Outside (Cloudy Land Spin-off)
The Story of Tanya Shaw
Aku mengerti bahwa berbohong adalah sebuah metode untuk mencari jalan pintas dengan cara yang tidak sehat. Mungkin dalam kurun waktu tertentu kau merasa lega dan aman. Namun, saat kebohongan itu terungkap. Jangan harap kau dapat bernapas seperti sedia kala. Teror batin lebih mengerikan ketimbang rasa sakit yang membesit fisik.
Setidaknya aku mendapat kuliah singkat itu dari Ethan Shaw. Abangku, yang secara harfiah pernah merasakan dikhianati oleh orang yang sangat disayang. Bahkan dia sampai tidak percaya bahwa rasa sakit itu hadir dari pacarnya sendiri. Katanya 'lucu' tetapi aku mengerti bahwa maknanya sangat menyakitkan. Sejak saat itu, Ethan lebih terbuka denganku. Jujur, aku belum pernah merasa intens mengobrol dengan abangku sendiri. Ternyata ucapan selamat tinggal tak selalu menyisakan sarat negatif.
Hehe ...
"Tanya, kamu sehat, apa kabar?"
"Aku baik Ethan, terima kasih. Kau sendiri?"
Akhir pekan merupakan suatu perayaan yang menyenangkan tidak hanya bagi keluarga Shaw. Aku berani bertaruh semua keluarga di dunia ini merasakan hal yang sama. Walaupun demikian, Ethan tidak bisa berkumpul bersama kami.
Dia tinggal di Austin, Texas demi melanjutkan pendidikannya. Austin? Serius? Dulu aku berpikir seperti itu. Ethan juga beralasan bahwa dia membutuhkan suasana baru setelah putus dengan pacarnya. Brittanny. Si pirang biadab.
Ayolah, tidak ada salahnya bukan jika membela kakakmu?
"Ethan, serius deh kamu harus memotong rambut sepertinya," pintaku karena risih dengan penampilan rambut panjangnya itu.
Dia hanya tertawa dari seberang sana. Aku paham maksud dari tawanya itu; tawa yang bermakna TIDAK.
"Hei, aku baru saja jadian dengan cewek ini. Dia menarik dan tingginya sama dengan kamu. Dia juga memiliki sifat yang baik dan pola pikir luar biasa. Kau pasti akan menyukainya."
"Benarkah? Siapa namanya?"
"Raven Aldridge. Dia juga dari Bruinswick, sama seperti kita!"
Aku senang mendengarnya dalam artian dia dapat merelakan Brittanny. Kau tahu? Pasca kepergian cewek pirang itu, Ethan sempat dilabel tidak sehat secara mental. Ia melampiaskan amarah dengan mabuk, merokok ganja, bermain game dari pagi samapi bertemu pagi lagi.
Aku khawatir dengannya. Sampai suatu saat Ayah kami mengajak Ethan untuk pergi berburu dan memancing di danau Florida yang tak jauh dari kediaman kami di Bruinswick. Oh, aku juga ikut ke sana.
Selama perjalanan Ethan sengaja meringkup dalam jaket parasutnya tanda bahwa ia tidak ingin diusik. Tentu saja. Aku duduk di jok tengah sementara Ayah di depan bersama anak sulungnya itu. Menikmati pagi yang sejuk menyapa kami di pinggiran Kota Florida. Mendengarkan suara radio dengan volume kecil yang suaranya tenggelam dalam dengkuran mesin mobil kami, walaupun begitu aku masih bisa mengidentifikasi musik yang tengah diputar oleh saluran radio. Everything's Not Lost - Coldplay.
Awalnya, aku pesimis dengan perjalanan ini bersama niat kami untuk memulihkan mental Ethan. Iya lah, aku hanya gadis 16 tahun. Little I know about this world.
Namun demi kakakku, Ethan. Yah, aku mencoba untuk optimis.
Ayah mulai membuka percakapan saat itu. Berawal dari keluhannya selama bekerja sebagai Assisten Manajer bidang Peralatan Berat di Home Depot. Gajinya tak seberapa, tuntutan ekonomi yang semakin membengkak, tagihan pajak dan kebutuhan logistik yang menggunung. Siapa yang tega mendengar itu? Akhirnya, Ethan membuka ritsleting jaketnya. Aku duduk seraya membenamkan kening di kaca mobil kami yang dingin. Menatap jalan raya yang diapit oleh pepohonan indah seolah melambai ke arah kami.
Kalimat yang terlontar dari mulut Ayah berhasil meninju hatiku.
Tetapi, Ayah tetap santai menanggapinya. Mungkin jika aku berada di posisinya, aku sudah menangis guling-guling minta pertolongan orang lain. Ayolah, aku hanya gadis 16 tahun. Ingat itu!
Sampai akhirnya Ayah memberanikan diri mengeluarkan beban hidupnya yang paling berat. Pikiran yang telah ia pendam selama 2 tahun belakang ini. Kisah pilu itu. Kisah yang belum pernah kami dengar langsung dari suaranya yang berat karena Ayah bukanlah tipe yang suka bercerita melainkan pendengar yang baik.
Kepergian Ibu kami 2 tahun silam karena peluru nyasar.
Ya, Ibu adalah seorang wartawan untuk salah satu media di Negara Bagian Florida. Saat itu, ia sedang melaporkan sebuah kejadian penyergapan teroris di rumah mantan Gubernur Florida. Polisi telah menyatakan situasi aman dan pers boleh meliput.
Di sanalah kesalahan mereka. Andai aku dapat memutar waktu, pasti aku berteriak bahwa masih ada penyergapan dadakan yang dilakukan oleh para teroris itu. Jika aku bisa melihat Ibu lagi, pasti aku akan menyuruhnya untuk tetap tinggal di rumah, namun, aku hanya bisa berandai.
Satu perkataan yang paling kuingat dari Ayah adalah, "Aku tidak menyesali pekerjaannya bahkan aku telah memaafkan orang yang menembak Ibu. Yang tak bisa kupendam lebih lama lagi adalah aku sangat merindukan Ibumu."
Dan berhasil. Ayah berhasil membuatku dan Ethan menguras air mata pada Minggu pagi yang cerah itu.
Lalu Ayah menepikan mobilnya. Bukan karena ban kami bocor atau bensin tiris. Ia menepi karena ingin memeluk kami berdua dan mencium kening kami. Sungguh, tindakan itu membuat perasaan benciku terhadap para teroris itu tergerus hilang. Bahkan, sangat membantu Ethan dengan penyembuhannya. Ya, sekarang Ethan paham bahwa bukan dirinya saja yang memiliki masalah yang ekstra berat. Lagipula, suatu masalah juga bukan akhir dari segalanya.
"Tanya, jika kamu menerima sebuah paket dariku. Langsung hubungi aku lagi ya setelah kamu membukanya."
Eh-ucapannya berhasil membuat jantungku berdebar. Kalian harus tahu ini. Aku bukanlah orang yang suka dengan suatu perasaan bernama 'Penasaran'. Karena penasaran bisa saja 'membunuhmu'. Tidak perlu contoh, intinya aku tidak suka dengan perasaan itu.
"Ethan, apa maksudmu?"
Tuutt!
Sial, dia sudah menutup telponnya, batinku. Apa boleh buat, aku hanya bisa menunggu paket 'sialan' itu tiba. Aku menaruh gagang telpon hitam itu kemudian berjalan perlahan ke ruang tv bersama decitan lantai kayu ek yang kupijak. Mungkin kebiasaan menonton Gossip Girl bisa membantuku untuk membunuh waktu. Tapi, sumpah ya, aku tak bisa berlama-lama berkencan dengan rasa penasaran. Detik di jarum jam meledekku. Tiba-tiba dia bergerak lambat. Tidak seperti saat kau bangun pagi hendak pergi ke sekolah.
Menyebalkan.
Aku menggonta-ganti tayangan dengan remot hitam milik Ayah. Bersandar dan mencoba untuk mencari titik nyaman di sofa kulit yang empuk ini. Oh, dulu saat Ethan masih tinggal bersama kami. Dia sering ketiduran di sofa abu-abu ini. Menonton acara American Football dan Nascar yang sangat-amat-membosankan. Demi Tuhan, aku harap Raven betah dengan selera program tv abangku.
Berulang kali aku berpaling ke dua objek. Jam dinding berlogo Home Depot yang Ayah beli dengan harga cuma-cuma (padahal Ayah bekerja di sana) dan tayangan Gossip Girl yang sedang dinikmati.
Ayolah! Masa baru 5 menit sejak aku selesai telponan dengan Ethan?!
Lalu daun telingaku bergerak otomatis setelah mendengar ada seseorang yang masuk ke rumah hingga meninggalkan bunyi berdecit yang panjang.
"Ayah, pulang!"
Aku menengok ke arah pintu kayu rumah kami yang setengah terbuka menyuguhkan pemandangan siang hari di Kota Bruinswick yang sibuk sementara angin kencang menerbangkan butiran debu ke angkasa dan Ayah yang masuk membawa sebuah kotak-tunggu, apakah kotak itu ...
"Hei, senang kau pulang cepat di akhir pekan ini," ujarku seraya menolongnya membawakan kotak yang ia peluk sedari tadi.
Ayah menghela napas panjang lalu tersenyum kepadaku dan melepaskan dasi yang tersimpul di kerah kemejanya. Belum selesai, dia mengacak-acak rambutku. Kebiasaannya memang.
Aku membaca tulisan yang tertera di kotak itu. Aku mengejanya dengan perlahan karena aku membawanya terbalik, "Paket untuk Tango Alpha November Yankee Alpha." Aneh? Mengapa namanya panjang sekali ya. Padahal, alamatnya persis seperti tempat tinggal kami. Sepertinya ini bukan dari Ethan. Melainkan rekan kerja atau bos Ayah.
Rasanya ingin sekali aku mengembalikan paket itu ke dekapan Ayah.
Menyebalkan.
"Tadi aku menelpn Ethan. Dia tidak mengatakan kapan akan kembali ke sini dan dia bilang akan ada paket untukku. Namun, paket itu belum datang, Yah."
Ayah menatapku heran sementara suara percakapan yang samar dari tayangan Gossip Girl terdengar mewarnai siangku yang membingungkan.
"Benarkah? Coba kau baca ulang paket itu, Tanya," jawabnya sambil melipat lengan kemeja putihnya yang meninggalkan bau cologne itu.
Aku menurut dan membaca tulisan itu kembali. Tetap saja, aku tidak mengerti. Malahan nama Tango Alpha yada-yada-yada itu membuatku semakin bingung. Lalu, Ayah menaruh ujung telunjuknya ke atas paket itu. Mataku mengikuti gerik dari telunjuknya yang menekan tiap abjad paling depan dari kalimat itu. Aku mengejanya dalam hati.
"T."
"A."
"N."
"Y."
"A."
"TANYA. PAKET UNTUK TANYA!"
Akhirnya setelah kurang lebih 5 menit aku menunggu, paket itu tiba juga. Aku berlari kembali ke ruang tv dengan maksud untuk membuka paket bukan melanjutkan tayangan Gossip Girl. Ayah terkekeh dari tempat sama-di depan mulut daun pintu masuk rumah kami. Namun, konsentrasiku sudah bulat akan membuka paket 'sialan' ini!
Aku mengendus bau kertas cokelat yang membungkus isi paket lalu menggoyangkannya memastikan isinya bukan barang pecah belah. Eh, kalau barang pecah belah bukannya malah pecah, ya? Astaga, aku lupa.
Akhirnya aku membuka paket itu. Suara sobekan kertas pembungkus membuatku semakin penasaran. Secara teknis, ya, semakin kau melihat isi paket/hadiah semakin penasaran juga dirimu. Teori singkat oleh Tanya Shaw.
Sebuah buku novel Game of Thrones, sweater rajutan berwarna biru gelap, dan ... astaga, dua buah tiket pesawat terbang pulang-pergi, California-Florida ditambah dua buah tiket Disneyland, California! Disneyland, serius?!
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku memegang kepalaku, memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.
"Coba kau baca isi pesannya, Tanya," kata Ayah yang sudah berdiri di belakangku.
Surat itu ditaruh di atas sweater. Lalu, aku membacanya dengan lirih setidaknya Ayah mendengarkanku daripada tayangan Gossip Girl.
"Dear, Tanya Shaw. Kejutan! Sebenarnya aku telah merencanakan hadiah ini dari jauh-jauh hari. Lalu, Raven membantuku. Fun Fact, aku dan Raven telah jadian lebih dari 6 bulan, maaf baru memberitahumu. Sudahlah, itu tidak terlalu penting. Aku harap kamu menyukai hadiah ulang tahun ini, Tanya. Alasanku membelikan novel Game of Thrones, entahlah, aku pikir kamu menyukainya karena kamu sangat tergila-gila dengan Jon Snow dan kamu harus tahu siapa Jon Snow dari awal? Soal sweater rajutan itu. Paman Guillermo yang menjahitnya, beliau adalah teman dekat pacarku, Raven, aku tahu kelihatannya sederhana tetapi aku harap kamu menyukainya. Terakhir, dua buah tiket Disneyland untukmu dan Ayah. Tidak usah dipikirkan bagaimana semua itu bisa terencana dan aku mendapatkan uang dari mana. Lagipula, aku tidak mencuri dan tentu saja Raven membantuku dalam hal ini. Pada intinya, aku hanya ingin melihat senyum terpancar dari bibirmu dan Ayah karena kebahagiaan kalian tak dapat diukur dengan materi. Aku tahu Ibu pasti senang melihat ini dari atas sana. Selamat ulang tahun yang ke-17 untuk cewek berambut hitam panjang, dengan mata bulat yang sayu dan dua gigi kelinci yang menggemaskan a.k.a Tanya Shaw!"
Sial, ucapan itu manis juga. Jika Ethan ada di sini sekarang aku pasti sudah memeluknya. Untung saja dia tidak berada di sini.
Namun, aku memeluk Ayah sebagai pengganti Ethan. Aku tidak ingin melepaskannya. Aku rindu Ethan. Aku tidak mau menangis karena hal manis seperti ini. Aku senang sekali.
"Aku menyayangimu, Tanya," kata Ayah lirih seraya mencium ubun-ubun kepalaku.
"A-aku ... aku juga menyayangimu," jawabku tersedu. Sial aku tidak bisa menahan air mata ini. Ayolah, aku sudah 17 tahun sekarang.
Aku masih memeluk Ayah. Aku sangat menyayanginya juga Ethan. Aku harap Ibu dapat menyaksikan keharmonisan ini. Karena aku lebih merindukannya daripada apapun yang ada di dunia ini.
***
Darah yang menghitam itu tumpah mengenai sebagian dari wajah dan lenganku. Sementara suara letusan senjata dan teriakan orang-orang makin santer terdengar membuat telinga peka dan bulu kudukku bergidik ngeri.
Sekali lagi aku menengok ke tempat Ayah telah terbujur kaku dengan kepala yang bolong akibat timah panas menembus tengkoraknya. Darah masih deras bercucuran dari lubang kepalanya seperti air mancur kematian. Aku tidak bisa berkata. Aku hanya diam, ketakutan dan bingung. Syok melanda syarafku sehingga tubuh ini sulit untuk berkompromi. Butuh beberapa menit agar diriku pulih dari syok yang mengerikan ini.
"Hei, nak! Ayo kita pergi ke tempat evakuasi. Lokasi ini sudah tidak aman!"
Aku mendongak ke tempat sumber suara. Seorang polisi wanita yang wajahnya sudah pucat dan sepucuk pistol yang masih meninggalkan asap diujungnya tanda baru saja ia merenggut nyawa pria yang aku sayang-Ayahku.
Aku masih tidak bisa menggerakkan kakiku bahkan untuk berbicara pun sulit. Saluran televisi yang masih menyala di ruang tamu rumah kami menyiarkan tayangan darurat. Hanya meninggalkan sebuah tulisan, suara sirine yang mengerikan dan seorang pria yang sesekali menegaskan bahwa pemerintah telah mengumumkan bahwa negara kami telah dilanda virus mematikan. Virus itu membangkitkan yang mati dan menyerang jiwa yang hidup untuk bergabung menjadi 'satu dari mereka'; Zombi.
Nampak bekas gigitan di lengan Ayah semakin melebar. Kemarin tetangga kami, seorang anak kecil bernama Janssen tiba-tiba mengamuk dan menyerang kedua orang tuanya. Sebagai tetangga yang baik Ayah mencoba untuk menolong namun ia terkena gigitan Janssen. Aku tidak akan menyangka bahwa gigitan anak itu mengandung virus zombie yang sedang dipermasalahkan oleh negara kami? Aku tidak tahu?!
"AYAH!"
Akhirnya aku berhasil berteriak setelah polisi wanita itu membopongku keluar dengan harapan dapat membawaku ke tempat evakuasi dini. Namun, jeritanku tenggelam di dalam lautan kekacauan antara letusan senjata dengan jeritan manusia yang kesakitan. Aku merinding setengah mati. Inikah kepingan neraka versi dunia?
Ayah semakin menghilang dari tatapanku. Polisi itu memasukanku ke dalam mobilnya dan tanpa basa-basi ia melaju cepat menysuri ruas jalan penuh dengan zombi, anggota polisi dan darah.
Bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang telah kami perbuat sehingga Engkau murka?!
Aku hanya bisa menangis di dalam hiruk pikuk kekacauan ini. Bahkan aku tak berani menatap apa yang terjadi di luar sana namun suara-suara itu tidak bisa bohong. Sebuah tayangan horor yang asli dan mengerikan.
Polisi itu mematikan radio mobilnya yang menyiarkan saluran darurat. Lalu, ia menatapku dalam-dalam seolah memastikanku baik-baik saja.
"Aku tidak tahu siapa kau," katanya dengan suaranya yang agak bergetar, "Tetapi aku akan memastikan bahwa kau akan baik-baik saja."
Aku tidak langsung menjawab. Namun syarafku sepakat dengan tawarannya.
Satu hal yang membuatku masih merasa ngeri adalah bagaimana virus itu mencoba untuk mengendalikan Ayahku-orang yang paling aku sayang hingga ia tega hampir menggigitku-bahkan bau darahnya ini yang masih tertempel di hidungku ... Astaga ...
Ethan, di mana kau?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top