Neo-Assasin (Cloudy Land Spin-off)
(Another Cloudy Land Spin-off)
Aku tidak akan melanjutkan kisah bagaimana diriku bisa berada di arena duel terbuka ini. Di mana orang-orang menyorakiku dan lawanku untuk membunuh satu sama lain. Bagaimana mereka semakin menggila ketika kami menghajar hingga pertumpahan darah dan tulang yang patah menjadi pemandangan yang menakjubkan bagi orang-orang itu.
Namun, aku akan memulai menceritakan kisah tentang siapa aku di masa lalu. Sebelum semua ini terjadi. Kanibalisme yang tidak lagi tabu, manusia saling membunuh untuk bertahan hidup dan penyebaran virus zombi yang masih belum menemui obat penawar sebagai titik terang.
Aku hanyalah seorang gadis kecil berumur 9 tahun yang tinggal dan besar di Panti Asuhan Detroit. Tidak banyak yang bisa kunikmati semasa kecil dulu. Namun, tumpukkan perandaian adalah santapan sehari-hari bagiku.
Aku tidak tahu siapa Ayah dan Ibu kandungku. Mereka, para pengurus panti, telah menemukanku di depan pintu masuk ketika aku masih bayi dengan sepucuk surat bertuliskan tangan "Athena". Awalnya, aku terbiasa. Namun, semakin aku tumbuh besar. Ternyata, perasaan itu seketika muncul.
Bagaimana ...
Bagaimana rasanya memiliki orang tua sungguhan?
Apakah benar mereka selalu menyelimutimu tiap malam sebelum tidur seraya mengucapkan selamat malam dan menyatakan rasa sayang dengan kecupan di kening? Apakah benar mereka akan memberikanmu hadiah istimewa tiap hari natal dan menceritakan dongeng mengenai Sinterklas agar kalian semangat menyambut hari itu?
Aku tidak tahu. Tetapi, tiap malam sebelum tidur aku selalu berdoa untuk diadopsi. Setidaknya aku bisa merasakan kasih sayang dari orang tua walaupun mereka bukan Ayah dan Ibu kandungku.
"Hei, sedang apa?"
Suara itu membuatku mendongak dari posisi berdoa yang sedang aku lakukan di pinggir ranjang. Karena memang, ranjang susun ini membuat perempuan itu sangat suka menghabiskan malam di ranjang atas. Dia Laira, sahabatku di panti ini. Perempuan berambut pirang gelap di atas bahu yang umurnya dua tahun di bawahku.
"Berdo'a," jawabku kemudian kembali menunduk.
Kali ini terdengar suara decitan ranjang dan suara aduh yang singkat. Ternyata, Laira mencoba untuk turun dari sana dan bergabung bersamaku untuk berdoa. Tebak saja, dia terlalu pecicilan dan terjatuh dari tangga kecil ranjang kami. Aku terkekeh pelan namun tidak membantunya berdiri. Walaupun ia sedang memegangi lututnya yang ngilu itu.
"Athena," panggilnya manja.
Baiklah, baiklah, batinku. Kemudian aku beranjak dari simpuhanku dan membantunya berdiri. Beberapa hal yang aku sukai darinya adalah Laira gadis paling berani, energik, memiliki rasa ingin tahu tinggi dan paling cerewet daripada anak-anak panti lainnya.
Namun satu hal yang membuatku selalu ingin melindunginya, Laira merupakan anak yang berani tampil beda daripada anak panti yang lain termasuk diriku. Walaupun pada akhirnya ia dijauhi karena aneh.
Aku tidak peduli dengan itu. Malahan, aku menganggapnya sebagai adik kandungku sendiri. Tingkah laku dan candaannya membuat hidupku penuh warna memberikan kesan bahwa kau tidak perlu menganggap rasa bahagia hanya untuk anak-anak yang memiliki orang tua.
Ya, setidaknya hal-hal ini yang telah kupelajari dari sifat Laira yang super nakal.
"Sekarang waktunya kita berdo'a," ajakku kemudian kembali bersimpuh kali ini ditemani Laira.
Anak itu memang tidak bisa diam, berulang kali ia menggaruk kakinya lalu berdehem saat aku mencoba untuk fokus pada kalimat-kalimat suci. Sesekali aku menyikut Laira pelan bermaksud untuk menegurnya.
"Aku ingin makan hamburger sepuasnya besok, bertemu orang tua baru jika mereka mau mengadopsiku, meminta jatah cokelat dari tetangga ..." aku melirik dengan salah satu mataku, melihat Laira berdo'a tidak dalam hati. Aku berdecak kesal, sebelum menegurnya lagi, bunyi do'a terakhir Laira membuatku bungkam.
"Aku harap Athena selalu mendapat keberuntungan. Dia sudah seperti kakak bagiku, aku sangat menyayanginya. Aku ingin Athena bahagia bersama keluarga yang akan membawanya pulang, ke rumah barunya besok."
Lantas aku kembali memejamkan mata mencoba untuk tidak melekatkan tatapan kami karena Laira tahu aku sedang memerahatikannya. Rasanya hatiku sangat tersentuh. Malam ini adalah kali terakhir kami satu kamar. Aku mencoba untuk menahan diri agar tidak memeluknya secara mendadak karena Laira merupakan tipe anak gadis yang sangat sensitif—bisa-bisa dia menangis kalau aku melakukannya.
"Kau sudah selesai?" tanyanya.
Aku mengangguk lalu menyuruh Laira untuk beranjak ke ranjang agar kami bisa tidur. Ia tidak menolak. Suara decitan itu kembali terdengar setelah Laira menginjak tangga kecil ranjangnya. Aku menaruh kacamata hitam ini di meja bundar dekat pintu masuk. Penglihatanku menjadi agak kabur setelahnya.
Kemudian aku merebahkan badan dengan posisi telentang memikirkan lagi kata-kata Laira. Sungguh tidak adil. Walaupun Laira pecicilan tetapi dia anak yang baik. Sumpah aku tidak main-main. Sementara aku yang dikenal tak acuh dan apatis mendapat kesempatan ini.
Namun mengapa aku yang diadopsi?
"Athena, kau sudah tidur?"
"Belum," jawabku, "Tidurlah, Laira, kau tidak ingin demam karena tidur terlalu larut, bukan?"
Laira menempelkan dagunya di penyangga besi yang dingin. Sepertinya ia hendak mengutarakan isi hatinya. Aku hapal dengan gerak-gerik itu—wajahnya agak memelas, pupil matanya membesar kemudian menghela napas panjang.
"Aku tidak mau tidur, aku masih ingin menghabiskan waktu bersamamu. Besok kau sudah pergi," ujarnya kemudian.
"Hei, jangan berkata seperti itu lagipula aku masih bisa mengubungimu kapan saja."
Laira melihatku dari atas sana. Matanya berkaca-kaca.
"Ya, aku harap begitu," balasnya lirih.
Pada saat-saat seperti ini aku harus beranjak dari ranjang dan menenangkannya. Aku memanjat ke ranjang milik Laira. Ia mengulum bibirnya sendiri mencoba untuk menenangkan dirinya.
Lampu kamar kami berada di tengah agak jauh dari posisi ranjang sehingga aku dan Laira tidak perlu khawatir silau. Sekali lagi, aku menghela napas panjang, merangkai kata agar tidak salah dimaknai olehnya.
"Baiklah, apa yang membuatmu gelisah?"
Kalian harus tahu apa yang terjadi selanjutnya. Laira melompat ke arahku. Ia memelukku sambil menangis. Tahan, Athena, tahan, batinku.
"Jangan pergi, Athena. Aku tidak ingin merasa sendiri lagi. Maaf jika aku iri melihatmu bahagia. Aku hanya tidak ingin kau pergi," katanya tersedu-sedu.
Aku membantunya untuk duduk seperti biasa lalu menyeka air mata itu menggunakan kedua jempolku.
"Kau tidak perlu iri lagipula kau anak yang baik, cepat atau lambat kau akan menemukan orang tua yang tepat untuk mengadopsimu," aku membiarkannya untuk menelaah kata-kata itu setelah ia mengangguk aku kembali melanjutkan, "Laira, kau tidak perlu takut merasa sendiri. Aku tidak akan melupakanmu atau tidak ingin main denganmu lagi. Bagaimana pun juga aku akan selalu ada di hatimu," lanjutku, masih menahan tangis.
"Kau janji?" tanyanya dengan suara parau.
"Tentu," balasku singkat.
Laira tersenyum hingga gigi tengahnya yang berjarak itu terlihat—ia sangat manis untuk anak seumurannya. Aku menyunggingkan salah satu ujung bibirku. Beda orang tentu beda dalam melempar senyum.
Setelah kembali ke ranjang dengan cepat aku membenamkan wajah ke bantal. Menangis karena memikirkan Laira dan sifatnya yang lugu itu. Aku tidak tahan.
"Tok ... tok ... Laira di sini," katanya dari atas sana.
Aku menyeka air mata lalu menghela napas panjang agar Laira tidak tahu bahwa sahabatnya menangisi dirinya.
"Ya, ada apa, Laira?" jawabku lirih.
"Aku akan merindukanmu, Athena," balasnya.
Bibirku kembali mengerut, rasanya emosi ini ingin meledak setelah ia mengajak permainan singkat yang kami buat sendiri—permainan "tok tok Laira Athena di sini" tetapi aku tidak mau terlihat lemah di mata Laira.
"Tidurlah, sampai bertemu besok pagi."
Ya, aku akan sangat merindukanmu, Laira, akuku dalam hati.
***
Sebelas tahun aku hidup sebagai perempuan yang tidak suka menuntut, merasa nyaman dengan kehidupan yang tak terduga namun mengalir begitu saja. Teman-teman yang mengenalku menyebut bahwa Athena Doyle adalah sesosok perempuan independen, gigih masih dengan sifat tak acuhnya mendarah daging dalam tubuh ini.
Jika kalian ingin tahu yang mengadopsiku adalah keluarga Doyle. Orang tajir yang mendirikan ulang perusahaan minyak Rockefeller, secara teknis Doyle dan Rockefeller adalah saudara dekat. Sehari-harinya mereka membicarakan pertemuan bisnis dan rencana bisnis.
Bukan berarti aku dilupakan. Mereka sangat menaruh perhatian kepadaku, menjadi bagian keluarga Doyle membuatku bersyukur karena dapat merasakan kasih sayang Ayah dan Ibu yang belum pernah kudapatkan seumur hidup. Selain harta yang mereka miliki juga tentunya.
Bukan pula sekonyong-konyong aku dapat memanfaatkan kekayaan mereka untuk bersenang-senang. Aku lebih suka usaha sendiri maka tidak heran mereka sering menegurku ketika kehabisan uang dan tidak melapor kepada Ayah dan Ibu. Malahan aku bekerja kecil-kecilan untuk menutupinya seperti saat ini menjadi pelayan pada kedai kecil di tengah sibuknya Kota Houston, Texas.
Sebenarnya kedai ini miliki Ayahnya Amanda—oh iya, Amanda adalah sahabatku. Kami berdua sama-sama berkuliah di Fakultas Kedokteran. Kami ingin sekali menjadi dokter. Tahun lalu, Amanda dikirim ke Peru sebagai relawan kesehatan sekaligus menyelesaikan tugas kuliahnya. Sementara aku hanya dikirim ke Kanada untuk membantu rekan kerja Ayah dalam menuntaskan penelitiannya terhadap virus baru.
Jujur itu membosankan. Aku melihat Amanda mendapat tantangan yang lebih ekstrem—aku sangat menyukai tantangan. Tapi apa daya, Ayah tidak mengizinkanku lalu memaksimalkan kenalannya untuk bisa bekerja bersama mereka.
"Rockefeller saatnya tutup," seru Amanda tengah mengelap meja-meja itu.
"Segera datang," balasku memastikan semua gelas, piring dan perkakas lainnya tertata rapih sebelum kami pergi.
Perempuan berambut hitam keriting dengan mata cokelat yang besar itu memintaku untuk duduk sembari ngobrol tentang keseharian kami. Dua cangkir kopi yang sudah tidak panas menjadi suguhan setelah setengah hari lamanya bekerja di sini.
"Mungkin aku akan mengajakmu ke Peru bulan depan, nanti kubuatkan alasan untuk orang tuamu," kata Amanda, "Tentu dengan bantuanmu."
Aku terkekeh sementara Amanda menyesap rokok yang ia selipkan di jarinya.
"Entahlah, sepertinya itu bukan ide yang bagus, Amanada."
"Ayolah, nasibmu tidak akan seperti Michael Rockefeller. Kau pasti bisa menjaga dirimu!" tawarnya lagi.
"Setelah aku menelpon mereka, kita lihat apa yang bisa kulakukan."
Ia tersenyum puas sambil menyesap rokoknya lagi.
"Well, gimana kabar, James?"
Aku hampir tersedak kopi yang sedang diminum setelah mendengar kata James.
"Entahlah, sepertinya hubunganku dengannya sudah berakhir. Aku tidak suka dengan caranya yang menganggapnya sebagai cowok lemah dan menempatkan dirinya tidak berharga di mata keluargaku. Brengsek," umpatku, "Padahal aku tidak memedulikan materi yang dimiliki keluargaku. Aku mencintainya, itu saja sudah cukup. Dia bukan cowok pragmatis. Dia lebih rumit daripada cewek, semua itu yang membuatku berpikir bahwa Athena Doyle yang dekat dengan keluarga Rockefeller adalah antagonis dalam sudut pandangnya!"
Amanda tertawa, terlihat asap rokoknya yang tipis keluar dari mulutnya.
"Oh ini dia saudara-saudara, keturunan Rockefeller pun mengumpat," ledeknya sambil menaikkan salah satu alis tebalnya.
"Dasar jalang!" balasku, sarkas.
"Baiklah Nona Rockefeller, James memang penggerutu. Dia juga sering uring-uringan di Twitter. Menurutku, kau cowoknya dan dia ceweknya, mengerti maksudku?" Amanda memang terkenal sarkas dan apa adanya. Butuh waktu untuk mengenalnya namun aku paham maksudnya.
Sekali lagi ia menyesap rokok yang hampir habis itu tanpa menggubris kopinya yang masih penuh.
"Mari kita simpulkan, di dunia ini banyak perubahan. Manusia berevolusi, laki-laki dan perempuan saling menuntut haknya. Tetapi, dalam kasus seperti ini, ayolah jujur saja. James cowok sensitif yang pacaran dengan cewek super cuek besar di kalangan jutawan. James belum bisa menghasilkan uang sendiri yang membuatnya minder mengingat latar belakang keluargamu luar biasa. James kesal sehingga membuatmu ikut kesal. Kalian saling jatuh cinta tetapi sayang sekali, berakhir karena prinsip yang tidak bisa menyatu."
Amanda mematikan rokoknya kemudian merubah posisi duduknya lebih condong ke arahku.
"Minyak dan air sama-sama cairan tetapi mereka tidak bisa menyatu. Itulah hubunganmu dengannya, Rockefeller!" bisiknya.
Ia kembali duduk seperti biasa lalu mengambil tasnya dan menyulut satu batang rokok lagi.
"Nah, aku akan kembali ke perpustkaan masih banyak yang harus diselesaikan dalam laporan ini. Aku harap kau baik-baik saja, Rockefeller karena aku sangat menyayangimu," ujarnya seraya mengedipkan mata kirinya, "Oh, jangan lupa kunci pintu belakang juga."
Padahal aku belum sempat membalas semua tanggapannya. Namun begitulah Amanda, gemar menyela percakapan dan mengutarakan pandangannya.
Di saat mengunci pintu aku mengingatnya lagi. Bukan James, tapi Laira. Sudah dua tahun kami tidak menghubungi satu sama lain. Ini salahku. Laira hanya merindukanku. Sayangnya suasana hatiku sedang tidak baik saat itu.
Aku berjalan melewati jalan setapak ditemani udara malam yang dinginnya menusuk tulang padahal aku sudah mengenakan jaket. Malam seperti ini pasti mengingatkanku padanya. Entahlah, aku harap dia merasakan yang aku rasakan sekarang.
"Aku hanya ingin kau ikut denganku, katakan saja pada Ayah dan Ibu angkatmu bahwa kau ingin tinggal bersamaku!"
"Laira, kau gila! Kita sudah memiliki keluarga sekarang. Aku bukan Athena sama yang kau kenal waktu di panti."
"Kau berjanji padaku. Berjanji untuk menjagaku dan menyayangiku selamanya lalu ini yang kudapatkan?"
"Itulah kenyataan Laira. Aku menyayangimu, bukan berarti aku selalu ada untukmu, aku menyayangimu dengan caraku yang seperti ini."
Laira pergi setelah mendengar perkataan itu kemudian melempar kunci duplikat kamar panti kami yang sampai saat ini kukenakan di leher sebagai kalung. Lagu Strange Thing Will Happen yang dibawakan oleh The Radio Dept. hampir habis tetapi aku masih menyumpal kedua telingaku dengan earphone. Lagu itu mengingatkanku pada Laira beserta kenangan kami.
Es krim vanilla dan cokelat di tengah musim panas yang menyengat, suara film horor mencekam yang diputar tiap malam Halloween, memberi makan kura-kura milik Laira hingga berlarian serta berbagi canda tawa di taman hiburan—menunggu antrean roller coaster di saat lampu-lampu festival penuh warna itu menemani malam kami.
Aku rela membayar dengan apa saja andai bisa memutar waktu untuk meminta maaf kepadanya. Walaupun itu hanya hitungan detik. Tak lama aku merasakan butiran air jatuh dari langit hitam keunguan itu. Aku bergegas mencari halte terdekat untuk berteduh namun bumi sudah terlanjur menangis.
Akhirnya Athena Doyle harus menerima dirinya yang basah kuyup. Bayang-bayang Laira masih membekas di benakku. Hingga akhirnya, aku harus kembali pada kenyataan.
***
Di sanalah aku berdiri menatapnya. Sinis dengan wajah bermandikan air hujan dan darah yang keluar dari hidung juga mulutnya. Kami masih saling bertatapan. Menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.
Lumpur yang kupijak semakin dalam membuat langkahku berat. Aku mengecap mulutku sekali lagi, asin darah terasa setelahnya. Namun kami harus tetap bertarung. Di tengah hujan deras mengguyur bumi pasca-kiamat. Kami tidak lagi memiliki hak kecuali untuk membunuh. Aku tergabung dalam organisasi pembunuh bayaran—dikirim oleh negara kecil bernama Cloudy Land untuk membunuh seorang gubernur yang menjadi momok menakutkan bagi umat manusia. Dia membuat negaranya sendiri di atas penderitaan dan darah manusia. Dia begitu kejam hingga aku harus turun tangan untuk membunuhnya.
"Aku tidak akan segan untuk membunuhmu, Athena," serunya.
"Kau tahu harus berbuat apa," balasku.
Gubernur itu menonton pertarunganku dari atas tribun yang bocor dan reyot. Tanpa tahu bahwa pembunuh bayaran andalannya adalah seorang yang istimewa bagiku—orang yang dulu aku sayang bahkan hingga sekarang, dirinya ingin membunuhku—perempuan sama yang tinggal bersamaku di panti.
Ya, dia adalah adikku—Laira.
"Hyaa!"
Laira berteriak-teriak mencoba untuk mengalahkan deru suara hujan lalu berlari untuk menikamku. Pertarungan kami sudah terlalu sengit. Aku diam membiarkannya menang agar tidak dieksekusi oleh Gubernurnya ketika kalah denganku. Aku diam karena Laira bukan musuhku. Dia tetap gadis pecicilan yang kukenal dulu sewaktu di panti.
Kali ini aku tidak menangkis. Laira berhasil menancapkan pisau yang tajam itu menembus perutku. Tak lama setelahnya aku terbatuk-batuk lalu muntah darah. Mataku membelalak lebar dan semakin buram, rasanya paru-paru ini sulit bernpas akibat tusukan. Laira menarik rambut kepangku. Selanjutnya, aku merasakan air mata dari langit yang menangis—sangat nyata dan menyakitkan.
Sebilah pisau yang berlumuran darah menempel pada leherku sekarang. Aku tahu Laira tak ingin melakukannya. Tangannya bergetar bahkan napasnya tersekal tak keruan. Kami memang sudah lama berpisah namun aku masih hapal semua tentang dirinya.
"Tunggu apa lagi," kataku parau, "Kau tahu harus berbuat apa." Mulutku terbuka dan tertutup berusaha untuk mencari udara.
Wajah pucatnya memang dibasahi air hujan. Walaupun begitu, aku tahu, Laira sedang menangis. Mata birunya yang sendu itu tak bisa bohong.
"Tok ... tok ... Laira di sini."
Aku terdiam menahan rasa sakit yang semakin membuatku gila setelah ditikam oleh pisau berkarat itu. Namun, kalimat itu ...
"La ... Laira?" tanyaku terbata-bata.
"Aku mencintaimu, Athena."
Perlahan aku melirik ke arahnya. Senyuman tulus itu terpancar dari wajahnya yang pucat dan penuh luka. Kali ini ia berhasil membuatku menjatuhkan air mata dihadapannya.
Laira melempar pisau itu kemudian dengan cepat mengambil pistol yang siap tembak di saku celananya untuk mengeksekusi gubernurnya sendiri. Namun langkah jahatnya terbaca. Dua penjaga gubernur sudah menembak terlebih dahulu. Peluru-peluru itu membabi buta Laira yang berteriak kesakitan meregang nyawa.
Beberapa timah panas yang menyasar berhasil bersarang pada tubuhku pula. Kami berdua tumbang sore itu. aku terjatuh tidak jauh dari jasadnya yang mati detik itu juga. Aku merangkak di sisa tenagaku bersama dengan darah kami berdua yang bersimbah di mana-mana—menyatu menjadi satu.
Aku berhasil menggenggam tangan Laira. Dia sudah terbujur kaku, dingin seperti es, tak lagi nampak senyuman manis yang terpancar dari wajah mungilnya kecuali darah dan serpihan peluru.
Aku menangis sejadi-jadinya sementara pandangan ini mulai kabur dan semakin sulit untuk bernapas. Dalam kurun waktu sepersekian detik aku langsung tak sadarkan diri—yang kurasakan setelahnya hanyalah dingin dan cahaya menjemputku, Laira sudah menanti kehadiran kakaknya untuk pergi ke tempat istimewa.
Di mana akhirnya kami hidup bersama-sama lagi. Bahagia.
-End-
Athena at 9 yo
Laira at 7 yo
Athena Doyle the Neo-Assasin
Laira the Neo-Assasin
Amanda the sidekick
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top