Bab 9. Kota Nerwul
Ketika matahari benar-benar telah lenyap ditelan peraduan, gerbang utama Muian Etermara terbuka untuk melepas iring-iringan ketiga saudara kembar Aeterra. Sekelompok pemusik kerajaan mengiringi, dan tidak kurang dari dua puluh prajurit mengawal, satu di antaranya menjadi kusir kereta kuda yang dinaiki Arata dan Amoreta.
Satu kereta kuda hanya mampu menampung dua orang, sebab itu Aretha berada di kereta kuda yang berlainan. Diam-diam bersyukur dan menikmati kesendirian, yang baginya merupakan kata lain dari ketenangan.
Sang pengawal pribadi turut serta dengan menjadi kusir kereta kuda Aretha, mengentak tali kekang dalam raut wajah datarnya.
Jalan utama Urbs Silvarum—ibu kota Aeterra—masih dipadati penduduk ketika iring-iringan memasuki pusat kota. Lampu-lampu sihir menyala terang, digantung di atas dahan-dahan pohon dan tiang kayu berhias hingga tampak berkelip cantik dalam naungan malam. Seakan ribuan kunang-kunang raksasa tengah menari di dalam kota.
Jendela-jendela yang masih terbuka dari rumah pohon turut menampakkan cahaya, menunjukkan ada kehidupan di dalamnya.
Urbs Silvarum berbaur alami dengan hutan, seolah ia tercipta bersamaan dengan hutan itu sendiri. Pohon-pohon raksasa tersebar di mana-mana, bagian dalamnya dijadikan tempat tinggal. Tak jarang rumah-rumah bundar dari kayu mengitari batangnya, dan setiap pohon terhubung dengan pohon lain oleh jembatan-jembatan alami.
Banyak penduduk yang masih melakukan aktivitas di jalanan kota, mereka memerhatikan dengan tertarik ketika melihat iring-iringan kerajaan. Sekilas, Arata dan Amoreta dapat terlihat dari jendela kereta kuda yang sedikit terbuka. Mereka lantas menyeru, "Kekal selalu Pangeran Arata, pemberi sinar dengan api abadinya! Kekal selalu Putri Amoreta, yang menumbuhkan dengan benih-benih kehidupan!"
Seruan tersebut merujuk pada pengendalian api yang didapat Arata dari batu ruby, dan pengendalian tumbuhan yang Amoreta dapatkan dari batu emerald.
Namun, tak sekalipun Azra mendengar puji-pujian untuk Aretha. Padahal sang putri paling muda memegang kekuatan alam yang cukup besar.
Mencoba tak menghiraukan keganjilan tersebut, Azra menyipitkan mata kala mereka mulai memasuki hutan yang tak ditinggali penduduk. Obor-obor dinyalakan, sebagian merupakan api biru abadi yang diciptakan Arata sendiri dan hanya mampu dipadamkan olehnya.
Para pemusik kerajaan, yang berjalan beriringan di samping kuda-kuda para pengawal, mulai melantunkan syair dan lagu. Mengisahkan apa yang pernah terjadi di Nalkava dari waktu ke waktu.
Perjalanan menuju kota Nerwul masih sangat jauh mengingat letak kota tersebut berada di wilayah paling utara Aeterra. Dekat dengan pegunungan Schall dan air terjun besar di sungai Kalopa.
Iring-iringan sengaja tidak bergerak terlalu cepat, membuat pemandangan masih dapat dinikmati dengan nyaman. Kurang lebih dua kota dan beberapa desa harus mereka lewati dalam perjalanan menuju kota Nerwul.
Pada siang hari, ketika mereka kembali memasuki hutan dan beristirahat barang sejenak, tampak beberapa faun yang mengintip di balik pepohonan. Memerhatikan dengan tertarik ketika makanan dibagikan dan alat-alat musik dimainkan. Tak jarang mereka bertemu dengan para dryad yang keluar dari pohon tempat mereka tinggal untuk memberi hormat dalam gerakan anggun.
Malam harinya, hutan selalu penuh dengan kelipan cahaya nymph juga kunang-kunang. Sungai-sungai kecil berkelok, terlihat berkilau dan mengeluarkan cahaya.
Ketika mereka tiba di gerbang kota Nerwul pada pagi keenam, pengawal paling depan menghentikan laju kuda, membuat kereta yang dinaiki ketiga saudara Aeterra di belakangnya ikut terhenti. Arata dan Amoreta turun dari kereta, para pengawal berbaris di samping kuda-kuda mereka, menuntunnya.
Meminta seorang pengawal untuk menggantikannya menjadi kusir, Azra membuka pintu kereta agar Aretha dapat turun dan mendekat pada kedua saudaranya. Iring-iringan mulai berjalan kaki menuju kediaman Laird Leroy.
Nerwul bukan kota yang besar, meski tidak dapat dikatakan kecil. Rumah-rumah penduduk tersusun dari kayu ataupun batu. Di setiap dindingnya, tanaman rambat menjalar, menghias setiap rumah dengan daun hijau, ungu dan biru, serta bunga-bunga kecil berbagai warna.
Dengan cepat, iring-iringan menjadi pusat perhatian. Tidak butuh waktu lama bagi penduduk Nerwul untuk tahu rombongan siapa yang sedang melewati jalan utama kota. Mereka yang sangat penasaran berkerumun mendekat, sisanya hanya melihat antusias dari tempat mereka berdiri. Seruan-seruan memanggil nama ketiga saudara kembar Aeterra kembali menggema di udara.
Azra tersenyum simpul tatkala banyak anak kecil yang mengerumuni Arata juga Amoreta hingga rombongan harus berhenti sejenak. Dari sudut matanya, dapat ia lihat Aretha tengah mengulas senyum tipis. "Apakah selalu seperti ini jika pangeran dan putri-putri Aeterra mengunjungi sebuah kota?"
"Dulu kami sering bepergian ke berbagai kota di sepenjuru negeri." Aretha menyahut, terdengar nada mengenang dalam suaranya. "Anak-anak selalu menyukai Arata dan Amoreta. Namun, belakangan kami terlalu sibuk untuk mengunjungi kota mana pun, dan tentu hal tersebut membuat mereka merasa rindu pada kedua saudaraku."
Sesuatu yang hangat menelusup masuk pada diri Aretha, ia suka melihat saudaranya terlihat bahagia. Ia suka bagaimana Arata tertawa sembari menggoda anak-anak perempuan dan Amoreta terus mengatakan berbagai kalimat yang membuat anak-anak tersenyum senang.
"Mereka begitu dicintai."
Senyum di bibir Aretha bertambah lebar, matanya berbinar memerhatikan saudara tertuanya. "Arata patut dicintai. Ia tahu bagaimana harus bersikap, ia punya wibawa yang hampir sama dengan Ayahanda Raja, juga sikap santai tersendiri yang membuatnya semakin menarik."
"Dan Putri Amoreta?"
Azra dapat melihat bagaimana senyum di wajah Aretha berangsur-angsur memudar. Sang putri terdiam lama, menatap Amoreta dengan wajah datarnya. Bagaimana gadis itu tersenyum dan tertawa, bagaimana gadis itu tengah dipuja, bagaimana gadis itu mendapatkan seluruh cinta.
"Semua yang mencintainya akan selalu membenciku, dan yang mencintainya adalah semua orang."
Azra geming dalam proses mencerna perkataan Aretha. Perlahan, ia tolehkan wajahnya pada sang putri. Yang ditatap tengah bungkam. Iris emasnya kosong tak berbayang, pekat tanpa binar.
Aretha tersadar ketika telinganya menangkap ringisan anak kecil. Matanya mencari, dan ia mendapati seorang anak perempuan terjatuh tak jauh dari tempatnya berdiri. Cepat ia menghampiri anak tersebut, membantunya kembali bangkit. "Apa kau terluka?" tanyanya kemudian.
Sedikit takut, si anak menggeleng pelan, lantas memungut bunga matahari yang terlempar dari tangannya ketika ia terjatuh. Ragu-ragu ia sodorkan satu tangkai bunga tersebut pada Aretha. "Terima kasih, Tuan Putri," ucapnya dengan senyum lebar di bibir.
Aretha terpaku, mengambil bunga itu dan berujar, "Terima kasih juga untuk bunganya, ini cantik." Kilat gelap melintasi mata sang putri, membuat anak perempuan di hadapannya sedikit menarik diri. "Jangan terlalu dekat dengan sungai, airnya dalam, dan kau akan tenggelam."
Tiga langkah mundur, senyum lenyap dari wajah anak perempuan tersebut, digantikan oleh raut takut yang kentara. "Kata Ibu, aku tidak boleh mendengarkan apa yang dikatakan Penerawang."
Kemudian, sepasang kaki mungil itu membawanya berlari, menghambur ke pelukan pelahirnya. Terisak, menceritakan apa yang dikatakan sang putri, dan pelahirnya menatap tidak senang pada Aretha.
Bangkit dari posisi sebelumnya yang tengah berjongkok, Aretha berbalik, hendak kembali ke rombongan ketika ia sadar Azra sudah berdiri di belakangnya.
"Penerawang?" Sepasang alis sang pengawal terpaut. Bingung mengapa putri yang keselamatannya berada dalam tanggung jawab Azra disebut sebagai Penerawang, yang dalam bangsa Elfynn merupakan peramal berkedudukan hina.
"Banyak yang tidak tahu perbedaan antara kemampuan Penerawang dan Berkah Malka yang kumiliki," sahut Aretha tak acuh.
Menunduk, ia memerhatikan bunga matahari dalam genggamannya, lantas ia berikan bunga tersebut pada Azra. Ketika dilihatnya sang pengawal tampak kebingungan, ia pun berkata pelan, "Bunga ini tidak akan hidup di bawah bayangan."
Azra mengambil bunga matahari dengan ragu, masih tercetak kerutan di antara kedua alisnya yang menandakan ketidakpahamannya atas perkataan sang putri. Namun, ia dengan cepat mengesampingkan kalimat ambigu tersebut ketika mendongak dan mendapati sepasang iris Aretha menerawang dalam kekosongan. Detik selanjutnya, raut kosong tersebut digantikan oleh kilat keterkejutan. Mata Aretha mengerjap dalam gerakan cepat, seakan tengah mengusir apa pun itu yang menghalangi pandangan.
Mengambil napas pelan, Aretha berbalik pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Azra dengan cepat menyusul Aretha ketika disadarinya sang putri mengambil arah yang bertolak dari tempat rombongan menunggu.
"Tuan Putri!" Azra memanggil, tetapi sang putri tetap memacu langkah. Melewati celah sempit di antara rumah penduduk, melintasi jembatan-jembatan yang menghubungkan sisi sungai dengan daerah seberangnya, terus bergerak lebih dalam ke balik pepohonan, dan baru berhenti ketika mereka telah berada di antara barisan hijau tua pohon fir. Jauh di dalam hutan.
"Ada apa, Tuan Putri? Mengapa Anda menjauh dari rombongan?"
Aretha berbalik, menatap sang pengawal yang menampakkan sedikit keheranannya. "Kesatria Azra Azia," panggilnya, "di mana letak kesetiaanmu?"
"Bersama Yang Mulia Raja Arbura Arda-ona Leyandas Elfynneas."
Aretha memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Azra. "Aku akan bertanya ulang. Pengawal Azra Azia, di mana letak kesetiaanmu?"
"Bersama Anda, Tuan Putri."
Senyum yang teramat tipis terkembang di wajah Aretha. "Kalau begitu, tetaplah bersamaku."
•••
Arata berdecak pelan, nyaris mengumpat jika ia lupa sedang berada di mana. Sudah beberapa kali ia menggunakan kemampuannya untuk melacak keberadaan Aretha, tetapi gadis itu sama sekali tidak terlihat dalam benaknya.
"Saudaraku, Arata, apakah kau menemukan Aretha?"
Arata menggeleng untuk pertanyaan yang dibisikan Amoreta. Mereka telah tiba di kediaman Laird Leroy sejak tiga puluh menit lalu, dan segera diarahkan ke aula penyambutan. Semua pejabat tinggi kota Nerwul berada di ruangan tersebut. Ia merutuki diri mengapa tidak menyadari keabsenan Aretha lebih awal.
"Yang Mulia, apakah sebaiknya kita mengirim beberapa prajurit untuk mencari keberadaan Putri Aretha?"
Menoleh pada sumber suara, Arata mendapati seorang pria berperawakan tegap, dengan sepasang mata yang menyorot penuh penghormatan dan raut hangat di wajah, tengah berdiri tidak jauh darinya.
"Ah, Laird Leroy." Lengkungan tipis tersungging simpul di bibir Arata. "Kurasa tidak perlu melakukan hal yang dapat mengundang rumor. Aku akan segera menemukan saudariku. Sebab itu, segeralah mulai penjamuan, prajurit-prajurit dan pemusik kerajaan sudah tampak lelah."
"Daulat, Yang Mulia."
Dengan itu, sang pemimpin kota Nerwul berlalu ke seberang ruangan. Menitahkan pemusik kota Nerwul mulai bersenandung dan menyuruh para pelayan segera menyajikan makanan di meja-meja bundar yang tersedia.
Setelah mengizinkan Amoreta pergi dengan alasan hendak menyapa beberapa teman lama, helaan napas lolos dari bibir Arata. Bukan sekali dua kali Aretha pernah melarikan diri dari acara-acara seperti ini. Akan tetapi, tetap saja ia selalu kebingungan mencarinya. Gadis cerdik itu kerap kali menemukan tempat-tempat asing yang tak pernah Arata datangi hingga tak akan tampak dalam penglihatannya.
Lama kembali larut mencari sang putri paling muda, Arata lekas membuka mata ketika didengarnya sapaan penuh hormat. Rupanya sang pemimpin kota Nerwul yang menginterupsi kegiatan Arata, pria berpembawaan santun itu menunduk bersama beberapa manusia di belakangnya.
"Yang Mulia, para pemburu ingin bertemu dengan Anda."
Arata menilik satu per satu manusia yang makin menundukkan wajah di belakang Laird Leroy. Ia lantas melukis senyum dan mempersilakan mereka duduk di meja bundar yang sama dengannya.
Laird Leroy kembali memohon izin untuk mengurus beberapa hal.
"Salam untuk Pangeran Arata Arda-urum Leyandar Elfynneas, putra pertama Aeterra dari Raja Arbura Arda-ona Leyandas Elfynneas dan permaisurinya." Para pemburu mengucapkannya bersamaan dengan begitu canggung, lalu kembali menundukkan wajah demi menghindari tatapan sang pangeran yang seakan tengah menelanjangi mereka.
Bagaimana mungkin, pikir mereka, bagaimana mungkin ada makhluk yang begitu memesona hingga terlihat tidak nyata?
"Katakanlah apa yang ingin kalian sampaikan kepadaku, Pemburu."
Para pemburu menahan napas serentak. Suara sang pangeran, aura yang menguar darinya, berikut kedalaman tatapan dari sepasang iris seterang matahari itu memerangkap mereka dalam rasa malu.
Mereka merasa begitu kecil dan sangat lancang hingga menyatakan ingin bertatap muka dengan sang pangeran.
"Ampun, Yang Mulia." Pemimpin para pemburu itu berkata, ia beranikan dirinya untuk sedikit mengangkat wajah, menenggalamkan diri dalam keanggunan pesona seorang bangsawan. "Hamba ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin cukup penting."
"Aku mengerti." Arata bangkit dari duduknya. "Mari kawan-kawanku yang baik, kita cari tempat yang lebih pantas untuk berbincang."
•••
Gemeresik dedaunan kering yang terinjak kaki, berikut kicauan burung-burung dan senandung merdu dryad yang sesekali terdengar menjadi satu-satunya pemecah hening.
Azra masih mengikuti langkah sang putri, menatap punggung sempit itu tanpa berkedip seakan takut jika ia memejamkan mata barang sepersekian detik, sosoknya akan lenyap dari pantauan.
Puluhan menit berlalu, atau mungkin beberapa jam telah terlewati. Azra tak dapat memastikan waktu sebab matahari tertutupi oleh rimbun kanopi daun yang menaungi mereka.
Aretha terus bergerak seakan ia yang mengendalikan sendiri ke mana kakinya harus melangkah. Padahal, Azra yakin sang putri hanya berjalan tanpa tujuan.
Azra masih tidak paham, sang putri pun enggan menjelaskan alasan mengapa ia mendadak melarikan diri. Azra menerka, mungkin saja gadis itu melihat sesuatu lewat penglihatan masa depannya. Dan sesuatu itulah yang ingin Azra ketahui.
Namun nihil, sang putri tak bicara lagi sejak terakhir mengatakan sebaris kalimat yang seakan mengikat Azra dalam sebuah hubungan; antara pengawal dan majikan. Mereka memang belum mengikat sumpah apa pun selayaknya pengawal dan orang yang dikawal. Intensitas pembicaraan di antara mereka pun terbilang minim, keduanya selalu terperangkap dalam pikiran masing-masing, asyik bercumbu dengan kesunyian.
Dan belakangan, agaknya Azra mulai jemu terus bermesraan dengan keheningan. "Saya tidak akan menanyakan penjelasan ataupun meminta Anda agar kembali ke kota Nerwul. Tetapi, mohon bersikap bijaklah. Hal ini sungguh tidak pantas—"
"Memangnya menurutmu, apa yang pantas dan tidak, Azra Azia?"
Sepasang kaki di balik balutan gaun sutra itu berhenti. Menanti jawaban yang akan dilontarkan sang pengawal tanpa berbalik sama sekali.
Keterdiaman Azra membuat Aretha lantas kembali bertanya, "Apakah hal yang pantas adalah yang ditetapkan oleh para tetua dan raja? Yang diputuskan oleh Malka? Atau yang telah diatur para Peri terhadap bangsa kita? Jika iya, maka kau telah melakukan sesuatu yang tidak pantas dengan melindungi seorang Pelanggar."
"Anda tidak memerlukan jawaban."
Aretha membenarkan ucapan Azra. Katakanlah, ia hanya ingin sedikit berontak. Segala aturan yang mengikat setiap Elfynn tanpa terkecuali seringkali membuatnya sesak. Kedudukannya sebagai seorang putri sekaligus keturunan murni dari Malka menambah erat kungkungan imajiner itu.
Rakyat menaruh harapan kepadanya, menunggu sesuatu yang besar darinya. Ia dituntut untuk menjadi sempurna. Padahal kesempurnaan itu sendiri tidaklah benar-benar nyata.
Ada kalanya, ia ingin melihat dunia sebagai makhluk biasa. Ia kerap kali bertanya, bagaimana kehidupan tanpa pelajaran-pelajaran dasar keluarga kerajaan yang membosankan. Tanpa tata bersikap seorang bangsawan yang berbalut keramahan palsu. Tanpa harus selalu melengkungkan senyum, menebar tawa, dan berpura-pura terlihat bahagia di hadapan rakyatnya.
Sedikit banyak ia telah melakukan hal tersebut; menjadi dirinya sendiri. Dan yang ia dapat kemudian adalah cemoohan.
Sebab orang-orang membandingkan, sebab orang-orang membuat patokan; seorang putri haruslah sesempurna Amoreta.
Nyatanya, Aretha bukan Amoreta. Seberapa identik pun wajah mereka, seberapa kental pun ikatan darah di antara mereka. Aretha tetaplah bukan Amoreta yang sanggup menjalankan semua aturan tanpa terlihat sedang bersandiwara.
Dan yang paham hal tersebut hanya saudara tertuanya, tempat keluh kesahnya berlabuh kala tuntutan dan tekanan terasa tak lagi tertahankan.
"Azra, bagaimana rasanya hidup bukan sebagai bayangan?" Aretha tidak paham mengapa dirinya mendadak menanyakan hal demikian. Ia berharap sang pengawal tidak mendengarnya. Sebab ia tersadar, Azra telah lama berada di antara para pembuat aturan. Mengabdi pada para tetua yang menciptakan hukum bagi bangsa mereka tentu membuat pemuda itu terus terselimuti bayang.
"Tuan Putri, tidak ada yang dapat lepas dari bayang, kecuali terang itu sendiri."
Jawaban Azra membuat benak Aretha tak henti memutar; pada detik yang seolah menjadi lebih lambat dari seharusnya, pada sepasang iris tajam sang pengawal yang sewarna dengan miliknya, pada setiap kilasan dari kotak memorinya yang terbuka. Seakan dengan sengaja kembali memproyeksikan linimasa ketika ia menyadari; Amoreta adalah terang, dan ialah bayangannya.
"Benar." Andai semesta tak begitu kejam menyusun perbedaan, mungkin ia tidak akan merasa amat terkekang. "Mereka yang terperangkap dalam bayang tidak akan dapat melepaskan diri. Kecuali mereka memadamkan terang yang menjadikan mereka bayang, atau mulai menciptakan sinar yang cahayanya mampu mengalahkan terang."
"Untuk Anda, Tuan Putri." Aretha menoleh demi mendapati sepasang netra emas memakunya lekat. Dalam waktu yang termanipulasi khayal hingga bagai berhenti berputar, batas antara posisi seorang putri dan pengawal tertelan oleh pemahaman akan hasrat kebebasan serupa. "Anda hanya perlu menyinarkan cahaya yang memang sudah Anda miliki sejak lama."
Ketika kedua sudut bibir ranum itu terangkat membentuk lengkungan, berikut sorot mata pekat oleh hasrat dan raut mendamba yang kentara, Azra tahu Aretha akan mencoba membuat sinarnya lebih bercahaya.
Hanya saja, Azra tidak pernah tahu, sinar macam apa yang gadis itu pikir ia miliki.
Senyum di wajah sang putri perlahan memudar. Melihat binar mata yang berganti; antara bingung, kosong, dan terkejut, Azra seakan ditarik kembali pada saat sebelum Aretha memutuskan berpisah dari rombongan. Lengkap beserta langkah sang putri yang kembali terpacu. Kali ini mengambil arah ke belakang Azra, mengejar sesuatu yang tampak berbias di antara pepohonan.
Langkah cepat berganti menjadi lari. Aretha melintasi hutan tanpa terganggu oleh gaunnya sama sekali. Mata ditajamkan, mengikuti pergerakan makhluk berbadan putih yang tak asing.
Aretha yakin yang sedang berlari kurang lebih sepuluh meter darinya adalah Aesha. Dan ia amat penasaran apa yang dilakukan makhluk itu di hutan dekat kota Nerwul sementara biasanya ia berada di hutan Timrith, jauh ke arah selatan dari Urbs Silvarum.
Unicorn memang dapat berlari cepat. Namun mereka bukan tipe makhluk yang suka berada jauh dari hutan asal, apalagi dekat-dekat dengan peradaban makhluk berakal. Sebab itu, Aretha tahu ada maksud tertentu di balik kedatangan Aesha. Apalagi Aesha sempat menggerakkan kepalanya, seakan membuat isyarat agar Aretha mengikuti, sebelum benar-benar berlari.
Aretha nyaris kehilangan jejak Aesha karena lajunya yang cukup cepat. Beruntung mereka mulai memasuki area hutan yang letak pepohonannya agak renggang, membuat cahaya matahari dapat menerobos dan menghindarkan Aesha dari pohon-pohon besar yang menyembunyikan sosoknya.
Sepuluh langkah lagi berlari, dan Aretha keluar menuju tanah terbuka.
Napas tercekat seiring dengan langkah kaki yang kian melambat. Aretha mengabaikan Azra yang mengekspresikan keterkejutan di belakangnya. Ia juga tak menghiraukan Aesha yang sudah berhenti, berbalik menghadapnya seolah tengah menunjukkan apa yang ingin ia perlihatkan.
Bau hangus yang masih baru. Debu hitam mengudara. Jerit samar dan raungan pilu dryad yang mati karena diputus dari tumbuhan tempat mereka terikat. Hamparan abu dari pepohonan yang telah dibakar terbentang luas sampai batas jangkauan penglihatan Aretha.
Matahari yang menyorot terang semakin memperjelas pemandangan tersebut. Jantung Aretha mencelus, ia merasa hampa. Pepohonan yang begitu dijaga bangsanya, sumber kehidupan terbesar rakyatnya, tempat tinggal bermacam makhluk yang menjadi bagian Aeterra, pusat paling vital dari Nalkava ... siapa yang telah begitu berani membumihanguskan semua itu?
Aretha merasa kosong dan murka di saat yang sama. Kakinya melangkah di antara abu hitam itu, lantas berjongkok dan mengambil sehelai kain yang sudah setengah hangus. Berlatar biru, dengan sulaman membentuk trisula dan mahkota; lambang kerajaan Arterra.
Kain diremas penuh amarah. Rahang Aretha mengeras, ia kembali berdiri dan menghampiri Azra. Menatap sang pengawal dengan raut penuh kebencian yang kentara.
"Kesatria Azra Azia, putra dari Knael Azia dan Azejla-sena." Sang pengawal membalas tatapannya dengan lekat, ada kemarahan dan kesedihan serupa di sana. "Akankah kau menyerahkan kesetiaanmu, seluruh hidup dan pengabdianmu kepadaku, Aretha Arda-fra Maletara Elfynnea, saudari termuda Aeterra, putri ketiga Raja Arbura Arda-ona Leyandas Elfynneas dari Ratu Maleta?"
Mata Azra membeliak, ini pertama kali Aretha melihat ekspresi yang sangat jelas di wajah pengawalnya. Pria itu tidak memberi respons hingga Aretha kembali mengulang pertanyaan.
Azra masih terkejut melihat sisa pembakaran hutan, dan kini sang putri semakin mengejutkannya dengan pembuatan sumpah setia secara tiba-tiba. Walau begitu, pada akhirnya ia tetap menyahut, "Saya mendengar dan menerima sumpah. Seluruh kesetiaan dan pengabdian saya sepenuhnya milik Anda."
Mereka menautkan tangan kanan sebatas dada, menyelipkan jari jemari satu sama lain. Lantas menatap pada kedalaman mata masing-masing dan mengucap mantra kuno.
"O vaerie, laird nu laigh jnatulie. Malka dhreis muivreaa promnese, in tecreays tiel ljasniar. Gunruenem shaedis muicreays raunndis. Gunruenem souel teljania abrrouel. Hannem muiyreane, frou resolippin ji aereshe. Hannem teprotiswe, frou niarr ji muisadhze."
Benang tipis muncul dari lengan keduanya. Lantas bersinar dalam warna merah terang, mengikat tangan mereka yang masih berkaitan, saling membelit dan bergantian menembus kulit tangan.
Setelahnya, baik Aretha maupun Azra merasakan hal serupa. Sesak dan penuh. Sekaligus kosong dan terisi di saat yang bersamaan. Masing-masing seakan telah kehilangan sebagian jiwa. Namun, mendapat bagian yang lain.
Azra merasa sesuatu yang gelap baru saja merasuk pada dirinya, menghantam kepalanya begitu saja dan membuat perasaannya menjadi berat.
Aretha baru menghela napas ketika didengarnya suara puluhan kaki kuda yang mengentak seragam kian mendekat.
Aretha lantas berbalik, demi mendapati barisan prajurit Arterra, dengan Elden sebagai pemimpinnya, berhenti lima puluh meter dari tempat ia dan Azra berdiri.
•••
The Soul of the Moon
•••
Terjemahan mantra sumpah setia:
Wahai para Peri, para pemilik cahaya surgawi. Keturunan Malka mengucap janji, 'kan terikat hingga mati. Dua darah mengikat sumpah, dua jiwa terjerat setia. Satu melayani, tuk pertahankan yang abadi. Satu terlindungi, dari maut yang membayangi.
a/n: ada yang masih nunggu cerita ini? Nyahahah. Ku merasa penyampaian narasiku makin aneh. :'3
Terima kasih sudah membaca dan sampai jumpa di bab selanjutnya! ^^
25 November 2016
Best Regards,
Alulalyriss.
[Revisi 02 Desember 2019]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top