The Postman


Frank Chapman, seorang tukang pos berambut pirang gelap, memiliki mata biru memikat, dan tubuh kurus layaknya petinju amatiran. Bersiap untuk mengantar surat yang ia terima. Wajahnya sendu ketika menapakkan kaki di tanah basah sisa air mata langit yang turun semalam. Jiwanya terhanyut bersama nada embun khas pagi hari senyap, tak ada tiupan angin maupun sinar matahari menyapa, mereka seolah sepakat untuk bisu.

Frank, membawa puluhan surat di tas selempang gemuknya. Berwarna cokelat lusuh tanda perjuangan yang telah ia lalui. Peluh bertukar dengan rajutan halus seragam biru dongker khusus tukang pos yang ia kenakan ke manapun mengantar surat. Matanya tak berhenti melihat sekeliling, sunyi-hanya ada siulan lirihnya. Asap hitam menjadi panorama utama rumah-rumah yang fondasinya mulai hancur, aroma bubuk mesiu serta benda hangus tersiar menjadi satu. Membuat tengkuknya merinding seolah berjalan di kota mati.

Pemandangan Kota Blackburn tahun 1940, bukanlah pemandangan yang layak dipandang kedua mata. Ketika Jerman mengumumkan Perang Dunia-II. Perdana Menteri Winston Churcill, tidak mau mengambil risiko dan langsung mengumumkan lewat radio, bahwa rakyat Britania Raya harus mengungsi ke kota yang pengamanan militernya jauh lebih baik, seperti London atau Birmingham.

Tapi, tidak semua orang mendengar pesan tersebut. Frank, bisa melihat banyak warga sipil masih berdiam di rumah mereka yang sudah setengah hancur, bahkan ada beberapa mayat tertimpa reruntuhan bangunan. Inilah yang disuguhkan oleh perang, cinderamata jalang meninggalkan berjuta emosi, termasuk rasa sakit dan trauma akibat kekerasan yang berujung pada kematian sipil. Belum lagi di kota lainnya.

Frank, telah sampai pada salah satu rumah, penampakannya tidak jauh berbeda dengan rumah tetangga. Hancur lebur. Ia telah menggenggam sepucuk surat di tangannya, beralaskan kertas halus dan noda pulpen yang meluntur. Mata birunya bergerak membaca alamat dan jenis surat yang tertera.

"Satu lagi, surat dari militer." Ujar Frank, mencoba untuk menahan emosinya.

Setiap kali Frank membaca surat resmi yang dikirim oleh militer, tidak ada perasaan lain kecuali hati yang retak. Ia sangat membenci surat ini, selalu isak tangis yang pecah setelah anggota keluarga menerima sepucuk surat kematian tersebut-memang, tidak semuanya memberitahu akan kematian seorang prajurit. Namun, kebanyakan adalah K.I.A. (Killing In Action).

"Kiriman surat!" seru Frank seraya meneliti keadaan rumah kliennya.
Tidak ada jawaban, sampai akhirnya, seorang gadis cilik yang terlihat tidak lebih tua dari anak sepuluh tahun. Berjalan mengenakan kain lusuh untuk menghangatkan tubuh kecilnya, dia terlihat ragu; takut menghampiri Frank karena trauma pasca serangan militan Nazi.

"Tidak perlu takut, nak. Paman Frank orang yang baik," ucap Frank, menampilkan senyum di wajahnya yang memiliki bercak khas.

Gadis itu memberanikan diri, menjulurkan lengan kecilnya melewati sela-sela pagar kayu rumahnya. Mencoba untuk mengambil surat yang ditawarkan oleh Frank. Ia terlihat kesulitan, berulangkali menjengketkan jemari kecilnya, mengeluh kesakitan dan terus mencoba mengambil sepucuk surat hingga membuat Frank tertawa kecil.

"Siapa namamu, nak?" akhirnya, gadis itu berhasil menggapai suratnya, tentu saja dengan bantuan Frank.

"Abigail Swan," jawabnya parau, "Paman, bisakah kau membacakan isi surat ini?"

"Oh, di mana ibumu, Abigail?" Abigail, melihat sekeliling, seolah mencari sesuatu.

"Entahlah Paman, sudah seharian dia tak pulang." Seketika, hati Frank terasa seperti terhunus oleh pedang yang tajam. Sangat sakit, hingga air mata hampir saja membanjiri pipinya.

"Dengan siapa kau di rumah?"

"Tidak ada, Paman."

Frank berjalan mendekati Abigail, gadis kecil asal Blackburn dengan rona wajah sendu dan kesepian melanda harinya sebagai pejuang kecil yang rindu akan perdamaian dunia. Rindu akan bentangan lapangan lepas dengan rumput hijau harum yang menemani, seraya berlarian mengejar kupu-kupu, melihat ayah yang juga berpura-pura ingin menangkapnya, kemudian mereka berpelukan lalu menggambarkan imajinasi lewat serbuk awan selembut kapas yang terlihat sangat bersahabat dan meminum limun dingin buatan ibu, seusai lelah bermain dengan indahnya alam-yang tega dirusak oleh mereka. Manusia.

Frank mengelus lembut rambut kusut Abigail, terlihat helaian rambut yang rontok ketika Frank menatap jemari tangannya. Tubuh Abigail menggigil, tapi gadis kecil ini tetap berikeras ingin tahu tulisan yang ada di dalam surat tersebut.

"Paman, apa yang dikatakan surat tersebut?"

Frank tahu. Ayah kandung Abigail gugur dalam perang demi membela negaranya. Frank tahu. Abigail sudah tidak memiliki siapapun, kecuali kesunyian. Frank tahu. Jika ia harus berbohong, walaupun itu menyakitkan.

Frank kembali menyimpulkan senyum di wajah pucatnya, "ini hanya surat pemberitahuan bahwa perang segera berakhir, Abigail." Gadis itu bersorak, ia terlihat sangat senang seolah mendapatkan kenangan lamanya kembali.

Dan Frank tahu. Ia harus membunuh Abigail agar penderitaannya berakhir sebagai gadis sebatang kara. Frank masih menahan air matanya, mengambil sebongkah kayu untuk memukul Abigail, setidaknya dia memiliki niat baik untuk membantu mengakhiri penderitaan ini.

"Paman?"

"Jangan bergerak, nak."

"PAMAN!!"
***
Semuanya terjadi begitu cepat, suara gemuruh yang terdengar seperti petir menyerbu dataran sunyi Kota Blackburn. Sirine darurat berbunyi-meninggalkan situasi mencekam serangan mendadak Angkatan Udara Jerman yang tiba-tiba menyerang pekarangan sipil ini.
Frank membuang bongkahan kayu kasar itu, berlari seraya menggendong Abigail tepat di pelukannya. Bahkan ia masih setia membawa tas suratnya. Abigail menangis dan terus berteriak menyerukan nama ibunya. Frank hanya bisa berlari; menyelamatkan nyawa mereka berdua dari serangan keji tentara Jerman.

"Abigail, lihat aku! Kau akan baik-baik saja, aku janji ... aku berjanji padamu, Abigail!"

Seketika, Frank menyesali perbuatannya. Berusaha untuk menyalahkan kehendak Tuhan, merenggut nyawa seseorang sebelum waktunya. Frank benci pembunuhan, namun ia tega hampir saja membunuh nyawa anak kecil yang tak berdosa.

Mereka bersembunyi di salah satu lumbung tua, banyak jerami layu membuat kulit mereka gatal ketika tak sengaja menyentuhnya. Frank masih memeluk Abigail, suara gemuruh bom yang dijatuhkan oleh pesawat terdengar nyaring dan membuat tubuh mereka bergidik.

"Kau mau menyakitiku, Paman?"

Frank menatap mata hitam Abigail dalam-dalam, ia menyeka butiran ion sebesar biji kacang yang membasahi dagunya dengan punggung lengannya.

"Abigail ... Paman ...."

"Jangan sakiti aku, Paman." Tangisan Abigail kembali pecah.

"Maafkan Paman," kata Frank kemudian memeluk Abigail. Pelukan hangat yang sangat dirindukan oleh Abigail.

"Aku rindu ayah, aku ingin ibu kembali. Paman, aku takut."

"Paman akan selalu bersamamu, Abigail. Paman berjanji."

Suasana kembali sunyi, sirine pun membisu selang berjalannya waktu. Lumbung tua itu telah hancur lebur, hanya asap pekat dan percikan api meninggalkan kenangan tukang pos bernama Frank Chapman yang berusaha melindungi gadis sebatang kara bernama Abigail Swan.
Abigail, terbujur kaku di pelukan Frank. Dan Frank-berkorban sebagai tukang pos yang masih setia membawa surat dan tas gemuknya.

-the end-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top