CHAPTER 18

DISCLAIMER :
Animasi Boboiboy dan semua karakternya adalah milik Monsta Studios.
Seluruh alur cerita ini merupakan imajinasi Author dan tidak berkaitan dengan cerita sebenarnya pada animasi Boboiboy.

WARNING!!!
Original character, out of chatacter, typo dan kesalahan kata dalam ejaan.
Mohon maaf jika ada kesamaan dengan cerita lain.

RECOMENDED SONG :
Victory - Two Steps From Hill
Memory Reboot - Narvent and VØJ
Everything Works Out in the End - Kodaline
Round and Round - Heize
Sumpah dan Cinta Matiku - Nidji

.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°.•°

Zhou Kai atau yang biasa kita kenal sebagai Kapten Kaizo adalah putra sulung Keluarga Zhou dari Planet Gogobugi. Kaizo adalah putra kesayangan Gubernur Agam. Kaizo sangat mirip dengan ayahnya, itu sebabnya Alberto Moonstone merasa senang bertemu Kaizo.

Pagi itu Shiloh mengunjungi Kaizo, ia membawakan sarapan untuk laki-laki itu.

Shiloh sudah rapi dengan seragam militer loreng. Shiloh adalah seorang anggota militer angkatan udara, itu sebabnya dia pandai mengendarai pesawat jet.

"Kaizo, makanlah." Shiloh meletakkan sebuah meja lipat kecil yang ia letakkan di ranjang Kaizo, tepatnya diatas paha Kaizo. Ia meletakan nampan berisi makanan di atas meja itu.

Kaizo menatap Shiloh dengan tatapan datar, "Kamu seorang anggota pasukan khusus angkatan udara?" tanyanya saat melihat baret yang dipakai Shiloh berwarna oren.

Shiloh mengangguk, "Hari ini aku ditugaskan di Planet Cambela." ucap Shiloh.

"Kalian akan melakukan operasi yang menewaskan banyak orang?" tanya Kaizo, Shiloh mengangguk dengan wajah bersalah.

"Aku tidak ada pilihan lain-"

Kaizo melayangkan sebuah pukulan ke wajah gadis itu, Shiloh memegang hidungnya yang terasa sakit. Ia melihat di telapak tangannya yang ia gunakan untuk memegang hidungnya, terlihat ada bercak darah segar di sana. Hidungnya berdarah setelah dipukul keras oleh Kaizo.

"Wanita tidak berpri kemanusiaan." ucap Kaizo.

Shiloh menatap tak percaya pada apa yang telah Kaizo lakukan padanya, ia langsung meninggalkan laki-laki itu.

Setelah menemui Kaizo, Shiloh langsung diberangkatkan ke Planet Cambela untuk menyelesaikan tugas. Operasi yang akan dilakukan Kopasgat atau Komando Pasukan Gerak Cepat angkatan udara kali ini adalah meratakan Kota Chidirn yang berada di tepi hutan.

Hampir seluruh hutan telah digali selama sepuluh tahun terakhir ini, sekarang giliran kota-kota di pinggirnya yang menjadi target utama militer Euro.

Presiden Alberto Moonstone memilih jalur udara untuk membombardir Kota Chidirn. Sepuluh jet super milik pasukan militer angkatan udara telah diluncurkan untuk menjatuhi bom fosfor putih di Kota Chidirn. Salah satu pengendara jet itu adalah Shiloh Moonstone.

Penduduk Kota Chidirn merasa aneh dengan adanya pesawat jet militer Euro yang berterbangan di udara pada malam hari. Pesawat-pesawat itu menjatuhkan benda aneh.

"Ibu, lihat ada banyak meteor yang jatuh. Ayah bilang kita harus mengucapkan permohonan pada Tuhan!" ucap seorang anak yang sedang bermain kembang api di teras rumahnya.

Sang ibu menoleh ke langit yang ditunjuk buah hatinya, ia membelalakkan matanya lalu berlari menggendong sang anak masuk ke rumah.

"Ibu! Aku ingin melihat meteor jatuh!" seru anak itu.

"Itu bukan meteor, nak."

Bom fosfor itu sangat berbahaya, fosfor putih dapat membakar material apapun. dan jika fosfor putih itu mengenai kulit, dapat berdampak luka bakar yang dalam dan panas hingga menembus tulang.

Sepanjang menerbangkan pesawat jet di langit Kota Chidirn, Shiloh terus menangis. Ia tidak bisa membayangkan seberapa banyak korban yang akan berjatuhan, terutama anak-anak.

Selesai menjatuhi bom, semua pesawat jet yang ditugaskan langsung kembali ke markas militer yang berada di ibu kota yaitu Kota Galleo.

"Ah! Tadi itu menyenangkan!" seru seorang pilot jet yang tadi bertugas.

"Ya, aku yakin mereka mengira itu meteor jatuh." sahut rekannya yang ikut tertawa.

Shiloh yang baru saja turun dan mendengar percakapan seniornya itu hanya mengumpat, "Dasar para psikopat gila."

Gadis itu mengelap sisa air matanya saat kedua orang itu mendekat, "Shiloh, apa kamu menangis?" tanya mereka.

Shiloh menggeleng, "Tekanan udara di langit sangat kuat, air mataku jadi keluar." jawabnya.

"Begitu ya .... Jangan lupa tiga hari lagi kita kembali bertugas di sana, untuk menyingkirkan warga yang masih duduk di situ." ucapnya kemudian berlalu melewati Shiloh.

Shiloh hanya bergumam sambil mengutuk orang-orang yang ikut bahagia dengan adanya operasi ini. Ia berjalan hendak masuk ke markas. Namun di depan markas, sudah ada pria jangkun yang sepertinya sedang menunggunya.

Pria itu adalah Marsma Niccolo Jason. Shiloh menghela nafas, ia melihat jari manis tangan kirinya, sudah ada cincin kecil yang menyelip di sana. Shiloh melangkahkan kakinya ke arah pintu masuk.

"Marsma sedang apa?" tanya Shiloh setelah memberi hormat.

Laki-laki itu tak langsung menjawab, ia menarik Shiloh untuk masuk ke pesawat angkasa yang sudah terparkir tak jauh dari tempat mereka.

"Ada apa?" tanya Shiloh lagi.

"Tuan Moonstone ingin menemuimu, sebaiknya kamu cepat kembali ke Istana Presiden." jawab Niccolo.

Shiloh mengerutkan dahinya setelah Niccolo berbalik badan keluar dari pesawat. Shiloh mengikutinya sambil memanggil.

"Marsma tidak ikut?" tanya Shiloh.

"Tidak, aku ada kepentingan." ucapnya lalu berbalik badan, dengan cepat Shiloh memanggilnya kembali.

"Marsma Niccolo, anda melupakan sesuatu."

Niccolo berbalik lalu memeluk Shiloh dan mencium dahinya sekilas, itu terlihat seperti kecupan yang tidak ikhlas. Setelah itu pun dia seperti terburu-buru pergi.

"Dia melupakan ajakan makan malamnya sendiri." gumam Shiloh.

.•°.•°.•°

Shiloh menghela nafas panjang sebelum memutar knop pintu ruangan ayahnya.

"Apa Ayah mencariku?" tanya Shiloh, ia berdiri dua meter di depan meja ayahnya.

Laki-laki itu menatap putrinya dengan tatapan datar, tangannya memegang sebuah cangkir keramik berukuran kecil. Pria paruh baya itu berdiri dan melemparkan benda yang ada di tangannya ke wajah putrinya.

Shiloh merintih kesakitan sambil memegang dahinya, ia sampai membungkuk karena tak tahan dengan rasa sakit itu. Dahinya mengeluarkan darah cukup banyak karena terkena cangkir keramik.

Shiloh mencoba untuk berdiri tegap tanpa memegangi dahinya, layaknya sedang menghadap ke atasannya. "Apa salahku, Ayah?" tanyanya.

"Kenapa Theo keluar dari Akademi Militer?!" tanya Tuan Moonstone dengan suara lantang.

Shiloh cukup terkejut mendengar pertanyaan ayahnya, jelas ia tidak tahu tentang kehidupan adiknya selama ia bertugas di Markas Tim Kaizo. Berkomunikasi saja sangat ia batasi untuk menjaga penyamaran.

"Aku tidak tahu, Ayah. Aku akan menanyakannya setelah pulang ke rumah." jawab Shiloh, ia sedikit menunduk enggan menatap ayahnya.

"Aku tidak ingin tahu alasannya, aku hanya ingin dia melanjutkan pendidikkan militernya!" seru Tuan Moonstone.

Shiloh menghela nafas, ia menatap ayahnya. "Kenapa Ayah bersikeras memaksa Theo untuk menjadi apa yang Ayah inginkan?"

"Padahal aku sudah memenuhi keinginan Ayah untuk memiiliki anak yang menjadi anggota militer. Aku bahkan mengabaikan cita-citaku untuk menjadi pemain hockey. Apa itu tidak cukup untuk Ayah?"

"Apa menurutmu, aku menginginkamu?"

Shiloh mematung dengan pertanyaan ayahnya.

"Sadarlah, kamu hanya anak perempuan tidak berguna. Yang aku butuhkan hanya anak laki-laki."

"Berhenti berlagak seperti pahlawan untuk Theo, tujuanmu dilahirkan hanya untuk menjadi pembantu putraku."

.•°.•°.•°

Shiloh pulang ke rumah dengan menaiki bus kota, ia memakai jaket untuk menutupi identitas yang ada di seragam militernya. Wanita itu menggendong ranselnya masuk ke sebuah rumah berlantai dua.

Suasana di rumah ini terasa dingin. Shiloh ingat, dulu rumah ini sangat hangat. Itu dulu, saat ibunya masih tinggal di sini.

Seorang laki-laki berusia dua puluh tahun menyambutnya dengan pelukan hangat.

"Akhirnya setelah berbulan-bulan, kamu pulang juga." ucapnya.

"Theo, kenapa kamu keluar dari akademi militer?" tanya Shiloh to the poin. Ia sudah cukup lelah beraktivitas hari ini, ditambah Ayah memarahinya habis-habisan.

Maa Theo Moonstone adalah adik kandung Shiloh, mereka hanya berbeda satu tahun. Sejak dulu, ayahnya sangat ingin memiliki anak laki-laki yang meneruskan karir militernya hingga menjadi seorang jenderal besar dan melanjutkan politik dinasti kakeknya.

Namun harapan Alberto Moonstone harus pupus ketika Alberto bertanya pada Theo kecil yang masih SMP. Saat itu Alberto bertanya apa cita-cita Theo, Theo menjawab ingin menjadi seorang perancang busana profesional. Hal itu tentu saja sangat bertolak belakang dengan keinginan ayahnya.

Maa Theo adalah seorang anak laki-laki manja yang memiliki tekad kuat pada keinginannya, cita-citanya itu tidak bisa diganggu gugat.

Shiloh yang mendengar keinginan ayahnya yang tak bisa dipenuhi adiknya itu memutuskan untuk mengalah dan mengubur dalam-dalam cita-citanya sebagai pemain hockey. Shiloh memutuskan untuk memasuki akademi militer saat usianya tujuh belas tahun. Shiloh menghabiskan masa SMA-nya di akademi militer, sedangkan Theo diberi keringanan untuk berpikir dua kali sambil melanjutkan pendidikannya di salah satu SMA favorit di negara Euro.

Sampai saat ini, pengorbanannya masih tidak diapresiasi dengan baik meskipun Shiloh sudah menjadi prajurit yang memiliki banyak keahlian. Ayahnya masih tetap memaksa Theo untuk menjadi apa yang ia inginkan.

"Aku sakit asma, apa mereka tidak bilang pada Ayah?" Theo bertanya balik.

"Entahlah." Shiloh berjalan melewati Theo.

"Apa Ayah memukulmu?" tanya Maa Theo saat melihat luka di dahi kakaknya.

Shiloh menghela nafas, ia berbalik badan menatap adiknya. "Iya! Dan seharusnya kamu mengatakan sendiri kemauanmu apa! Jadi dia tidak akan melampiaskan amarahnya padaku!"

Shiloh membanting pintu kamarnya.

"Dan sekarang dia melampiaskan amarahnya padaku." gumam Theo.

"Shiloh! Katakan padaku seberapa galaknya Kapten Kaizo!" teriak Theo sambil menggedor-gedor pintu kamar kakaknya, ia mencoba mengalihkan topik, tapi hal itu malah membuat suasana hati kakaknya bertambah buruk.

"Diam! Aku lelah!" balas Shiloh berteriak dari dalam kamarnya.

"Apa dia tampan seperti yang orang-orang katakan?"

"Katakan seberapa hebatnya dia!"

Theo menempelkan telinganya di pintu kamar Shiloh, tidak ada jawaban dari wanita itu. Sepertinya dia sudah tidur.

Batin Shiloh sangat lelah hari ini. Pagi hari wajahnya dipukul oleh Kaizo sampai hidungnya berdarah, kemudian ia harus bertugas menurunkan hujan bom fosfor putih di Kota Chidirn, tidak jadi dinner dengan Niccolo dan malam ini diamuk oleh ayahnya.

Terkadang sangat melelahkan menjadi Shiloh Moonstone.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top