3. 霞
Chapter ini secara khusus didedikasikan untuk salah seorang teman menulisku, yang hari ini berulangtahun. Semoga hadiahnya berkenan!
.
.
Kasumi (霞), atau kabut, merupakan kombinasi dari dua kata: "ka" (花) yang berarti bunga atau mekar, dan "sumi"(澄) yang berarti bersih atau murni. Sebuah kontradiksi yang terbentuk antara dua kata yang terpisah dan dua kata yang disatukan. Maknanya pun ambigu—apakah kasumi sebenarnya keindahan di balik kabut, atau kabut yang menghalangi keindahan?
.
.
"Kage-chan, sini!" Akemi melambai ke arah Kasumi dari jarak lima meter.
Kasumi bergegas menenteng nampan berisi makanannya ke meja yang sudah disiapkan oleh Akemi untuk mereka berdua. Ia berusaha menyelip di tengah-tengah kerumunan siswa yang berlomba berada di barisan terdepan antrean, sementara kedua tangannya menjaga agar makanan di atas nampannya tidak jatuh. Kalau hal itu terjadi, terpaksa ia harus mengantre lagi—atau tidak makan sama sekali.
Seperti biasa, jam makan siang di sekolah mereka terkenal liar. Entah dari mana para siswa bermunculan, tahu-tahu mereka sudah menyeruak masuk ke dalam kantin sekolah, berdesak-desakan sedemikian rupa walaupun harus mengantre. Tidak heran kalau banyak siswa tidak kebagian makan, apalagi menemukan tempat di dalam kantin. Ada beberapa yang berinisiatif membawa makanan mereka ke kelas, ke sepanjang lorong, bersembunyi di dekat klinik sekolah, bahkan tidak sedikit yang terpaksa duduk di sisi tempat sampah karena sudah kehabisan opsi. Merekalah anak-anak yang selalu menjadi korban bullying, yang mau tidak mau merelakan tempat duduknya ditempati oleh senior atau siswa yang lebih populer.
Untung saja Kasumi tidak bernasib sama dengan mereka—setidaknya tidak untuk tahun ini. Keberadaan Akemi seolah menyelamatkannya dari teman-teman yang dulu sering menindasnya. Terlebih lagi, mereka dapat menguasai satu meja kantin secara eksklusif tanpa perlu diganggu orang lain—Akemi sendiri yang tidak merasa nyaman dikelilingi selagi makan. Walau canggung, Kasumi sudah sangat terbiasa dengan para siswa yang berlomba menarik perhatian Akemi dengan memilih meja di dekatnya. Belum lagi anak-anak yang melirik ke arah Kasumi dengan iri.
Kalau sudah begini, rasanya seperti mendapat tempat duduk VIP saja.
"Kage-chan, apa mereka mengganggumu?" Akemi menatap temannya dengan ekspresi prihatin. "Kita bisa pindah duduk di sebelah sana—"
Kasumi menggeleng. "Tidak usah. Mereka sama sekali tidak menggangguku." Wajah Akemi masih terlihat ragu-ragu sehingga Kasumi perlu menegaskan sekali lagi. "Sungguh. Aku baik-baik saja. Jangan biarkan makananmu dingin."
Akemi menghela napas, namun tidak membantah. Tangannya ditangkupkan di depan dada. "Kalau begitu—ittadakimasu."
"Ittadakimasu." Kasumi mengikuti.
Lima menit berikutnya berlangsung dalam diam. Tanpa Akemi sadari, otak Kasumi kembali berkelana ke masa-masa suram itu—pada apa yang terjadi sebelum ia menemukan seorang 'sahabat'.
.
.
Pernah, tidak, membenci namamu karena merasa nama itu tidak keren—atau terdengar sangat kampungan sampai-sampai kau ingin menggantinya?
Hal yang sama terjadi pada Kasumi. Ia membenci namanya, lebih-lebih arti yang tersirat di dalamnya.
'Kasumi' yang artinya kabut—dan 'Mikage' yang artinya bayangan—nama tersuram yang pernah ada. Bayangan berupa kabut, atau kabut yang menjadi bayangan—apapun interpretasinya tetap berkonotasi negative.
Hal terburuknya, nama itu seolah melekat dengan kepribadiannya: hanya bisa mengganggu orang lain dengan keberadaannya bagai kabut, dan tidak pernah diakui sebagai sosok yang nyata seperti halnya bayangan. Ia adalah figur kelas dua di manapun ia berada.
Ia lahir ketika kakaknya berusia 8 tahun. Saat itu orangtuanya tengah mengalami krisis keuangan yang cukup parah sehingga mereka terpaksa menjual rumah dan tinggal di apartemen. Kakaknya dituduh mencuri ketika Kasumi berusia 5 bulan di dalam kandungan. Walaupun Jepang tidak melarang aborsi, mereka tetap tidak bisa membayar biasa operasi yang bisa mencapai 3 juta yen.
Kehadiran Kasumi dianggap kutukan bagi keluarga, itu yang Kasumi ketahui. Mungkin itulah penyebab ia dinamai begitu.
Bagai dikutuk, kehidupan Kasumi di sekolah sama buruknya dengan di rumah. Penolakan dari orang-orang di sekitarnya merupakan hal yang sangat biasa ia terima.
Atau tidak.
Tidak cukup dimaki dan dijegal setiap kali melewati lorong, seolah kurang merecoki gadis malang itu dengan sindiran tajam tiap kali memasuki kamar mandi, Kasumi harus mendengarkan gosip-gosip tidak menyenangkan tentang dirinya. Misal, alasan kenapa dia tidak pernah mengikuti pelajaran olahraga, atau tidak pernah mau berada di ruang ganti yang sama dengan gadis-gadis lain.
Beberapa mengatakan kalau Kasumi sakit-sakitan. Ada pula yang bilang kalau diam-diam Kasumi Mikage menyimpan sesuatu di balik seragamnya—obat-obatan terlarang, misalnya. Wajar saja, karena wajah Kasumi tidak pernah tidak terlihat menarik—pucat, kurus, dan selalu terlihat lesu.
"Mungkin dia punya penyakit kulit. Wajahnya saja kusam begitu."
"Tidak ada hubungannya, kan? Kukira dia punya kelainan jantung. Sensei punya surat izin dokter darinya, kok."
"Barangkali itu bukan surat asli. Dia bisa saja pura-pura sakit demi mencuri perhatian. Padahal cantik saja tidak."
Demi apapun, Kasumi punya alasannya sendiri. Bukan berarti orang lain bisa menempelkan hidung mereka seenaknya saja, kan?
Daripada mencoba berbaur dengan orang-orang yang gemar berprasangka, lebih baik dia menyingkir. Sayangnya, sebagian dari dirinya memiliki dorongan yang kuat untuk menjadi salah satu dari mereka. Ikut tertawa bersama, bertukar pemoles kuku, atau setidaknya berada di meja makan yang sama. Hal yang mustahil, tentu saja—begitu pikirnya saat itu.
Lagi-lagi, ia mengutuk namanya.
.
.
Lucunya, nama itu justru mempertemukan dirinya dengan Akemi Eri.
"Kau Kasumi Mikage, kan?" tahu-tahu saja mejanya dihampiri. Kasumi saja tidak berani menyapa gadis itu, sekalipun saat itu hanya mereka berdualah yang berada di dalam kelas.
"Iya." Kasumi gelagapan sendiri. Ini pertama kalinya ia disapa seseorang. "Kau—"
Gadis yang menyapanya tersenyum ramah. "Aku Akemi Eri. Murid pindahan." Tangannya diulurkan ke arah Kasumi, yang dijabat dengan ragu-ragu.
Tidak perlu diberi tahu pun Kasumi tahu. Sejak kedatangannya di kelas mereka, eksistensinya sudah sangat menonjol. Akemi—gadis dengan aura secerah matahari—berhasil membuat orang lain menyukainya.
Baik nama maupun karakter mereka berdua sangat bertentangan. Akemi begitu cerah, sedangkan Kasumi sebaliknya. Diam-diam, Kasumi menyimpan perasaan iri—sekaligus kagum—terhadap anak baru itu. Lantas, kenapa Akemi rela 'merendahkan diri' untuk sekadar berbasa-basi dengannya?
"Omong-omong, namamu unik ya," ujar Akemi riang. "Bagaimana ya bilangnya... sangat eksotis."
Gadis aneh. Ia berusaha untuk tidak mendengus tertawa ketika menjawab, "Masa? Kalau boleh terus terang, saya kurang suka nama itu—"
"Ah, apa karena namanya terdengar suram?"
Kasumi mengangguk. Ekspresinya terlihat resah.
Akemi sedikit memiringkan kepalanya, seolah sedang berpikir keras. "Menurutku tidak suram-suram amat, kok. Namamu itu berarti... 'bayang-bayang di balik kabut', kan?" Kasumi kembali mengangguk. Wajah Akemi tampak bersemangat saat menambahkan, "Aku suka melihat kabut di pagi hari."
Diam-diam Kasumi tertarik dengan murid baru ini. "Kenapa?" biasanya, orang-orang lebih suka melihat mentari terbit ketimbang kabut. Lantas, kenapa Akemi justru ingin melihat kabut?
"Kalau kabut ada, otomatis kita jadi fokus dengan kabut itu, kan? Seolah-olah kita dipaksa untuk mengagumi kecantikannya seorang. Perasaan juga jadi dingin ketika berada di tengah-tengah kabut, lalu semuanya berubah menjadi bayangan. Aku tahu itu terkesan sangat egois, tapi keeksotisan kabut itulah yang membuatku suka—" Akemi terkesiap, cepat-cepat membungkam mulutnya. "Astaga, aku sudah melantur, ya?"
Kasumi menahan keinginannya untuk tertawa. Benar-benar anak yang menarik. "Jadi... sebenarnya ada perlu apa dengan saya?"
"Astaga, jangan pakai keigo begitu dong." Akemi tergelak. "Aku hanya ingin berkenalan denganmu, soalnya kau menarik—bukan karena namamu saja, tentu—kalau bisa, aku ingin menjadi temanmu."
"Teman say—maksudnya, temanku?" Kasumi membelalak kaget. Apa ini salah satu gurauan teman-teman populernya yang lain—sebuah tantangan truth or dare, barangkali? Ataukah ini motif 'pura-pura mendekati untuk menjahati'? Dia tidak merasa menarik, lebih-lebih lagi semenarik itu untuk bisa menjadi teman bagi orang semencolok Akemi.
Akemi juga menyebutnya 'menarik'. Apakah ini modus tipuan yang lain? Atau bentuk menjilat—padahal Kasumi saja tidak punya apa-apa yang bisa menguntungkan orang lain.
Nyatanya, tidak setitikpun ekspresi Akemi memperlihatkan kelicikan. Ia begitu bersemangat selayaknya anak sekolah dasar. "Bagaimana? Iya atau tidak?"
Kasumi benci mengakuinya, tapi ia terlalu terpikat dengan wajah dan karakter Akemi untuk menolak tawarannya. Rasanya seperti disambut oleh hangatnya sinar matahari terbit. Tawaran ini begitu besar, begitu menggiurkan, dan—oh, salahkan dia karena mulai berpikir begini oportunis—menguntungkan posisinya.
Siapa tahu ini bisa menjadi awal yang baik.
"Kalau begitu, mohon bantuannya," ujarnya malu-malu
—semoga saja begitu.
.
.
Kasumi ingat betul. Seminggu setelah kepindahan Akemi, guru homeroom mereka mengumumkan kelompok belajar yang tiap kelompoknya terdiri dari tiga anak. Kelompok itu, nantinya, akan menjadi kelompok tetap sepanjang satu semester ke depan.
"Kelompok tiga—Tetsuya Raiden, Akemi Eri, dan... Kasumi Mikage."
Kelas langsung meledak ribut.
"Eeeeh...? Tidak mungkin, kan?"
"Kalau Akemi-chan dan Tetsuya-kun sih tidak masalah—tapi Kasumi-san?"
"Benar-benar kombinasi yang buruk."
"Taruhan, Mikage-san pasti senang sekali."
Kasumi—sama kagetnya dengan mereka—tidak menyangka kalau dirinya akan dipasangkan dengan dua orang paling menonjol di kelas. Kecerdasan Akemi sudah terlihat sejak awal, dan Tetsuya adalah tipikal ketua kelas idaman. Sayangnya Kasumi belum pernah berhubungan dengan laki-laki lain selain kakaknya (itupun sangat jarang), dan berada di satu kelompok yang sama dengan Tetsuya membuatnya gelisah. Terlebih lagi prestasi Kasumi berada di tengah-tengah. Ia tidak pintar, tapi juga tidak bodoh.
Bayangkan, betapa gugupnya ia ketika menjadi sorotan seisi kelas.
"Senangnya, aku dan Kasumi-san bisa sekelompok." Akemi merangkul Kasumi—yang otomatis dipelototi satu kelas. "Iya kan, Tetsu-san?"
Laki-laki berkacamata yang dipanggil 'Tetsu-san' hanya mengangguk dan tersenyum tipis—walaupun senyum itu tidak mencapai matanya. Tampaknya ia tidak terlalu suka Kasumi menjadi anggota kelompoknya.
Kasumi tidak bodoh. Dia mengenali tatapan dingin itu lebih dari siapapun. Tatapan yang siap melontarkan penolakan kapan saja. "Memangnya tidak apa-apa?" tanyanya ragu.
"Tidak apa-apa bagaimana?" Akemi balas bertanya dengan kepala dimiringkan.
"Aku kan bukan orang yang menarik." Kasumi mengatur kalimat demi kalimat dengan hati-hati. "Tidak seperti Akemi-san dan Tetsuya-kun."
"Kita tidak akan tahu sebelum mencobanya, kan?" suara riang Akemi entah bagaimana sedikit menenangkan Kasumi. "Jangan terlalu pesimis begitu. Siapa tahu Kasumi-san bisa jadi lebih menarik lagi."
Tetsuya mengangguk, walau agak ragu. Helaan napasnya terdengar pasrah. "Kurasa Akemi-san benar. Mohon bantuannya, Kasumi-san." Ia mengulurkan tangannya pada Kasumi—yang dibalas dengan canggung.
"Saya juga... mohon bantuannya."
Tetsuya menjentikkan jarinya. "Omong-omong," ujarnya. "Kalian teman baik, kan?"
Kasumi kembali meragu—mereka memang cukup dekat, tapi ia tidak seberani itu untuk mengklaim anak terpopuler di kelas sebagai teman baiknya—namun Akemi menyambar dengan mantap. "Tentu saja. Kenapa?"
"Aku tidak tahu apa ini harus—tapi biasanya teman baik terbiasa saling panggil nama kecil." Tetsuya mengangkat bahu. "Entahlah."
Akemi terkesiap. "Yang benar?"
"Itulah yang kutahu. Setidaknya memanggil nama kecil bisa menghilangkan sedikit batasan-batasan."
Menghilangkan batasan, ya...
Kasumi yang dari tadi terdiam memberanikan diri untuk ikut menyahut. "K-kurasa Tetsuya-san benar. Apa ini artinya aku boleh memanggil Akemi-san dengan nama kecilnya?" melihat alis Akemi yang mendadak bertautan, ia buru-buru menambahkan, "Tapi itu pilihan Akemi-san, jadi kalau kau lebih nyaman kupanggil dengan—"
"Jangan panik begitu, Kasumi-san. Aku juga setuju, kok." Akemi mengangguk. "Tunggu. biar kucarikan nama panggilan yang bagus untukmu. 'Mikage'? Kedengarannya terlalu panjang—"
"Kage?" usul Tetsuya dengan suara rendah.
Kasumi terpaku di tempat. Bagai sulap, senyumnya sirna begitu saja.
'Kage', dalam bahasa Jepang berarti 'bayangan'. Dipanggil 'Mikage' saja sudah buruk—apalagi menekankan dua suku kata terakhir sebagai nama panggilan. Ia tidak ingin berburuk sangka, tapi... apakah orang-orang menatapnya sesuram itu?
Mungkin Tetsuya-san tidak sengaja, pikirnya gugup, bisa saja itu terbersit pertama kali di benaknya.
Dalam hati, ia berdoa—mudah-mudahan Akemi memahami kegelisahannya saat itu. Toh, gadis itu sudah melihat ketidaknyamanan Kasumi ketika bicara soal nama.
Sebaliknya, Akemi menanggapi usul itu dengan riang. "Benar juga." Senyumnya mengembang. "Aku akan memanggilmu 'Kage-chan' dari sekarang. Bagaimana?"
.
.
"Kage-chan," panggil Akemi.
Kasumi mengangkat wajah, masih sibuk mengunyah teriyaki-nya. "Hmm?"
"Aku punya ide bagus." Akemi mencondongkan tubuhnya ke arah Kasumi. "Bagaimana kalau siang ini aku mampir ke rumahmu? Kau tidak sibuk, kan?"
Ide itu sama sekali tidak terdengar bagus di telinga Kasumi—malah, ia nyaris tersedak ludahnya sendiri. "Kenapa tiba-tiba begitu? Apa ada sesuatu?"
Akemi memberengut kecewa. "Kenapa reaksinya seperti itu? Jangan-jangan kau tidak suka kalau aku mampir—"
"Bukan begitu. Hanya saja—" ia tercenung sejenak, berusaha menemukan alasan yang tepat sebelum bicara dengan suara pelan, "—aku sendiri belum pernah mampir ke rumahmu. Jadi rasanya agak aneh."
"Iya juga, ya?" Akemi menggumam sendiri. "Maaf. Saat itu aku terlalu sibuk mengurus kepindahan dan macam-macam, jadi, belum bisa menerima tamu. Tapi Kage-chan bisa datang kapan saja, kok."
"Janji?"
"Tentu saja! Senangnya, aku bisa jadi orang pertama yang menggeledah isi rumah Kage-chan," gurau Akemi.
Kasumi mau tidak mau ikut tersenyum. Tentu saja, memahami kenyataan kalau rumahnya akan digeledah bukan sesuatu yang menyenangkan—tapi, toh, dia bisa memperoleh kesempatan yang sama.
"Aku juga tidak sabar menggeledah isi rumah Eri-chan."
.
.
Yes, akhirnya si penulis absurd sengaja upload lebih cepat dari biasa. Berhubung sebentar lagi sudah harus balik kuliah, jadi sengaja agak ngebut nulis demi memuaskan diri. *ketawa jahat* setelah ini, update-nya akan sedikit lebih lambat, jadi stay tune dan pastikan cerita ini sudah ada di daftar bacaan kalian, ya!
absurd writer, signing out
For your information
Ittadakimasu : Selamat makan
Keigo: Bahasa formal
Secara umum, guru homeroom dapat disamakan dengan wali kelas di Indonesia. Guru ini bertugas mencatat kehadiran siswa, memberikan pengumuman-pengumuman, dan mengatur perencanaan kelas. Kelas homeroom sendiri diadakan pada pagi hari, pada awal jam pelajaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top