Chapter 16
Combo strike!
Kata itu cukup menggambarkan kehidupanku dalam menjalani peran sebagai putri mahkota yang sedang hamil belakangan ini. Tak perlu bingung dengan apa yang harus kulakukan karena bidan istana punya protokol resmi yang diajarkannya padaku setiap hari. Tak perlu cemas akan gizi jabang bayi karena koki istana membuatkan makanan bernutrisi. Dan yang terakhir, tak perlu repot memenuhi kebutuhan harianku sendiri karena jumlah dayangku naik 2 kali lipat.
Masalahnya, itu semua tidak mudah untuk orang sepertiku.
Contoh sederhananya adalah pagi ini di saat aku hanya ingin menghirup udara segar. Setidaknya ada 10 orang dayang -selain Duri- yang berdiri di belakangku sejak dari Donggung sampai halaman belakang istana. Aku merasa risih karena seperti ada banyak pasang mata yang mengikuti gerak gerikku.
"Mama, kita sudah berjalan cukup jauh. Apa Anda tidak ingin menggunakan tandu saja?" tawar Duri sopan. Aku menoleh ke belakang dan mendapati sebagian dari dayangku terengah-engah. Kurasa, mereka yang lebih butuh tandu dari pada aku.
"Untuk apa? Aku bisa berjalan dengan baik."
"Tapi, Anda bisa kelelahan."
"Tenang, Duri. Aku tidak melakukan olahraga berat."
Mengabaikan ucapan Duri, aku tetap berjalan di halaman belakang istana yang dihiasi bunga-bunga bermekaran. Sedikit banyak, hal ini mengingatkanku pada tur Jeju yang lalu. Sebelum nasibku berubah drastis, aku masih sempat menikmati taman hortensia yang indah. Meskipun, di sini yang ada hanya bunga berwarna merah jambu- bunga peony. Satu hal yang sama, angin sepoi-sepoi yang menyapu wajahku. Benar-benar beruntung orang Joseon yang bisa merasakan udara sesejuk ini di Hanyang, sementara kami harus terbang jauh ke Jeju untuk merasakan hal yang sama.
"Oh, tubuhku tiba-tiba menggigil," gumamku ketika kurasakan sapuan angin tak lagi membuat tubuhku nyaman. Segera aku duduk di salah satu bangku kosong di bawah pohon maple yang sangat rimbun.
"Sebaiknya Anda segera masuk ke kediaman Anda dan beristirahat."
"Uh. Kau berlebihan, Duri."
Aku mengeratkan pakaianku. Padahal ini masih musim panas, dan pakaian putri mahkota jauh lebih tebal dibandingkan pakaian harianku.
"Duri, sudah berapa lama musim panas berjalan?"
"Seharusnya bulan ini akan menjadi yang terakhir di tahun ini."
Oh, pantas saja. Apa itu artinya aku perlu berolahraga lebih sering? Tapi, sebentar, aku perlu meraup oksigen lebih banyak sebelum melanjutkan jalan pagiku.
Di sela-sela istirahat, aku bisa melihat seorang dengan gonryongpo* berwarna navy yang mungkin hanya dikenakan oleh satu orang di dinasti ini. Segera kuperintahkan Duri untuk bergegas mengikutiku menghampirinya. Sayangnya aku lupa, tak hanya ia yang bergerak, bahkan dayang-dayang lain yang ditugaskan mengekoriku kemanapun melakukan hal yang sama. Ya, sekalipun sekarang aku mempercepat langkahku dan berlari. Benar-benar gila dunia ini!
***
Kalau pandangan bisa membunuhku, kujamin saat ini juga aku meregang nyawa akibat tatapan menusuk dari Ibu Suri. Ia seolah menyimpan dendam yang sangat dalam padaku. Kalau diingat ucapannya waktu itu, mungkin ada benarnya kalau kini ia menuntut balas budi. Tapi, itu semua hanya dari perspektifnya sendiri. Ia tidak sadar sudah masuk jebakan permaisuri.
"Apakah Bin-gung Mama sering merasa tersesat di istana ini?"
Hanya satu pertanyaan, tapi memilih jawaban yang tepat rasanya seperti akan menjawab ujian dengan 10 pertanyaan esai beranak.
"Maksud, Daebi Mama?"
"Aku lebih dari tahu kalau istana ini sangat luas dan kompleks. Kehidupan di istana berbeda 180 derajat dengan kehidupan di luar sana. Sekalipun untuk bangsawan sekelasmu."
Baiklah, nenek tua itu pasti menemukan hal lain yang dianggapnya salah dariku. Apalagi, ia sampai repot-repot datang ke kediamanku. Maafkan aku, Bin-gung Mama. Sulit sekali menjadi putri mahkota yang flawless. Terutama, di mata sosok satu ini.
"Semakin hari, semakin banyak berita negatif yang berseliweran di istana. Hal ini cukup melukai pendengaranku."
Meskipun sorot mata ibu suri terkesan lemah, ucapannya sama sekali tak menunjukkan ketidakberdayaannya. Seperti biasa, semua tampak begitu palsu.
"Kudengar, kemarin pagi kau berkeliling istana sampai siang."
"Oh, tidak sampai. Mungkin hanya beberapa saat," sanggahku tak terima. Kalau saja ada jam, aku bisa menjelaskan dengan detail.
"Tapi untuk orang yang mengandung. Bukankah itu tak seharusnya?"
Aku terdiam sesaat sebelum memutuskan untuk berbohong. Just a little white lie.
"Saya masih sangat sehat dan butuh lebih banyak bergerak, Mama."
Wanita itu tersenyum kecut. "Atau ... sebenarnya kau hanya mengaku hamil?"
"Kalau Anda menganggap saya kurang hati-hati, saya bisa terima, tapi tidak dengan berpura-pura hamil. Pernyataan itu juga bukan muncul dari mulut saya. Memang apa untungnya?"
"Jelas banyak, terutama untuk putri mahkota dengan kelainan jantung sepertimu."
Aku mendengus dalam hati. Meskipun kata-kata ibu suri tak disampaikan dengan emosi yang berlebihan, tapi sudah jelas konteksnya adalah menyalahkanku sebagai putri mahkota.
"Tabib Kim, silakan Anda periksa kondisi putri mahkota!"
Seorang tabib yang sejak tadi menemani ibu suri mendekat dan minta izin untuk memeriksa kondisiku. Sungguh, wanita ini sudah menyiapkannya sebelum aku tiba. Aku pun tak menolaknya. Toh, aku tidak sedang menyembunyikan sesuatu.
Kriet.
Aku terkejut dengan pintu ruangan yang terbuka tanpa peringatan, menampilkan aura permaisuri yang tampak gelap.
"Daebi Mama, Anda memang pintar bercanda. Bagaimana bisa meragukan hasil tes kehamilan yang sudah dilakukan oleh tabib kepercayaan raja beberapa waktu lalu? Sama saja Anda menganggap diagnosisnya selama ini tak dapat dipercaya," murka permaisuri dengan sedikit senyum dan satu alis yang menukik.
Ibu suri menatapku dan permaisuri bergantian. Lantas, ia tertawa sinis. "Oh, jangan-jangan otak dari semua sandiwara ini adalah permaisuri sendiri?"
"Jangan kira aku tak ada bedanya dengan Anda, Daebi Mama."
"Tidak, aku tahu kita berbeda. Kau jauh lebih licik dariku."
"Aku hanya lebih bisa memakai otakku."
Permaisuri mengambil langkah lebar untuk menghampiriku dan memperhatikan Tabib Kim yang memeriksaku. Aku tahu, ia sama tenangnya denganku karena kami tahu Tabib Kwon memberikan pernyataan yang akurat, tapi entah apa skenario yang disiapkan oleh nenek ini.
"Maafkan saya, Bin-gung Mama. Tapi saya tidak menemukan tanda-tanda kehamilan pada tubuh Anda."
"..."
Belum sempat aku bicara, permaisuri sudah mengambil posisiku. "Lancang sekali mulutmu, Tabib Kim. Apa ini yang diinstruksikan oleh tuanmu."
Nenek tua itu justru melayangkan pandangannya padaku, "Benar bukan dugaanku? Mana mungkin wanita yang mengandung berlarian keliling istana tanpa memikirkan janin di kandungannya. Satu hal alasan yang masuk akal adalah dia tidak benar-benar hamil. Kalian pikir bisa membohongiku seperti membohongi putra mahkota dan raja."
"Daebi Mama, saya sama sekali tidak punya pikiran sejahat itu untuk menipu raja, apalagi putra mahkota. Masa depan saya masih panjang untuk bisa mempertahankan posisi saya sebagai putri mahkota."
"Kau yakin? Kau pikir sulit untuk menyingkirkan putri mahkota pembohong sepertimu."
"Saya tidak sedang berbohong, Daebi Mama. Kalau Tabib Kwon bilang saya hamil, tentu saya percaya karena saya tidak punya keahlian itu. Tentunya sudah jadi rahasia umum seberapa senior dan terpercayanya tabib kerajaan itu."
"Bin-gung, cukup ... " sela permaisuri. Ia tak lagi membelaku. Wanita itu terdiam dan membantuku meninggalkan tempat ini tanpa sepatah kata pun. Aku benar-benar kecewa. Bukankah ia seharusnya membelaku?
***
Harusnya, aku tak perlu merasa sedih. Aku tak pernah ingin datang ke Joseon. Aku tak pernah ingin menjadi putri mahkota, dan aku tak pernah mengharapkan kehamilan ini. Tapi, hatiku benar-benar sakit mendengar penuturan ibu suri tadi. Harga diriku serasa dijatuhkan di hadapan Tabib Kim dan permaisuri. Entah berapa banyak pasang telinga yang sudah mendengar rumornya. Apa perlu aku buktikan kalau putri mahkota bisa mengandung penerus kerajaan ini?
Lamunanku buyar tatkala kudengar sapaan yang tak asing.
"Anda tampak banyak pikiran, Bin-gung Mama."
Aku melirik asal suara itu tajam. Oh, jelas. Salah satu faktornya adalah sosok menjulang di hadapanku. Bisa-bisanya dia bergaya innocent?
"Aku harap Anda tidak lupa dengan jamuan makan malam bersama permaisuri hari ini."
Jamuan? Apa ia bercanda? Setahuku tidak ada rencana semacam itu. Atau, aku yang benar-benar absent-minded?
"Duri?" tanyaku pada Duri untuk memberikan penjelasan kalau saja aku melewatkannya.
"Anda belum memberi tahu saya, Bin-gung Mama."
"Mungkin Anda saja yang diundang, Seja Joeha," tukasku lantas membuang muka. Kejadian hari ini membuatku sangat lelah hingga aku tak punya tenaga untuk sekedar berpura-pura baik.
"Melarangmu untuk berpikir tentu tidak mungkin. Kau sangat suka berpikir bukan? Mungkin, aku hanya bisa mengatakan, berhenti berpikir negatif dan kita cari jalan keluarnya bersama."
Aku meliriknya sinis. "Mood-ku sedang sangat buruk, Seja Joeha."
"I see," lirihnya pelan.
"Kasim Cho, bisa berikan pesananku tadi?"
Spontan aku menoleh dan mendapati Kasim Cho membawa seikat bunga peony berwarna merah jambu.
"Semoga ini bisa sedikit menghiburmu."
"Aku menyukainya," ucapku pura-pura senang. Padahal, aku sudah sering melihat bunga ini ketika berjalan-jalan di halaman belakang istana.
"Kurasa begitu, aku bisa melihat secercah senyummu. Meskipun terpaksa."
"Ya ...."
"Lalu, apa yang bisa mengembalikan senyummu?"
"Kalau kau mau memberiku bunga, kau harus memecahkan ini."
"Apa?"
"Sadman has the first fashionista. Dress or polished, whether the paint changed, everything was purple. It became a cornflower."
"Apa-apaan ini? Di Joseon tak ada Naver untukku memecahkan riddle-mu."
Aku tertawa sumbang. Boleh-boleh saja dia mengaku mahasiswa kedokteran, tapi memecahkan riddle anak sekolah saja ia masih butuh Naver. Tapi, segagal apapun usahanya, rasanya tak pantas kalau aku tak mengapresiasi niat baiknya.
"Memang ini- bunga peony- dari mana?"
"Dari salah satu perkebunan milik permaisuri di luar istana."
"Di Jeju?"
"Tidak sejauh itu. Masih di sekitar Hanyang."
"Oooh. Kapan-kapan ajak aku ke sana. Aku mulai muak dengan istana ini."
"Bukannya sudah sejak awal kau ingin kabur?" bisiknya tepat di telingaku.
Benar juga kata-katanya. Tapi, aku sudah belajar menerima takdirku sejak kembali lagi ke masa Joseon ini. Dengan segala kekurangan dan kekurangan lainnya.
Aku melangkah berjalan ke arah jembatan untuk mengambil jarak dari putra mahkota dan yang lain. Namun, ketika menoleh kulihat ia mengangkat tangannya, menginstruksikan para dayang dan pengawal untuk tetap pada posisinya. Pria itu pun berjalan beberapa langkah di belakangku.
"Jangan terlalu dipikirkan. Setelah kau lebih sehat, tinggal membuatnya lagi 'kan?"
Langkahku berhenti dan mataku membola. "Siapa yang mau buat- anak?"
"Kita."
Jawabannya membuatku sontak menoleh dan menatapnya tajam. "Mana bisa? Ini royal baby. Aku tidak bisa berhubungan denganmu. Sadarlah, kau itu menyebalkan, galak, dan gila. Lebih baik putra mahkota asli meskipun agak cuek dan kaku."
"Oh, jadi kau ingin membuatnya dengan putra mahkota?" selorohnya tak terduga.
"Sudah jelas. Ia akan jadi anak putra mahkota," jawabku kikuk.
"Jadi, kau mengharapkan dia. Pantas saja ekspresimu ketika menganggapku putra mahkota asli berbeda 180 derajat dari biasanya. Memang seharusnya aku kembali ke masa depan dan membiarkanmu sendiri di sini."
"Bukan begitu juga," sergahku panik, tapi pria itu masih memasang wajah kecewa. Bukankah penjelasanku masuk akal. Ini tidak ada hubungannya dengan kami. Kalau bicara royal baby, ya harus anak putra mahkota dan putri mahkota. Bukan Moon Sangmin dan Oh Yeju. Apa ia tidak mengerti konsep itu?
"Ya, jangan marah!"
***
Bolehkah aku berbaik sangka kalau ibu suri diam-diam menyukai putri mahkota? Bagaimana tidak, ia kembali memanggilku, dua hari setelah menyebarkan rumor kehamilan palsuku. Hatiku saja masih belum pulih dari pedang yang dihunuskan nenek ini.
"Semua yang terjadi belakangan ini membuat kepalaku pening."
"..."
Kalau ia bicara kepalanya pening. Sebagai putri mahkota, aku justru merasa tubuh dan perasaanku lelah karena ulah nenek ini. Bayangkan saja, tubuhku jauh lebih mudah lelah meskipun aku sudah rutin jalan pagi. Aku harap, ini hanya karena bawaan kondisi putri mahkota bukan karena penyakit lain. Satu lagi, rumor yang disebarkan oleh ibu suri berhasil menjadi topik hangat istana yang seolah mencoreng wajah putri mahkota.
"Aku rasa, semua salahku karena turut memilihmu sebagai putri mahkota. Meskipun, aku tahu penyakit dan perilakumu di luar istana."
Astaga! Aku memang tidak pernah suka percakapan dengan ibu suri, tapi kali ini adalah yang terburuk. Ia seperti bermaksud menghabisi putri mahkota tanpa ampun. Seingatku, sejak kejadian itu aku hanya berada di kediamanku dan keliling halaman istana. Tidak ada hal yang bisa dikategorikan sebagai kesalahan. Jadi, aku sedang menunggu, apa yang ingin dia sampaikan setelah ini.
"Apakah kau sangat tidak menyukai posisimu setelah benar-benar masuk istana, Bin-gung Mama?"
"Daebi Mama, pertanyaan apa yang Anda tanyakan," sergah permaisuri yang duduk beberapa jengkal di sampingku. Sepenggal katanya seolah memberikanku kekuatan untuk bertahan di sini. Apapun yang aku lakukan akan selalu salah di mata wanita itu selama tak berpihak padanya.
"Rumor tentangnya-putri mahkota- bukannya hilang, justru semakin merebak layaknya jamur setelah masuk istana. Bukankah ini adalah sebuah masalah?"
"Maafkan, kalau perilaku saya masih belum memenuhi ekspektasi, Daebi Mama," ujarku basa-basi.
"Tidak, Bin-gung Mama," sanggah permaisuri penuh keyakinan.
Ibu suri berdecih dan memandang kami berdua sinis. "Pantas saja kelakuanmu semakin liar. Kau punya dukungan dari ibu mertua yang melindungimu."
"Sudah sepantasnya saya melindungi semua anggota kerajaan tanpa pandang bulu, bukan?"
"Tapi ... menantumu ini sudah sangat mencoreng nama keluarga kerajaan yang kau lindungi dengan ulahnya yang tak mengindahkan protokol istana dan memalsukan kondisi kesehatannya," jelas ibu suri, "aku hanya punya 2 pilihan. Menurunkannya dari tahta atau membiarkan putra mahkota mengangkat selir yang bisa segera memberikan keturunan untuk menutupi rumor-"
"Daebi Mama, Anda sangat keterlaluan," potong permaisuri dengan nada tinggi.
Untuk kali ini, aku tidak bisa membiarkannya berkoar lebih banyak, "Apa Anda pikir saya tidak bisa mengandung penerus Joseon? Saya hanya butuh waktu, Daebi Mama. Bukankah menggantikan posisi saya dengan orang lain ataupun memberikan teman lain untuk putra mahkota justru seperti membeli kucing dalam karung? Anda tidak pernah tahu masalah apa yang akan ia bawa."
"Gadis-gadis di Joseon punya nama yang lebih baik darimu."
"Tapi Anda juga tidak bisa memilih gadis dari sembarang keluarga untuk ada di posisi saya, bukan? Meskipun tidak terlalu besar, menurunkan tahta seorang klan Yoon artinya adalah menurunkan kepercayaan klan Yoon dan sekutunya terhadap pemerintah. Lagi pula, Klan Yoon punya banyak koalisi yang tidak segan menjadi oposisi."
"Terima kasih sudah mengingatkan. Kalau kau lupa, aku masih punya nama dua adik kandungmu sendiri."
Bibirku sendiri terkatup mendengarnya. Wanita ini benar-benar tak punya hati dan egois. Bisa-bisanya ia terpikir untuk menyingkirkan putri mahkota dengan keluarganya sendiri. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, tubuhku bergetar sampai permaisuri yang menarikku untuk meninggalkan kamar terkutuk ini. Pikiranku benar-benar kacau setiap kalimat intimidatif ibu suri terlintas di kepalaku. Rasanya, kedatanganku justru membawa petaka untuk putri mahkota.
"Bin-gung Mama, jangan kau pikirkan pemikiran ibu suri yang dangkal."
"..."
"Ia terlalu kolot saja. Lagi pula, tabib akan mengupayakan segala cara untuk menjamin kesehatanmu," tutur permaisuri menenangkan, "ia hanya ingin menggertakku lewat kau, untuk menuruti maunya."
Bagiku, itu bukan sebuah gertakan, wanita itu memang ingin menghabisiku semenjak aku tak memberikan informasi yang diinginkannya. Sejak awal aku tak pernah ingin mengikutinya dan aku yakin putri mahkota pun setuju untuk tak menghianati suaminya sendiri.
"Abaikan saja wanita tua itu. Ia tak sungguh-sungguh menginginkan penerus Joseon dari putra mahkota."
"Maksud Anda, Mama?"
"Ia hanya ingin aku menyerah dalam mengungkap kematian putraku dan menyerahkan dokumen rahasia yang bisa mengancam posisinya."
Jawaban permaisuri membuatku tercengang. Apa itu artinya permaisuri justru yang memegang kartu As ibu suri?
***
Catatan kaki:
Gonryongpo: jubah naga/ hanbok kebesaran keluarga kerajaan dengan simbol naga di dalamnya.
Wah, ternyata panjang lagi chapter ini, meskipun nggak sampai 3000 words. Hopefully bisa menemani kalian di bulan ini. Jangan lupa like & comment :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top