CHAPTER 19
DISCLAIMER :
Animasi Boboiboy dan semua karakternya adalah milik Monsta Studios.
Seluruh alur cerita ini merupakan imajinasi Author dan tidak berkaitan dengan cerita sebenarnya pada animasi Boboiboy.
WARNING!!!
Original character, out of chatacter, typo dan kesalahan kata dalam ejaan.
Mohon maaf jika ada kesamaan dengan cerita lain.
RECOMENDED SONG :
Victory - Two Steps From Hill
Memory Reboot - Narvent and VØJ
Everything Works Out in the End - Kodaline
Round and Round - Heize
Sumpah dan Cinta Matiku - Nidji
.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°
Di tengah malam yang sunyi itu, Shiloh tak bisa tidur. Ia membuka ponselnya, pesan yang ia kirimkan enam jam lalu pada Niccolo masih belum dibalas. Shiloh menghela nafas, tidak biasanya Niccolo seperti ini.
Shiloh keluar kamar menggunakan piyama dan membawa satu bantalnya. Pandangan matanya tertuju pada ruang tengah yang lampunya masih menyala.
Ia langkahkan kakinya untuk menuruni tangga, yang terdengar hanya suara TV yang masih menyala. Ia melihat adiknya tertidur di sofa bed 3 seater yang menghadap ke TV.
Shiloh juga mematikan lampu ruangan itu dan menyalakan lampu tidur yang ada di samping TV. Shiloh berbaring di samping adiknya, ia masuk ke selimut yang sama. Selimut itu terasa hangat dan lembut, seperti selimut yang pernah ia gunakan saat tidur di samping Kaizo di dalam tenda. Sial, kenapa aku mengingatnya. Batin Shiloh.
"Shiloh, kamu masih menyayangiku meski Ayah selalu jahat padamu dan selalu baik padaku?" tiba-tiba laki-laki itu bersuara, Shiloh langsung membuka matanya. Ia melihat Theo menghadap padanya dengan mata terbuka.
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Aku membenci Ayah karena dia bersikap buruk pada Ibu dan Aku, bukan karena dia hanya menyayangimu."
"Sekarang aku hanya punya kamu dan Niccolo, Aku akan lebih menyayangi adikku ini." Shiloh mendekap pada Theo, laki-laki itu membalas dekapan Shiloh sambil tertawa.
"Terima kasih, kamu selalu menolongku dalam situasi apapun." Theo mengusap surai hitam milik Shiloh yang terasa lembut di tangannya.
"Katakan padaku, apa Kapten Kaizo itu orang yang baik? Apa dia memperlakukanmu dengan baik?" tanya Theo.
"Aku tahu dia orang baik, mereka bekerja untuk kebaikan. Aku ragu, apa kita akan tetap berada di tempat ini? Sedangkan mereka mati-matian membela yang benar." ujar Shiloh, ia menatap langit-langit ruangan itu.
"Kamu tahu kan, Ayah akan menikam siapa pun yang menghianatinya." balas Theo.
"Tidak menghianati pun aku sudah merasa ditikam berkali-kali olehnya." kekeh Shiloh. Theo merasa tidak enak setelah Shiloh berkata seperti itu.
Theo menatap kakaknya yang masih menatap langit-langit ruangan, "Jadi, apa keputusanmu?".
"Apa menurutmu kita harus membantunya?" tanya Shiloh.
"Membantu Kapten Kaizo?" Theo bertanya balik, Shiloh mengangguk.
"Membantu Kapten Kaizo, sama saja membantu TAPOPS. Yang benar saja, Ayah bisa membunuh kita." seru Theo.
"Tapi, Kaizo berasal dari bangsa Ibu." lirih Shiloh.
Theo membulatkan matanya, "Benarkah?"
Gadis itu mengangguk-angguk. "Dan jika dipikir-pikir, Ayah itu terlalu serakah."
"Kamu tahu kan, Kaizo itu memiliki kekuatan yang berasal dari power sphera yang dijaga keluarganya."
Theo mengangguk-angguk.
"Ayah ingin menggunakan kekuatan itu untuk menambah tenaga giant cannon yang ada di markas militer."
"Aku takut rencana Ayah berakhir fatal." lirih Shiloh.
"Apa sebaiknya kita pindah dari planet ini? Aku takut kita akan mati akibat perbuatan Ayah." lirih Theo sambil memegang bahu Shiloh.
Wanita itu melirik, "Yang benar saja, Ayah akan tetap mencarimu sampai ujung alam semesta."
Theo menghela nafas kesal, ia terdiam sambil menatap langit-langit ruangan, melakukan hal yang sama seperti Shiloh tadi. Terkadang ia merasa dunia tidak adil baginya. Tapi jika semua orang merasa seperti itu, bukankah itu adil? Ah, Theo tak yakin Tuhan bisa memepelakukan semua makhluknya dengan adil.
"Shiloh .... aku ingin hidup normal seperti orang lain. Aku tidak ingin terlibat dalam politik dinasti Kakek."
.•°.•°.•°
Pagi harinya, Shiloh dan Theo mengunjungi Istana Presiden, tempat dimana ayahnya tinggal. Shiloh memaksa adiknya untuk berbicara pada ayahnya terkait masalah akademi militer.
Theo sudah memaksa kakaknya untuk ikut berbicara dengan ayahnya, tapi wanita itu menolak keras. Ia mengatakan akan menemui Kaizo, sehingga Theo tidak bisa memaksa Shiloh lagi.
Shiloh menghela nafas, ia meraba knop pintu yang terasa dingin. Saat ia buka, ruangan hampa itu juga terasa sedikit dingin. Ia melihat laki-laki berambut biru gelap yang sedang berusaha keras melepas borgol yang mengunci tangannya, ia mencoba melepasnya dengan sendok makan yang ia gunakan kemarin. Tapi nihil, benda itu tetap terkunci.
"Kamu ingin pergi?" tanya Shiloh.
Kaizo hanya menatapnya dengan sorot wajah datar, "Ya." jawabnya.
"Tapi kakimu masih sakit, kamu tidak akan bisa menghadapi pengawal-pengawal di depan pintu dengan keadaan yang seperti ini." Shiloh melirik kaki Kaizo yang masih dibalut kain kasa lalu menatap wajahnya.
"Lalu untuk apa aku terus menerus di sini? Kalian ingin membunuhku?"
Shiloh mengerti, keluarga yang dimiliki Kaizo hanyalah Fang. Begitu juga dengan Fang, keluarga yang dimilikinya hanyalah Kaizo. Jika salah satu dari mereka tewas, satu diantaranya akan merasa teramat sangat kehilangan.
"Ayahku tidak akan melakukan hal itu."
"Kalau begitu kembalikan topeng dan jam kekuatanku." Kaizo mengadahkan tangan kanannya.
"Jika kamu bosan dan ingin menghirup udara segar, sepertinya aku bisa mengantarmu. Tapi untuk mengembalikan topeng dan jam kekuatanmu, aku rasa kamu harus memintanya sendiri pada ayahku." jawab Shiloh.
.•°.•°.•°
Dari kejauhan, seorang wanita tampak melangkah tergesa-gesah menuju ruangan Komandan Kokoci. Ruangan yang tengah ramai dihuni oleh para personalia TAPOPS itu terbuka. Menampakkan seorang wanita berambut merah panjang yang menjadi sorotan orang-orang di dalam ruangan itu.
"Saya mendengar kabar bahwa Kapten Kaizo ditahan di Planet Reiss." ujarnya tiba-tiba.
Masih dengan nafas yang terengah-engah, wanita itu berkata lagi. "Apa itu .... benar?"
"Ya, itu benar, Kira'na." jawab Komandan Kokoci dengan hati yang berat.
"Kita sudah mencoba menghubungi pihak bangsa Euro, tapi mereka tidak merespon." sambung Komandan Kokoci.
"Begitu ya .... Siapa mata-mata militer Euro yang membawa Kaizo?" tanya Kira'na.
"Shiloh Moonstone." jawab Kapten Lee. Kira'na menatap laki-laki itu sesaat.
"Shiloh Moonstone? Aku akan mengunjunginya langsung." Kira'na membungkuk lalu pergi begitu saja.
Laksamana Tarung dan Komandan Kokoci dibuat bingung dengan sikap Kira'na, "Ada apa dengannya?" tanya Laksamana Tarung.
Komandan Kokoci menaikkan kedua bahunya, pertanda bahwa ia tak tahu. "Kapten Lee, tolong dampingi Kira'na. Aku takut sesuatu akan terjadi padanya jika ia benar-benar mengunjungi bangsa Euro."
Kapten Lee yang ada di sampingnya mengangguk, ia berjalan keluar dari ruangan itu untuk mengikuti Kira'na.
.•°.•°.•°
"Shiloh, aku sangat kecewa padamu." ucap Kapten Kaizo, ia menatap tajam pada wanita yang tengah duduk di samping ranjangnya.
Wanita itu hanya menunduk, "Aku tahu, maafkan aku."
"Apa semua hal yang kamu katakan tentang keluargamu itu benar?" tanya Kaizo.
Shiloh menoleh, balik menatap datar laki-laki itu. "Apa itu patut dibicarakan sekarang?" ujarnya.
Shiloh berdiri, ia mendekatkan wajahnya ke telinga laki-laki itu. "Aku akan membantumu keluar dari sini."
Kaizo menatapnya kaget, wajah Shiloh menjauh dan saling menatap dengan wajah Kaizo. Wanita itu menaikkan satu alisnya, meyakinkan Kaizo apakah laki-laki itu menerima tawarannya atau tidak.
"Apa aku bisa mempercayaimu setelah semua yang kamu lakukan padaku?" bukanya setuju, Kaizo malah tak percaya dan menatap Shiloh dengan tatapan datar.
"Kenapa tidak mencoba?"
"Kaizo, apa kamu takut aku akan menjebakmu lagi?" Shiloh melirihkan suaranya.
"Aku sudah terjebak diperangkapmu, untuk apa aku takut." balas Kaizo datar.
Shiloh memetik jarinya, "Kamu benar, jadi aku tidak akan menjebakmu lagi."
"Aku seorang tentara yang bekerja di bawah arahan atasanku, aku tidak akan bergerak tanpa arahan mereka. Tapi jika aku membantumu, artinya aku bergerak karena kemauanku sendiri, tanpa arahan dari siapa pun." lirih Shiloh.
"Sejujurnya aku menyesal membawamu kesini. Tapi jika aku tidak melakukannya, aku akan mati di tanganmu." ucap lirih Shiloh menatap wajah Kaizo, laki-laki itu tak paham dengan sikap Shiloh yang tidak bisa ditebak.
"Sebagai gantinya, aku akan melindungimu."
"Pikirkanlah baik-baik, aku tidak akan memberikan kesempatan yang sama. Aku akan memberimu waktu semalam."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top