Part. 6 - Alone to be with you
Sehubungan udah mendekati Oktober, aku akan fokus ke cerita ini sampai tamat.
Happy Reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Sebenarnya, Sierra bukanlah orang yang kurang percaya diri atau merasa rendah diri ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan harapannya. Hanya saja, sikap Dimas yang seolah tidak terjadi apa-apa setelah Sierra menyatakan perasaan, cukup mempengaruhi mood-nya.
Setelah jalan-jalan dari Kota Tua, Sierra pun tidak menghubungi Dimas seperti biasa, hanya membalas dan menanggapi pesan singkat tentang ketibaannya, itu saja. Dia pun sedang malas untuk melakukan segala sesuatu. Semua seperti salah di matanya. Akibatnya, dia menjadi lebih pendiam dan melakukan pekerjaannya dengan setengah hati.
"Heh, lu kenapa? Tumbenan amat diem gini?" tanya Rayya sambil mengunyah rengginang dengan kunyahan yang sangat berisik.
Sierra menghela napas dan mengarahkan posisi pada Rayya yang masih duduk di kubikel-nya. "Menurut lu, gue cantik, gak?"
Rayya tertegun sejenak, menatap Sierra dengan kening berkerut dan ekspresi seolah mengatakan dirinya tolol. "Kesambet apaan sih lu?"
"Jawab gue!" desis Sierra gemas.
"Ya, definisi cantik kan beda-beda, Ra. Buat gue, lu itu oke. Tapi belum tentu buat yang lain, kan? Dengan lu yang suka dandan, ada kalanya orang menganggap lu sok cantik," ujar Rayya skeptis.
"Nggak ada hubungannya antara suka dandan dengan sok cantik. Orang yang ngomong kayak gitu, udah pasti nggak paham yang namanya menghargai diri sendiri untuk memberi nilai lebih pada diri agar terlihat lebih baik," sahut Sierra dramatis.
"Nah, cakep! Udah bisa ngemeng bokis kayak gitu, kenapa lu tiba-tiba jadi insecure dengan kasih pertanyaan bego kayak tadi?" cetus Rayya sambil melanjutkan aktifitas menikmati rengginang-nya.
Sierra menekuk bibirnya sambil berpikir dalam hati, ingin rasanya berbagi cerita, tapi ragu jika Rayya bisa saja menertawainya. Tapi, bukankah seorang sahabat akan selalu membantu, setelah puas menertawainya? pikir Sierra.
"Heh, bengong lagi! Kenapa sih? Gue jadi kepo nih!" seru Rayya sambil menimpuknya dengan remahan rengginang, tapi hanya terjatuh di atas meja.
Sierra berdecak sambil mengambil remahan di meja dengan tissue, lalu membuangnya. Kembali dia menatap Rayya, kali ini dengan ekspresi memelas. "Kemarin gue jalan sama Dimas."
"Iya, tahu. Lu sama Dimas jalan-jalan ke Kota Tua, kan? Terus kenapa? Ketahuan kalo tuh cowok bukan orang yang asik buat diajak jalan? Orangnya kaku kayak kanebo gitu, pasti kayak ngomong sendiri karena cuma punya kuping dan nggak punya mulut," balas Rayya cuek.
Menghela napas, Sierra menatap Rayya tajam. "Gue nembak Dimas, Ya."
Rayya langsung tersedak rengginang, lalu buru-buru mengambil tumblr-nya untuk meneguk air putih. Sierra menatap Rayya jenuh dan sudah bisa memastikan jika temannya itu akan memberi ghibahan yang tidak diperlukan.
"Serius?" pekik Rayya setelah sudah selesai dengan urusan kagetnya itu.
"Kencengan lagi aja, Ya. Biar semua orang pada tahu!" desis Sierra kesal.
Rayya membekap mulutnya sendiri, lalu mencondongkan tubuh untuk bisa lebih dekat dengan Sierra, dan bersuara dalam nada berbisik. "Terus gimana? Lu ditolak?"
"Gue nggak tahu," jawab Sierra pasrah.
"Kok nggak tahu?"
"Orangnya nggak kasih respon apa-apa, selain ngajakin gue lanjut buat liat-liat wayang di museum."
Rayya mendesah kecewa dan menatap Sierra tajam. "Itu namanya udah ditolak dong. Ya udah sih, ngapain sedih-sedih? Masih banyak cowok oke, ntar gue kenalin!"
"Yah, nggak tahu juga, Ya," sahut Sierra.
"Nggak tahu gimana?"
"Dia ngajakin ketemu pas nanti pulang kerja."
"Buat penolakan secara nyata gitu? Aduh! Kok lu pukul gue?"
Sierra yang kesal, langsung menoyor kepala Rayya dengan gemas. "Jadi temen tuh kasih semangat, malah jatuhin diri gue dan bikin nggak pede. Rese lu!"
Rayya terkekeh sambil mengangkat bahu. "Sori, gue nggak maksud bikin lu baper. Lagian, kenapa sih harus merasa sedih dan males-malesan cuma gara-gara ditolak? Jomblo dua tahun aja hepi, ditolak abis pdkt gini mah, urusan cetek buat lu."
"Harusnya gitu, tapi rasanya tuh ada yang nggak enak dalam hati gue," balas Sierra.
"Terus maunya gimana?" tanya Rayya.
"Nah, lu bisa kasih masukan yang memotivasi gak? Kalo nggak ada, diem aja. Gue lagi siapin hati biar nggak sedih-sedih amat," jawab Sierra.
Rayya menganggukkan kepala. "Ya udah, hadapi aja. Misalkan dia menolak, itu justru jauh lebih bagus karena lu nggak usah berharap lebih lama, kan? Mendingan ditolak di awal, daripada dijalanin dengan tujuan yang nggak sama. Intinya kan lu cari kepastian, bukan pelarian."
Ucapan Rayya ada benarnya dan Sierra tidak bisa membalas apapun selain menjalani sisa hari itu dengan perasaan yang gamang. Terlebih saat waktu sudah menunjukkan pukul 5, yang berarti jam pulang kantor dan Sierra harus menerima apa yang ingin dibicarakan Dimas nantinya.
Ketika para karyawan dipastikan sudah pulang terlebih dulu, barulah Sierra beranjak dari kursi dan segera menuju ke pelataran parkir untuk bertemu dengan Dimas di sana. Memberi senyuman tipis, Dimas menyambut kedatangannya, yang dibalas dengan canggung oleh Sierra.
"Mau kemana?" tanya Sierra setelah mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
"Terserah," jawab Dimas.
"Kasih jawaban yang pasti dong, aku tuh mana paham kalo dijawab terserah?" balas Sierra sambil melirik pada Dimas, tanpa bermaksud untuk menyindir.
Sambil melajukan kemudi untuk keluar dari pelataran parkir, Sierra merasa tidak nyaman dan begitu canggung saat ini. Tangannya mencengkeram setir dengan kuat, hingga berkeringat karena gugup. Ah, inikah rasanya menunggu jawaban yang tidak sesuai harapan? Batinnya kesal.
"Ra," panggil Dimas pelan.
Deg! Degup jantung Sierra semakin bergemuruh hebat di dalam, tanda peringatan sudah diberi secara terang-terangan, dan membuatnya semakin kelimpungan.
"Ya?" balas Sierra lirih.
"Kenapa hari ini nggak ada kabar? Biasanya, kamu akan kirim chat ke saya," tanya Dimas dengan nada yang semakin pelan.
Eh?
"Mmmm, tadi pagi kesiangan, trus ada banyak kerjaan," bohong Sierra, meski sebenarnya dia sudah terlanjur takut untuk memulai karena tidak mendapat tanggapan seperti kemarin. Entah kemana rasa percaya dirinya selama ini ketika berhadapan dengan Dimas sekarang.
Dimas terdiam dan tidak bertanya lagi, membuat Sierra semakin gugup tidak karuan. Jujur saja, dia tidak tahu harus kemana setelah keluar dari area perkantoran. Tanpa arah tujuan, Sierra melajukan kemudi dengan jalan lurus saja, dan berhenti jika ada lampu merah.
"Saya minta maaf jika saya terkesan nggak menghargai kamu, Ra," ucap Dimas memulai pembicaraan.
"A-Apa?" tanya Sierra gelagapan, berusaha fokus pada kemudi yang dijalankan.
"Soal kemarin," jawab Dimas tenang.
"Oh," hanya itu respon yang bisa diberikan Sierra saat ini, sebab dia tidak tahu apa yang harus dibalasnya.
Jeda sejenak. Baik Dimas dan Sierra sama-sama terdiam untuk sibuk dalam pikirannya masing-masing. Sierra menghela napas dan merasa bodoh dengan kecanggungan yang dia ciptakan sendiri. Oleh karena itu, dia merasa perlu memperbaiki situasi saat ini.
"Mmm, aku juga perlu minta maaf karena..."
"Sori, boleh saya potong sebentar," sela Dimas cepat, saat Sierra hendak menyampaikan maksudnya.
Mengerjap cemas, Sierra hanya mampu menganggukkan kepala dengan tatapan lurus ke depan, tidak berani menoleh pada Dimas yang sudah menatapnya sedaritadi.
"Jujur aja, saya kaget waktu kamu minta saya jadi pacar kamu," ucap Dimas pelan.
"Kenapa kaget?" tanya Sierra spontan, lalu memberanikan diri untuk menoleh, dan kembali menatap ke depan, berusaha fokus untuk melajukan kemudinya.
Dimas tersenyum. "Saya nggak percaya kalau kamu tertarik dengan saya. Maksudnya, saya masih baru dalam hal apapun, yaitu karir dan hubungan spesial seperti ini."
"Nggak ada yang aneh kalo aku tertarik sama kamu," balas Sierra langsung.
"Kenapa?"
"Karena kamu memang menarik."
"Menarik?"
"Iya. Buatku, kamu itu lucu, polos, apa adanya, dan nggak jaim."
"Sekalipun saya baru memulai karir dan..."
"Memulai hubungan itu nggak ada hubungannya sama karir, meski itu bisa dijadikan salah satu alasan, Mas. Dalam hal ini, aku merasa nyaman sama kamu, dan bisa jadi diri sendiri. Itu aja. Nggak yang sampe mikir gimana-gimana gitu, karena hidupku aja udah cukup ribet," sela Sierra lugas.
Mencoba melirik, Sierra bisa melihat ada sorot kelegaan dari tatapan Dimas. Berhubung sudah dibawa dalam pembahasan, maka Sierra perlu memperjelas segalanya supaya tidak ada yang perlu ditahan kembali.
"Jadi, soal kemarin..."
"Iya, itu yang mau saya omongin," sela Dimas lagi.
"Oke," putus Sierra kemudian, memberi Dimas kesempatan untuk menyampaikan apa saja yang ingin diucapkan.
"Saya tahu kalau saya terkesan nggak peduli sama apa yang kamu sampaikan. Jujur aja, saya kaget dan bingung, tapi juga kepikiran," ujar Dimas dan Sierra kembali menganggukkan kepala sebagai respon.
"Saya bisa merasa kalau kamu memang berniat untuk mendekati saya, tapi saya masih ragu tentang pemikiran itu. Lalu, pas kamu bilang kayak gitu kemarin, saya rasa nggak pantas kalau saya kasih kamu yang ngomong hal itu lebih dulu," lanjut Dimas dengan kalimat terpanjang yang bisa didengar oleh Sierra.
"Mmm, jadi maksudnya kamu..."
"Anggap aja? yang kemarin kamu omongin itu, nggak pernah terjadi," sela Dimas lagi.
Sierra langsung menoleh dan menatap Dimas tidak percaya. Pria itu begitu lugas dalam memberi penolakan yang sudah diperkirakan, tapi mendengarnya selugas itu dalam menyampaikan, membuat perasaan Sierra semakin tidak karuan.
Untung saja, saat itu sedang lampu merah dan Sierra bisa menenangkan diri dengan tidak gegabah dalam menginjak pedal gas. Degupannya semakin mengencang dan berharap agar dirinya bertahan sedikit lagi untuk tidak menunjukkan kesedihannya. Tapi, belum selesai dirinya menenangkan diri, Dimas kembali mengeluarkan ucapan yang membuat kepalanya langsung pening seketika.
"Jadi, biar hari ini jadi giliran saya yang ngomong sama kamu. Apa kamu mau jadi pacar dan terima semua kekurangan saya, Ra?" tanya Dimas dengan nada sepelan mungkin.
Saat seseorang bisa melepaskan orang yang salah, itulah saatnya menemukan orang yang tepat, dan kini Sierra merasakannya. Dia tidak perlu bekerja keras untuk menjadi bahagia saat bersama Dimas, karena itu terjadi dengan sendirinya. Kegalauan yang tadi dirasakan adalah rasa yang diciptakannya sendiri, tanpa memperluas persepsinya.
Masih dalam posisi daya kerja otak yang melamban, juga lidah yang mendadak kelu, Sierra bergeming untuk mencerna situasi saat ini lebih lagi. Dia yang menyatakan perasaan, lalu diabaikan Dimas, dan dianggap tidak valid. Sebaliknya, Dimas menyampaikan permintaan itu sebagai seorang pria yang meminta wanitanya. Holy fucking hell! Sierra mengerjap cepat ketika kesadarannya sudah kembali.
"Ini serius? Dimas minta Sierra jadi pacarnya?" tanya Sierra dengan suara tercekat dan ekspresi tidak percaya, lalu tersentak kaget ketika mendengar ada klakson dari arah belakang.
Dengan segera, Sierra memindahkan gigi dan melajukan kemudi karena lampu sudah berubah menjadi hijau. Degup jantungnya semakin bergemuruh, tapi dalam konteks yang menyenangkan dan bukan membingungkan. Ah, jadi bucin bikin sesak sekaligus senang, batin Sierra lega.
"Iya, Ra. Kamu mau?" balas Dimas dengan nada gugup.
"YA MAU LAH! Masa iya aku nolak? Kan aku yang ngajak duluan, gimana sih?" seru Sierra kencang, lalu tertawa keras karena berhasil membuat Dimas tersentak kaget karena seruannya.
Orang bilang jodoh itu di tangan Tuhan, itu benar. Tapi tidak akan menjadi jodoh, jika kita tidak berusaha dan hanya berdiam diri. Sebab hal yang baik tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan upaya untuk mengejar dan memperjuangkannya.
Dan hal terpenting yang terjadi adalah gelar jomblo sudah ditanggalkan karena Sierra sudah punya pacar. Karena jomblo bukan untuk tetap sendiri, melainkan untuk dipacari, supaya ada yang mencari, tanpa harus terus menanti.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Bagi Sheliu,
Nggak apa-apa jika masih sendiri, itu tandanya kamu masih dicari untuk dijadikan istri.
Mendapat yang terbaik, butuh waktu.
Pokoknya, sabar. 🙃
Tapi tetap usaha, bukan diam,
apalagi pasrah.
30.08.2020 (12.37 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top