9.2. 運命
Iramanya cepat, berputar-putar, namun menyenangkan untuk didengar. Seperti itulah bab ini akan melaju. Bagaimana? Sudah siap membaca? Jangan lupa minum kopinya, ya.
.
.
Karena nyaris seumur hidup Takahiro dihabiskan dengan mendekam di dalam ruang belajar, hiruk pikuk di area Shibuya adalah sesuatu yang membuatnya gugup. Terlalu banyak orang—dan terlalu banyak warna.
Sekalipun masih siang, beberapa pertokoan sudah menyalakan lampu papan, untuk membuatnya terlihat mencolok. Lagu idol papan atas yang disetel di layar raksasa bertubrukan dengan dentuman permainan dari game center, ditambah lagi dengan campuran suara obrolan dan kendaraan.
Wilayah ini, menurut Takahiro, terlalu hidup.
Siswa-siswi dari berbagai sekolah lalu-lalang di sepanjang jalan. Ada yang sekadar ingin berbelanja atau melihat-lihat aksesori imut di kios pernak-pernik, ada yang keluar-masuk kafe kucing atau hanya berpose selfie di depan pintu, dan beberapa siswa memasuki game center. Warna-warni yang terus berkelebat di depan mata itu membuat Takahiro pusing. Jalan raya tidak lagi tertutup salju, tapi udaranya masih dingin. Uap mengepul di tiap embusan napas, membuat Takahiro menaikkan risleting jaketnya.
Berkat kecerdasan Masaru—terus terang, ia agak kesal harus mengakui kelebihan laki-laki itu—mereka berhasil tiba di tempat tujuan tanpa menimbulkan rasa curiga dari orang lain. Demi keamanan juga, mereka sengaja mengenakan pakaian yang agak tertutup, sehingga tato di area tubuh mereka tidak terlihat. Toh, cuaca juga mendukung. Takahiro sendiri mengenakan kaus hitam polos berbalut jaket olahraga, sekalipun tidak ada satupun tato yang tercetak di kulitnya.
"Udaranya masih agak dingin, ya," aniki menyeletuk. Lengan besarnya diusap-usap. "Bagaimana kalau kita minum-minum di kedai, sambil memesan makanan hotplate?"
Usulan itu langsung disambut dengan antusiasme yang lain. Kalau sudah menyangkut soal makanan, suara bulat bisa terbentuk begitu saja.
"Ide bagus itu! hotplate di musim dingin paling enak dicampur alkohol!"
"Daging sapi kuah sake?" yang lain mengerutkan hidung. "Ugh, kedengarannya menjijikkan."
"Dasar tolol. Yang kumaksud itu makan hotplate sambil minum minuman keras. Perut jadi jauh lebih hangat, 'kan?"
"Boleh juga. Di sana ada cewek cantiknya, tidak?"
"Pikiranmu itu perempuan melulu—tapi sepertinya pelayan kedai di sini cantik-cantik."
"Bodoh, kau. Kau sendiri sama mesumnya dengan aku."
Kepala Takahiro mendadak pening. Bicara soal perempuan membuatnya teringat lagi dengan kata-kata Tetsuya di pemandian malam itu. Soal bagaimana temannya berkotbah soal bagaimana memilih perempuan yang 'tepat' sangat penting untuk kelangsungan masa depan. Sampai sekarang pun, pembicaraan tentang perempuan adalah sesuatu yang semantik bagi Takahiro.
Sudahlah, ia menggelengkan kepala. Sekarang bukan saatnya mengisi pikiran dengan hal-hal seperti itu.
Lampu pejalan kaki menyala hijau. Mereka menyeberangi jalan, selagi mata Takahiro tak henti-hentinya menemukan objek menarik untuk dilihat. Papan nama yang berganti-ganti tulisan tiap 2 menit, orang-orang yang mengenakan kostum aneh—cosplay, begitu yang ia ketahui dari rekan-rekannya—dan remaja berseragam di depan pertokoan yang membagi-bagikan selebaran sambil tersenyum manis.
Pemandangan itu spontan menghentikan langkah Takahiro.
Di depan kafe bergaya Eropa, lima orang siswa SMA swasta mencegat siapapun yang melintas. Tumpukan booklet berada di dekapan satu tangan, sedangkan tangan yang lain digunakan untuk membagi-bagikannya. Berkali-kali mengumbar senyum, berkali-kali pula membungkuk dalam-dalam dan mengucapkan "Terima kasih banyak!" pada para pejalan kaki, dan bertahan untuk tidak duduk sekalipun cuaca tidak mendukung.
Orang-orang seperti ini—pengorbanan seperti apa yang sudah mereka lakukan? Apa yang membuat mereka rela bertahan seperti ini, padahal banyak kegiatan lain yang lebih menarik, seperti mengerumuni gachapon dan menebak mainan apa yang akan keluar?
Detik itu juga, Takahiro langsung tahu penyebabnya: mereka tidak punya pilihan lain.
Sama seperti dirinya yang terpaksa mendekam di ruang belajar, mereka juga memiliki keterpaksaan itu untuk membuang waktu bersenang-senang. Senyuman itu adalah reaksi yang terbentuk dari perasaan pasrah. Pasti begitu.
"Selamat siang!" salah seorang siswi tiba-tiba saja menghampiri. Rambut pendeknya menjuntai lemas karena keringat, wajahnya juga pucat sekalipun dihiasi senyum. "Kalau berminat, silakan baca booklet yang kami buat untuk pesta amal dua bulan lagi!"
Antara sadar dan tidak sadar, satu bundel booklet mendarat di tangan. Sampulnya foto anak-anak kecil yang menangis di jalan, tumpeng-tindih dengan gedung sekolah.
Takahiro diam-diam mengerutkan kening. Desain sampulnya tidak terkonsep dengan baik. Sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan—namun lebih menonjolkan superioritas sekolah. Tapi ia tidak datang ke Shinjuku untuk memperdebatkan hal ini—yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Takahiro sendiri.
"Kalau berkenan, bisa dengarkan promosi kami sebentar?"
Sejenak Takahiro menoleh, mendapati tidak ada siapapun yang menunggui. Semuanya pasti sudah masuk ke dalam kedai dan memesan makanan. "Aku bersama teman-temanku. Tidak bisa di sini lama-lama—"
"Sebentar saja, kok."
"Maaf, benar-benar tidak bisa—"
Kenapa anak ini nsangat keras kepala, sih?
Karena merasa pembicaraan ini tidak akan berakhir kalau tidak diinisiatif, Takahiro memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Sialnya, ada seseorang yang menahan tangannya. Suara bernada tinggi mengikuti. "Hei, langsung pergi tanpa permisi itu tidak sopan, tahu!"
Dengan enggan, ia memutar tubuh—dan mendapati bahwa si maskotlah yang menahannya.
Kalau dilihat, maskot itu benar-benar tidak imut. Padahal, yang berada di dalamnya jelas-jelas anak perempuan. Wajah dan tubuhnya tidak proporsional. Permukaannya ditempel dengan asal, seperti terbuat dari bubur kertas yang disatukan dengan cat. Alih-alih lucu dan menarik, maskot itu malah terlihat seperti burung hantu yang mengerikan.
Satu-satunya yang terbersit di benak Takahiro adalah—"Kau ini apa?"
"Tidak sopan. Aku ini maskot, tahu!"
Sebagai laki-laki terdidik, Takahiro tahu betul kalau memandangi orang terlalu lama justru menimbulkan kesan tidak sopan. Hanya saja, kali ini rasa penasarannya lebih unggul. "Maaf saja," gumamnya, "Aku tidak melihatmu sebagai maskot."
"Eh?" iris gelap di balik kardus yang dilubangi itu melebar. "Memangnya... di matamu itu aku terlihat seperti apa?"
"Itu—" Takahiro tidak dapat menahan diri untuk tidak mendengus. "—seperti orang-orangan sawah."
Kemudian, semuanya terasa kabur.
Keduanya hening. Suara klakson mobil melatari, diikuti nyanyian girlband yang berada di daftar top 40. Balon bertangan panjang di atas gedung melambai-lambai, seolah mengejek.
Teman-teman si maskot ikut terpaku. Ada yang menggigit bibir—barangkali tahu betul kalau kata-kata Takahiro ada benarnya—tapi sisanya menatap si maskot dengan tatapan was-was.
"Bisa-bisanya kau bicara seperti itu," protes maskot jejadian. "aku—maksudnya, kami—sudah bekerja keras untuk membuatnya selama tiga malam penuh, tahu!"
Kesimpulannya. Orang kalau memang terlahir payah sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Takahiro cukup cerdas untuk mengolah pikiran itu ke dalam kalimat yang lebih sopan. "Aku tidak melihat sisi kerja kerasnya."
"Astaga, kau ini siapa, sih?" gadis yang tadi menawarinya brosur kini menarik Takahiro menjauh. "Sudah, sana, katanya kau tidak bisa berlama-lama di sini, kan?"
Pertanyaan itu dijawab dengan dingin. "Entah kenapa, aku berubah pikiran."
Seperti dikomando, para siswi terkesiap. Saling meremas jari kawannya, takut kalau laki-laki asing—oke, Takahiro tahu mereka memanggilnya begitu—akan menciptakan kekacauan di Shibuya.
Si maskot, yang sejak tadi terpana, kembali mengoceh. "Dengar, Tuan-sok-tahu, aku tidak tahu apa masalahmu dengan kami, tapi kenapa tidak berbaik hati berdiri sebentar dan mendengar promosi kami?" kali ini jarak tubuh mereka begitu dekat. "Kau punya waktu cukup lama untuk berada di sini, artinya kau seharusnya tidak menolak sejak awal, kan?"
"Aku berdiri di sini hanya karena kau mengganggu pandanganku."
"Kalau memang begitu, pergi sana! Biar kita tidak usah bertemu sekalian."
Takahiro menatap maskot itu dengan lengan bersilang. Mendadak, ide jahil muncul di otaknya. "Begini saja," katanya, "Aku akan mendengarkan promosi konyol kalian—kalau kau sendiri yang mempromosikannya padaku."
"Hah?"
"Syarat kedua," kedua jari teracung, "lepas topeng konyolmu itu dan jadilah manusia tulen saat promosi."
Takahiro, sama seperti maskot itu—juga gadis-gadis lain—tahu kalau syarat itu luar biasa memaksa dan tidak masuk akal. Hanya saja, ia punya ketidaksukaan sendiri ketika harus berbicara dengan orang yang bersembunyi di balik topeng.
Ironisnya, ia sendiri mengenakan topeng tak kasat selama menjadi anggota gin ryou—oke, soal dirinya sendiri saat itu tidak penting. Ia memicingkan mata, menguarkan aura menantang. "Kenapa? Takut?"
"Apa maksudmu takut?" kembali suara tinggi itu mengudara. "Kalau itu yang kaumau, aku akan melepas topeng ini—tunggu sebentar—"
Lima menit berikutnya canggung luar biasa. Si maskot berusaha melepas kostum, selagi properti itu sendiri tidak mudah dilepas. Butuh bantuan setidaknya dua orang untuk mengangkat kepala burung hantu, sedangkan teman-temannya berdiri dengan pikiran penuh konflik dan dilema.
Takahiro sendiri hanya mengamati momen itu tanpa bergerak. Dalam hitungan detik, ia baru sadar kalau keputusannya ini kelewat bodoh: membuang-buang waktu untuk pembicaraan yang tidak berguna sama sekali bukan bagian dari karakteristik seorang Takahiro Eiji.
Tapi, untuk alasan yang ia sendiri tidak pahami, ia bergeming. Memilih untuk bertahan dan menikmati adegan konyol itu—di mana si maskot terhuyung ketika ingin menarik topengnya, dan berakhir jatuh terjengkang ke belakang.
.
.
Kadang, kisah cinta nggak diawali dengan adegan bunga-bunga. Bukan juga adegan dramatis di mana dompet si cewek jatuh dan diambilin si cowok. Sebagai shipper tunggal Eiji dan Akemi, saya akan banyak menyelipkan adegan imut(?) buat kalian. Semoga minggu depan bisa update cepat, ya!
Absurd writer, signing out
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top