Bab 8. Rahasia Para Raja

"Aku menerima surat yang menyatakan bahwa pelarian para pemburu telah berhasil dilakukan."

Arata mengangguk sebagai tanggapan atas ucapan Raja Arbura. Matanya tersapu pada taman-taman luas di sekitar istana, tampak amat cantik dalam siraman senja. "Apa yang dilihat Amoret ... sepenuhnya adalah benar?"

Kaki Arata mengetuk pelan lantai pualam paviliun Traines, agak gelisah. Suaranya ketika berbicara sangat pelan, dipastikan tersamar angin dan gemuruh air terjun kecil. Namun, Raja Arbura yang berdiri di sebelahnya menajamkan indra pendengaran hingga masih menangkap perkataan sang putra.

"Sebagian, ya. Sisanya akan segera kita ketahui." Raja Arbura melirik Arata dengan sudut matanya. "Dan itu masih menjadi tugasmu, Arata."

Sekali lagi, Arata mengangguk, kaku. "Aretha adalah tanggung jawabku...." Ucapannya menggantung di udara, sesaat mempertimbangkan bijakkah jika ia mengatakan kalimat selanjutnya. "Namun, Ayahanda Raja, apakah tidak sebaiknya Aretha dan Amoret diberitahu perihal ini?" Hela napas berat sebagai jeda. "Atau setidaknya hanya Aretha, dengan begitu kejadian serupa tidak akan terulang kembali."

Masih segar dalam ingatan Arata ketika ia meminta Amoreta untuk melihat masa lalu saudari mereka yang paling muda, tepatnya hambatan apa yang menghadang perjalanan Aretha dari pulau Lounis. Gadis itu tampak gugup, Arata mengerti sebabnya adalah Aretha yang menolak segala kontak fisik dengan Amoreta. Untunglah kecemasan mereka terhadap Aretha ketika berada di Kamar Hukuman dapat menjadi alibi. Amoreta memeluk Aretha, menggenggam tangannya, tampak sangat alami meski sudah terencana. Dari sana, sang putri paling jelita melihat apa yang ingin Arata ketahui.

"Hutan, turun hujan," kata Amoreta dengan suara bergetar, kedua bola matanya bergerak-gerak gelisah. "Aretha dikejar sekelompok manusia pemburu. Kemudian datang kelompok lain, dipimpin manusia yang masih muda, berpakaian bangsawan, matanya biru dengan rambut berwarna cokelat gelap. Aretha tidak memakai kalung aquamarine, tapi ...," kerutan muncul di dahi Amoreta, "bagaimana ia dapat mengendalikan air?"

Kebungkaman Arata membuat Amoreta melanjutkan, "Aku tidak melihat kelanjutannya karena takut Aretha menyadari apa yang kulakukan selama memeluknya. Namun, aku melihat hal lain; di tempat yang berbeda, lorong panjang dan gelap, pemuda bangsawan yang sebelumnya bertemu Aretha di hutan sedang memungut benda bersinar, sebuah gelang dengan batu bulan di rantainya, mirip seperti yang sering dipakai Aretha. Aku hanya melihat sampai sana sebab Aretha melepas genggamanku dengan paksa."

Itu menjelaskan mengapa Aretha lepas dari pantauan Arata. Pangeran Aeterra tersebut hanya mampu melihat keberadaan orang-orang di tempat yang pernah ia datangi sebelumnya. Keterbatasan kemampuannya ini membuat ia tidak dapat mendeteksi keberadaan Aretha di wilayah manusia.

Arata juga cukup yakin pemuda bangsawan yang dilihat Amoreta merupakan pangeran dari Arterra. Mata biru dengan rambut berwarna cokelat gelap merupakan ciri utama anggota keluarga kerajaan tersebut. Dulu sekali, ia dan Aretha pernah bertemu mereka di perbatasan pegunungan Schall.

Masa yang buruk, kenang Arata, dan sekarang akan menjadi masa yang lebih buruk jika gelang batu bulan tidak cepat kembali pada Aretha.

"Kau sudah mempertanyakan hal ini." Bisikan tajam Raja Arbura mengembalikan Arata dari lamunan. "Jawabanku masih sama; tidak. Pengetahuan bagi Aretha serupa pedang bermata dua, dan aku melihatnya lebih cenderung tajam ke arah yang salah."

Segaris senyum lemah terkulum di bibir Arata, pemuda itu lantas berujar lirih, "Ini menyiksanya, dia bahkan tidak tahu kegunaan kalung aquamarine dan gelang batu bulan yang bertentangan."

"Sebab itu kularang kau memberitahunya."

Arata paham, meski masih terselip ketidakterimaan dalam dirinya. Aretha tidak akan mau lagi memakai gelang batu bulan jika tahu benda tersebut berfungsi membatasi kekuatannya. Menghambat pengendalian air yang ia dapat dari kalung aquamarine, sekaligus menghambat kekuatan lain dalam dirinya yang jauh lebih berbahaya.

"Aku dan kedua saudariku akan pergi ke kota Nerwul untuk menemui Laird Leroy ... dan para pemburu."

Raja Arbura menoleh pada Arata, lantas tersenyum ketika menyadari rencana sang putra. "Pergilah," restunya.

•••

"Pada tahun 646 Muiliean, ekonomi kerajaan dan rakyat Aeterra cukup terkendala oleh beberapa hal...."

Tuk tuk tuk.

"Salah satunya disebabkan oleh paceklik pada bulan Thyrelios, yang seharusnya memasuki musim gugur, tetapi diisi oleh musim dingin yang—"

Tuk tuk tuk.

"—datang terlalu cepat. Raja Arbura menangani masalah ini dengan bijak, beliau mengembalikan ekonomi kerajaan dengan—"

Tuk tuk tuk.

Menghela napas, pria yang sedari tadi berbicara di depan ruangan menatap pada Aretha. "Putri Aretha Arda-fra, mohon berhenti mengetukkan jari Anda ke meja dan simak pelajaran dengan baik."

Aretha mengerjap, lantas menghentikan gerakan jari telunjuknya yang sudah setengah jalan untuk mengetuk meja. Ia merasa amat bosan, bahkan mulai berpikir bahwa dikurung berhari-hari di Kamar Hukuman, seperti lima hari kemarin, justru lebih baik daripada terjebak beberapa jam di kelas Sejarah Nalkava.

Berbanding terbalik dengan Amoreta, gadis itu tampak sangat fokus mendengarkan dan sesekali memenuhi bukunya dengan catatan.

"Setengah jam lagi, Tuan Putri." Azra, yang memang selalu berdiri di sampingnya di mana pun Aretha berada, berbisik mengingatkan. Pemuda bersurai pirang itu mengira Aretha sedang menghitung waktu. Sayangnya, informasi tersebut sama sekali tidak membuat suasana hati Aretha membaik.

Pria di depan kembali berkisah, melanjutkan topik tentang keadaan ekonomi Aeterra yang labil karena paceklik. Minat Aretha untuk mendengarkan, yang tadinya berada di garis nol, langsung turun menjadi minus. Apa yang terjadi di masa lalu tidak pernah menarik atensinya.

Lain halnya dengan Amoreta yang begitu serius menyerap semua sejarah. Bakat istimewanya sebagai pelihat masa lalu tidak membuatnya dapat mengetahui semua kejadian. Ia harus mmenyentuh kulit seseorang jika ingin tahu masa lalu orang tersebut, dan tidak selalu informasi yang ingin ia ketahui yang muncul.

"... hal ini diperparah dengan pertempuran pada tahun 650 Muiliean...."

Amoreta menatap gurunya dengan saksama, tangannya berhenti menggoreskan pena bulu pada buku, sepenuhnya menumpukan fokus pada perkataan si pria. Bahkan Aretha melirik dengan sedikit ketertarikan dalam dirinya. Tidak pernah sekalipun mereka diberitahu secara rinci mengenai pertempuran di tahun 650 Muiliean. Segala yang berhubungan dengan pertempuran tersebut sangat dirahasiakan.

"... setelah seorang Elfynn yang merupakan Tahanan Tingkat Serius melarikan diri dari Jleadirr pada tahun 647 Muiliean, kedelapan kerajaan menjadi sangat panik dan situasi kembali genting. Kepanikan tersebut tentu bukan tanpa alasan, kedelapan kerajaan mencemaskan apa yang terjadi pada tahun 580 Muilean terulang kembali.

"Selama tiga tahun sejak melarikan dirinya sang tahanan, teror dan ketakutan menyebar sebab kedelapan kerajaan masih tidak mampu menemukan keberadaannya. Apalagi ketidaktahuan tentang apa yang direncanakan sang tahanan semakin memperburuk kekhawatiran. Pada tahun 650 Muilean, pencarian membuahkan hasil dengan ditemukannya sang tahanan. Namun, kedelapan kerajaan harus mengirim kesatria-kesatria paling hebat dan bahkan para bangsawan untuk menaklukkannya. Sebagian kesatria dan bangsawan tersebut banyak yang tewas sebab sang tahanan sangatlah kuat meski ia bukan keturunan Malka. Ayahnya adalah seorang penyihir manusia, dan pelahirnya merupakan Peri yang tidak terdeteksi identitasnya. Ia diberi nama Valora—"

Penjelasan sang guru terputus oleh dehaman keras Azra. Secara refleks, Aretha dan Amoreta mendelik kesal pada pemuda tersebut. Yang bersangkutan malah menatap datar kepada sang guru, membuat yang ditatap menjadi gugup dan cepat-cepat berkata, "Ah, maafkan aku, Kesatria Azra Azia. Aku melantur amat jauh dari bahasan."

Amoreta mengerang. Aretha membuang napas kasar. Azra masih menatap datar.

"Baiklah, kukira waktunya sudah habis," kata sang guru, tangannya membereskan buku-buku di meja dengan gemetar. "Aku harap pada pertemuan selanjutnya, kedua putri mengumpulkan esai mengenai perburuan Penerawang pada tahun 482 Muiliean."

Kini giliran Aretha yang mengerang. Amoreta cemberut. Dan Azra masih menatap datar.

Sang guru berpamitan singkat, lantas keluar dari ruangan dengan terburu-buru. Amoreta masih tinggal untuk mencatat beberapa hal penting yang ia dengar barusan. Sedangkan Aretha lekas berjalan keluar dengan Azra di belakangnya. Mereka melintasi selasar, sesekali mengulas senyum tipis ketika beberapa Elfynn menyapa.

Menara Nredvia di mana mereka sekarang berada memang digunakan sebagai tempat semua pelajaran diberikan. Bukan hanya para pangeran dan putri, tetapi anak-anak pejabat tinggi istana dan beberapa bangsawan juga belajar di sana. Meski tentu apa yang dipelajari pangeran dan putri agak berbeda dari mereka.

"Kelas Ilmu Retorika berada di arah sebaliknya, Tuan Putri."

Aretha mengabaikan ucapan Azra ketika ia berbelok ke kanan di pertigaan selasar. Ia tidak berniat belajar Ilmu Retorika saat ini, pikirannya masih teralihkan pada penjelasan mengenai pertempuran tahun 650 Muiliean yang dipotong Azra di bagian paling pentingnya.

"Tuan Putri!"

Saat Azra sudah mengulang panggilan itu tiga kali dan Aretha masih tidak mau menyahut, ia dengan nekat menahan tangan gadis itu hingga Aretha berbalik untuk menoleh kepadanya. "Anda berjalan ke arah yang salah."

"Retorika tidak akan pernah kukuasai sebanyak apa pun aku mempelajarinya, Kesatria Azra Azia."

Melepas tangan Aretha, Azra balas menatap pada sepasang mata yang sampai saat ini masih sulit ia pahami sorotnya.

"Kautahu sesuatu," cetus Aretha tiba-tiba, "usiamu 185 tahun pada saat pertempuran itu terjadi. Mengingat kemampuan dan jasa besarmu yang begitu tersohor di Nalkava, tentu Aeterra mengikutsertakanmu untuk menaklukkan sang tahanan, maksudku ... Valora."

Bungkam adalah opsi yang Azra pilih. Selasar tempat mereka berada memang jarang dilewati hingga tidak ada siapa pun di sana. Namun, hal itu tidak lantas membuat Aretha dapat mendengar apa pun sesukanya.

"Siapa nama lengkap Valora?"

Azra tidak dapat menghentikan dirinya untuk berjengit. "Namanya adalah sesuatu yang tabu untuk disebutkan. Baik saya ataupun Anda terlarang untuk menyebut nama tersebut. Jadi, mohon segera lupakan apa yang Anda dengar tentangnya."

"Mengapa demikian?" Aretha kembali bertanya.

"Sebab itu merupakan perintah Raja Arbura."

Helaan napas, Aretha geming mendengar nama sang raja. Ia alihkan wajahnya pada jendela yang terbuka, membuat alunan bayu menerbangkan helai-helai sejumput rambutnya yang tidak ikut terkepang. "Aku selalu ingin tahu, Azra." Jeda, sang pengawal masih sibuk menatap tanpa fokus pada satu hal. "Ada sesuatu yang sangat besar di balik pertempuran 650 Muilean, bukan? Sesuatu yang membuat semua raja ketakutan hingga tidak lagi membicarakannya...."

Azra mendongak, matanya menangkap Tanda Dosa di pipi kiri sang putri. Lantas ia palingkan arah pandangnya, mendadak merasa amat tergoda untuk menutup jendela agar angin berhenti mempermainkan rambut Aretha yang biasanya menutupi Tanda Dosa.

"Sesuatu yang aku yakini ... berporos pada Valora."

Penasaran, sang pengawal melirik Aretha dengan sudut matanya. Ia mendapati putri termuda Aeterra itu tengah mengulas senyum tipis.

"Valora ... adalah nama seorang wanita." Mata Aretha masih menatap sesuatu di luar jendela, entah itu rimbunnya daun dari pepohonan, burung-burung yang melintas, puncak-puncak tinggi menara di sekitar Muian Etermara, atau bahkan langit biru yang bersih tanpa awan. "Bukankah itu terdengar menarik? Seorang wanita. Seorang wanita dapat menimbulkan pengaruh dan ketakutan yang sangat besar bagi kedelapan kerajaan. Tidakkah ia terdengar sangat hebat?"

Azra tidak mengerti apa yang membuat Aretha berpikir demikian. Akan tetapi, sesuatu dalam dirinya merasa ganjil ketika melihat sang putri masih tersenyum dengan sorot mata penuh semangat, atau mungkin ... hasrat?

Senyum Aretha terkembang lebih lebar, raut wajahnya yang dihiasi antusias dan pemujaan berlebih membuat Azra teringat kembali pada kejadian ratusan tahun silam. Ia merasa tidak asing. Hasrat yang sama, senyum penuh damba yang sama, Azra pernah melihat semua itu pada orang yang berbeda. Dan ia tidak senang menyadari persamaan tersebut.

"Apa yang membuat seorang penjahat terdengar hebat, Tuan Putri? Ia bahkan dikutuk oleh para Peri."

Tampaknya Aretha tak mendengar ucapan Azra, sebab raut wajahnya kini berganti menjadi kebingungan. Matanya menyelisik sesuatu di balik jendela dengan saksama, dahinya mengernyit dalam. Ketika Azra hendak bertanya, sang putri lebih dulu bergumam, "Apa yang dia lakukan di sana?"

Dengan cepat Azra mengikuti arah pandang Aretha, ia dapat melihat Arata tengah berdiri di depan jendela yang berada di menara seberang, melambai-lambaikan tangannya dan mengatakan sesuatu dengan isyarat gerakan mulut. Tanpa suara.

Kerutan di dahi Aretha menular pada Azra, dan pertanyaan yang sama terngiang dalam benaknya; hal konyol apa yang sedang dilakukan putra pertama Aeterra di seberang sana?

Arata masih melambai-lambaikan tangannya, lantas menunjuk jembatan yang menghubungkan menara Nredvia dengan menara tempat ia berada, di mana para pemusik kerajaan tengah mengalunkan lagu dan nyanyian-nyanyian merdu. Segera setelah melihat Aretha mengangguk paham, pemuda itu berjalan cepat ke jembatan.

"Saudara tertuaku ingin menemuiku," kata Aretha ketika ia dan Azra ikut berjalan ke arah yang sama.

Azra hanya mengangguk paham dan mengikuti dengan patuh.

"Bukankah seharusnya kau sedang berada di kelas Ilmu Retorika?" tanya Arata begitu ia bertatap muka dengan saudarinya, agak jauh dari para pemusik kerajaan.

"Bukankah seharusnya kau sedang berada di balairung dan membantu Ayahanda Raja juga pejabat-pejabat tinggi yang lain menyelesaikan permasalahan kerajaan?" Aretha balik bertanya.

Arata mendengkus sebal. "Lupakan saja." Ia menatap pada Azra dan bertukar anggukan sebagai bentuk salam, lantas kembali memandang saudarinya. "Cepatlah bersiap, kita akan melakukan perjalanan ke kota Nerwul saat matahari tenggelam."

Kerutan yang sempat hilang kembali muncul di dahi Aretha. "Untuk apa? Dan mengapa begitu mendadak?"

"Perintah Ayahanda Raja," sahut Arata. "Dan tidak begitu mendadak sebab Ayahanda Raja sudah membuat keputusan sejak dua hari yang lalu. Aku harus mengurus beberapa pekerjaan di sana."

"Lantas mengapa aku harus ikut?"

Arata sedikit berdecak. "Kau harus menghadiri Huranaya—festival yang diadakan sebagai bentuk syukur pada para Peri atas panen gandum di bulan Archelios. Laird Leroy sendiri yang meminta keikutsertaanmu dan Amoret." Menghela napas, pemuda berambut sebahu itu mengulas senyum lebar. "Lagi pula, sudah lama sekali kita tidak bepergian bersama. Aku rindu menghabiskan waktu dengan saudari-saudariku."

Aretha merutuk. "Menghabiskan waktu denganmu dan Amoreta, ini pasti hukuman lain yang Ayahanda Raja berikan untukku."

•••

The Soul of the Moon

•••

14 Oktober 2016

Best Regards,

Alulalyriss.

[Revisi 02 Desember 2019]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top