Menjahit Zona Baru
"Delesia, tolong bantu teman kamu jawab soal ini!" pinta Bu Mitha, guru berjilbab yang menunjukku dari depan sana diikuti puluhan pasang mata dari teman sekelasku seolah ikut mengintimidasiku.
Ini bukan masalah soal Matematika Eksponen yang diberikan oleh Bu Mitha, karena bagiku itu terlalu mudah untuk dipecahkan. Bukan pula intimidasi dari anak-anak lain yang mulai membisiki teman sebangkunya yang bergerumun menjadi suatu suara mirip dengan kawanan lebah sewaktu aku lewat. Namun, aku harus membantu laki-laki itu untuk menjawab pertanyaan yang membuatnya skak. Koda namanya. Siswa berambut pendek rapih mirip potongan era awal delapan puluhan ditambah dengan tatapan tajamnya yang memiliki makna tersendiri dan kontras dari karisma yang menawan untuk laki-laki seumurannya.
Dia Koda. Laki-laki yang selama ini aku sukai. Sulit memang menjadi secret admirer namun lebih sulit lagi ketika kau memiliki kepribadian introvert. Aku menelan ludah dan berusaha untuk memfokuskan pandangan pada goresan kapur yang menodai papan membentuk rumus berbelit dan 'menggelikan' bagiku. Tetapi mata ini begitu kaku untuk kualihkan dari balik lensa tebalku. Hanya Koda yang dapat membuatku membeku seperti ini.
"Kasih tahu aja gue salahnya dimana," kata Koda, "Biar gue benerin sendiri nanti."
Tanpa berkata apa-apa aku mulai mengoreksi kesalahannya. Melingkari rumus yang salah tetapi secara keseluruhan-Koda-hampir semua yang ia kerjakan salah. Murid-murid kelas kami mulai menertawakan hasil kerja Koda, Bu Mitha mencoba untuk membuat kelas kondusif kembali namun sia-sia karena suaranya tenggelam dalam lautan tawa mereka.
"Dele," katanya, "Makasih ya." Koda tersenyum kemudian, membuat bola mataku membesar.
Koda kembali ke tempat duduknya. Di sudut kelas bersama kelompok vokalnya dan ikut terhanyut dalam tawa murid yang lain. Kali ini aku sadar mereka bukan menertawakan kesalahan Koda namun ada kertas ejekan yang ditempel di punggungku disana tertulis "Ayah, mengapa aku terlahir idiot?"
***
Orang-orang mulai memanggilku idiot dan kolot sewaktu mereka mengetahui bahwa aku adalah satu di antara jutaan orang yang 'ditinggal oleh zaman'. Jangankan mengakses internet. Ayah tidak memperbolehkanku untuk menonton televisi bahkan mendengarkan radio karena menurutnya itu hanya meracuni otakku. Ia lebih memilih untuk membiasakanku membaca buku dan literatur terpercaya lainnya. Daripada duduk dan menerima stimulus yang memberikan dampak agresif layaknya pemuda seumuranku.
Pohon nangka yang besar tertanam di pinggir lapangan luas tempat siswa laki-laki biasa melakukan aktivitas berat seperti bermain bola atau hanya sekedar bercengkrama dengan kelompok mereka adalah pemandangan biasa untukku. Sedangkan aku hanya duduk di bawah radar bayangan pohon nangka besar yang bisa kutebak umurnya telah lebih dari 15 tahun. Aku masih bergeming menikmati desiran angin sore yang sesekali genit meniup rok abu-abu di bawah lutut yang kukenakan. Bacaanku sore ini adalah sebuah novel bersejarah karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul 'Bumi Manusia'. Sebenarnya novel ini milik Ayah, rasa penasaran yang mendorongku berani untuk 'mencuri' novel legendaris ini dari rak bukunya.
Tindakan itu merupakan langkah awalku untuk keluar dari zona nyamanku. Banyak introvert di luar sana telah berusaha untuk keluar tetapi gagal, namun aku tetap akan mencoba walaupun banyak kekurangan yang kumiliki; kondisi keluargaku, lingkunganku bahkan datang dari diriku sendiri. Kehidupan sosial belakangan ini sulit ditebak, mereka bergerak dinamis dan menurutku terlalu dini untuk mengambil keputusan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana.
Aku menggeser posisi dudukku sembari menikmati kalimat demi kalimat yang merangsang gairah para pembaca sepertiku untuk lebih terhanyut pada makna yang ditulis oleh sang penulis. Kalian yang merasa bookworm pasti mengerti maksudku.
"Dele," panggil seseorang yang berdiri tepat dihadapanku, wajahnya tertutup oleh cahaya mentari sore dan meninggalkan siluet pada penglihatanku hingga aku menyadari bahwa itu adalah Koda.
Aku bukan perempuan yang cepat akrab untuk menerima orang lain, namun entah mengapa secara otomatis aku menggeser posisi dudukku dan memberikan satu slot kosong untuknya. Aroma cologne bercampur keringat tercium dari seragamnya, membuat jantungku semakin berdegup tak terkendali. Waktu terasa melambat dan langit senja yang dihiasi oleh kawanan burung itu seolah mengintimidasiku dari kicauan mereka di atas sana.
"Dele," lanjutnya kemudian duduk disampingku, "Maaf soal kejadian tadi yang di kelas, gue bukan bermaksud ikut ngetawain lo kok. Gue cuma berusaha untuk berbaur aja sama mereka, ngerti kan?"
Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus berbuat apa. Aku mendengar Koda menghela napas panjang dan mengambil headphone yang melingkar di lehernya kemudian menaruh benda itu di antara kedua telinga lancipku; Ayah menganggap telingaku mirip bangsa Elf, entahlah padahal hanya lancip beberapa mili saja.
"Ma-maaf, Koda. Tapi Ayahku nggak mengizinkan untuk memakai itu."
Koda tertawa kemudian. Pikiran burukku mulai melantur ke mana-mana. Koda pasti menganggap aku kolot juga karena penolakanku tadi. Tapi aku tidak bisa berbohong kepada Ayah.
"Bapak nggak ada disini, kan?" Tanya Koda seraya meyakinkanku dengan nada suaranya yang agak menekan, "Ada satu lagu yang pengin gue kasih ke lo, bukan The Beatles atau Rafika Duri kesukaan lo."
Aku menelan ludah dan menurut begitu saja. Aku pasrah dan mendengarkan lagu yang Koda maksud. Asing bahkan belum pernah aku dengar, tapi liriknya seakan meninju hati ini. Apakah lagu abad-21 memang terdengar seperti ini?
Jujur aku benar-benar terhanyut dan mengeluarkan air mata di depannya. Orang yang selama ini aku suka. Bukan karena liriknya, namun ritme lagu yang indah seakan mewakili isi hatiku. Rasanya sangat menenangkan hati, mengapa Ayah rela menyembunyikan hal seperti ini dariku?
Koda mengangkat salah satu sudut headphone-nya dan berbisik di telingaku. "Tame Impala - Feels Like We Only Go Backwards."
Satu lagi langkahku untuk keluar dari zona nyaman ini. Aku yakin Koda akan menjadi penunjuk arahnya, aku yakin dia orang yang tepat untuk seorang perempuan introvert yang sentimental dengan rambut lurus yang menjulur seperti lidah api dan mata hitam yang dilindungi lensa tebal. Aku memejamkan kedua mataku berharap ini semua tidak akan berakhir. Inilah langkah awalku untuk menapakkan diriku pada dunia sosial yang selama ini kutinggalkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top