1#
Ah, bodoh sekali.
Hanya itu yang bisa kupikirkan saat tanganku tidak sengaja menyenggol gelas di sampingku, hingga jatuh dan pecah berkeping-keping, jangan lupakan isinya yang tumpah mengenai jaket seseorang. Seisi kantin yang tadinya ramai, hening dalam sekejap.
Aku menggigit bibir bawah, kebiasaan buruk saat merasa gugup. Kuedarkan pandangan, semua mata tertuju padaku. Beberapa memandang terganggu, tapi lebih banyak yang ngeri. Ada juga pandangan oke-ada-pertunjukan-gratis.
Aku menatap sang pemilik gelas, yang sekarang sedang menatap dingin ke arahku.
"Astaga, maaf--"
"Kau tahu berapa harga jaketku ini?" potongnya dengan dingin. Aku mendongak, menatapnya. Park Jimin yang sedang marah sangat menyeramkan, itulah yang kudengar dari orang-orang. Dan aku sama sekali tidak mau berurusan dengannya.
"Ya ampun, maafkan aku. Aku tidak senga--"
"KAU PIKIR AKU PEDULI?!"
Ya elah, nge gas. Pikirku.
Aku berdeham, berusaha meminta maaf dengan sopan. "Park Jimin Sunbae, aku tidak sengaja menumpahkan jus mu itu, maafkan aku." Tidak lupa, aku membungkukkan badanku, tanda aku benar-benar menyesal.
Kudengar tawanya yang mengejek. "Aku tidak butuh permintaan maaf konyolmu. Bersihkan jaketku," perintahnya.
What the ....
Aku meremas tanganku, lalu melirik Shin Jung yang menatap kami dengan mulut menganga, berusaha meminta tolong. Tapi sial, Baekhyun, pacarnya, menarik tangan gadis itu. Aku hampir bisa mendengarnya berbisik, "Jangan terlibat."
Terkutuk kau, Byun Baekhyun.
Aku meraih sapu tanganku, lalu bergerak membersihkan jaketnya. Tapi tanganku dihempas kasar, aku meringis.
"Siapa suruh kau membersihkannya dengan sapu tangan? Bersihkan dengan mulutmu. Minum jusnya sampai habis." Park Jimin menyeringai mengejek di hadapanku.
Sial, aku sial sekali. Park Jimin itu tukang bully yang kejam, omong-omong. Bukan hanya satu-dua murid yang pernah di kerjai nya. Mereka bertujuh lebih tepatnya, para tukang bully jahat yang sialnya juga tampan.
"Aku tidak mau," ucapku tegas. "Kenapa aku harus meminum jus yang sudah tumpah ke jaketmu?"
Terdengar suara napas yang tertahan secara serentak. Ya, aku sudah mencari masalah dengan singa-singa. Mampus.
"Kau tidak mau?" Park Jimin mengulang, nadanya marah.
Aku menaikkan alis. "Iya, aku tidak mau." Aku menaikkan daguku, bersikap menantang. "Lagipula, kupikir dengan mencucinya juga cukup."
Park Jimin mengepalkan tangannya. Oh shit. Aku mungkin akan pulang dengan wajah babak-belur. Tapi siapa peduli? Semua sudah terlanjur.
Benar saja, kepalan tangannya itu melayang ke arah wajahku. Meski kemungkinan besar dia hanya ingin menggertak, aku tidak mau mengambil resiko.
Secepat kilat, kuambil tangannya, lalu kutarik. Saat di Indonesia dulu, aku pernah belajar silat. Iya, sampai sabuk hitam.
Sekuat tenaga, kuraih lengannya dan kubanting dia ke lantai. Suaranya lumayan keras, memang. Tapi aku yakin seratus persen bahwa tidak akan ada tulang yang patah atau pinggang yang retak. Efeknya hanya sesak napas saja, dan mungkin punggung yang linu. Tidak akan lebih dari itu.
Kurasa.
Terdengar pekikan kaget dimana-mana. Park Jimin sendiri mengerang di lantai, sementara ke enam temannya memandang dengan wajah luar biasa kaget. Shin Jung dan Baekhyun menganga. Aku berkacak pinggang. Rasain, gelo!
"Jika kau pikir aku bisa kau bully dengan mudah seperti yang lainnya, kau salah, Sunbae. Aku tidak akan berhenti melawan. Dan soal jaketmu," aku berjongkok merenggut kan jaket itu dengan mudah dari tubuhnya. Jimin masih mengerang, dan sama sekali tak melawan. "Akan aku cuci. Nanti kukembalikan."
Untuk melengkapi aksi keren-kebanyakan-bodoh ku, aku melenggang bak model di atas catwalk, mengabaikan semua murid, menendang pintu kantin hingga membuka, dan pergi.
Mama, tolongin Lia, dong.
Lalu setelah aku pergi, aku mendengar sesuatu dari arah kantin.
Tepuk tangan dan suara beberapa orang yang terbahak-bahak.
....
Senin pagi, ruang guru konseling.
Jung ssaem, guru konselingku, menghabiskan waktu kurang-lebih lima belas menit untuk mengomeliku habis-habisan. Aku duduk di depannya, cemberut dan berusaha kelihatan tidak peduli.
Jung ssaem menatapku jengkel, "Kau mendengarkan apa tidak?" tanyanya.
Aku meliriknya, lalu menghela napas. "Aku mendengarkan kok, ssaem. Memangnya separah apa sih, luka Jimin Sunbae?" aku balas bertanya dengan nada sama jengkelnya dengan yang dia gunakan.
Jung ssaem menghela napas. "Tidak terlalu parah, sebenarnya. Pemuda itu bahkan tadinya sudah akan mengejarmu untuk balas dendam, jika tidak ada yang menahan. Aku mendengarnya dari murid lain." Guru itu memijat keningnya, tampak lelah. "Tapi kau tahu sendiri 'kan, kalau Park Jimin itu salah satu donatur terbesar di sekolah ini? Dia mengadu pada Ayahnya, dan Ayahnya berkata kau harus dihukum dengan seberat-beratnya."
Aku tidak terkejut, sungguh. Aku juga tidak terlalu peduli pada kenyataan bahwa aku akan dihukum seberat-beratnya. Aku terlalu banyak membaca cerita seperti ini, dimana sang pria adalah bad boy sekolah, dan aku adalah targetnya. Nantinya kami akan jatuh cinta, dan berakhir bahagia.
Yaiks.
Aku tidak mau berakhir bersama pemuda nakal dan jahat seperti Park Jimin, atau teman-temannya. Bisa saja dia suka menenggak alkohol sepulang sekolah, mabuk berat di club, bahkan bermain wanita. Bisa juga malah sudah berani mencoba narkoba!
Aku tidak mau!
Eh, tapi siapa bilang kalau Park Jimin akan jatuh hati padaku, ya? Tidak ada, 'kan?
Aduh, aku terlalu banyak membaca novel, sepertinya.
Aku berdeham, lalu menatap Jung ssaem, "Ssaem, hukuman apa yang harus aku terima?"
....
Aku bersumpah dalam hati, aku akan menendang Park Jimin sampai kakinya patah dan lebih bagus lagi kalau harus diamputasi. Dia menyebalkan sekali, astaga.
Pada jam istirahat, aku pergi ke kelasnya, dengan membawa jaketnya yang sudah kucuci. Aku sengaja menambahkan pewangi banyak-banyak, agar ketika dipakai, wanginya menusuk sampai ke hidung hingga orang-orang terganggu. Tapi apa yang kudapati?
Pemuda itu tidak menerima jaketnya, dengan alasan bahwa air yang kupakai untuk mencuci jaket itu bukan air dari mata air murni di pegunungan di pulau Jeju yang biasa dipakainya. Dilengkapi dengan senyum sedikit-manis-banyak-menyebalkan andalannya, si bantet itu mengusirku dari kelasnya disertai ucapan, "Semoga beruntung, Cantik."
Hah, tahu begitu aku buang saja jaketnya.
Dan memang kulakukan.
Jaket mahal itu sekarang ada di tong sampah sekolah, dekat kelasnya. Aku membuangnya setelah melemparkan jaket itu ke wajah mengejek Jeon Jungkook, salah satu kawanan Park Jimin. Salah sendiri bersiul di depanku dan memuji tubuhku secara terang-terangan.
Aku bahkan masih ingat wajah terkejutnya.
Iya, iya, aku tahu. Aku sudah mencari masalah dengan orang-orang yang salah. Memangnya ada ya, mencari masalah dengan orang-orang yang benar? Sudahlah, akan kucari tahu nanti. Tapi semua ini sudah terlanjur, bukan? Jadi, sekalian saja.
Aku berjalan dengan santai di koridor, memelototi beberapa siswa yang terang-terangan menatapku dengan pandangan setengah kagum dan setengah ngeri. Ya, dua hari yang lalu aku baru saja menghajar bad boy sekolah, ingat? Jadi wajar jika mereka melihatku seperti itu.
Lalu bel pemanggilan siswa berbunyi.
Dan kau tahu apa? Namaku disebutkan. Katanya, aku ditunggu di ruang kepala sekolah.
Masih bingung apa artinya itu?
Artinya, Ayah Jimin ingin bertemu denganku.
Tolong.
....
Ehe, hai, semua(^-^)/
Karena aku gaboet, aku tulis cerita baru, deh. Semoga suka.
Udah, gitu aja sih.
So, lanjut atau jangan?
Andromeda, 31 April 2038.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top