3 - Agitated
𓆩༺♡༻𓆪
SETELAH kejadian tempo hari, Psyche memilih mengurung dirinya di kamar. Dia tidak kuasa untuk menemui Crysanthe meskipun itu hanya sekadar menghantarkan hadiah pernikahannya. Apalagi jika teringat dengan suara keras Korina yang berteriak padanya waktu itu, membuatnya semakin merasa bersalah.
'Seharusnya Crysanthe yang menjadi pusat perhatian! Tapi kau berani-beraninya mencurinya! Apa kau tidak malu, Psyche? Kau sudah membuat kakak kita bersedih hati di acara pernikahannya!'
Psyche menenggelamkan wajahnya di antara kedua lengannya. Dadanya masih terasa sesak karena menahan emosi yang tercampur aduk. Matanya kembali memanas karena tidak kuasa lagi untuk membendung air matanya.
Apa yang dikatakan Korina memang tidak salah. Siapa pengantin wanita yang ingin dikecewakan di hari pernikahannya? Apalagi pernikahan umumnya hanya dijalani satu kali seumur hidup. Jika pada saat itu Psyche langsung bertatapan dengan Crysanthe, dia pasti juga akan langsung mengumpatnya sama seperti Korina.
Psyche kembali terisak atas kesalahan yang tidak sengaja ia perbuat. Seharusnya dia tahu kalau jadinya akan seperti ini. Seharusnya dia tidak menunjukkan batang hidungnya pada waktu itu.
Tangannya kembali meremas ujung bajunya yang basah. Rasanya dia ingin berteriak di ujung tebing yang tinggi. Meluapkan semua gundah-gulana yang merongrong dirinya. Kenapa dia harus terlahir seperti ini? Kenapa dia harus menanggung sesuatu yang tidak bisa ia tolak sejak awal? Namun, tidak ada orang yang memberikan jawabannya.
Hari-hari pun berlalu dengan cepat. Psyche tidak sadar sudah berapa lama dia tidak melihat matahari yang bersinar di luar. Dia hanya mampu membedakan siang dan malam melalui cahaya yang merambat dari jendelanya. Tanpa tahu tanggal yang terus bergulir di kalendernya.
Kulitnya bertambah pucat akibat terlalu lama berada di kamar. Suara gaduh yang tercipta di antara orang-orang Miletus pun sudah sampai ke pendengarannya. Mereka semua tengah merisaukan keadaan Psyche yang tidak terlihat dalam kurun waktu yang lama.
Ketika Psyche sedang sibuk menenun linennya, suara ketukan pintu itu tertangkap oleh indranya. Salah seorang dayangnya kemudian masuk dan menghadap dengan wajah yang tertunduk. "Putri, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda."
"Siapa itu? Jika dia ibu atau ayahku, biarkan mereka masuk. Jika bukan salah satu dari mereka maka suruh dia berkunjung di lain waktu."
Sebelum dayang itu menjawabnya, suara yang nyaring itu sudah menembus dinding kamarnya duluan. "Biarkan aku masuk! Aku ingin menemui saudariku!"
Tidak salah lagi. Kakaknya, Korina, yang terkenal dengan suara emasnya itu ternyata datang berkunjung setelah waktu yang lama. Dia yang menjadi tuan rumah pun menjamunya dengan baik sembari menerka-nerka apa alasannya datang kemari.
"Aku minta maaf," ujar Korina seraya duduk di sampingnya.
"Untuk apa?" tanya Psyche dengan suara tipisnya.
"Karena sudah berteriak padamu waktu itu."
"Kau tidak salah karena menegurku."
Korina menggigit sedikit bibir bawahnya. Dia dengan cepat bergeser mendekati Psyche lalu meraih tangannya. "Apa yang kau lakukan?" sergah Psyche akibat tindakan spontannya.
"Apa kau tidak ingin memaafkanku?"
Dahi Psyche mengernyit tipis. "Sudah aku katakan, kau tidak salah apa-apa. Aku sama sekali tidak marah padamu."
"Lantas kenapa kau tidak keluar dari kediamanmu?"
"Aku hanya mau sendirian saja."
"Bohong! Kau pasti ingin menghindariku, kan?"
Psyche belum membalasnya lagi. Dia hanya mengamati kakaknya dengan mata yang melembut. Rasanya sulit sekali jika dia ingin mementingkan egonya sendiri.
Korina mengerucutkan bibirnya lalu menghela napas. "Dengarkan aku, Psyche. Aku senang kalau kau tidak marah padaku, tapi jangan melakukan hal seperti ini lagi."
Dia lantas mengeratkan genggamannya pada Psyche. "Kau adalah satu-satunya saudariku yang tersisa di sini. Aku tidak punya siapa-sapa lagi selain dirimu. Jadi, aku mohon jangan mengabaikan diriku."
Psyche membulatkan matanya. Hatinya tersentuh oleh pernyataan kakaknya yang terdengar tulus. Dia lantas merentangkan tangannya untuk memeluknya dengan hangat, meluapkan semua perasaan rindu yang sempat tersimpan di hati kecilnya.
Psyche merasa dirinya terlalu egois karena membuat kakaknya merasa kesepian. Seharusnya dia tidak menganggap dirinya sebagai gadis termalang di muka bumi. Bagaimana pun juga, sebenarnya dia tidak benar-benar sendirian karena dia masih memiliki ayah, ibu, dan saudarinya.
𓆩༺♡༻𓆪
Taman itu tampak menawan dengan mawar merah yang bermekaran. Wanginya pun tercium semerbak menyenangkan hati orang yang lewat. Sayangnya, mereka tetap harus berhati-hati dengan durinya yang tajam karena dengan sekali tergores, luka itu akan cukup sulit untuk disembuhkan.
Langit biru tanpa awan terhampar di atas Miletus. Phoebus Apollo sudah menarik keretanya di langit agar sang surya dapat menghangatkan tanah mereka. Bercahaya terang hingga berkas-berkas sinarnya dapat menembus lorong-lorong terdalam istana.
Psyche duduk sembari memangku lingkaran sulam. Dia mengencangkan sisi-sisi kain linen yang terpasang pada lingkarannya untuk memastikan tidak ada bagian yang kusut. Lalu dia pun memilah warna benang yang akan ia tusukkan ke atasnya dengan jarum.
"Kalian sudah mulai mempersiapkan rencana pernikahan?" tanya Psyche kepada Korina yang duduk di sebelahnya.
"Tentu saja! Leandros bilang akan mengadakan pesta yang meriah untuk kami."
Psyche mengangguk kecil akan kabar baik yang disampaikan saudarinya. "Kalau begitu, kau harus segera menenun kain untuk calon suamimu," ujarnya seraya menyulam benang hijau itu untuk membentuk motif julai di antara pola bunganya.
Korina mengamati kepiawaian Psyche dalam memainkan benang dan jarum. "Sulamanku tidak sebagus punyamu," ujarnya sambil membandingkan hasil sulaman mereka.
"Punyamu sudah bagus, Adelfi. Leandros pasti akan menyukainya."
"Aku harap begitu," hela Korina dengan bahu yang sedikit merosot. "Dia itu orang yang cukup pemilih," desahnya.
"Lalu, apa kalian sudah memutuskan harinya?"
"Pesta akan segera digelar setelah hasil konsultasi diumumkan. Ingat, kau harus berdandan dengan cantik ya!"
Psyche mendesis ketika jarum itu menusuk jemarinya. "Sepertinya aku akan tinggal di istana saja."
"Kenapa? Apa kau takut kalau kejadian itu akan terulang lagi?" tanya Korina yang berhasil mengenainya tepat sasaran.
"Aku hanya tidak suka keramaian. Itu saja," dalih Psyche.
Korina menekuk wajahnya. "Oh, ayolah! Jika kau tidak datang, mereka akan mengira kalau aku yang melarangmu untuk ikut."
Psyche hanya terdiam. Dia masih menimbang jawabannya dengan berat. Di satu sisi, dia tidak mau membuat kakaknya kecewa. Namun, di sisi lain dia juga tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Lantas apa yang harus ia lakukan?
Saat Psyche masih berkutat dengan pikirannya, para dayang mulai masuk dengan membawa beberapa kotak perak. Melihat Korina yang langsung bangkit dari duduknya, membuat pikiran Psyche ikut teralihkan. Kilauan emas dan permata yang berjajar di depannya itu berhasil membuat mata mereka berbinar. Psyche bisa memastikan kalau semua perhiasan itu pasti berasal dari calon suami Korina yang kaya-raya.
"Lihatlah ini, Psyche!" seru Korina terlonjak senang, memamerkan perhiasan yang gemerlap.
"Apa kau akan memakai semua ini?"
"Jika bisa," kikih Korina yang kemudian menarik Psyche untuk mendekat, "tapi menurutmu, mana yang lebih cantik? Gelang emas atau permata ini?"
"Aku rasa dua-duanya bagus."
"Pilih salah satu untukku" minta Korina dengan menyodorkan dua gelang itu padanya.
Dahi Psyche mengerut dalam saat memegangnya. Dia menimbang-nimbang kedua benda itu dengan serius. Menelitinya lebih dekat untuk mencari nilai tambah yang mungkin masih tersembunyi di balik kilauannya.
"Menurutku yang ini saja," putus Psyche sambil memberikan gelang bertatahkan permata itu.
"Benarkah?" tanya Korina sumringah seraya memasangkan gelang itu ke tangan.
Psyche menganggukkan kepalanya bersemangat. "Itu akan kelihatan cantik saat dikenakan bersama gaun sutra. Leandros pasti akan terpesona olehmu."
"Dia pasti akan jatuh cinta lagi padaku," timpal Korina dengan senyum yang terkembang.
Cinta. Psyche bertanya-tanya apa itu sebenarnya cinta? Mengucapkannya memang terdengar mudah. Namun, untuk benar-benar mengetahuinya dia tidak bisa memandangnya dari luar saja, melainkan harus menelisiknya jauh ke dalam.
Cinta itu rumit dan sulit untuk dipahami. Mereka semanis nektar dewa yang membakar tubuh dan mengabukan tulang manusia. Sekali terjerat oleh jalanya, mereka tidak akan bisa terlepas dengan mudah. Setidaknya itulah yang pernah ia dengar dari gubahan para penyair yang sering mendapatkan inspirasi dari Phoebus Apollo. Sang Dewa Musik dan Ramalan yang bahkan belum kunjung mendapatkan cinta sejatinya.
Psyche berandai-andai, adakah laki-laki yang akan mencintainya dengan tulus, tanpa memandang fisik ataupun kesempurnaan yang ia miliki? Apakah kelak dia bisa mendapatkan cinta yang belum pernah ia rasakan tersebut?
𓆩༺♥༻𓆪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top