
Jujur saja, tak hanya pada Putri Min, melihat wajah putra mahkota sangat mengacaukan mood-ku. Karena itu, aku tetap diam dan beranjak untuk kembali ke tandu.
"Seja Joeha, maafkan kami, sekelompok bandit menghalangi jalan," sergahan dari seorang pengawal menghentikan langkahku.
"Apa kalian tak bisa mengatasinya?" tegur Sangmin kesal.
"Ini bukan bandit biasa. Saya yakin ... mereka adalah para pemberontak. Anda dan putri mahkota harus lari."
Aku bergeming di tempatku karena kulihat seorang dengan belati tengah berjalan ke arah kami.
"Sayangnya sudah terlambat. Lama tidak bertemu, Seja Joeha," sapa pria yang kini hanya berjerak beberapa meter dari tempatku berdiri.
Tahu-tahu, pria itu menarik tubuhku kasar dan menaruh sebilah belati tepat di depan leherku. Tubuhku terasa dingin dan perlahan bulir keringat menetes dari keningku. Ini ... seperti deja vu.
"Lepaskan aku ... tolong," rintihku memohon belas kasihnya.
"Tabib Kwon, lepaskan putri mahkota!"
Oh, jadi pria ini adalah Tabib Kwon yang diduga sebagai pembunuh mendiang putra mahkota. Astaga! Kalau memang mimpiku saat itu adalah pertanda, kami semua akan dihabisi oleh gerombolannya di sini.
"Tidak akan. Ayahmu harus membayar kehilangan yang ibuku dan aku rasakan."
"Kalau benar itu yang kau inginkan, bukan istriku yang kau todong, tapi aku Tabib Kwon."
"Jangan gila!" pekikku marah. Apakah ia tidak sadar kalau tindakan bodohnya bisa memicu kemarahan pria ini. Bukan hanya aku yang harus selamat, tapi kami semua.
Tubuhku masih diseret mundur hingga kurasakan nyeri di pergelangan kakiku. Sementara itu, Sangmin terus mendekat dan bersiap menarik pedangnya.
"Mundur dan turunkan pedangmu atau nyawanya akan melayang!"
Ancamannya tak menggoyahkan Sangmin. Ia tetap maju bahkan mengacungkan pedangnya.
"Belum juga mundur? Atau perlu kubuat luka di tubuh putri mahkota, agar kau dengar kata-kataku."
"Berani kau lakukan itu, kubunuh kau sekarang!"
Pria itu tak menerima negosiasi. Ia justru mendekatkan pisau itu ke leherku hingga kurasakan dingin dari sisi pisau yang menempel. Aku hanya bisa memejam saking takutnya. "Kau pikir, aku takut mati?"
Klontang!
Kudengar suara benda jatuh, yang ternyata adalah pedang di tangan Sangmin. Ia benar-benar menuruti kata-kata Tabib Kwon.
"Lepaskan istriku dan biar ini jadi pertarungan kita."
Pria itu memang melepaskanku, tapi seseorang menarik tubuhku dan mulutku dibekap. Aku terus meronta, tapi sama halnya dengan Tabib Kwon, pria ini tak punya belas kasih dan justru membawaku terus menjauh dari pertempuran. Dalam keadaan seperti ini, aku benar-benar tak berdaya dan rasanya sebentar lagi, aku akan pingsan.
***
Catatan kaki:
Lethal dose: Dosis dalam uji toksisitas yang dapat membunuh hewan uji .Biasanya dalam penelitian dihitung dalam dosis yang dapat membunuh 50% populasi.
Enggieng, konfliknya sudah memanas!
Apakah Sangmin bisa nyelamatkan Yeju? Atau mimpi Yeju bakal jadi kenyataan kalo mereka semua bakal mati sekarang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top