5 - Divine Rival
𓆩༺♡༻𓆪
HARI berganti demi hari. Bulan pun terus berevolusi mengelilingi Bumi tanpa henti. Terus menggulir angka-angka pada kalender yang ditulis oleh para ahli astronomi.
Kuil bertatahkan pola khas Ionia itu masih saja dipulas setiap harinya. Altar persembahan yang mengepulkan asapnya ke angkasa itu terus membuatnya sesak napas. Tubuhnya gemetaran dalam histeria oleh himne manis yang terus dipanjatkan setiap harinya. Ini bukanlah anugrah dari dewa, melainkan sebuah rantai hukuman yang membelit jiwanya.
Gandum dan buah ara menjadi sesaji yang lumrah. Anggur dalam cawan terakota juga terus-menerus dituangkan hingga tumpah ke mana-mana. Namun, gundukan emas dan permata yang mereka angkut ke kuilnya pagi ini merupakan pemandangan baru yang tidak biasa.
Para Dewa Olympia pasti akan senang dengan penghormatan semacam itu. Mereka akan menyuruh manusia agar membuat altar yang lebih tinggi dan memenuhi perbendaharaan mereka dengan persembahan yang lebih banyak. Memanjakan mata mereka dengan pemandangan berkilauan sembari mengecap nektar dari puncak Gunung Olympus.
Akan tetapi, gadis itu bukanlah salah satu dari mereka. Dia hanyalah manusia biasa yang disalahpahami sebagai dewi. Bukan sebuah kebanggaan, melainkan rasa muak dan ketakutan yang justru menyambangi ketenangan hidupnya setiap hari. Bagaimana kalau dewa menyalahkan dirinya karena tindakan sewenang-wenang rakyat Miletus? Hukuman apa yang pantas ia terima?
Setelah pembukaan kuil kala itu, Psyche sudah tidak dianggap lagi sebagai manusia. Dia justru dianggap sebagai sosok suci. Dipuja dan dipuji layaknya seorang dewi sungguhan yang turun dari langit.
Mengingatnya kembali, membuat Psyche mengerutkan hidungnya. Dia menatap orang yang berlalu-lalang ke kuil dari atas balkon kamarnya dalam ketidakpercayaan. Bagaimana bisa mereka memuja manusia yang dipancang untuk duduk di tripod itu?
"Katakan kepada pendeta untuk memberikan semua persembahan itu kepada Dewa Olympus. Beritahu mereka juga agar menyumbangkan sisanya kepada orang miskin," perintah Psyche kepada dayangnya.
Salah satu dayangnya langsung pergi untuk menyampaikan pesannya. Sedangkan yang lainnya masih menemani Psyche yang berdiri di dekat jendela. Putri itu masih mengamati peziarah yang semakin lama semakin mengular di depan kuilnya.
Pertanyaan itu beberapa kali kembali mengambang di kepala Psyche. Kenapa dia tidak sekalian dijadikan sebagai pendeta? Lebih baik menjadi orang suci yang melayani kuil seumur hidup daripada menjadi manusia yang didewakan.
Psyche mengurut dada karena pemikirannya yang sia-sia. "Lebih baik dewa mengutukku menjadi monster daripada harus hidup seperti ini."
"Jangan berbicara seperti itu, Putri!" tegur salah satu dayangnya dengan suara gemetar.
"Kenapa? Karena aku wanita tercantik di Yunani? Atau karena mereka menganggapku sebagai inkarnasi Aphrodite?" balasnya miris.
Dayang itu seketika diam oleh balasan Psyche yang terkesan sinis. Putri yang biasanya lemah lembut itu ternyata mampu menunjukkan emosinya. Mengejutkan sekaligus tidak terduga bagi siapa pun yang baru saja mendengarnya.
Psyche yang merasa kelepasan pun menggigit bibirnya. Rasa lelah yang memuncak sekali lagi nyaris menguasai dirinya. Dia kemudian memejamkan matanya sejenak agar kegusaran itu kembali tenang.
"Aku ingin keluar sebentar. Jika ibuku mencariku, katakan saja kalau aku sedang memoles altar."
"Tapi, Putri Psyche—!"
Psyche tidak meghiraukan para dayangnya dan melesat pergi. Setidaknya dengan sendirian, dia bisa mendapatkan sedikit ketentraman. Jauh dari hiruk-pikuk istana yang terasa semakin menyesakkan dan melelahkan.
Miletus sudah berubah sangat banyak. Mereka bertambah makmur karena harta yang menggunung di gudang istana. Merubah tembok-tembok marmernya menjadi sangkar emas yang senantiasa memborgol kaki dan tangan Psyche dalam keindahannya.
Langkah tergesa-gesanya membawa Psyche melintasi lorong gelap istana. Dia terus berjalan sambil membawa sebuah lampu minyak di tangan kanannya. Berlari kecil untuk menghindari para dayang yang masih berusaha mengejarnya jauh di belakang. Namun, mereka tidak paham seluk-beluk istana dan jalan-jalan tikus yang dibangun di bawahnya, termasuk juga dengan sebuah lorong rahasia yang menembus ke luar benteng istana.
Psyche menyusuri lorong yang gelap itu dengan hati-hati. Dia lebih takut kepada orang yang mengejar-ngejarnya untuk meminta berkat daripada hewan pengerat yang mendiami tempat yang lembab itu. Lebih baik dia digerayangi oleh serangga daripada harus berdiri di tengah orang-orang yang menjilatinya dengan kalimat yang manis.
Saat sudah sampai di ujung lorong, Psyche meraba-raba pintu kayu yang menutupi jalannya. Mencari pegangannya lalu menariknya dengan sekuat tenaga. Setelah berusaha keras dengan tangan kecilnya, akhirnya pintu yang berat itu berhasil terbuka. Membawa seberkas cahaya matahari dan aroma khas garam yang samar-samar tercium dari luar.
Psyche kemudian melangkah ke luar, menginjak pasir putih yang terasa sedikit kasar di kaki telanjangnya. Dia kemudian mendekati ke tepian, merasakan basahnya pantai oleh air laut menerpa pesisirnya. Ombak tergulung landai, berderu keras ketika menghantam tebing dan karang di dekatnya. Bersiul bersama burung camar yang terbang rendah untuk merangkai nyanyian samudra yang damai.
Suasana itu membuat Psyche mematri senyum tipisnya. Dia rindu dengan ketentraman yang ia dambakan seperti dulu. Jauh dari hiruk-pikuk peziarah, jauh dari bau bakaran kemenyan, dan jauh dari belenggu pemujaan yang melilit kehidupannya.
𓆩༺♡༻𓆪
Matahari memang mulai terbenam di ufuk barat, tetapi cahayanya sama sekali tidak redup di tanah tertinggi itu. Sinarnya justru semakin gemilang ketika menerpa kolom-kolom langit yang menjulang tinggi. Berkilauan bak permata yang berkelip di konstelasi angkasa.
Myrtle putih dan mawar merah yang tumbuh di halaman depan tampak merekah dalam harmoni. Siapa saja yang mencium harumnya, pasti akan langsung tertawan oleh pesonanya. Mereka akan terbuaian dalam kenikmatan yang memabukkan jiwa dan raga.
Para nifma sedang menata gaun dewinya yang menjuntai anggun. Sutra merah muda yang membalut tubuh sintalnya berpadu lembut dengan kilauan mutiara yang menghiasi rambut pirangnya. Menonjolkan sosok kekalnya dengan kulit porselennya yang bercahaya dan tanpa kerutan.
Datang dari buih yang muncul di permukaan laut Kythira, begitulah cara dewi itu lahir ke dunia. Tiupan angin menyapu buih itu ke timur hingga mencapai Pulau Siprus. Lalu dia yang terbangun di pantai pasir putih itu pun memancarkan paras yang elok hingga membuat semua orang terkagum-kagum.
Aphrodite, dewi rupawan yang dikatakan sebagai putri Uranus, Dewa Langit yang dilengserkan oleh Kronos. Dione yang menemukannya terdampar di Siprus pun merawat Aphrodite selayaknya putrinya sendiri. Namun, para dewa yang terbius oleh keindahannya yang luar biasa kemudian membawanya ke Olympus untuk dijadikan Dewi Kecantikan dan Cinta, serta menjadi salah satu dari 12 Dewa Utama Olympus yang dipuja oleh manusia di seluruh Yunani.
Aphrodite yang manis masih duduk di singgasana kerangnya. Dia memperhatikan pantulan wajahnya di cermin dengan mata birunya yang sedalam lautan. Namun, bibir ranumnya tidak dihiasi oleh senyum manis seperti biasa, melainkan justru ditutupi oleh awan mendung yang gelap.
Aphrodite kemudian mengambil salah satu surat yang sempat diantarkan oleh Hermes. Pesan yang dibubuhi dengan wangi myrrh dan untaian laurel di sampulnya itu datang kepadanya tanpa peringatan. Meskipun sang Penyair sudah merangkai kalimatnya dengan diksi paling indah, tetapi isinya masih berhasil menerbitkan kegelisahannya.
Phoebus Apollo yang menjadi pemilik pesisir barat Anatolia, menyampaikan temuan menariknya kepada Dewi Cinta. Tempat jauh di timur yang luput dari perhatiannya itu ternyata menyimpan hal yang tak terduga. Jika Apollo tidak berbaik hati menuliskan surat itu di tengah kesibukannya, mungkin tidak akan mengetahui apa yang sedang terjadi di sana.
Ketika Aphrodite masih mencermati pesannya dengan dahi yang berkerut, kepakan sayap yang terdengar dari pintu masuk itu membuatnya menoleh. Dia lantas meletakkan suratnya lalu beralih mengambil sisir peraknya. Sambil menunggu tamu yang baru saja datang, dia menyisir rambutnya pelan sembari berusaha memahat senyum lembutnya.
"Salam, ibundaku Aphrodite," sapa pemuda bersayap yang berlutut di depannya.
"Putraku! Akhirnya kau datang!" seru Aphrodite sumringah seraya beranjak dari singgasananya.
Pemuda yang dipanggilnya itu tersenyum cerah lalu menutup kedua sayapnya yang terbentang. "Ada apa memanggilku?"
Eros. Dia adalah putra kebanggaan Aphrodite yang mewarisi bakatnya. Dewa Cinta yang dapat membidik siapa pun dengan panahnya agar mereka bertekuk lutut atas nama cinta .
Aphrodite langsung memeluknya lalu membelai surai pirang putranya. "Apanya yang bagaimana? Ibunda hanya merindukanmu."
"Benarkah?" tanya Eros sembari melepaskan pelukan mereka, mengerjapkan mata birunya yang sangat mirip dengannya.
Aphrodite mengangguk pelan lalu menggandeng Eros untuk duduk di sebelahnya. "Minumlah dulu. Kau pasti lelah setelah terbang jauh," ujarnya sambil mengulurkan secawan ambrosia.
"Terima kasih," ujarnya dengan senang hati sebelum meneguknya.
"Bagaimana tugasmu hari ini? Apa ada yang susah?"
Eros mendengus. "Sangat susah! Aku bahkan sampai bingung harus bagaimana."
"Memangnya apa tugas yang kau terima?"
"Hera menyuruhku memanah Zeus agar setia kepadanya. Padahal Ibunda tahu sendiri seperti apa Kakek itu," gerutu Eros yang membuat Aphrodite tertawa senyaring lira Dewa Musik.
"Benarkah? Dia memintamu melakukan itu?"
"Iya! Aku sampai heran kenapa dia tidak memintamu saja," desah Eros sedikit kesal. "Padahal Ibunda punya sabuk ajaib yang lebih manjur."
Aphrodite tersenyum kecil lalu mencolek hidung putranya. Dia memang punya sabuk ajaib yang bisa memikat dan memaksakan cinta seseorang. Sebuah atribut yang ia dapatkan dari suaminya, Hephaestus.
"Bukan seperti itu caranya mendapatkan sebuah kesetiaan, Eros."
Pemuda itu kembali mendengus. "Stok anak panahku hampir habis karena tugas sia-sia itu."
"Tenang saja, aku akan meminta Hephaestus untuk membuatkan anak panah yang lebih banyak untukmu."
Eros mengamati ibunya sejenak. Bibirnya memang mematri senyum yang indah, tetapi kekeruhan yang tersembunyi di baliknya masih terlihat sekelebat. Ibunya yang penuh cinta itu memang tidak pandai menyembunyikan isi hatinya.
"Kenapa Ibunda tampak risau?" tanyanya dengan kedua alis yang bertautan.
Aphrodite sedikit tersentak ketika mendengar pertanyaan Eros. Dia memegangi wajahnya sendiri karena merasa ragu untuk menjawabnya. Jika Eros sudah terlanjur menangkap hal yang ia sembunyikan, pasti dia akan terus mendesaknya untuk berkata jujur.
Eros masih menebak-nebak perihal apa yang sedang ibunya hadapi. Apa kekasih ibunya ada yang selingkuh? Atau malah ayahnya, Ares, yang berselingkuh dengan wanita lain? Jika masalahnya seperti itu, bukankah solusinya gampang? Ibunya tinggal mencari kekasih baru untuk menghibur hatinya seperti biasa. Eros juga tidak akan keberatan jika harus punya banyak ayah sekaligus asalkan ibunya bahagia.
Aphrodite menghela napasnya panjang lalu bangkit dari posisinya. "Eros, putraku tersayang. Menurutmu apakah ada yang lebih cantik daripada aku?" tanyanya yang membuat dewa itu terperanjat.
Jadi itu masalahnya? Ada yang berusaha menyaingi kecantikan ibunya?
"Tentu saja tidak. Kau adalah dewi tercantik yang pernah ada, Ibunda Aphrodite. Semua dewa di Olympus dan manusia di bumi pun sudah mengakui keindahanmu."
Eros berusaha menghibur hati Aphrodite dengan kalimat manisnya. Namun, dia justru terperangah oleh mata sayu dan ekspresi kusut yang ditunjukkan olehnya. Seperti bunga yang mekar di padang gersang, mereka sama sekali tidak cocok dengan paras surgawi Aphrodite yang menawan.
"Apa ada yang berani meragukan kecantikanmu?" tanya Eros dengan wajah yang sedikit mengeras.
Siapa orang delusional yang berani mengatakan hal omong kosong itu? Jelas-jelas pemikiran seperti itu sangat gegabah dan tidak masuk akal. Orang-orang dengan mata tertutup saja pasti tahu kalau Aphrodite adalah makhluk paling indah yang pernah diciptakan di dunia.
Aphrodite masih bergeming. Dia berjalan mendekati cermin yang disusul oleh Eros di belakangnya. Dewi itu merasa berat untuk mengutarakan jawaban yang membuat putranya penasaran.
"Katakan padaku siapa orangnya. Aku pasti akan menghukum orang itu untukmu," desak Eros.
"Kau benar-benar akan melakukannya untukku?" tanya Aphrodite dengan tatapan membulat penuh haru.
"Tentu saja! Apa pun pasti akan aku lakukan untukmu."
Aphrodite merasa tersentuh. Dia kemudian menoleh lemah ke cermin besarnya lalu menyentuhkan telunjuknya ke permukaannya yang licin. Perlahan-lahan, cermin itu mulai memantulkan sebuah pemandangan dari kota pesisir yang padat merayap.
"Apa yang ada di sana telah melukai hatiku," ujar Aphrodite dengan mata yang berkaca-kaca.
Eros melebarkan matanya. Altar-altar yang mereka bangun membakar banyak sekali persembahan yang mencengangkan. Asap wangi yang mengepul tinggi itu seharusnya dapat membuat Aphrodite senang. Namun, bukan nama ibunya yang disematkan dalam lagu pujian mereka, melainkan nama orang lain yang terdengar asing di telinganya.
"Siapa yang sedang mereka puja?" desis Eros memicingkan matanya tidak suka. "Aku tidak kenal dia."
"Psyche," jawab Aphrodite sehalus embusan angin hingga Eros menolehkan kepalanya. "Dia putri ketiga Raja Miletus, seorang manusia. Gadis itu telah mencuri pengikut dan kuilku. Mereka sudah menganggap gadis itu sebagai yang paling cantik, melebihi diriku!"
Eros terperangah oleh kekecewaan yang diutarakan ibunya. Meskipun Yunani Timur memang didominasi oleh pengikut anak kembar Zeus, tetapi Aphrodite masih memiliki beberapa pemujaan di sana. Dia hanya tidak menyangka kalau ada manusia yang berani melanggar kekuasaan ibunya dan dianggap sebagai dewi oleh mereka.
Sekali lagi, Eros mengamati pemandangan yang menyangkak itu. Benar-benar sulit dipercaya untuk dilihat oleh mata kepalanya sendiri. Pantas saja ibunya sangat tersinggung dan sakit hati. Altar Aphrodite kini sudah ditinggalkan dan dibiarkan berdebu. Patung-patungnya sudah ditukar dengan patung-patung berwujud gadis manusia itu. Eksistensinya sebagai dewi sudah direndahkan hingga hati lembutnya terluka.
Eros pun ikut merasakan nyerinya ketika melihat hal tersebut. "Katakan Ibunda, apa yang bisa melegakan hatimu?"
Kilatan mata Aphrodite pun menajam. "Aku ingin kau menghukumnya."
Eros terdiam sejenak lalu mengambil sebuah anak panah emas dari wadahnya. Ujungnya terlihat tajam dan mengkilat. Sekali dia melontarkan mereka dari busurnya, hati pun akan langsung tercabik tanpa ampun oleh goresannya.
"Maaf Ibunda, tapi aku tidak bisa membunuhnya. Panahku tidak dirancang untuk itu." Eros memberikan jawabannya dengan berat hati. Dia tidak bisa membunuh seseorang dengan panah-panah itu. Paling keras, dia hanya bisa membuat mereka gila dan terobsesi karena cinta.
Aphrodite menyunggingkan senyum tipisnya. "Aku tidak ingin kematiannya." Jawaban itu membuat Eros menaikkan sebelah alisnya. "Aku ingin kau menghukumnya dengan cara yang lebih kejam daripada kematian."
Apa yang lebih kejam daripada kematian? Keburukan atau kecacatan? Eros sama sekali belum mendapatkan petunjuk dari ucapannya.
"Psyche, gadis itu telah merenggut cinta orang-orang dariku," geram Aphrodite dengan hati yang rapuh. "Dia juga harus merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan dan tidak dicintai oleh orang-orangnya."
Aphrodite kemudian mengangkat dagunya angkuh lalu menyampaikan kehendaknya. "Pergilah ke Miletus dan hukumlah dia dengan panah cintamu. Buatlah dia jatuh cinta kepada makhluk terburuk yang ada di muka bumi!"
Mendengar titah ibunya, Eros pun langsung mengembangkan sayap putihnya yang bercorak keemasan. Dia memegang erat busurnya dan mengencangkan tabung anak panah yang tersampir di bahu. Bibir merahnya kemudian melengkung sempurna, mematri kelicikan yang mematikan. "Tenang saja, Ibunda. Dia akan menerima hukuman yang setimpal."
Eros akan melakukan apa saja demi ibunya tersayang. Dia terbang tak terlihat untuk menghampiri targetnya. Lawan ibunya yang tidak sepadan itu pasti akan merasakan bidikannya.
𓆩༺♡༻𓆪
Terminologi:
- Nimfa: Dewi alam kecil dalam mitologi yang direpresentasikan sebagai gadis cantik yang tinggal di pegunungan, hutan, pepohonan, atau perairan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top