Chapter 07

Sejak kesadaranku kembali, aku terus berontak dan minta dikeluarkan dari tempat ini. Namun, tidak ada seorang pun yang mendengarkanku dan justru mengunciku di dalam. Sudah kucoba mencari celah di sekeliling ruangan, tapi tak kutemukan apapun. Aku benar-benar frustasi.

Brak!

Kudengar suara benda jatuh di balik partisi ruangan. Aku menoleh dan mendapati sebuah bayangan yang bergerak di sana. Rasa penasaranku membuatku mengambil langkah lebar dan mendekat untuk melihat lebih jelas.

"Halo!" sapa tamu tak diundangku.

"Kau! Bagaimana caramu masuk?"

"Hmmm... rahasia," jawabnya dengan sok misterius. Tapi, kulihat ada dinding yang kayunya terpasang tak rapi. Sepertinya ia masuk dari sana. Kenapa tadi aku tak bisa membukanya, ya?

"Cepat keluarkan aku dari sini! Sudah cukup prank yang kau buat," ucapku sinis tanpa basa-basi.

Bocah itu mendekat dan meletakkan telunjuknya di depan bibirku. "Jawab dulu pertanyaanku!"

"Malas!"

"Kapan tanggal kemerdekaan Korea Selatan?" tanyanya menebakiku.

"Lima belas Agustus."

"Siapa Presiden Korea Selatan sekarang?"

"... Yoon Sukyeol."

"..."

"Apa lagi pertanyaanmu? Kau pikir ini cerdas cermat," selorohku seraya mencari posisi duduk yang nyaman. Aku mempersilakannya duduk di atas bantalan di sampingku. Ia melirik sekilas sebelum duduk dengan sopan.

Sikapnya membuatku tak tahan berkomentar, "Kau tidak sekasual sebelumnya."

"Apakah kita pernah bertemu?" celetuknya dengan polos. Aku langsung menoleh ke sekitar, memastikan memang benar tidak ada kamera tersembunyi di sini. Sepertinya, ia mulai berakting.

"Ingatanmu pendek juga, ya. Kita 'kan berkenalan di tur ke Seogwipo."

Ia menutup mulut dengan kedua tangannya dan matanya membola. Kali ini ia bermain peran dengan sangat baik. Mungkin, ia mengikuti club teater juga. "Astaga! Kau benar-benar Moon Sangmin yang angkuh itu?"

Angkuh dari mana? Apa bocah ini tak pernah belajar cara menilai manusia dengan benar? Sikapku yang mana yang menunjukkan keangkuhan? Sungguh tidak berdasar.

"Bukan."

"Lalu? Joe? Atau, Pak Sopir?"

"Moon Sangmin. Sang Malaikat."

Aku bisa menangkap kelopak matanya yang setengah menutup. Salah sendiri ia terlalu antusias merespon jawabanku tadi, tapi justru menebak dengan asal. Memang ada berapa orang dengan wajah tampan sepertiku dalam minibus? Seingatku bus hanya diisi oleh orang asing selain tour guide dan pak sopir. Maaf, maaf, saja. Aku lebih tampan dari bapak pengendara minibus itu.

"Ternyata wajah kita di sini mirip— dengan dunia modern, ya," gumam bocah itu yang dapat kudengar dengan jelas.

"Siapa mirip siapa?" sahutku yang tak kunjung dijawabnya.

Ia tampak berpikir keras. Entah apa yang ingin disampaikannya setelah ini. Bocah itu membenarkan posisi duduknya. Kali ini ia menghadapku dan menatapku lurus. Wah, penuh percaya diri sekali gadis ini.

"Selamat datang di Joseon!"

Mataku berkedip intens. Ia mengangkat kedua tangannya ke atas seperti menyambutku dengan ceria. Seharusnya, gesture ini ditunjukkan ketika kami bertemu di minibus, bukan di sini.

"Apa itu judul variety show-nya?"

"Kita sama-sama menolak kenyataan dengan praduga yang berbeda. Sayangnya, tak satupun dari kita benar. Aku tidak tahu bagaimana caranya kita datang ke sini, yang jelas ini adalah Joseon di tahun 1468, era Raja Sejo. Kau ... adalah putra mahkota di sini. Sebelum hilang kesadaran, kupikir roh putra mahkota masih berada di tubuhnya. Tapi, setelah penyerangan yang dilakukan oleh sejumlah bandit, dia terluka dan ternyata kau yang masuk ke tubuhnya," jelas bocah itu dengan mimik meyakinkan.

Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Kuyakin suaraku telah menembus dinding-dinding kayu ini dan sampai keluar. Bocah itu kreatif sekali mengarang cerita.

"Kalau aku putra mahkota, kau apa? Putri mahkota?"

Bocah itu menghela napas dan mengangguk. Aku kembali tergelak akibat respon terakhirnya. Perutku sampai sakit sendiri saking tak bisa menahan tawa.

"Berhenti tertawa!"

"Ceritamu— Kau tidak diam-diam menyukaiku sampai merancang semua ini, 'kan?" sindirku penuh curiga.

"Terserah saja! Aku sudah sangat baik menjelaskan kondisi kita. Meskipun aku sendiri tidak tahu bagaimana aku ataupun kau bisa terdampar ke sini, korelasi kita dengan orang-orang Joseon di sini," cerocosnya dengan wajah yang memerah. Kurasa ia tersinggung dengan sikapku barusan. Tapi, memang ucapannya tak ada yang masuk akal. Kenapa harus marah, sih?

"Aku– hahaha," ucapanku terputus karena tawaku yang tak tertahankan.

"Kalau kau tidak percaya, silakan urus kehidupanmu di Joseon sendiri!"

Bocah itu beranjak dan menggeser dinding tempatnya menyusup, tanpa bicara apapun lagi. Aku mengikuti langkahnya untuk keluar dari celah yang sama. Nahasnya, pingggulku terlalu besar dan lubang ini terlewat kokoh itu kulebarkan seorang diri. Aku mencoba cara lain dengan mengeluarkan tangan dan kepalaku terlebih dulu, tapi tubuhku masih saja tersangkut.

"Hei, tour guide cilik! Bantu aku keluar," seruku pada bocah yang sudah berlalu beberapa meter meninggalkanku.

Ia tak menoleh dan hanya berteriak, "Sudah kubilang, urus dirimu sendiri!"

***

Ucapan gadis itu terngiang-ngiang di kepalaku seharian ini, walaupun aku sendiri masih lebih percaya kalau ini semua adalah bagian dari variety show. Sepertinya saat ini langit akan gelap karena beberapa orang dengan hanbok mulai masuk ke kamarku untuk menyalakan lilin dan mengantarkan makanan.

Tak lama, beberapa orang pria dan seorang wanita dengan pakaian shaman mengunjungiku. Aku jadi merinding membayangkan ritual yang akan mereka lakukan sekarang. Sejumlah pria dengan pakaian berwarna hijau gelap membentuk barikade di depan pintu. Satu-satunya wanita di ruangan ini mulai membunyikan lonceng dengan tangan kiri yang mengibaskan kipas. Ia berputar-putar di tengah ruangan. Terus terang saja, aku belum pernah sekalipun melihat ritual shaman live seperti ini.

"... para leluhur di langit, turunlah ke bumi dengan para pengawalmu ...."

Shaman itu berujar dengan artikulasi yang kurang jelas. Apalagi, suara lonceng tak henti mengiringi sehingga aku tak bisa menangkap banyak apa yang dikatakannya.

"Perangilah roh jahat yang kini menghuni tubuh putra mahkota kami. Bawalah roh jahat itu pergi dan murnikan jiwa putra mahkota," tuturnya lebih jelas.

Aku mengusap wajahku. Hampir tak percaya dengan pendengaranku sekarang. Astaga, jadi tujuan ritual ini adalah diriku. Sungguh keterlaluan.

"Aku tidak sedang kerasukan. Jadi kumohon kalian hentikan ritual ini," tegasku seraya menatap mereka semua silih berganti. Barikade pria di depan pintu juga tak berkutik, tapi mereka tampak menunduk lebih dalam. Shaman di tengah ruangan juga tak menghentikan aktivitasnya dan justru semakin cepat berputar. Ingin kutampar mulut shaman itu yang sudah melafalkan syair menyesatkan, tapi tetap saja ia wanita.

Jadi, kutarik tongkat lonceng dari tangan kanannya dan kubanting ke lantai. Baru dengan ini ia berhenti, tapi tatapannya terlalu horor hingga bulu kudukku berdiri. Sepertinya, justru ia yang kerasukan.

"Roh jahat! Berani-beraninya kau membuang benda suci dari leluhur," hardiknya padaku.

"Kalau kau tak ingin aku membuangnya, sudah seharusnya kau bersikap sopan pada orang lain. Sikapmu membuatku tak nyaman."

"Hanya roh jahat yang terganggu dengan ritual ini," pungkasnya tajam. Ia menunduk untuk mengambil loncengnya kembali, tapi kutendang benda itu sampai ke depan pintu.

Wanita itu beralih menatapku penuh amarah, "Kau ...."

"Maaf, tidak sengaja," ucapku tanpa rasa bersalah.

Amarahnya tampak semakin memuncak. Tangannya mengudara dan ia memekik kesetanan. Lantas, kuku-kuku tajamnya menancap di pakaianku yang berwarna putih bersih. Tentu, aku menghindar. Karena ia terus menyerang, mau tak mau aku melawannya. Jangan lupa, sebelum menekuni kumdo, aku juga pernah belajar hapkido. Tenaga wanita itu sangat kuat hingga aku hanya mampu menahannya. Sepertinya memang ada arwah yang merasuki.

Belum sempat aku meminta tolong, pintu dibuka dengan kasar dan muncullah wanita yang mengaku sebagai ibuku. Ia tampak terkejut dan alisnya menukik.

"Apa-apaan ini? Lancang sekali kau menyentuh putra mahkota!"

"Jungjeon Mama ...." salam dari pria-pria berpakaian hijau bersamaan seperti paduan suara.

"Keluar kalian semua! Putraku tidak kerasukan apapun!"

"Tapi ini perintah ibu suri," ucap seorang dari barikade pria yang susah berantakan.

Wanita itu melihat pria yang maju menghadap beserta teman-temannya dengan tatapan kesal. Tapi, itu sama sekali tak menghilangkan kharisma wanita itu. Benar-benar keren!

"Dan perintahku untuk meninggalkan kediaman putra mahkota sekarang, Kasim Cho!"

Pria-pria yang tadi hanya mematung itu bergegas menarik shaman gila yang sejak tadi kutahan tubuhnya agar tidak mencakarku. Butuh lebih dari lima orang untuk bisa menarik shaman yang kerasukan itu. Benar-benar ritual yang tak patut diulang.

Kepergian mereka menyisakanku dengan wanita kharismatik itu.

"Seja Joeha, apa yang sebenarnya terjadi? Apa kau sedang merencanakan sesuatu dengan sikapmu pagi tadi?"

"Eomma Mama," lirihku tanpa sadar. Aku sendiri terkejut dengan gerakkan bibirku barusan. Dari mana aku bisa mengatakannya?

Wanita itu seperti mendengarnya karena ia menatapku dengan penuh harap. Aku jadi takut kalau ia menuntut jawaban sementara aku tak tahu harus bicara apa. Namun, apa yang dilakukannya sungguh tak terduga. Ia menata tempat tidurku dan menginstruksikanku untuk berbaring di sana. Seperti terbius, aku mematuhinya.

"Beristirahatlah, Seja Joeha. Besok pagi datanglah ke kediamanku dan ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tuturnya lembut seraya mengusap kepalaku hingga tertidur.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top