4 - Incarnation
𓆩༺♡༻𓆪
ANGIN laut berembus dingin di pesisir barat Anatolia. Sapuan ombak semakin hari semakin berderu tak karuan. Kadangkala, kabut tebal turut menyelimuti Miletus dengan kegelapan sementara, menghambat pandangan mereka untuk memulai pelayaran yang sudah tertunda lama.
Dermaga mereka bagai digoncang gempa. Kapal-kapal yang tertambat di pelabuhan banyak yang rusak karena dihantam gelombang. Para nelayan tidak bisa menjala ikan dan mencari nafkah, sedangkan perdagangan antar laut Miletus pun ikut tersendat oleh kondisi laut yang tak kunjung bersahabat. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, mereka pasti akan ditimpa krisis yang mengkhawatirkan.
Raja Adrasius mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja kayu oak. Dia termenung sembari menatap gulungan papirus yang menggunung. Helaan kasar itu terlepas ketika ia beralih kepada pria yang sedang menghadapnya untuk membahas permasalah kerajaan mereka.
"Sepertinya kita harus melakukan pengorbanan kepada Dewa Laut, Yang Mulia," usul Aegeus, penasihat raja sekaligus komandan laut Miletus.
Raja Adrasius mengusap janggutnya dengan kerutan kening yang dalam. "Kalau begitu, segera siapkan lembu putih dengan daging yang gemuk. Kita akan mengorbankannya besok pagi jika tidak ada halangan," perintahnya.
"Baik, Yang Mulia. Kami akan segera mencarinya."
"Aku percayakan semuanya kepadamu, Aegeus. Jika badai ini tidak segera berlalu, kita akan tertimpa krisis ekonomi yang lebih serius," desah Adrasius yang sejenak melihat keluar jendela.
"Lalu bagaimana dengan kuil yang sedang dibangun? Apakah sudah selesai?" tanyanya yang sudah beralih ke topik lain.
Aegeus menganggukkan kepalanya. "Berkat restu Dewa, kita hanya tinggal meletakkan batu terakhirnya."
Senyum Adrasius pun terkembang lebar saat mendengar kabar baik itu. "Bagus! Kalau begitu, siapkan juga hekatombe untuk dipersembahkan kepada Phoebus Apollo. Kita harus membuat upacara pembukaan kuil yang luar biasa untuk hadiah ulang tahun putriku!"
𓆩༺♡༻𓆪
Pernikahan Korina memang sudah digelar beberapa waktu yang lalu. Sangat mencengangkan dan luar biasa mewahnya. Psyche saja masih ingat dengan jelas bagaimana rupa hiasan emas yang digantungkan di mana-mana, kerasnya ansambel musik yang berdendang selama 7 hari 7 malam, dan segunung hadiah yang diangkut oleh puluhan gerobak ke kediaman mereka.
Pada awalnya, Ratu Ianthe sangat menentang keinginan Psyche yang ingin tinggal di istana. Ibunya bersikukuh agar dia tetap ikut mengantar Korina ke kediaman keluarga Leandros apa pun alasannya. Namun, setelah Korina membujuk ibu mereka dengan manis, akhirnya Ianthe pun luluh dan mengizinkan Psyche untuk tidak ikut seperti keinginan awalnya. Dia pun ditinggal sendirian di istana, melewatkan ingar-bingar pesta yang begitu memekakan telinga dua pekan yang lalu.
Sekarang Psyche bisa lebih santai karena kedua kakaknya sudah bersama keluarga mereka masing-masing. Dia bisa melakukan apapun yang ia mau di istana. Berlari sambil mengelilingi halaman istana untuk menikmati bunga daffodil yang tumbuh di dekat pancuran seperti beberapa menit yang lalu, atau sekadar merasakan kebebasannya walaupun hanya sejenak. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama karena ada saja hal yang mengusik ketentramannya.
"Kau belum bersiap-siap?"
Psyche berjingkat ketika menyadari siapa yang datang. "Ibunda," sapanya seraya mencium pipi kiri dan kanan ibunya.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
"Aku sedang mencari udara segar," jawab Psyche lirih. "Lagi pula, aku sudah mengenakan pakaianku dengan baik," sanggahnya lagi dengan memperlihatkan himation berbordir benang perak yang sedang ia kenakan.
Ratu Ianthe menghela napasnya panjang. "Seperti itu sudah dibilang baik?" tanyanya dengan menunjuk gaya rambut Psyche yang hanya berhiaskan pita putih. Dia terlihat sangat sederhana untuk menghadiri acara yang penting.
"Jika ayahmu melihatnya, dia pasti kecewa sudah mengundang seluruh pejabat Miletus hari ini."
"Aku kira sebuah hekatombe sudah cukup untuk memeriahkan acara ini," gumam Psyche lirih yang didengar oleh ibunya.
Bukankah semua orang akan tertuju kepada 100 ekor lembu yang akan mereka sembelih hari ini?
"Dewa pasti menyukai pengorbanan itu, tapi para rakyat lebih menyukaimu," jawab Ianthe yang membuat Psyche kembali menatapnya.
"Sekarang, lebih baik kalian memperbaiki penampilannya dulu sebelum membawanya ke kuil," perintah Ianthe kepada para dayang yang berdiri di belakang mereka.
"Baik, Ratu."
"Ibunda tidak ingin ada sesuatu yang kurang untuk hari ini, Psyche," ungkap ibunya sambil menatapnya lekat-lekat. "Ingat, hanya tinggal kau putri kami yang tersisa di sini. Jadi, bersikaplah dengan baik jika tidak ingin membuat kami kecewa."
Gadis itu menunduk lemah. "Baik, Ibunda," jawabnya yang pasrah saat dibawa pergi oleh para dayang. Jika mengira kebebasannya akan kembali setelah kedua kakaknya pergi dari istana maka dia salah besar.
𓆩༺♡༻𓆪
Bukan hanya pejabat Miletus dan orang penting saja yang datang, tetapi para rakyat juga sudah memadati kompleks yang berada di timur istana. Mereka semua terlihat antusias untuk melihat bangunan suci yang baru saja dibuka. Menebak-nebak seperti apa rupa kuil yang didedikasikan untuk ulang tahun putri ketiga raja.
Lantai marmernya sudah dibersihkan dengan susah payah. Para pelayan menggunakan kain paling halus yang sudah direndam dengan cairan pembersih dan campuran garam untuk memolesnya. Menggosoknya dengan tangan kasar mereka hingga lantainya mengkilap tanpa noda.
Tangkai laurel dan daun cemara dirangkai dengan anyaman pita warna kuning dan merah. Mereka digantungkan ke tembok granit dan dililitkan ke tiang-tiang. Menguntai pola nan indah di atas pahatan kuil yang saling berkesinambungan hingga mencapai altar.
Para dayang kemudian membawa Psyche ke bilik kuil yang belum pernah terjamah. Mereka mendudukannya di tripod perunggu dan menyuruhnya menunggu di sana. Namun, untuk apa dia ditempatkan di dekat altar pemujaan? Bukankah seharusnya dia ikut merayakan pembukaan kuil di luar?
Psyche yang bertanya-tanya itu hanya bisa menatap ke atas langit-langit yang dilukis dengan berbagai corak yang rumit. Atapnya sangat tinggi, membuat kuil itu tampak megah. Meskipun bangunan tersebut belum bisa mencapai seperempat ukuran kuil terbesar Dewa Apollo, dewa yang paling banyak disembah di pesisir Anatolia, tetapi kuil itu terlihat cukup berlebihan sebagai hadiah ulang tahun seorang gadis manusia.
Psyche yang duduk di tengah-tengah bangunan itu pun tampak seperti semut yang berada di atas daun yang lebar, kecil dan tak berdaya dalam kemegahan. Matanya yang lembut mulai mengamati patung-patung yang tertutup kain di sisi kanan dan kirinya. Lalu beralih ke pintu besar yang berlapiskan emas di depan sana, terlihat sangat berat untuk didorong maupun ditarik oleh tangan kecilnya.
Apa yang ia bayangkan di baliknya mulai membuatnya merinding. Dia hendak berdiri dan berlari dari sana secepat yang ia bisa. Namun, suara gemerincing perhiasan yang saling bergesekan itu membuat Psyche terpaku pada tempatnya.
Ratu Ianthe sudah datang bersama pendeta wanita di belakangnya. Dia membawa kendi emas dan setangkai daun salam kering di tangan kanannya, serta obor kecil di tangan kirinya. Setelah membakar herba kering dengan obornya dan mencelupkannya ke dalam kendi untuk menciptakan khernip, dia pun langsung mencipratkan air suci itu kepada Psyche hingga membuatnya terperanjat.
"Dimurnikan," gumam pendeta itu sembari mencipratkan khernip-nya kepada Psyche untuk membersihkan segala miasma sebelum ritual suci dimulai.
"Kau harus bersiap-siap, putriku. Raja sudah selesai memberikan wejangannya," beritahu Ianthe yang membuat Psyche semakin bingung.
"Memangnya apa yang harus aku lakukan di sini?"
Ratu Ianthe tidak menjawab pertanyaannya. Dia justru memerintahkan dayangnya untuk membuka kain-kain besar yang menutupi patung-patung itu, memperlihatkan setiap lekuk pahatan yang berwujud putrinya. Mata Psyche pun sontak membulat sempurna saat menyaksikan arca dirinya yang dibuat dengan berbagai pose. Dia langsung menatap ibunya dengan penuh tanda tanya, berusaha menelisik jawaban dari air mukanya yang tenang. Namun, suara derak dari pintu besar yang sedang dibuka itu berhasil mematik sinyal buruk di kepalanya.
"Tidak!" batinnya memekik cemas ketika melihat banyaknya orang yang berdesakan masuk ke biliknya.
Ratu Ianthe memegangi pundak putrinya sembari tersenyum lembut. "Sekarang, berikan berkatmu kepada mereka."
"Apa?" tanya Psyche dengan rasa getir yang tertinggal di bibirnya.
Orang-orang serentak memasuki bilik. Satu per satu dari mereka mulai menuangkan secawan anggur ke dalam krater perak yang ada di depan altar. Kemudian, mereka pun membasuh tangan dan wajahnya dengan khernip secara bergantian lalu berlutut sambil menadahkan tangan ke hadapan Psyche yang masih membeku di atas tripodnya.
"Apa yang kau lakukan!" sergah Psyche yang terkejut setengah mati ketika salah satu dari mereka meraih dan menciumi tangannya.
"Putri, tidak ada yang tersisa dari harta benda kami. Hanya persembahan sederhana ini yang bisa kami tawarkan untuk mendapatkan berkatmu," ujar orang itu sembari mengulurkan seguci madu dan sekeranjang kacang-kacangan dengan tangan keriputnya.
Psyche sama sekali tidak bisa mencerna apa yang mereka katakan. Pikirannya terlalu semrawut hanya untuk menyerap kalimat yang sederhana. Namun, semburat ketakutan yang entah dari mana datangnya itu seketika menggerayangi tubuhnya dengan nyata, seolah berusaha untuk mencabik dagingnya dan menyedot jiwanya keluar.
"Kaulah inkarnasi Sang Dewi Kecantikan Aphrodite, Putri Psyche. Tolong berkahi kami dengan tangan suci dan cinta kasihmu."
Jantung Psyche seketika jatuh ke lambung. Tangannya yang dipenuhi oleh keringat dingin, tiba-tiba saja menjalarkan hawa panas ke seluruh tubuh. Rasa jemu kembali bergumul dalam perutnya, seolah ingin menyeruak keluar dari tubuhnya tremor hebat.
Sekarang dia terlihat seperti arca duduk sungguhan. Dia sama sekali tidak bergerak dari tripodnya sejak pernyataan pertama itu terlontar. Membeku dalam bisu karena menahan kehororan akibat julukan baru yang mereka elu-elukan padanya.
'Putri Psyche, Inkarnasi Dewi Kecantikan.'
Apakah Zeus akan menghitung ini sebagai dosa besarnya?
𓆩༺♡༻𓆪
♡ Terminologi:
- Hecatombe (bahasa Yunani : ἑκατόμβη hekatómbē ) adalah pengorbanan 100 ekor sapi ( hekaton "seratus ", bous "banteng") kepada Dewa. Dalam praktiknya, sedikitnya 12 sapi bisa dihitung sebagai satu hecatombe.
- Krater (bahasa Yunani Kuno: κρατήρ, kratēr, secara harfiah berarti "wadah untuk mencampur") adalah wadah besar yang umum ditemukan pada zaman Yunani Kuno, fungsi utamanya sebagai tempat untuk mencampurkan anggur dengan sedikit air.
- Khernip (air suci) adalah pembersihan dan pemurnian diri yang dilakukan sebelum ritual dan pemujaan dengan menggunakan air yang disucikan.
- Tripod adalah tempat duduk berkaki tiga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top