8 - Strange
𓆩༺♡༻𓆪
HARI berikutnya tidaklah seperti yang diharapkan. Seminggu bahkan sebulan yang berlalu pun masih tetap menghasilkan keheningan yang sama karena para pejabat dan putra-putra mereka memilih bungkam. Semuanya seolah beralih dengan cepat dan menganggapnya sebagai angin lalu saja.
Adrasius memukul mejanya dengan geram. Pesta yang ia buat secara besar-besaran beberapa waktu yang lalu terasa sia-sia. Baru kali ini titahnya dipandang sebelah mata oleh rakyatnya.
"Bagaimana ini mungkin?"
Satu gebrakan keras kembali terdengar di ruangan itu. Tidak hanya mengejutkan Aegeus yang sedang berdiri di sebrangnya dengan takut-takut, tetapi juga mengagetkan burung kenari yang sedang bertengger di dalam sangkarnya. Jujur saja, baru kali ini Aegeus melihat emosi rajanya yang tidak terkontrol sejak ia menjabat di istana.
"Para pejabat dan putra-putranya telah menghinaku!" geram Adrasius lagi dengan urat-urat kepala yang menonjol.
Wajahnya semakin merah padam. Harga dirinya sudah tergores akibat keabaian mereka. Namun, dia tetap tidak tahu bagaimana rasa sakitnya ketika para manusia lebih memilih untuk berpaling dari Dewa yang senantiasa mereka puja.
"Tenanglah, Yang Mulia. Mereka pasti punya alasan."
"Alasan apa?" tanya Adrasius dengan tatapan tak percaya. "Putriku adalah gadis yang sangat sempurna. Bagaimana mereka bisa menolaknya seperti ini?"
Aegeus kini memberanikan dirinya untuk maju ke depan. "Itulah alasannya."
"Apa?" sergahnya yang menolak untuk memahami ucapannya.
"Maaf karena aku lancang dengan mengatakan ini, tetapi Putri Psyche memang terlalu sempurna untuk manusia biasa seperti mereka."
Jawaban itu membuatnya tercengang. Putrinya terlalu sempurna sehingga tidak ada yang mau memperistrinya? Rasanya sangat konyol jika itu benar-benar itu yang menjadi alasannya.
"Tidak," tampiknya dengan dahi yang berkerut dalam. "Itu tidak mungkin."
"Aku mendengarnya dari para pejabat sendiri."
"Sepatutnya salah satu dari mereka tetap ada yang melamarnya! Apa mereka lupa dengan posisi tinggi dan tanah luas yang aku tawarkan!"
"Rasa takut sepertinya lebih besar daripada suapan manis," gumam Aegeus lirih.
Adrasius mendesis kecut. "Mereka sudah membuatku terlihat seperti pengemis."
"Kita akan menemukan jalan keluar untuk masalah ini, Yang mulia," urai Aegeus.
Matanya yang berapi-api mulai tampak berkaca-kaca oleh bendungan air mata. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan putriku ketika mengetahui pengkhianatan yang pedih ini."
Penasihat itu menghela napasnya panjang. Hati lembut sang tuan putri tentu saja akan robek ketika mengetahui kebenarannya. Dia pun memutar otaknya lebih keras untuk mencarikan solusi yang tepat sebelum air bah itu menerjang kembali dan menenggelamkan istana mereka.
"Mungkin, Putri Psyche tidak ditakdirkan untuk menikahi pejabat maupun manusia biasa," ujar Aegeus.
Adrasius langsung memusatkan perhatiannya kepada Aegeus. Alisnya yang saling bertautan itu terlihat hampir menyatu. "Apa maksudmu?"
"Mungkin dia ditakdirkan untuk menikahi raja besar ataupun keturunan para dewa, Yang Mulia," papar Aegeus bak embusan angin sejuk. "Aku pernah mendengar di daratan Yunani, seorang dewi ataupun setengah dewi menikahi raja-raja dan pahlawan Yunani."
Secercah harapan itu langsung meniup pergi muka muram Adrasius. "Kalau begitu, kita harus berkonsultasi kepada peramal untuk mendapatkan jawaban yang jelas," putusnya dengan mata cerah penuh harapan.
Aegeus menganggukkan kepalanya. "Kami akan segera memanggil orakel Apollo ke istana."
"Tidak, aku perlu orakel yang paling andal," jawab Adrasius yang kemudian bangkit dari kursinya lalu tersenyum lebar hingga giginya terlihat semua. "Siapkan keberangkatanku. Kita akan pergi ke Didyma."
𓆩༺♡༻𓆪
Burung bertengger di dahan-dahan yang rindang, mengistirahatkan sejenak sayap mereka yang lelah. Dersik angin yang membelai pepohonan mulai mengantarkan kicauan merdu mereka. Menandakan kalau alam tengah bercengkraman dengan cerahnya hari yang dibawa oleh Hemera.
Psyche merasakan kasarnya rerumputan yang menggelitik kakinya. Dia kemudian duduk di antaranya kemudian memejamkan matanya. Lalu sedikit menengadahkan kepalanya ke atas agar bisa merasakan kehangatan mentari pagi yang baru menerpa.
"Rasanya hangat sekali," ujarnya halus sebelum mengukir senyum lembutnya dan menoleh kepada hewan imut yang senantiasa menemaninya setiap saat itu.
"Kau harus makan yang banyak, Meli," ujarnya seraya menyuapi terwelu yang dinamainya 'Meli' itu dengan wortel yang ia bawa.
Sebenarnya dia bingung ingin menamainya dengan apa. Dia tidak pernah punya hewan peliharaan ataupun kesayangan. Jadinya, dia menamai terwelu itu dengan Meli setelah terinspirasi dari kue madu menu sarapannya.
Psyche kemudian tengkurap sambil menopang dagunya. Melihat peliharaannya yang makan dengan lahap membuat pipinya ikut terkembang. Dia tidak menyangka kalau hal sesederhana dan sekecil ini dapat menghibur dirinya.
Aneh, tetapi menyenangkan. Psyche seakan tidak peduli lagi dengan desas-desus yang terjadi di luar sana karena belum ada satu pun pelamar yang mengunjungi serambinya hingga sekarang. Daripada memikirkan hal yang tidak penting, dia lebih memilih untuk bersenang-senang dan merangkai memori indahnya bersama Meli.
"Apa kau tidak bosan bersamaku?" tanyanya yang membuat terwelu itu menghentikan aktivitasnya.
Meli menggoyangkan kumis dan telinganya. Kemudian melompat dan menyentuhkan kedua kakinya ke lengan Psyche. Kepalanya yang berbulu digosokkan lembut ke pipi gadis itu, seolah ia menjawab kalau tidak ada satu pun kebosanan ketika ia menghabiskan waktu bersamanya.
Tawa ringan Psyche mengalun ke udara. Matanya kembali melembut ketika ia melihat kain soga yang masih terbalut di salah satu kaki Meli. Kain serupa yang sempat ia jadikan perban untuk hewan itu yang sekarang sudah menjadi tanda persahabatan mereka.
Psyche mendekap Meli dengan penuh kasih sayang. Menyalurkan rasa syukur yang ia dapatkan karena semenjak Meli bersamanya, dia jadi bisa merasakan kehangatan seorang teman. "Aku sangat menyayangimu," ucapnya sambil mengecup lembut puncak kepalanya.
Meli yang membeku setelah dilayangi kecupan, kembali membuatnya tertawa. Terkadang terwelu itu memiliki emosi selayaknya manusia. Dia sangat ekspresif dan lebih pandai mengutarakan perasaannya daripada Psyche sendiri.
Ketika mereka masih asyik bermain bersama, kekehan yang tidak asing itu membuat Psyche langsung menolehkan kepalanya. Seperti yang ia duga, sumber suara itu berasal dari kedua kakaknya yang ternyata sudah menangkap basah aksinya di belakang sana. Kelihatannya mereka berdua sudah bosan mendekam terus di rumah suaminya.
"Apa yang kau lakukan di situ, Psyche?" tanya Crysanthe sambil menggandeng putra kecilnya yang baru senang-senangnya berjalan.
"Aku tidak tahu kalian datang berkunjung," balas Psyche berdeham.
"Itu karena kau sibuk berbicara dengan terwelu," ujar Korina sarkas sambil mengelus perutnya yang buncit.
Psyche menghela napas panjangnya. Dia sama sekali tidak tahu berapa bulan usia kandungan saudarinya. Dia yakin, sebentar lagi adalah waktunya bagi Korina untuk melahirkan. Seharusnya dia tidak perlu mengurusi orang lain dan lebih fokus kepada anak yang masih dikandungnya. Namun, kalimat sepat semacam itu lagi-lagi tidak sampai untuk Psyche utarakan melalui mulutnya.
"Sudah lama kita tidak berjumpa, Adelfi," sapa Psyche dengan memahat senyum kecilnya. "Bagaimana kalau kita duduk dan mengobrol sebentar."
Wangi teh chamomile yang baru diseduh tercium menenangkan dan menyenangkan penghidu mereka. Satu seruputan hangat itu pun juga terasa pas kekentalannya. Psyche yang sudah lama tidak berbincang dengan kedua kakaknya sama sekali tidak punya topik yang menarik untuk dibahas. Namun, dia tetap mengawali pembicaraan mereka dengan suara yang cerah.
"Kenapa Adelfi mampir ke sini?"
Crysanthe dan Korina saling menatap satu sama lain. Mereka terlihat sedikit heran dengan pembawaan adik bungsu mereka yang kini bisa bersuara lebih jelas. Padahal biasanya dia pendiam dan terlihat tidak ada bedanya, kecuali dengan kehadiran terwelu yang sedang memelototi mereka dari dekat pot bunga.
"Ibunda bilang kau butuh teman bicara, jadinya kami kemari secepat yang kami bisa," jawab Crysanthe yang membiarkan putranya, Alcides, berlarian ke sana kemari untuk mengejar terwelu itu.
Psyche hanya menghela pasrah dengan tingkah keponakannya. Meli yang melarikan diri, masih berusaha keras supaya tidak tertangkap oleh monster kecil itu. Dia melompat sekuat tenaga agar air liur yang mengalir dari mulut balita itu tidak mengenai bulu-bulu cantiknya.
"Terima kasih atas perhatian kalian, tapi aku baik-baik saja," balas Psyche mengulas senyum.
Korina mengernyitkan dahinya. "Kau kesepian."
"Aku sudah punya teman di sana," tunjuknya kepada Meli yang masih berusaha menyelamatkan hidupnya.
"Seekor hewan yang tidak bisa bicara," komentar Crysanthe yang disusul kikihan geli oleh Korina.
"Itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali," balas Psyche.
"Tapi kau masih punya kami," sanggah Korina.
"Dan kalian sudah punya keluarga sendiri, jadi apa yang bisa aku harapkan?" jawab gadis itu santai sambil mengecap tehnya yang sudah mendingin.
Crysanthe memajukan duduknya lalu menatap Psyche dengan penuh kekhawatir. "Alcides dan Eunor memang banyak menyita waktuku, tetapi kami tetaplah saudarimu, Psyche."
Korina yang terlihat lelah oleh perut beratnya pun ikut mendekat. "Sekarang kami memang sudah menjadi ibu-ibu, tetapi sebelumnya kami juga pernah menjadi gadis," selorohnya hingga tawa kecil mereka beterbangan di udara. "Kami tahu bagaimana rasanya menunggu dalam ketidakpastian."
Tentu saja mereka tahu. Ketidaknyamanan ini adalah hal yang wajib bagi semua gadis. Kedua kakaknya itu sudah pernah melaluinya sebelum mereka mencapai posisinya yang sekarang.
Psyche sedikit tersentak oleh genggaman erat saudarinya. "Apa pun kesulitan yang kau rasakan, ceritakan saja kepada kami," ujar mereka dengan senyuman lembut.
Perasaan yang nyaris padam itu kembali menghangatkan hatinya. Saudarinya yang sempat menjauh kini terasa kembali mendekat. Mereka berhasil menunjukkan sebuah perubahan kecil yang cukup berarti di matanya.
"Mungkin hati mereka sedikit melembut setelah menikah dan memiliki anak," pikir Psyche.
Sama seperti yang diutarakan ibunya, dia tidak akan mengerti jika belum melaluinya sendiri.
"Oh ya, Psyche! Bukankah Ayahanda akan pergi ke Didyma besok?" tanya Korina.
Psyche mengerjapkan matanya. "Untuk apa pergi ke sana?"
"Dia bilang ingin berkonsultasi dengan orakel karena khawatir denganmu," jawab Crysanthe yang gagal diantisipasi oleh Psyche. Dialah yang tinggal paling dekat dengan orang tuanya, tetapi dia pula orang yang paling terlambat mengetahui beritanya.
"Phoebus Apollo pasti akan memberikan pencerahannya," timpal Korina. "Semuanya pasti akan memiliki solusi yang baik."
Kali ini bukan hanya Psyche yang termangu, melainkan Meli yang sedang digendong oleh Alcides pun juga ikut mematung. Telinganya yang panjang seketika jatuh ke bawah, terlihat layu dengan kaki-kaki yang lemas. Matanya yang bulat pun semakin membesar seperti bola. Dia terlihat hampir pingsan karena menahan napasnya cukup lama.
𓆩༺♡༻𓆪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top