The Decoy
Chicago, August 1980
Mobil Cadillac hitam melaju dengan kecepatan singkat pada lingkar luar jalan tol, mengikuti markah menuju perjalanan gelap menyapa setiap sudut jalan aspal yang membuat Detektif Yvone Grestide dan rekannya Detektif Parker Gil terpacu adrenalinnya, karena satu lagi pembunuhan terjadi di kamar apartemen.
Yvone, menguncir rambut panjangnya yang berwarna cokelat itu. Memikirkan kasus sama seperti modus pembunuhan sebelumnya. Ia menyesap kopi berperisa pahit menyengat lewat botol tumbler bertuliskan Chicago Cubs, botol minum favorit kekasihnya. Bibir merah ranumnya menyimpulkan senyum. Ia menangguhkan sugestinya mengenai kasus ini dan kembali mengingat masa-masa indah bersama sang kekasih termasuk kencan pertama dan lain sebagainya.
Parker, pria botak berkulit hitam dengan tubuh atletis dan paling tinggi dari polisi di Biro tempat ia bekerja. Tak sengaja menangkap rekannya yang tersenyum sendiri dan mengundang tanya di benaknya.
"Tidak sabar untuk menangani kasus ini, ya?" Yvone mengangguk pelan, tatapannya masih terpaku pada markah jalan yang terlihat senada dengan kecepatan mobil mereka.
"Parker, bagaimana kabar si kecil Derrick?"
"Ya, tadi pagi aku menelponnya dan dia baik saja," jawab Parker suaranya sedikit bergetar ketika mengingat anaknya.
Masalah rumah tangga yang rumit terpaksa membuat Parker harus menahan rasa rindu yang sangat menyayat hati, seperti dikuliti hidup-hidup. Parker, sangat merindukan anak semata wayangnya. Terakhir mereka bersenang-senang ketika menonton film Star Wars : Episode IV di bioskop dekat Kota Philladelphia dan itu sudah 2 tahun lalu.
Ia menggenggam erat roda setir lembut itu, menahan emosi yang terpendam dalam rekam jiwanya karena merindukan darah dagingnya yang telah lama berpisah dengan kasih sayang sang ayah.
"Maaf aku mengungkitnya," kata Yvone wajahnya melesu, "mau kopi?"
Parker, menggelengkan kepala dan kembali fokus dengan misi mereka-desiran angin malam yang menyengat kulit membangun kesan tersendiri suasana khas kota paling berangin di seluruh negara bagian Amerika.
***
Mereka sampai di sebuah apartemen bagian paling utara Kota Illinois, Chicago. Orang-orang berkumpul dan saling melempar opini ketika polisi dan mobil mereka yang rotatornya berkedip mewarnai situasi mencekam pasca-pembunuhan.
Garis polisi telah mengisolasi TKP, kedua detektif ini langsung masuk ke dalam apartemen minimalis dengan warna cat dasar putih kusam serta ornamen yang kurang terawat.
Salah satu inspektur yang tiba di tempat kejadian 30 menit sebelum Yvone dan Parker, langsung menyuruh kedua detektif ini mengidentifikasi dan mengolah bukti-bukti yang ada demi mengembangkan hipotesa.
Derap langkah kaki saling bertukar di atas lantai kayu ek. Inspektur senior yang rambutnya mulai beruban bernama Miller itu langsung memberi petunjuk paling akurat mengenai jejak kriminal tersangka dan modus operandi yang dilakukan.
"Detektif, sebelum kalian memeriksa jasad korban aku sangat senang jika kalian membaca berkas ini," ujar Inspektur Miller seraya memberi berkas itu.
Yvone, membacanya dengan saksama diikuti rekannya yang berdiri tepat di sisinya. Ia merasakan balutan halus kertas duplex dan bau pena langsung menyapa ketika membuka berkas 'classified' tersebut, ternyata tersangka yang kasusnya pernah mereka tangani sebelumnya.
"Apakah aku boleh berspekulasi, jika culprit ingin membalas dendam karena kasus pembunuhan berantaianya pernah kita pecahkan?" tanya Yvone, tatapannya masih terpaku pada berkas.
"Anggap saja kau bolos sekolah hari itu dan ada temanmu yang melihat kemudian melaporkannya ke kepala sekolah, apa yang akan kau lakukan?" Yvone menaikkan bola matanya ke atas-seolah memikirkan jawaban analogi yang tepat.
"Aku akan kabur dan mencarinya," Parker menjentikkan jarinya, "analogi yang unik Detektif Gil."
Yvone, mengembalikan berkas itu ke tangan Miller yang berkerut. Kemudian, mereka masuk ke langkah selanjutnya. Mengidentifikasi jasad untuk mecari jawaban atas pembunuhan ini. Di sana, ada 3 petugas dua di antaranya adalah tim forensik dan satu lagi asisten Inspektur Miller. Mereka beritga meninggalkan tempat kejadian setelah Yvone dan Parker masuk ke kamar.
Terdapat bercak darah yang menodai tembok, pembunuhan ini terlihat sangat kotor dan berantakan. Ruangan kamar terasa panas memaksa kedua detektif melepas coats hitam mereka dan menyisakan kemeja putih beraromakan peluh.
Seperti biasa, Detektif Yvone melakukan analisis singkat mengenai tempat kejadian bermaksud untuk adaptasi-sementara Detektif Parker memeriksa bercak noda darah yang ada tanpa menyentuhnya, walaupun ia telah mengenakan sarung tangan steril, aromanya masih sangat kental dan menyengat menandakan pembunuhan ini baru saja berlangsung.
Akhirnya, mereka beralih ke tempat jasad korban ditemukan. Yvone dan Parker, saling melempar tatapan serius, tidak ada sepatah kata keluar kecuali deritan daun pintu ketika Parker mendorong gagang pintu kamar mandi yang dingin untuk membukanya-entah mengapa tim forensik menutup kembali pintu ini.
Nampak tubuh mayat perempuan setengah telanjang tergeletak di atas bathtub, meninggalkan sejuta misteri dengan keadaan yang mengenaskan. Matanya membelalak, bagian leher membiru dan tujuh jari tangannya menghilang karena dipotong oleh tersangka. Bercak darah terlihat sangat berantakan dan bau anyir ditambah toilet yang pesing hampir membuyarkan fokus kedua detektif ini.
"Tadi sebelum masuk kemari, ada laporan tambahan Miller yang didapat dari tim forensik dan ini belum bocor ke ranah pers," ujar Parker jantungnya berdegup dan ia merasa mual ketika melihat kondisi jasad, walaupun ia sering menangani kasus seperti ini.
"Lanjutkan."
"Nama korban H.A mahasiswi yang mengenyam pendidikan sarjana pada Program Antropologi. Tidak ada hubungan apa-apa dengan culprit, hipotesa sementara culprit mencari korban dengan acak. Pemeriksaan awal, forensik dapat menyimpulkan korban dibunuh dengan cara dicekik, karena ada memar pada tulang hiodidnya. Bukan tali atau benda tajam yang digunakan untuk mencekik, melainkan legging. Barang bukti sudah diangkut oleh polisi untuk diperiksa lebih lanjut, antara lain sampel darah, sidik jari, dan legging. Tidak ditemukan bekas sperma, namun ketujuh jari tangannya hilang." Jelas Parker.
"Kau tahu apa yang membuatku penasaran?" Parker mengangguk seraya melihat bercak darah yang ada di tembok tepat di atas jasad korban.
Bercak darah itu meninggalkan pesan berantai bertuliskan, "The One Who You Loved" lalu ada anak panah menunjuk tepat ke arah jasad korban.
"Orang ini benar-benar membenci kita," kata Yvone memecah keheningan.
"Kau ingat, tersangka kita ini adalah Psychopath yang gila akan darah muda, anti-sosial yang benci dengan kaum minoritas. Kita memiliki banyak bukti untuk mengalahkannya kedua kali, untuk kasus satu ini. Tidak ada alasan lain kecuali dendam pribadi."
"Berhenti berspekulasi, Detektif Gil," Yvone memandangi rekannya yang sudah bermandikan peluh, "pasti ada jalan keluarnya."
"Tapi, bagaimana jika pesan itu adalah sebuah ancaman? Kita harus fokus dengan korban selanjutnya!" perkataan tersebut berhasil membuat Yvone menatap kembali pesan itu.
Situasi memanas-baik Yvone atau Parker, mereka berdiam diri dan hanya mengintimidasi lewat tatapan bisu. Tiba-tiba, Miller berlari dan berteriak ke arah dua detektif itu.
"Detektif! Kami menemukan bukti baru!" serunya, "ikut aku!"
***
Secercah harapan terselubung pada gelapnya misteri pembunuhan pesan berantai ini. Yvone merasa bingung karena Miller mengajaknya ke tempat mereka memarkir mobil Cadillacnya. Ketegangan kembali terjadi, saat mereka menemukan sebuah amplop cokelat di kap mobil mereka dan di dalamnya terdapat secarik kertas beserta 7 ujung jari yang diduga milik korban.
"Inspektur, perintahkan anak buahmu untuk memeriksa keramaian. Aku punya firasat ia masih berbaur pada kerumunan itu," pinta Parker.
Dinginnya malam di Kota Chicago menusuk tulang punggung mereka, sebuah anagram tersusun ditambah 7 ujung jari yang ditemukan langsung terpecahkan oleh kedua detektif, karena culprit membuat teka-tekinya sendiri, namun memecahkannya sendiri-dia tidak ingin kasusnya kembali terpecahkan oleh penegak hukum.
"Apa yang kau dapat dari petunjuk ini?" tanya Parker.
Culprit, menempel jari itu dengan isolasi dan membentuk sebuah petunjuk. Yvone membaca surat tersebut. "2/5, Chicago 1977." Ketujuh ujung jari tersebut, disusun oleh culprit menjadi sebuah tanggal, sementara Chicago dan tahun 1977-nya adalah tulisan dari pena.
"Apa maksud dari 2/5, Chicago 1977?" Yvone diam tak berkutik, matanya berkaca-kaca.
"Aku harus menelponnya."
"Apa kau bilang?" nada suara Parker meninggi.
"Gil! Aku harus menelpon kekasihku."
"Jangan berspekulasi, Yvone kau harus fokus dengan korban selanjutnya!"
Yvone, berlari mencari telepon umum, beberapa pers yang tiba mulai menyorot detektif wanita berumur 25 tahun berkulit putih dengan rambut sebahu itu meninggalkan keramaian publik dengan panik.
"Yvone, apa maksud dari surat tersebut!?"
"Itu tanggal jadiku dengan Britney, aku harus memperingatkannya ... dia sedang dalam bahaya!" Parker berhenti dan membiarkan Yvone berlari meninggalkannya.
Yvone memasukkan kepingan koin untuk menelpon kekasihnya, menekan angka dengan tergesa-gesa di situasi mencekam-wajahnya memucat. Ia mencoba untuk menahan tangis dan membiarkan butiran peluh membasahi keningnya.
Telepon terangkat, suara napas berat menyapa Yvone.
"Britney! Dengarkan aku ... pergilah ke rumah tetanggamu, katakan padanya bahwa ini perintah dariku. Britney ..."
Yvone terdiam membatu. Hanya ada suara tawa iblis dari seberang sana yang menggema di telinganya seperti lonceng kematian.
-END-
Footnotes :
Culprit : Dalang di balik sebuah kasus
Hipotesa : Dugaan sementara
Anagram : Huruf acak yang menjurus pada sebuah petunjuk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top