6. 親友

Kali ini, alunan 'Pavane pour une infante défunte' akan menemani kalian di bab ini. 

.

.

親友 (Shin'yū) adalah 'sahabat'. Tahu, kan, dua orang yang--katanya--tidak terpisahkan, yang sudah berjanji untuk bersama saat senang dan susah, yang seharusnya bisa saling mempercayai. 

.

.

Langit sudah menggelap ketika keduanya tiba di rumah Akemi. Bayangan tubuh mereka bahkan tidak lagi terpantul di aspal jalan.

"Terima kasih banyak, ya, sudah mengantarku," ujar Akemi. Keresahan jelas sekali terbayang di wajahnya. "Padahal sudah segelap ini–"

Kasumi menggeleng pelan.

"Tidak apa-apa, kok." Ia tersenyum tulus. Begitu melihat ekspresi menyesal temannya, Kasumi cepat-cepat menambahkan, "Sungguh. Apalagi dengan kelakuanku tadi... mengantarmu sama sekali tidak ada apa-apanya."

"Astaga, soal yang tadi, ya? Akulah yang seharusnya minta maaf." Akemi menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Kage-chan memang pantas marah begitu, kok. Kalau saja tadi aku tahu–"

"Sudahlah, tidak apa-apa."

"Tapi kalau saja kau memberitahuku lebih awal, aku tidak akan–"

Pundak Akemi ditepuk dengan lembut, walaupun raut cemas terlihat di wajah Kasumi. "Tidak usah dipikirkan, Eri-chan." Ia mengerling ke arah jalanan yang semakin sepi, berujar lemah. "Tapi kurasa aku harus pulang sekarang. Main-mainnya besok lagi saja, ya."

"Gelap-gelap begini?" Akemi membelalak.

"Kalau tidak salah ada halte bus di dekat sini, kan? Aku bisa pulang naik bus," jawab Kasumi ringan. "Aku sudah sangat terbiasa, kok."

Akemi menautkan alisnya. Mana mungkin ia membiarkan temannya pulang sendirian–sudah malam, pula. Tangan sahabatnya digenggam erat. "Bagaimana kalau malam ini kau menginap di rumahku?"

"Itu..." Kasumi ragu-ragu. "Seragamnya bagaimana? Ah, orangtuamu juga pasti–"

"Orangtuaku sedang pergi. Dan soal seragam, kebetulan aku punya seragam lebih. Seharusnya sih, pas dengan ukuran tubuhmu."

Kasumi menatap ke arah Akemi dan rumahnya secara bergantian, masih menimbang-nimbang. "Tapi—"

"Ayolah," bujuk Akemi. "Bukannya kau pernah bilang ingin menggeledah rumahku? Sekalian untuk 'balas dendam', kan?"

Ucapan itu membuat Kasumi tertegun.

Bohong kalau ia tidak memiliki rasa penasaran yang kuat pada seorang Akemi Eri. Terlepas dari sosoknya yang sempurna di sekolah, siapa tahu ia menyimpan rahasia yang kuat–bukannya siapa saja pasti punya rahasia masing-masing?

Ia menarik napas sejenak, berusaha mengatur nada bicaranya sesantai mungkin. "Baiklah kalau kau memaksa."

Wajah temannya berubah cerah. "Kalau begitu, masuklah." Akemi mendahului Kasumi membuka pagar dengan kunci yang ada di sakunya, lalu melompati telundakan sebelum membuka pintu depan.

"Aku biasa meletakkan kunci serep di bawah keset," jelasnya ringan. "Soalnya aku sangat pelupa, jadi lebih baik menyimpannya di tempat yang tidak begitu sukar." ia masuk terlebih dahulu sebelum menggestur temannya untuk masuk.

Malu-malu, Kasumi mengekor. Ini kali pertama baginya mengunjungi rumah seseorang—sebagai teman dekat, pula. Biasanya, rute bepergian Kasumi tidak pernah jauh-jauh dari rumah ke sekolah, atau rumah ke tempat perbelanjaan. Bermain-main menjadi sesuatu yang sangat asing baginya.

"Maaf, ya, hanya seadanya." Akemi tertawa gugup sambil membiarkan Kasumi masuk. "Oh iya, sepatumu diletakkan di rak ini saja."

Dengan patuh Kasumi melepas sepatunya, dan mengenakan uwabaki yang sudah berjajar rapi di depan keset. "Anu," gumamnya. Berusaha menjaga sopan santun. "Orangtuamu di mana?"

"Bekerja." Akemi mengunci pintu, lalu menekan tombol lampu. "Mereka pekerja dinas, jadi sering sekali pergi keluar kota. Kadang juga tidak pulang—sibuk sekali, sih."

Kasumi ber'oh' pelan, selagi matanya menelusuri isi rumah Akemi dalam diam.

Kalau dibilang besar, tidak juga. Rumah itu termasuk sederhana, dengan perabotan seadanya. Tidak ada patung, tidak ada lukisan-lukisan yang menghiasi dinding selain potret keluarga. Walaupun minimalis, Kasumi dapat merasakan aura hangat dari rumah keluarga Akemi ini.

"Di sini ruang makan dan dapur memang dijadikan satu, supaya tidak perlu repot-repot memindahkan masakan. Lalu di sebelahnya ada ruang tamu." Akemi dengan riang menjelaskan, seolah-olah mereka sedang touring.

"Biasanya kami sekeluarga lebih suka makan di ruang tamu daripada di ruang makan, makanya ruang tamu sengaja dibuat lebih besar." Ia terkekeh. "Tapi ruang makan juga sering dipakai untuk acara-acara tertentu, seperti tahun baru atau saat ada yang sedang berulang tahun. Intinya, hanya untuk formalitas. Papa sendiri lebih suka makan malam sambil nonton baseball."

Bahkan penjelasan detail yang disampaikan oleh Akemi menggambarkan betapa hangatnya keluarga yang ia miliki. Bayangkan, makan malam bersama dengan duduk berdekatan di sofa. Kesannya lebih akrab daripada harus mengelilingi meja makan yang serasa membatasi.

Kalau saja keluargaku seperti itu ...

"...itu ruang apa?" Kasumi menunjuk ke arah pintu yang terletak di sisi ruang tamu. Warnanya berbeda dengan pintu lain yang dicat putih—pintu itu memiliki tekstur kayu yang diserut dengan begitu halus.

Akemi mengikuti arah telunjuk Kasumi dan tertawa. "Oh, itu. Itu hanya untuk memisahkan ruang tamu dengan tangga, kok." Ia membuka pintunya dan menunjukkan tangga melingkar dengan pegangan dari kaca. "Biasanya kan, para tamu kurang suka mendengar orang yang naik-turun tangga. Makanya diakali dengan memasang pintu ini."

Kasumi mengangguk paham.

"O ya, nanti kita tidur di lantai dua. Tidak apa-apa kan, kalau sekamar untuk berdua?"

"Tidak masalah," jawab Kasumi ringan.

"Kalau kau memang sudah mengantuk, tidak apa-apa tidur duluan," tambahnya. "Aku terbiasa tidur agak larut."

Kasumi mengangguk lagi, walaupun setelah itu langsung bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa sih, hanya kebiasaan sejak dulu." Akemi tersenyum. "Nah, kita ke atas sekarang, ya? Sudah puas melihat-lihat, kan? atau... kau mau menggeledah lemari-lemari di sini?" guraunya.

Kalau saja semudah itu... tempat ini terlalu kecil dan rapi. Untuk menyentuh perabotannya saja Kasumi merasa enggan.

"Tidak perlu," Kasumi menggeleng. "Aku hanya bercanda saat bilang begitu. Jangan terlalu dipikirkan."

"Serius? Padahal aku sendiri seenaknya saja begitu," tawa Akemi kali ini terdengar salah tingkah. "Kalau begitu... ayo."

Keduanya berjalan menaiki tangga–dengan Akemi di depan, tentunya. Kasumi mengagumi tekstur marmer yang digunakan untuk tangganya, juga wallpaper dengan warna cokelat pucat dan lekuk-lekuk keemasan yang menghiasi dinding. Kesannya simpel, namun juga mewah. Pemilihnya, siapapun itu, punya selera yang bagus.

"Wallpaper ini... siapa yang memilih?"

"Oh, papa yang membelinya. Bagus, kan?" Nada bangga tersirat dalam suara Akemi. "Papa memang punya selera yang bagus. Kau lihat betapa cantiknya mama di foto, kan?" tambahnya, kali ini dengan menyelipkan gurauan.

Kasumi diam-diam mengulum senyum. Kentara sekali kehangatan yang terpancar di keluarga kecil itu. Keduanya melewati foto-foto keluarga yang dipasang di sepanjang tangga—ada Akemi kecil yang sibuk dengan mainannya, lalu foto ayah dan ibunya yang saling tatap. Senyum manis menghiasi wajah tiap foto, sehingga terlihat begitu indah.

Terlalu indah, malah—sampai-sampai ia merasa berdosa karena cemburu.  

"Nah, kita sudah sampai." Akemi membiarkan Kasumi mendahuluinya. "Hanya ada dua kamar di sini, dan satu kamar mandi di sudut sana, jadi kau tidak perlu repot-repot turun dan menggunakan kamar mandi di lantai satu–oh iya, kamarku yang ini." Ia bergegas membuka pintu kamar yang tepat menghadap ke tangga.

Kamar itu sama rapinya dengan seisi rumah Akemi yang lain. Boneka dengan berbagai ukuran dijajar rapi di dalam lemari kaca, dan beberapa buku—sebagian besar dapat dikenali sebagai buku pelajaran, sisanya adalah novel dan bacaan ringan lainnya—ditata di atas rak meja belajar. Sebuah lemari besar dengan warna putih gading menjulang berhadapan dengan jendela.

Kamar itu tidak luas, namun aroma dan suasana ruangan itu membuat Kasumi merasa nyaman.

Akemi membuka lemari, bertanya, "Kau mau tidur pakai futon atau extra bed?"

"Biar aku saja yang mengambilnya," jawab Kasumi. Tidak enak juga terlalu mengandalkan tuan rumah. "Di mana futon-nya?"

"Itu," Akemi menggerakkan dagunya ke arah futon yang terlipat rapi di rak teratas. Kira-kira sejengkal jaraknya dari puncak kepala Akemi sendiri. "Agak tinggi memang. Bisa mengambilnya sendiri?"

"Kurasa bisa," sahut Kasumi, walau keragu-raguan tersirat jelas di suaranya. Ia berjinjit sedikit untuk mencapai futon, tapi begitu tangannya berhasil meraih sedikit ujung kainnya, gadis itu nyaris kehilangan keseimbangannya.

"Kage-chan, hati-hati, dong!" dengan sigap Akemi menahan punggungnya agar ia tidak jatuh terjengkang. Tangannya yang satu menahan futon agar tidak jatuh menimpa temannya itu. "Seharusnya tadi pakai bangku saja."

Pipi Kasumi merona merah. "M-maaf."

Akemi menghela napas. "Sudahlah," katanya. "Biar aku saja yang ambilkan." Tubuhnya yang nyaris lima sentimeter lebih tinggi dari Kasumi memudahkan Akemi untuk menggapai futon tanpa perlu repot-repot berjinjit.

Kembali rasa iri menyusupi dada Kasumi. "Enak, ya, jadi Eri-chan," gumamnya lesu.

Akemi, sayangnya, berhasil menangkap ucapan itu. Ekspresinya agak mengeras ketika merespons, "Jangan sirik begitu, dong. Kage-chan juga imut dengan proporsi tubuh seperti ini. Semua ada enak dan tidak enaknya." Tangannya meremas pundak Kasumi. "Lagipula, sejak awal kita sudah berjanji untuk tidak membahas hal ini, kan?"

Kasumi mengangguk. Kembali menggumamkan maaf.

"Sudahlah," suara Akemi berubah ceria. Futon yang masih terlipat rapi berpindah tangan. "Kau keberatan kalau kunyalakan AC-nya? Kage-chan tahan dingin, tidak?"

"T-tahan, kok."

Kasumi yang disibukkan dengan kegiatannya menata futon melirik sesekali ke arah Akemi. Gadis itu benar-benar tahu caranya memikat orang. Pantas saja begitu banyak laki-laki menggandrunginya.

"Nah, segini sudah cukup nyaman, kan?" Akemi memutar tubuh, dan agak terkejut ketika Kasumi menatapnya tanpa berkedip. "K-kenapa? Apa terlalu dingin? Bisa kuturunkan—"

"Aku tiba-tiba saja ingat," kata Kasumi. "Pacar Eri-chan apa kabar?"

Senyum Akemi mengkerut beberapa mili. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"

"Hanya penasaran," jawab Kasumi cepat-cepat. "Soalnya—kalian jarang bertemu lagi. Aku hanya ingin tahu apa kalian masih—"

Hatinya agak mencelos ketika mendengar Akemi memaksakan tawa. "Kami masih pacaran, kok. Hanya saja, Eiji-kun sibuk sekali—tahu sendiri, kan, ayahnya sekeras apa. Aku juga tidak sempat menghubunginya sejak saat dia bilang ingin menonaktifkan ponsel." Ia menghela napas. "Aku agak kangen padanya, terus terang saja. Tapi kalau dia tidak merasakan hal yang sama juga percuma."

"Kukira Takahiro-san menyukaimu."

"Awalnya juga kukira begitu. Dia orang yang baik. Agak keras kepala dan kekanakan—tapi baik." Kali ini Akemi benar-benar terkikik geli. "Aku sudah pernah cerita padamu, kan? Sejak kematian ibunya, Eiji-kun lebih suka membiarkan orang meninggal dengan tenang di peti kaca—seperti Putri Salju. Lucu sekali, kan, jalan pikirnya?"

"Eh," alis Kasumi mencuram. "Kurasa Eri-chan belum pernah cerita."

Akemi memasang wajah heran. "Masa?" tanyanya. "Atau aku cerita ke Tetsu-san, ya? Pokoknya aku pernah bicara soal hal ini ke satu orang."

"Bisa jadi," jawab Kasumi. "Tapi aku baru tahu sisi Takahiro-san yang seperti itu. Manis juga, ya."

"Memang manis." Senyum Akemi melebar. "Tapi jangan coba-coba merebutnya, ya."

"Mau kurebut pun tidak akan bisa," tukas Kasumi. "Level kami terlalu jauh. Kelihatannya dia juga tidak begitu menyukaiku—"

Akemi menggeleng cepat. "Tidak. Dia memang agak sulit berkomunikasi dengan orang yang tidak begitu dikenalnya," jelasnya. "Santai saja, Kage-chan. Suatu hari nanti kau juga akan meemukan cowok yang menyukaimu, kok."

Kasumi hanya bisa mengulum senyum.

"Oh ya," memutuskan untuk memutar topik, Akemi kembali membuka lemari—kali ini menggeledah isi pakaiannya. "Kage-chan biasa pakai baju tidur yang seperti apa? Gaun malam? Satu setel baju dan celana panjang?"

"Yang celana panjang saja."

"Kurasa yang ini cukup," kata Akemi, menyerahkan satu set pakaian tidur. "Ini."

Kasumi menerimanya, kali ini agak ragu-ragu ketika bertanya, "Eri-chan, aku ke kamar mandi dulu, ya."

"Kalau mau ganti pakaian di sini saja," sahut Akemi, "Kita, kan, sama-sama perempuan."

"Itu—" ia malah gelagapan sendiri. "—bukan begitu. Hanya saja—"

"Lagipula, aku tidak akan macam-macam, kok." Akemi terbahak menertawakan leluconnya sendiri. "Kalau Kage-chan memang malu, aku bisa balik badan—walaupun sebenarnya tidak usah malu juga, sih."

Telinga Kasumi memerah dengan begitu cepat. "Aku hanya ingin buang air."

Warna merah ikut merambati pipi Akemi. "Waduh, aku malah menahanmu di sini," katanya, separuh geli, separuh menyesal. "Maaf malah mencurigaimu. Tombol lampunya ada di sebelah kiri, ya. Perlu kuantar?"

"Tidak usah," tolak Kasumi buru-buru. "Aku bisa sendiri."

Agak tergesa—bahkan nyaris tersandung uwabaki sendiri—ia melesat ke kamar mandi, tanpa menyadari tatapan cemas Akemi yang seolah mengharap temannya itu tidak kembali lebih cepat dari ekspektasi.

.

.

Kasumi kembali mematut dirinya di depan cermin yang menempel di dinding kamar mandi. Walaupun piyama pinjaman Akemi bisa dibilang pas melekati tubuh, tetap saja kesenjangan tinggi mereka membuat ujung celana yang Kasumi kenakan nyaris menutupi pergelangan kaki.

Yah, ia tersenyum tipis. Setidaknya lebih baik daripada mengenakan seragam sekolah.

Kemeja berikut roknya dilipat rapi. Ia menelan ludah saat tangannya tanpa sengaja menyentuh titik sensitif di bagian rusuk dan perut, berusaha tidak merintih nyeri. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, ia memutuskan untuk segara keluar dari kamar mandi.

"Eri-chan pasti sudah bosan menunggu," batinnya. Terlalu lama berada di dalam sini juga akan meningkatkan kecurigaan Akemi—jadi lebih baik langsung keluar saja.

Nyatanya, ketika ia kembali, Akemi terperanjat. "Lho, Kage-chan?" sapanya, agak gugup. Tangannya begitu cepat memasukkan entah apa ke dalam laci meja belajar. "Kukira tadi Kage-chan sedang buang air."

"Eh—" alih-alih ingin menjawab, matanya terpancang curiga ke laci meja. "Eri-chan sedang apa tadi? Aku mengganggu, ya?"

Bahkan tawa Akemi terdengar canggung. "Tidak sedang ngapa-ngapain, kok. Hanya—bengong saja. Makanya aku kaget sekali waktu Kage-chan muncul." Untuk sekali ini, ia tidak terlihat meyakinkan di mata Kasumi. Apalagi ketika Akemi buru-buru menambahkan, "Kage-chan tidak mengantuk? Sekarang sudah nyaris pukul 9, lho."

"Sudah semalam ini?" Kasumi terperanjat. Rasanya baru pukul setengah enam ketika mereka berdua tiba di rumah Akemi. Apa dia kelewat lama merenung di dalam kamar mandi—atau waktu memang begitu cepatnya berlalu? "Yah, kurasa aku memang agak lelah." Kentara sekali ia penasaran, masih ingin mengajukan lebih banyak pertanyaan, tapi rasa kantuk mendadak membentengi. Ia merangkak naik ke futon, dan menarik kakebuton-nya hingga mencapai dagu. 

"Ini—benar-benar tidak apa, kan, tidur duluan?"

"Dari tadi aku juga sudah bilang begitu, kan? Tidak usah sungkan begitu."

"Kalau begitu, oyasumi." Ketika kepalanya menyentuh bantal, kesadaran Kasumi memburam begitu saja. Semua kecurigaan dan kecemasan yang sejak tadi bersarang di kepalanya terhalang oleh rasa kantuk. Dalam hitungan menit, ia sudah terlelap—tanpa sempat mendengar sahutan Akemi.

Ia tidak akan pernah tahu—beberapa menit setelahnya, Akemi duduk dengan kaki terlipat di sisi futon-nya. Tersenyum lembut ketika menatap temannya tertidur.

"Oyasuminasai, Kage-chan."

For your information

Futon: Tempat tidur tradisional Jepang, yang terdiri dari sebuah matras dan sehelai selimut. Kedua bagian ini dapat dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari. Sangat efektif digunakan di dalam kamar yang sempit.

Kakebuton: Bagian dari futon yang digunakan sebagai selimut

Oyasumi: Selamat malam

Kamar Akemi kira-kira seperti ini: nggak terlalu besar, tapi cukup nyaman buat berdua. Ada lemari kaca sama lemari besarnya ketutupan (anggaplah begitu, lol).

Untuk chapter berikutnya akan di-update sedikit lebih cepat, karena isinya cuma sedikit. 

Selamat membaca, dan selamat menebak-nebak!

Absurd writer, signing out

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top