Little Girl in Chicago

(Cerita yang saya tulis ketika masih duduk di pertengahan bangku SMA).

Mengharapkan Ayah dan Ibu untuk kembali dalam dekap pelukan ini terdengar begitu mustahil. Sekarang aku hanya bisa duduk meringkuk memeluk kedua lututku, berharap bahwa ini adalah mereka. Mereka yang bisa bertemu denganku hanya lewat mimpi atau aku yang bertemu mereka ketika berdiri pada sepasang batu nisan dengan hiasan bunga terus layu tiap harinya.

Aku masih duduk di anak tangga sekolah sembari menunggu hujan yang meningkahi Kota Chicago pada bulan Juli berhenti. Aku menikmati setiap goresan pensil yang menodai kertas putih untuk menggambar sketsa wajahnya, Ibu, wanita yang paling menginspirasi hidupku. Jutaan peluru air membasahi tanah dan memanggil kembali memori dalam otak ini. Aku mendesah pelan lalu menghentikan sketsa yang setengah jadi itu.

Sudah dua tahun berlalu, kau masih saja muncul, ujarku dalam hati. Seperti bumi yang kehilangan bulan, aku mengernyitkan dahi dan merasakan embun yang menumpuk pada kelopak mataku. Sampai kapan kesedihan ini berakhir? Sungguh, aku tidak bisa jika terus menerus merasakan kerinduan ini yang malahan menawarkan rasa sakit membekas.

Aku melihat cowok yang mengenakan jaket hoodie biru dongker itu bergabung duduk di sampingku. Ia hanya membisu dan memberikanku beanie hitam polos untuk menjaga kepala ini tetap hangat.

"Terima kasih, Sullivan," ujarku seraya mengenakan beanie pemberiannya.

"Selamat ulang tahun, Ellie, maaf hanya itu yang bisa aku berikan," sahutnya lalu menatapku datar dengan mata biru sendu itu.

Rasa rindu yang begitu melekat mengikis sebagian dari jiwaku hingga lupa bahwa Ellie Dunleavy, hari ini 17 tahun lalu lahir sebagai gadis mungil yang kuat dan mewariskan sifat Ibunya. Sullivan menatapku heran, wajar saja karena aku juga nampak linglung karena baru menyadari hari ini ulang tahunku.

Blake Zusi Sullivan adalah sahabat paling tulus yang mungkin pernah aku miliki. Sosoknya yang pendiam dan dingin malah membuatku nyaman berada di dekatnya, dia memang tidak banyak omong namun sekelumit nasihatnya sangat berarti bagiku. Pun tidak selalu terdengar enak dan terkadang sangat memukul perasaan ini. Tetapi cara dia menyampaikan pendapat lewat sudut pandangnya yang luar biasa, membuatku percaya untuk mencurahkan seluk beluk permasalahan hidpuku. Termasuk tragedi penembakan yang membunuh Ayah dan Ibu di restoran Prancis.

"Sketsa itu?" tanya Sullivan sambil menunjuk karyaku.

"Aku sangat merindukannya, sudah dua tahun berlalu rasanya seperti baru kemarin terjadi," jawabku yang masih serius melanjutkan sketsa itu. "Apakah Ibu memikirkanku di sana, seperti apa yang aku lakukan setiap saat untuknya, yakni memikirkannya hingga kepalaku sakit?"

Suaraku tenggelam dalam derasnya percikan hujan yang membasahi tanah. Kepulan embun itu semakin menumpuk pelupukku. Lagi, kisah pedih tragedi pembunuhan kembali meneror hari-hariku.

***
Malam itu Ayah dan Ibu pamit untuk pergi ke sebuah restoran Prancis yang cukup jauh dari rumah kami. Aku menarik lebar bibir tipisku karena ikut bahagia merayakan hari jadi mereka. Ayah yang terlihat tampan nan gagah dengan setelan jas mengkilapnya dan Ibu tidak mau kalah mengenakan dress putih yang bisa membuat bidadari iri dengan kecantikannya.

Lagi, aku menunggu mereka hingga melewati jam tidurku. Kala itu, Abang kandungku Kevin sedang bertugas. Dia adalah anggota polisi negara bagian Chicago, bukan polisi yang selalu berpatroli atau pergi menenteng pistol. Kevin bertugas untuk menyidik dan menggambar sketsa wajah tersangka serta mengintrogasi mereka. Kevinlah yang memperkenalkanku pada dunia seni tersebut, umurnya delapan tahun di atasku dan sudah bertunangan.

Sementara Ayah dan Ibu pergi, Kevin sibuk dengan tugasnya. Aku tinggal seorang diri menghabiskan malam panjangku sembari menonton film Star Wars Episode IV: A New Hope melalui video player pemberian Kevin.

Hingga akhirnya aku mendengar suara sirene mobil polisi, dua mobil polisi meraung di jalan kecil depan rumahku memecah keheningan malam. Aku mengintip lewat jendela yang tertutup kain tipis berwarna putih. Kevin keluar dari salah satu mobil. Matanya berkaca-kaca tidak seperti biasanya, membuat hatiku dipenuhi perasaan gelisah dan takut.

Hentakkan sepatu kulitnya menggema ke setiap sudut ruangan.

Video playerku masih menyala menyuguhkan adegan film yang belum berakhir. Pintu yang awalnya bisu itu akhirnya berderit membuat jantungku semakin berdebar. Perlahan aku menoleh dan melihat wajah Kevin yang memerah seperti gunung api hendak meletus.

"Kevin?" panggilku dengan suara bergetar.

"Kemarilah Ellie, ada yang harus aku sampaikan."

Kevin menceritakan segalanya. Bagaimana mereka tertembak dan keadaan jasadnya setelah ditemukan tergeletak di atas meja putih berlumuran darah itu. Namun aku tidak langsung percaya, karena aku menganggapnya seperti menyumpahi Ayah dan Ibu untuk mati daripada tragedi pembunuhan. Air mata ini turun dari dua sudut mataku.

Rasanya seperti sebilah pedang, tajam berlumuran darah menghujam hatiku bertubi-tubi.

"Beraninya kau menyumpahkan mereka untuk tewas sesadis itu, Kevin!?" aku berteriak hingga tenggorokan ini perih seperti terbesit silet.

"Aku tidak, Ellie. Maafkan aku sayang, tetapi kau harus mengetahui laporan ini."

Aku melepaskan lengannya dari bahuku dan mendorongnya hingga ia kehilangan keseimbangan. Mengapa hidup sekejam ini? Ayah bukanlah orang jahat yang suka melukai hati orang lain, bahkan Ayah rela mengerjakan pekerjaan bawahannya ketika mereka tak sanggup.

Orang macam apa yang berani menyarangkan timah panas pada tubuh Ibu? Seumur hidupku tidak pernah aku melihat Ibu berselisih dengan orang lain apalagi ada yang membencinya.

Setega itu Kevin menyumpahkan Ayah dan Ibu mati ...

Namun aku sadar semua ini hanya salah paham. Emosiku terlanjur meledak sebelum menelaah kembali kalimat yang diutarakan Kevin.

Padahal perasaan Kevin yang paling hancur karena 2 minggu lagi adalah pernikahannya, belum lagi Kevin baru saja selesai menggambar sketsa wajah tersangka melalui paparan salah satu saksi mata. Mereka, semua orang yang menyaksikan pembunuhan itu tidak akan sadar bahwa Kevin adalah anak kandung korban.

Aku menghampirinya dengan penuh penyesalan. Lututku melemas ketika hendak memeluknya. Ada jeda waktu di mana kami berdua berbagi perasaan yang bercampur aduk ini, malam hari di Kota Chicago yang dingin tanpa ada sinar bulan menemani. Malam di mana kami berdua resmi menjadi yatim piatu setelah tragedi penembakan.

"Ellie, tetaplah tegar sayangku. Aku sangat menyayangimu."

Aku hanya bungkam sementara air mata ini terus mengalir deras. Aku mengeratkan pelukan kami dan membiarkan rasa sakit tergerus bersamanya.

***

"Menurutmu jika aku menangis, apakah aku cengeng?"
Sullivan tidak langsung menjawab. Dia hanya tertawa kecil, ya kecil. Karena Sullivan bukan tipe yang suka terbahak.

"Mengapa kau melabel orang menangis itu cengeng? Menurutku tidak, orang yang menangis bukan berarti mereka cengeng. Mereka menangis karena sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang telah lama terpendam. Aku harap kita membicarakan tangisan yang sama."

Dia adalah pendengar yang baik. Walaupun terkadang jawabannya sangat pahit untuk kutelan bulat-bulat. Rintikan hujan semakin mereda, sang surya kembali mendaratkan kakinya di ufuk barat. Aku berhenti menggambar sketsa wajah Ibu dan menyimpannya di dalam tas.

"Sudah reda, mari aku antar kau pulang," tawarnya seraya mengulurkan lengan untuk membantuku berdiri.

Kami berdua berjalan kaki melihat kubangan air dangkal di tanah basah itu. Aku menggandeng tangan Sullivan yang dingin, entah mengapa sewaktu bersamanya hatiku serasa lebih baik. Perlahan tusukan pedang yang menghujam hatiku milyaran kali seolah tercabut setelah bertemu dengannya.

"Omong-omong pertanyaanmu tentang Ibumu barusan. Aku percaya, dia bukan hanya memikirkanmu dari sana, Ellie. Dia juga mengawasimu dan terus berdoa untuk kebaikanmu, percayalah Ellie bahwa Ibumu tidak benar-benar mati. Dia masih hidup di dalam hati orang-orang yang menyayanginya, termasuk kau Ellie."

Aku senang sekali mendengar jawaban itu hingga lidah ini kehabisan kata-kata untuk menjawabnya. Sullivan kembali membisu dan terus berjalan menyusuri Kota Chicago yang berangin hingga tiupannya berhasil menerbangkan helaian rambut hitamku. Satu hal yang membuat jantungku berdegup dengan tempo allegro adalah ketika Sullivan menggenggam erat tanganku.

Kau hebat Sullivan.
***
Seperti biasa sembari menunggu Kevin pulang. Aku menghabiskan malamku dengan menggambar sketsa kemudian duduk di depan tv sambil menonton film. Aku memilih Child's Play untuk menghabsikan waktu senggang ini. Istri Kevin sudah terlelap di kamar, jadi aku tidak boleh tertangkap basah mencuri waktu tidur demi menonton film.

Aku tidak mendengar suara deritan kenop pintu diputar. Kevin telah berdiri di belakang sofa dan berhasil membuatku terkejut ditambah adegan Chucky yang muncul dalam film. Dia membungkam mulutku menyuruh untuk diam kemudian bergabung duduk di sampingku sambil membenarkan posisi kacamata yang turun pada pangkal hidung.

"Tidurlah, nak. Kau tidak boleh memelihara insomniamu."

"Kau mengejutkanku, Kevin," kataku yang masih merasakan jantung ini berdegup cepat.

Fokusku teralih ketika melihat Abangku Kevin sangat kelelahan. Matanya sayu seperti tidak terawat, aku berani bertaruh Kevin masih menangani kasus penembakan itu hingga tersangkanya tertangkap. Itulah Abangku, tidak akan pernah berhenti hingga kebenaran tersingkap.

"Kau butuh istirahat, Kevin. Tidurlah atau kau butuh sesuatu untuk aku buatkan?" tawarku seraya memijat lengannya.

"Terima kasih, sayang. Tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan kasus penembakan yang masih terbuka itu."

Aku telah menduganya. Suara detikkan jam menemani malam hening kami, sejujurnya mataku sudah mulai perih namun sewaktu mendengar kalimat kasus penembakan Ayah dan Ibu rasanya aku menyanggupi insomnia ini sekali lagi.

"Pembunuh ini, dia sangat pintar dalam memalsukan identitas bukan hanya itu. Aku khawatir dia sedang menargetkan korban selanjutnya, dia memang pembunuh bayaran yang mengerikan," jelas Kevin tangannya mengepal keras seakan siap memukul tersangka yang kami maksud.

"Kev, aku mengerti perasaanmu hanya saja aku sangat khawatir. Maksudku, kau satu-satunya yang aku miliki sekarang, aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu," aku menjawab sepenuh hati dengan nada suara lirih, namun Kevin tidak menyukai itu.

"Aku tidak akan berhenti, Ellie. Jika maksudmu aku harus menutup kasus ini, kau salah besar, anak muda!" suaranya meninggi hingga berhasil membuatku menunduk.

"Kev, yang kumaksud adalah kau butuh istirahat bukan menutup kasus ini. Ada apa denganmu?"

"Ada apa denganku!? Seharusnya pertanyaan itu untukmu! Ada apa denganmu, Ellie!?"

"Tolong, hentikan," ujarku memohon.

"Tidurlah, Ellie! Aku ingin kau melupakan percakapan ini!"

Sengaja aku mengalah untuk menghindari pertengkarang kami. Aku lelah bertikai dengan Abangku sendiri.

Kevin bukanlah pria yang sama seperti dulu. Penuh canda tawa, kali ini tidak lebih daripada seorang manusia dengan segumpalan rasa dendam mengendalikan pikirannya. Bahkan ia lupa hari ulang tahunku. Aku merindukan Kevin yang dulu.

***
"Ellie, aku penasaran mengapa kau terlihat kacau hari ini? Maksudku sebelum kita naik Roller Coaster, Ferris Wheel dan memakan gulali," katanya sambil terus menatapku dengan mata biru menawan itu.

Aku berhenti mengemut gulali yang sedari tadi kugigit. Aku tidak menyangka Sullivan memperhatikan penampilanku diam-diam. Matahari senja mulai berjalan menuju ufuk barat menampilkan sinar oranye di tengah keramaian pasar malam Kota Chicago. Suara orang-orang dan musik khas pasar malam berdengung menjadi satu bagi telinga para pendengarnya. Aku mengelum bibirku, membiarkan rasa manis gulali itu cair dalam lidahku lalu membalas tatapan lekatnya.

"Aku dan Abangku bertengkar ... lagi," jawabku seadanya.

Sullivan mengelus lenganku ... lembut. Karena tidak tahan lagi, aku menceritakan semua yang terjadi semalam. Bagaimana Kevin membentakku, mengapa Kevin berubah dan Kevin lupa dengan hari ulang tahunku. Semuanya aku ceritakan, tidak ada secuil kisahpun tertinggal. Suara teriakan orang-orang yang sedang bergembira menaiki kereta Roller Coaster terdengar jelas dari bangku kayu tempat kami duduk. Namun semua itu tidak mempan sewaktu aku menceritakan permasalahanku kepada Sullivan. Aku percaya dia. Sullivan adalah pendengar yang baik.

"Ellie, aku sangat mengagumimu. Untuk satu dan lain sebab, kau adalah cewek paling tegar yang pernah kutemui. Sepertinya aku harus menyampaikan ini kepadamu." Sullivan akhirnya tersenyum ... tipis, ini adalah pemandangan terlangka yang pernah kulihat. "It's okay, not to be okay." Lanjutnya.

Sullivan mengajakku untuk menaiki sisa wahana yang belum kami kunjungi. Aku terdiam dan terus menelaah kalimatnya, sementara tangan kananku masih memegang gumpalan empuk gulali merah muda itu. Tubuh ini serasa ringan seperti kertas apalagi ketika Sullivan menarik tanganku perlahan. Sullivan ... aku ... aku menyayangimu.

***
Kami pulang hampir larut malam dan bersenang hingga lupa dengan masalah yang menghujam hidupku jutaan kali. Matahari telah bersembunyi digantikan oleh bulan purnama pucat yang dikelilingi oleh para bintang. Rasa lelah ini terbayar lunas dengan kegembiraan yang kami dapat hari ini. Semua berkat sahabatku, Sullivan.

Hampir tidak percaya dengan semua pemandangan yang kulihat di lingkungan rumahku. Mobil polisi terparkir tak beraturan dan beberapa anggota polisi telah berdiri bertukar canda tawa seperti memenangkan lotre. Pikiran buruk langsung menyerangku, apa yang terjadi dengan Kevin dan Istrinya? Aku semakin gelisah namun Sullivan menggandeng erat tanganku dan kami berjalan melewati polisi-polisi itu.

"Ellie! Oh, syukurlah kau telah pulang!" Kevin berlari dari arah berlawanan kemudian memelukku dengan dekapan yang telah hilang sejak dua tahun lalu.

"Aku tidak mengerti," ujarku datar.

Kevin terlihat sangat bersemangat untuk menyampaikan kabar baik ini untukku. Seperti petinju kelas berat yang baru saja merebut gelar perdananya. Berulang kali ia menggoyangkan badanku, kegelisahan ini semakin berkurang bertukar dengan senyum tipis tersimpul di wajahku.

"Mereka telah menembak mati penembak yang membunuh Ayah dan Ibu," sahut Kevin sekali lagi membenarkan posisi kacamatanya.

"Ellie! Kita berhasil," tambahnya.
Rasanya lega setelah mendengar pesan itu hingga tak terasa air mata ini telah membasahi pipiku. Kali ini nasib baik sedang memihak kami.

"Siapa pelakunya?" tanyaku.
"Identitas palsunya Jake Harlan. Polisi telah menyingkap identitas aslinya, dia adalah Logan Radmond Sullivan."

Aku punya firasat buruk akan hal ini. Aku kenal nama itu, orang yang pernah membantuku dan Sullivan mengerjakan PR, dia adalah pria ramah yang sering mentraktir ice cream ketika aku dan Sullivan masih kecil dan dia adalah Ayah kandung Sullivan. Aku menoleh perlahan ke tempat Sullivan berdiri. Dia telah menghilang tak lagi di sana. Sullivan, aku harus mengejarnya. Pasti ada kesalahan dari semua ini.

Sosok pendiam itu sedang duduk di pinggir trotoar jalan kecil jauh dari keramaian. Hanya ada serangga malam dan rasa sedih juga kecewa yang berkecamuk dalam dirinya. Entah siapa yang mengemban kesedihan itu paling dalam. Diriku atau dirinya.

"Sullivan?" Aku memanggilnya lirih, Sullivan hanya tertunduk seakan menutupi rasa malu karena telah mengkhianati sahabatnya.

"Maafkan aku, Ellie. Sungguh aku tidak mengerti dengan semua ini," katanya penuh dengan penyesalan.

"Bukan, ini bukan salahmu Sullivan. Aku kenal Ayahmu namun aku tidak mengetahui sisi lainnya, hanya karena Ayahmu adalah pembunuh bukan berarti kau juga, Sullivan. Aku mengerti perasaanmu sekarang karena aku pernah melewati ini sebelumnya."

Lagi, pelupukku seakan dipenuhi embun lembut. Perasaanku bercampur aduk namun aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Sullivan adalah sahabatku, sejak kami masih kecil bahkan sebelum mengenal kata persahabatan. Dia selalu berada di sampingku ketika orang-orang meninggalkanku, tidak pernah sedetikpun terpikirkan olehku untuk meninggalkannya dan menggunting ikatan persahabatan kami.

"Ellie, jangan tinggalkan aku. Aku mohon, jika ada sesuatu yang harus kulakukan katakan saja. Ellie, aku tidak memiliki siapa-siapa selain dirimu. Maafkan Ayahku, Ellie." Suaranya semakin bergetar.

"Sullivan?" aku duduk di sampingnya dan menguatkan diri agar tidak meledakkan tangis. "Balas dendam bukanlah jawaban tepat, aku telah merelakan kepergian mereka. Kau juga harus, setidaknya kita masih saling memiliki sedetikpun tidak pernah aku berpikir untuk meninggalkanmu. Mungkin aku harus menyampaikan sebuah kalimat untukmu, It's okay not to be okay." Lanjutku kemudian.

Aku memegang bahunya dan kami saling bertatapan. Perlahan pelukan itu begitu dekat, menukar sebuah emosi dan perasaan yang bercampur aduk menjadi satu di malam dingin Kota Chicago bagi gadis mungil yang hidup di sana bersama sahabatnya dan kisah kehidupan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top