9 - The Deal

TIDAK salah dengar dan bukan bohongan. Hari ini ayahnya benar-benar berangkat ke Didyma untuk berkonsultasi dengan orakel Apollo. Dia sendiri yang mengantar kepergiannya tadi pagi sambil melambaikan tangan dengan pikiran kosong yang bercabang ke mana-mana.

Bukankah akan lebih bijak kalau ayahnya bertanya kepada orakel mengenai masa depan Miletus daripada masa depannya? Raja sudah membuang-buang kesempatan sebulan sekali hanya untuk mencari jawaban mengenai jodoh Psyche. Padahal putrinya itu masih menikmati kebebasannya dalam menenun meskipun dahinya berkerut dalam akibat terlalu fokus menjalin benangnya.

"Jika kau terus berekspresi seperti itu, kulitmu akan cepat terkena keriput," tegur Ianthe.

"Manusia memang sudah ditakdirkan menua," balas Psyche yang lanjut menarik dan memasukkan benang-benangnya dengan tekun.

"Maka dari itu, kau harus cepat menemui jodohmu agar tidak menua sendirian," desah Ianthe yang kemudian mendekatkan duduknya sehingga Psyche menghentikan aktivitasnya sejenak. "Percayalah Psyche, ini karena kami sangat menyayangimu," ujarnya sembari membelai surainya.

"Aku tahu," jawab Psyche dengan menatap ke bawah kakinya, merasakan kembali tekanan yang sama. "Tapi aku pikir kali ini sedikit berlebihan," ujarnya yang kembali bersuara, "seharusnya Ayahanda mengonsultasikan masalah Miletus saja ke sana."

Sebulan sekali mereka akan melakukan konsultasi dengan Pythia. Namun, bagi wilayah yang sangat jauh dengan daratan utama Yunani, seperti pesisir barat Anatolia, mereka akan berkonsultasi dengan pendeta tinggi Apollo di Didyma, pusat ramalan Apollo yang berada di selatan Miletus. Orakel Didyma bisa dibilang setara dan memiliki kredibilitas yang sama dengan dengan Orakel Delphi. Mereka sangat tepercaya sehingga seluruh petinggi dan masyarakat di Ionia akan berbondong-bondong ke sana untuk mencari nasihat suci jika hari konsultasi Pythia tiba.

"Asalkan ini untuk kebahagiaan putri kami, tidak ada yang berlebihan," balas Ianthe dengan menangkup lembut pipi Psyche.

Kebahagiaannya. Psyche sendiri tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan hal tersebut. Apakah hanya dengan menjadi putri yang penurut dan menikah dengan seorang laki-laki akan menjadi kebahagiaannya? Hingga matahari tergelincir dan bulan meninggi di atas kepalanya pun dia tidak kunjung menemukan jawabannya.

"Menurutmu, apa yang akan Phoebus Apollo beritahukan kepada ayahku, Meli?" tanyanya sambil menatap langit malam yang bertaburan bintang-bintang dari balik jendela bersama terwelunya.

"Apa dia akan bilang kalau aku akan menikah kelak atau justru menyampaikan kalau aku memang tidak ditakdirkan untuk menikah sama sekali?"

Pertanyaan itu hanya dibalas oleh keheningan. Sahut-menyahut dengan desiran angin dingin yang bertiup dari lautan. Dia ingin tahu jawabannya agar bisa mengakhiri seluruh kekhawatiran yang tak berujung ini.

"Jika aku akan menikah, aku harap laki-laki itu bisa melihat kekuranganku," pungkas Psyche sebelum menutup tiraianya dan mengistirahatkan seluruh bebannya sambil memeluk Meli dengan hangat.

Sayangnya, malam ini tidak akan bisa membuat Meli terpejam. Setelah Psyche terlelap dalam tidurnya, dia perlahan-lahan mulai melepaskan dirinya dari dekapan Psyche dan langsung melompat dari jendela. Namun, dia tidak bermaksud untuk bunuh diri karena tubuh kecilnya yang terjun bebas langsung berubah menjadi sosok besar yang bersayap lebar.

"Tidak! Dia tidak boleh menikah dengan laki-laki mana pun!" sergah pemuda itu yang langsung mengepakkan sayapnya dengan tergesa-gesa.

Dia membelah langit dengan terbang lebih cepat. Menerjang awan dan melewati bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Terus bergelut dengan benaknya untuk mencari jalan keluar, meskipun akhirnya hanya menemukan kebuntuan.

"Aku tidak akan membiarkannya."

Eros memacu sayapnya dengan raut masam. Sayatan itu benar-benar sudah mengakar hingga ke relung hatinya. Egonya bahkan semakin meninggi hingga hampir menyaingi Gunung Olympus. Hanya dia satu-satunya orang yang pantas menikahi Psyche, gadis jelita yang berhasil memanah hatinya. Tidak ada yang berhak memiliki hati, apalagi jiwa dalam hidupnya. Namun, saat dia sampai di Olympus untuk memikirkan sebuah cara, dia justru tidak bisa berkutik karena sang ibu datang menemuinya.

Aphrodite yang berparas halus itu terlihat layu. Wajah manisnya diukir oleh guratan kesedihan saat menghamburkan pelukannya. Terlihat semakin menyayat oleh bulir-bulir air mata yang mulai menghiasi mata birunya.

"Apa yang terjadi padamu, Ibunda?" tanya Eros dengan alis yang bertautan.

"Oh, putraku. Hatiku semakin sakit," jawab Aphrodite dengan suara pilu. "Kenapa gadis itu tidak kunjung mendapat karma?"

Pertanyaan itu membuat Eros menelan ludahnya susah payah. "Aku yakin, dia akan segera  mendapatkannya."

"Tapi kapan? Ini sudah berbulan-bulan bahkan hampir menyentuh setahun sejak kau melaksanakan perintahku."

Eros terhenyak, tidak menyadari berapa lama waktu yang ia lalui bersama Psyche. Rasanya hanya sebentar mereka menghabiskan waktu bersama dengan memori yang indah. Walaupun sepertinya hanya Eros yang merasakannya.

"Kau sudah melakukan perintahku, kan?" tanya Aphrodite mengamati putranya saksama. Pastinya tidak mungkin Eros berani mengecewakan ataupun mengabaikan ibunya yang tersayang.

"Tentu saja sudah," deham Eros dengan mengukir senyum simpulnya. 

"Jadi, makhluk apa yang sudah kau jodohkan dengannya?"

Tenggorokan Eros terasa kering. "Oh, dia sangat mengerikan dan buruk, Ibunda. Percayalah, kau tidak akan mau melihatnya," balasnya sambil bergidik yang terasa meyakinkan di mata Aphrodite.

Menyebutkan kalimat itu lagi membuat Eros menggigit ujung lidahnya. Dia seperti mengatai dirinya sendiri yang indah itu sebagai sosok monster yang jahat. Namun, dia tidak punya pilihan lain selain memberikan alibi.

"Kalau begitu, percepat," minta Aphrodite tegas, "atau aku sendiri yang akan mematahkan hatinya."

Eros merasakan tubuhnya melemas. Tentu saja dia tidak mau hal itu terjadi. Tidak ada yang boleh mematahkan hatinya, meskipun itu adalah Dewi Cinta yang merupakan ibunya sendiri.

Dewa itu mengulum bibirnya yang terasa pahit lalu berucap, "Aku sudah menyiapkan momen yang bagus untuknya," ungkapnya yang kemudian tersenyum simpul. "Setelah raja mereka kembali dari Didyma, rakyat mereka akan merasakan duka yang mendalam."

𓆩༺♥༻𓆪

Udara terasa cukup terik saat ini. Mungkinkah karena hatinya terbakar atau karena ia terbang terlalu dekat dengan matahari yang bersinar terang? Setidaknya Eros tidak perlu khawatir kalau sayapnya akan meleleh dan ia akan meluncur dari langit seperti Icarus. Apa yang perlu ia khawatirkan sekarang adalah bagaimana caranya untuk membujuk dewa yang bermulut manis itu.

Eros berdiri di hadapan gerbang emas yang bermotifkan laurel dan cakram matahari. Di depan sana, terlihat istana marmer emas yang bertaburan berlian kenari, begitu menyilaukan saat kilapan cahaya terpantul di atasnya. Halaman depannya yang luas dihias oleh berbagai macam varian bunga. Terangkai estetis dengan patung-patung sang dewa dan air mancur nektar yang mengalir dalam kelipan. Kemudian karpet lily lembah yang menjadi hasil karya sang seniman, semakin mempertegas definisi keindahan abadi yang memukau penglihatannya dalam keabadian.

"Kalau tahu seperti ini, aku tidak akan melakukan tindakan bodoh itu," sesalnya mengingat kejadian masa lampu ketika dia tertawa penuh kemenangan saat berhasil melukai hati dewa itu.

Eros menarik napasnya dalam-dalam, mempersiapkan mentalnya sebelum melangkah maju. Dia berharap kalau dewa itu tidak akan menembakkan panah emasnya yang penuh wabah. Jika sampai hal itu terjadi, pupus sudah semua harapan indahnya. 

Sayangnya, semua keberaniannya seolah menguap ketika dia berhadapan langsung dengan dewa yang menjadi putra kesayangan Zeus itu. Phoebus Apollo yang agung, Dewa Olympus yang memiliki berbagai gelar yang tak terhitung jumlahnya. Hanya dengan menatap mata emasnya yang gemerlap saja sudah bisa membuat keringat dingin Eros mengucur deras.

Apollo terlihat agung dan menawan dengan wujud dewanya. Chiton putih yang berbordir emas membalut tubuh atletisnya yang lembut, dilengkapi dengan himation merah yang tersampir di bahu. Rambut pirang terangnya yang sedikit bergelombang itu dibiarkan terurai anggun dengan untaian mahkota laurel. Menonjolkan ketampanannya yang hakiki dengan wajah halus berseri yang dipadukan dengan iris emas yang tajam. Semua orang sudah pasti akan langsung terbius oleh senyum manisnya yang memesona hati dan menentramkan jiwa, tetapi akan langsung gemetaran tatkala dia merentangkan busur emasnya.

Apollo terlihat menggerakkan jari-jemari lentiknya, memetik dawai lira kesayangannya dengan penuh penghayatan. Setiap akord yang ia mainkan terdengar keras dan nyaring. Terangkai harmonis dengan alunan surgawi yang mengalir bak nektar di telinga mereka.

"Oh, Klêidouchos yang manis

Sang pemilik relung hati

Terbang tinggi di balik sinar

Melesat cepat tanpa bayang-bayang


Panahmu adalah pedang yang paling tajam

Menusuk dalam meski tak tampak

Mencerai-berai ombak lautan

Menggetarkan gunung dengan sekali tarikan


Sekali terantuk ujung tajamnya

Gelora terbakar dalam ganasnya hasrat

Membelenggu logika dan mengabukan jiwa

Meraki lara hingga tak terkira merananya."

Eros bergidik ngeri saat mendengar kalimat puitis Apollo. Mereka memang dirangkai dengan diksi yang indah dan menawan, tetapi makna yang ia tangkap justru seperti sarkasme yang tajam. Sakit hati yang Apollo simpan ternyata ikut diuntai ke dalam puisi kepahitannya.

"Aku minta maaf untuk yang sudah berlalu," ucap Eros tertunduk.

"Baru sekarang kau merasa menyesal?"

"Ini memang sudah terlambat, tetapi aku tulus meminta maaf."

Apollo meletakkan liranya lalu menopang kepalanya dengan salah satu tangan. "Maafmu tidak akan membuat kayu berjalan lagi."

Eros menggigit bibir bawahnya. "Aku akan mencari cara untuk merubahnya kembali seperti semula."

Tawaran itu justru membuat tawa Apollo mengalun kering. "Dan kau akan mematahkan hatinya lagi, sama seperti sebelumnya?"

"Aku tidak bermaksud begitu," balas Eros tertunduk.

Apollo melangkah turun dari singgasananya dengan tersenyum miring. "Ya, karena akulah targetmu dan kau telah berhasil menjatuhkanku ke dalam pusaran lubang hitam," ujarnya yang kemudian tersenyum getir. "Aku tidak mau kau mengusik apa yang sudah terjadi. Luka yang kau goreskan itu akan berbekas dalam kekekalan dan aku sudah menerima konsekuensi itu."

Eros dapat merasakan setiap rasa sakit dan bersalahnya. Hatinya memang sudah tergores sangat dalam akibat satu panah yang ia lesatkan. Kali ini dia dapat mengerti seberapa tidak enaknya memiliki perasaan yang sepihak.

"Lalu apa yang harus aku lakukan agar kau menerima permintaan maafku, Phoebus Apollo?" 

Apollo menggeleng. "Tidak ada. Apakah kau bisa memutarbalikkan waktu atau mengusir kemalangan?"

"Tidak," jawab Eros menelan ludahnya. Apollo memang dikenal tidak mudah menerima kata maaf sebelum orang yang bersalah dijatuhi hukuman yang setimpal atau mereka memohon ampun dengan segenap jiwa. Jadi, apakah dia harus menggadaikan jiwanya agar dimaafkan oleh dewa yang bisa melibas ribuan pasukan dalam sekali tembakan?

"Tapi aku bisa menjamin masa yang akan datang," lanjutnya yang didengarkan baik-baik oleh Apollo, "aku berjanji kalau anak panahku tidak akan pernah mengganggumu lagi mulai hari ini dan selanjutnya."

"Kau memberiku tawaran yang baik," balas Apollo tersenyum manis. Siapa dewa yang tidak mau terbebas dari beban yang merongrong emosi, seperti cinta semu yang ditembakkan oleh Eros? Apalagi dia adalah dewa yang suka kebebasan dan penuh logika, sudah sepatutnya ia menjaga jaraknya dari hal yang fluktuatif tersebut. 

"Sekarang katakan apa tujuanmu kemari, Klêidouchos?"

Eros tersenyum cerah saat Apollo memberikan sinyal bahwa ia menerima pengajuannya. "Aku datang sebagai utusan Dewi Cinta."

"Sampaikan pesannya."

Eros kemudian maju ke depan. "Dewi Cinta meminta tolong agar kau berkenan memberikan ramalan kepada Raja Miletus." 

"Ah, kota yang menyembah dewi manusia itu?"

"Itu benar."

"Apa yang ingin Aphrodite dengar dari ramalanku untuknya?"

Eros menarik napasnya dalam-dalam lalu mengutarakan jawabannya dengan suara yang meyakinkan. "Dia ingin orakelmu menyampaikan, bahwa putrinya yang tercantik akan menikahi makhluk abadi yang buruk rupa."

Apollo menyeringai kecil.  "Makhluk buruk rupa seperti apa yang ingin dinikahkan kepada gadis tercantik itu? Satyr? Raksasa? Minotaur?"

"Bukan!" sergah Eros yang kemudian berdehem keras. "Jangan katakan siapa jati diri atau apa pun jenisnya, itu yang ibuku minta."

"Baiklah, sepertinya Aphrodite ingin menghukumnya lebih berat," balas Apollo sambil menepuk tangannya sekali dengan keras sehingga Eros menjadi rengat hati. "Sampaikan kepada ibumu, Klêidouchos. Raja Miletus akan mendapatkan ramalan terbaik dari Phoebus Apollo seperti yang dia inginkan."

𓆩༺♥༻𓆪

Terminologi:

- Klêidouchos : artinya pemegang/pembawa kunci, merupakan salah satu julukan Eros karena dialah yang memegang kunci hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top