JOLIEN
Begitu aku melihat Benji, bibir ini tidak bisa bohong menyimpulkan senyum tipis kepadanya. Anak itu masuk dengan pakaian musim dingin, syal rajutan berwarna gelap, topi baret hitam seperti pelukis jalanan di Kota Montmarte dan satu hal yang membuatku senang adalah ekspresi konyol wajah Benji ketika melihatku sedang duduk sambil menyesap sampanye bening nan harum ini.
"Ah! Benji, hoe gaat het ermee?" sapaku seraya memeluk dan mencium kedua pipinya.
"Goed, dank u," jawab Benji kemudian kami duduk saling berhadapan.
Senang sekali rasanya dapat bertemu kembali dengan adik kandung yang telah 2 tahun berpisah karena panggilan tugas. Benji merupakan anggota tentara angkatan darat batalion tempur negara Belgia, hati dan jiwa kami hanya untuk negara tempat kelahiran dan kampung halaman kami.
Pertemuan di Kota Paris ini adalah rencanaku, karena sekarang aku tinggal di sini untuk melanjutkan pendidikan sarjana dalam studi arsitekur. Sementara Benji sedang libur dari tugasnya pasca perang dunia II dan kesempatan ini tentu saja tidak ingin aku lepas begitu saja.
"Jolien, bagaimana pendidikanmu?"
Aku hanya tersenyum dan menyesap sampanyeku lagi, Benji mengusap hidungnya seakan memaksaku untuk menjawab pertanyaannya. Aku tidak langsung menjawab, terus terang suasana di dalam ruangan café ini sangat nyaman. Dinding yang melukiskan seni tingkat dewa, aroma keju Roquefort yang tercampur dengan sampanye, percakapan orang-orang dengan bahasa Prancis yang fasih. Aku menikmati semua ini, menarik napas sambil memejamkan mata.
"Baiklah Jolien, sepertinya kisahmu tidak begitu menarik jika boleh aku bercerita ada satu hal paling berkesan ketika turun di medan perang," ucap Benji dengan nada suaranya yang dalam.
"Kita punya waktu yang banyak untuk berbincang, sayang."
"Ketika pasukan sekutu menyelamatkan divisi Amerika di Berlin, Jerman kami melihat banyak mayat tergeletak kau pasti tahu bagaimana keadaan di sana. Lumpur yang membuatmu sulit melangkah, bau darah yang amis bercampur dengan bubuk mesiu, asap pekat menjulang menutupi langit biru. Ketika pasukan penyelamat termasuk aku mengevakuasi tempat itu-" Benji terdiam sebentar, jujur saja aku merasa pusing ketika ia mendeskripsikan suasana perang yang sadis itu.
Kami berdua seketika hening, aku masih ingin mendengar lanjutan kisah yang diceritakan Benji sambil mengelum bibir merasakan sisa sampanye yang menempel di sana. Benji seakan memikirkan sesuatu, merangkai ceritanya dengan jari yang tidak bisa lepas mengetuk meja makan kami.
"Benji, kau boleh melanjutkan jika mau ...." Benji menatapku dengan pupil mata hijaunya, aku merasakan telapak tangan Benji memegang punggung tanganku.
"Tidak ada yang selamat semuanya lenyap, a-aku," Benji menghela napasnya, berusaha untuk melanjutkan kalimatnya.
"Cukup, Benji kau tidak perlu melanjutkan."
"Aku takut perang ini belum berakhir, Jolien."
Sekarang aku mengerti mengapa Benji menjadi sangat cemas belakangan ini, mentalnya masih belum sembuh pasca-perang. Harus ada yang mengobatinya agar menghilangkan trauma itu, aku membantu Benji berdiri lalu memeluk anak itu dan membiarkan rasa traumanya tergerus dalam pelukan ini.
"Katakan apa yang kau butuhkan, Benji," ucapku lirih.
"Aku ingin semua ini berakhir, tidak ada lagi manusia yang saling membunuh, aku takut."
Aku mengeratkan pelukan kami, keringat menetes dari dahinya bahkan napasnya tersekal seperti orang asma. Benji seakan berubah drastis setelah insiden perang, dia menjadi lebih rapuh dan aku tidak ingin traumanya berkelanjutan.
"Aku baru sadar rambut cokelat panjangmu belum berubah," katanya membuka percakapan lagi.
"Kau baik dalam mengingat sesuatu."
Rasanya sedikit lega ketika melihat Benji dapat tersenyum lagi, kami berdua mengambil gelas kaca yang setengah terisi dengan sampanye itu lalu bersulang untuk merayakan kembalinya Benji Carrasco pasca-perang.
Hingga akhirnya semua terjadi begitu cepat karena ledakan bom menghancurkan café tempat kami bersantai dengan lantunan musik klasik dan aroma wine yang menggiurkan, semua lenyap karena sebuah ledakan yang dahsyat. Telingaku berdenging tak karuan, melihat tumpukkan kayu menimpa setengah dari badanku hingga membuat paru-paru ini sulit bernapas. Butiran debu bertebaran menutupi wajahku, belum lagi darah yang mengalir membasahi pelipisku. Satu hal yang aku ingat selain nyawaku adalah, Benji ... aku berteriak memanggil namanya berharap dia masih ada di dekatku.
"Tenang Jolien, semua akan baik saja."
Aku mencoba untuk meneliti sekitar dan mendengarkan letak sumber suara. Banyak yang mengerang kesakitan dan meminta tolong, semua itu membuatku merinding awalnya kami hanya ingin menikmati kehidupan hingga bom ini menyiksa kami semua. Aku mecoba untuk mendongak ke arah depan karena ada sesuatu yang mengganjal di bagian kakiku.
"Jolien ... sudah kukatakan semuanya akan baik saja."
Di sanalah aku melihat Benji, adikku menahan bongkahan besar dari kayu yang hampir menimpa bagian kakiku. Dia tersenyum dengan mulut penuh darah, aku tak kuasa menahan rasa sakit dan sedih ini. Ka-kami baru saja bertemu, namun Benji?
"BENJI!!!" Aku berteriak seraya mencoba mengeluarkan diriku dari tumpukkan reruntuhan ini, tapi percuma saja.
Lambat laun suara erangan orang-orang itu seketika hening, bahkan Benji terlihat kaku dan diam membiarkan fondasi berat menimpa tubuhnya. Aku menangis dalam keheningan, aku sangat merindukan Benji tapi kenapa kita harus berpisah lagi?
"Benji, ik hou van jou ...." Aku membiarkan diriku tertidur dalam siksaan ini, melihat reruntuhan itu mulai bergerak mendekatiku, mungkin sudah saatnya aku kembali reuni dengan Benji dan kedua orang tua kami yang terlebih dahulu pergi karena menjadi tawanan Nazi.
"Jangan pernah takut tuk bersedih, di lain sisi diam tidak selalu meninggalkan arti bodoh. Tegakkan mana yang menurutmu benar, berani untuk berkorban demi orang yang kau sayang terutama anggota keluargamu. Kalian hidup dan saling ketergantungan, jangan resah karena perjuangan tak pandang strata." - Jolien Carrasco.
END.
Footnotes:
1. hoe gaat het ermee: apa kabar? (in Belgium)
2. Goed, dank u: baik, terima kasih (in Belgium)
3. ik hou van jou: aku mencintaimu (in Belgium).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top