Bab 4. Sang Pengawal
"Apa yang Ayahanda Raja minta kaulakukan di pulau Lounis?"
Aretha memutar bola matanya atas pertanyaan sang kakak. Segera setelah pernyataan mengejutkan Raja Arbura dan selesainya pertemuan pribadi di balairung, Arata menemui Aretha di Paviliun Termis, bangunan berbentuk bundar yang hanya disangga pilar dan tanpa dinding.
Paviliun Termis berada di selatan istana, dikelilingi taman-taman bunga dan puluhan air terjun kecil, membuat tempat itu begitu damai dengan suara kicau burung dan gemercik air. Ditambah sayup suara musik dan nyanyian merdu para Elfynn yang selalu terdengar sepanjang waktu.
"Beliau menyuruhku pergi ke sana untuk meminta nasihat para tetua dan mencari seorang kesatria," sahut Aretha dengan nada malas yang kentara. Tangannya membolak-balik halaman buku dalam genggaman. Lupa sampai mana ia telah membaca.
Arata mengempaskan dirinya di samping Aretha dan segera dimanjakan tumpukan bantal empuk yang ia duduki. "Untuk apa?"
"Oh, saudaraku yang tampan, Arata," desah Aretha. "Pergilah mengurus tumpukan petisi yang hampir setinggi semak-semak seledorn dan biarkan aku membaca dengan tenang di sini."
Arata menghela napas, lantas mengambil buku dari genggaman Aretha dan menjauhkannya dari jangkauan sang adik.
"Kau sudah membaca semua buku yang ada di Muian Etermara. Sekarang beritahu aku apa yang Ayahanda Raja inginkan dengan menyuruhmu menjemput kesatria itu di sana," ujar Arata, memelankan suaranya pada kalimat terakhir. Pasalnya, orang yang dia bicarakan sedang berdiri tenang di dekat pilar, memerhatikan mereka dengan saksama.
"Kau sudah mendengarnya sendiri." Aretha menjawab tak kalah pelan. "Ayahanda Raja memberinya tugas untuk mengawalku. Sungguh konyol, seakan aku membutuhkan seseorang untuk melindungiku."
"Tidak, tetapi kau membutuhkan seseorang untuk melindungi orang lain darimu."
Aretha menatap kesal pada sang kakak. Harinya sudah cukup buruk tanpa ditambah pernyataan menjengkelkan. Raja Arbura dengan sangat baiknya memutuskan bahwa; menilik dari semua tingkah tak terduga Aretha dan semua bahaya yang selalu mengancam keselamatan dirinya, ia memerlukan pengawal pribadi untuk melindungi dan membantunya kembali mengikuti aturan yang ada.
Jadilah kesatria bernama Azra Azia itu mengekor ke mana pun ia pergi. Dengan wajah nyaris tanpa emosi, Azra bahkan belum mengatakan apa pun lagi sejak dua kalimat terakhir yang dia ucapkan di balairung.
"Setidaknya kau tidak akan terlalu terganggu dengan kehadirannya," kata Arata. Matanya melirik sekilas pada Azra yang sedang berdiri diam tanpa bergerak sedikit pun. "Dia lebih mirip patung daripada makhluk hidup. Dan aku sungguh masih tidak percaya Ayahanda Raja menugaskan kesatria legendaris sepertinya untuk mengawalmu. Sekarang aku yakin kau benar-benar putri kesayangan."
Aretha mendengkus mendengar kalimat terakhir saudaranya. "Bukankah karena aku ini begitu merepotkan sampai Ayahanda Raja meminta seorang kesatria untuk membatasi diriku?"
Arata terkekeh, mengacak pelan puncak kepala Aretha. "Bersyukurlah, kau bisa dikawal oleh orang yang pernah berjasa besar bagi Nalkava."
Aretha bergumam malas, lantas mengambil kembali bukunya dan mulai membaca.
"Kau belum memberitahuku, jalur mana yang kaulewati sampai aku tidak dapat melihat keberadaanmu?"
Seluruh perhatian Aretha terfokus pada deretan kata hingga ia tak menggubris pertanyaan saudaranya.
"Aretha!" Arata mendesis menahan geram, membuat Aretha menghela napas dan menutup bukunya.
"Latih lagi kemampuanmu melihat masa kini dan jangan pertanyakan keterbatasan Berkah Malkamu itu kepadaku."
"Asal tahu saja," kata Arata, "kemampuanku melihat masa kini sudah jauh lebih berkembang daripada pengetahuanmu akan masa depan."
Aretha menatap saudaranya dengan tatapan tak percaya. "Kau sedang menyombong?"
Seringai jahil tersungging di bibir Arata, pemuda itu menaikkan kedua alisnya dan memasang wajah semanis mungkin, yang sebenarnya sia-sia karena wajahnya sama sekali tidak dapat dikatakan manis.
Pangeran Aeterra seharusnya tidak bertingkah seperti itu. Aretha bahkan mulai berpikir betapa melihat ekspresi bengis Arata sepuluh kali lipat lebih baik daripada wajah yang dia tunjukan saat ini.
"Berhenti membuat ekspresi menjijikkan itu dengan wajahku."
"Ini wajahku, bukan wajahmu."
"Bercerminlah dan kau akan sadar kita ini saudara kembar."
Arata tertawa, yang dibalas tatapan heran oleh Aretha. Tidak ada yang lucu. Sungguh. Kecuali kalau fakta mereka, termasuk Amoreta, adalah saudara kembar cukup menggelikan baginya.
"Coba dengar apa yang kulihat dari masa depan, Saudaraku tersayang," kata Aretha, ia kini mendapat perhatian penuh Arata meski pemuda itu masih tidak dapat menghentikan tawanya. "Kau akan kehilangan suaramu sampai purnama di bulan Palmalios bila terus tertawa seperti ini."
Arata sontak terdiam, menatap Aretha tanpa berkedip. Pernyataan itu begitu mengerikan sampai ia tidak mau bahkan hanya sekadar untuk membayangkannya. Orang yang ditatap dengan tenang mulai bangkit, wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun, khas Aretha jika sudah kumat ketidakpeduliannya pada sekitar.
"Kau bercanda," kata Arata.
"Kapan aku pernah membuat lelucon tentang masa depan?" tantang Aretha.
Arata ikut berdiri. "Setiap kali kau merasa kesal kepadaku?"
Mengabaikan saudaranya, Aretha melangkah keluar dari paviliun. Ia baru berjalan beberapa langkah ketika berhenti dan kembali berbalik memandang Arata. "Satu lagi," katanya. "Ayahanda Raja akan memarahimu karena kau belum menyelesaikan semua pekerjaan dan malah berkeliaran di sini."
"Ya, ya. Terus saja katakan sesuatu yang tidak menyenangkan tentang masa depanku!" ketus Arata sebal, kembali mengempaskan dirinya dalam tumpukan bantal.
Aretha mengangkat bahu dan memasang tampang penuh kemenangan, ia berjalan ke luar paviliun, lantas berujar pelan ketika melewati pengawal barunya, "Aku harap kau melalaikan tugasmu sebagai pengawalku."
Berkebalikan dengan apa yang ia dengar dari sang putri, Azra malah mengekor patuh tanpa secuil pun perubahan raut wajah yang berarti. Ia bahkan tidak menanggapi perkataan Aretha sama sekali.
"Harapanku terlampau besar rupanya," gumam Aretha. Ia terus melangkah melintasi paviliun-paviliun yang tersebar di seluruh halaman Muian Etermara. Sesekali, ia akan mengangguk dan melempar senyum formal pada para pelayan istana yang berpapasan dengannya.
Hari sudah sore, namun para pelayan masih berlalu lalang di semua bagian istana. Aretha hampir melewatkan kelas Sejarah Nalkava. Sayangnya, ia tak memiliki minat untuk belajar sama sekali. Seluruh tubuhnya masih terasa sakit dan ia begitu letih usai melakukan perjalanan jauh ke pulau Lounis.
Aretha hendak berbelok ke kanan di tikungan dekat Paviliun Traines ketika ia melihat Amoreta dan rombongan dayang di belakangnya sedang berjalan ke arahnya.
Aretha lantas memutar langkah dan berbelok ke kiri, malas bertemu kembarannya yang satu lagi. Ia sedang sangat lelah untuk mendengar rentetan pertanyaan lain dari saudarinya itu.
Dan lagi, kemampuan Amoreta dalam melihat masa lalu akan sangat berbahaya baginya. Ia belum ingin ada yang mengetahui hambatan macam apa yang ia temui dalam perjalanan pulang. Meskipun Amoreta tidak akan mengetahui apa-apa selama Aretha tidak membiarkan gadis itu menyentuhnya.
Berhenti sebentar, Aretha menghela napas dan menyesali jalan yang ia ambil. Ia berniat kembali ke kamarnya di Menara Malua, dan jalan itu akan membawanya ke arah yang berlawanan.
Aretha mendesah pelan, kembali memutar langkah melewati deretan semak seledorn yang mengapit jalan setapak berbatu. Semak itu tingginya hampir sepinggang Aretha, bunga-bunga kecilnya berwarna biru terang dan aroma yang menguar darinya amat wangi.
Juru masak kerajaan biasa menggunakan bunga dari semak seledorn untuk membuat teh. Rasanya tidak terlalu manis, tetapi juga tidak pahit. Dan karena semak seledorn hanya dapat tumbuh di lingkungan Muian Etermara, semak itu dianggap sebagai tanaman keturunan murni Malka oleh penduduk Aeterra.
Sayup suara musik terdengar menyenangkan di telinga kedua Elfynn yang sedang berjalan itu. Dan entah mengapa, nada yang dimainkan lebih cocok jadi lagu pengantar tidur. Bertempo lambat dengan irama lembut dan mendayu. Padahal sekarang masih jauh dari waktu tidur, tetapi Aretha yakin ia akan terlelap saat sampai di kamarnya.
Jalan masih lurus menuju Paviliun Traines, bangunan itu tampak indah dalam siraman cahaya senja. Memantulkan warna jingga di setiap pilarnya.
Mendadak, Aretha mendengar suara sesuatu yang berdesing di udara. Tubuhnya ditarik ke belakang tetapi sudah terlambat untuk menghindarkannya dari serangan. Lengan kanannya terasa amat perih dan panas saat sesuatu yang tajam merobek lengan gaun sampai ke kulitnya.
Anak panah yang melukai tangan kanan Aretha menancap tepat di batang pohon birch, terdengar jeritan samar dan kedua Elfynn itu yakin asalnya dari dryad pohon tersebut.
Aretha mendongak pada Azra yang memegangi tangan kirinya. Wajah pria itu masih tenang walau matanya menyisir sekitar. Kerutan muncul di antara kedua alis Azra, lantas matanya beralih pada lengan kanan Aretha yang mulai mengucurkan darah. Aretha tak menunjukkan reaksi apa pun. Sekadar meringis atau terkejut pun tidak.
Azra menatap tepat di mata Aretha ketika ia berkata, "Mohon tunggu di sini, Tuan Putri."
Dengan cepat, ia melompati semak seledorn dan menghilang di antara baris pepohonan birch. Lompatannya ringan dan setiap langkah yang diambilnya penuh ketegasan. Namun, tak ada seorang pun yang dapat ia temukan, jejak auranya pun tidak.
Menghela napas, Azra hendak kembali ke tempat Aretha berada ketika matanya menangkap pergerakan samar di kejauhan. Azra berlari ke arah gerakan itu tanpa banyak berpikir. Ia melewati pohon-pohon dan keluar menuju Paviliun Taredis. Banyak pelayan yang berlalu lalang hingga Azra kesulitan mengikuti orang yang ia yakini merupakan si penyerang.
Azra sekilas melihat orang dalam balutan jubah hitam, tapi berkali-kali pun Azra mengikuti sosok itu, ia tetap tidak dapat mendekatinya. Azra sudah hampir tiba di gerbang timur Muian Etermara ketika ia benar-benar kehilangan jejaknya.
"Jangan biarkan siapa pun yang berjubah hitam masuk ke lingkungan istana." Azra berpesan pada para penjaga gerbang sebelum ia berlalu untuk kembali menghampiri Aretha.
Azra disambut tatapan datar sang putri yang sedang berdiri di tempat terakhir ia meninggalkannya. Ia lantas berlutut, memberi hormat sebelum melapor, "Maafkan saya. Saya tidak dapat menangkap penyerangnya, Tuan Putri."
"Aku tidak suka menunggu," balas Aretha. "Jangan lagi buat aku menunggu."
"Saya memohon maaf," ulang Azra. Pria itu bangkit berdiri, berjalan menghampiri pohon birch dan mencabut anak panah dari sana. Bulu dari anak panahnya berwarna ungu tua, dan ada secarik perkamen yang digulung di batangnya.
Azra membuka perkamen itu dan melihat isinya, keningnya sedikit berkerut, tidak mengerti dengan apa yang tertulis di sana.
" 'Rembulan telah meredup. Tugas kami adalah mengembalikan cahayanya'." Perkataan Aretha membuat Azra mengalihkan tatapan pada sang putri. Aretha baru saja mengutip isi perkamen tanpa membacanya sama sekali.
Mengerti kebingungan pengawalnya, sang putri kembali berujar, "Isinya selalu sama dari waktu ke waktu."
"Anda sering mendapat serangan seperti ini?" tanya Azra kaget.
"Dengan cara yang berbeda, ya. Tetapi mereka terus mengirimkan pesan yang sama."
"Anak panah ini—"
"—milik para Jagros."
Azra menatap Aretha tanpa berkedip, apa yang begitu salah dari diri sang putri sampai para Jagros ditugaskan untuk melukainya?
Jagros adalah pembunuh berdarah dingin, mereka diberi tugas untuk melenyapkan orang-orang yang memang pantas mati. Dalam bangsa Elfynn, tugas seorang Jagros bukanlah pekerjaan keji, tetapi tetap tidak dapat disebut mulia.
Jagros ditunjuk, bukan diajukan. Setiap anak yang terlahir sebagai Jagros akan memiliki tanda yang mengharuskan mereka menjalani takdir sebagai pembunuh. Mereka berada dalam sebuah kelompok rahasia, diketuai oleh satu orang yang mengetahui siapa saja yang harus mati untuk menjaga Nalkava tetap dalam kedamaiannya. Setidaknya untuk sementara.
Azra masih menatap sang putri, mengamati ketenangan gadis itu seakan menjadi target dari sekelompok pembunuh tidak lebih penting daripada keberadaan pita di ikat rambut.
Azra mendadak merasakan panas pada tangannya yang sedang memegang perkamen dan anak panah. Ia tidak heran saat melihat kedua benda itu terbakar dan melebur menjadi abu, lantas tertiup angin hingga lenyap sama sekali. Sang Jagros pasti telah memantrainya agar kedua benda itu hancur segera setelah ada yang membuka perkamen.
Perhatian Azra teralih pada lengan kanan Aretha, darah masih mengalir dari sana, menodai lengan gaunnya. Azra memetik beberapa helai daun dari semak seledorn, memegang lengan kanan sang putri dan meneteskan getah dari daun itu ke lukanya.
Salah satu fungsi lain dari berjuta manfaat semak seledorn, getahnya dapat menghentikan pendarahan meskipun akan terasa perih ketika menyentuh kulit.
Aretha meringis menahan sakit. Padahal sedari tadi ia menahan dirinya untuk tidak mengaduh. Ia hanya mengaplikasikan apa yang ia dengar di kelas "Pelajaran Dasar Persiapan Putri" bahwa seorang bangsawan berstatus tinggi sepertinya tidak diperkenankan menunjukkan rasa sakit.
Azra membuang daun-daun semak seledorn setelah getahnya habis, ia kemudian menangkupkan tangannya di luka Aretha. Cahaya putih menguar samar dari sana, dan ketika Azra menarik tangannya, kulit Aretha sudah kembali seperti semula. Lengan gaun yang robek sekarang menjadi satu-satunya tanda luka itu pernah ada.
"Kau dapat melakukan sihir pemulih?" tanya Aretha takjub.
Sihir pemulih, yang paling mudah sekalipun, tingkatannya berada di atas sihir yang lain. Mempelajari sihir itu cukup sulit dilakukan mengingat betapa rumitnya apa yang harus difokuskan untuk menyembuhkan luka.
"Ibu saya adalah Azejla-sena," jawab Azra, mengingatkan sang putri pada pelahirnya yang merupakan pengguna sihir pemulih paling berbakat di Aeterra.
"Azra-sena?" tanya Aretha, membubuhkan gelar pengguna sihir pemulih di belakang namanya.
"Kemampuan saya belum cukup tinggi untuk mendapat gelar hormat itu."
"Kau mewarisi segala yang terbaik dari orangtuamu."
"Saya harap begitu."
"Kecuali ekspresi, kutebak?"
Azra hanya tersenyum tipis, sangat tipis sampai Aretha tidak akan menyadarinya jika ia tidak menatap pria itu lekat-lekat.
Aretha tidak membuang waktunya untuk mengamati perubahan raut wajah Azra lebih lama, ia bergegas melanjutkan langkah. Melewati beberapa paviliun dan masuk ke pintu ganda Menara Malua. Bagian dalam menara terasa lebih hangat karena cahaya senja yang menerobos jendela-jendela tinggi di dinding.
Perjalanan dari pintu masuk Menara Malua ke kamarnya seharusnya memakan waktu lama, kamarnya berada di sudut barat terjauh menara itu. Namun, Aretha hanya perlu menetapkan ke mana tujuannya dan pintu kamarnya dapat ia lihat ketika berbelok di tikungan pertama.
Ini merupakan salah satu sihir yang bekerja pada Muian Etermara, memperpendek jangka waktu dengan mempercepat jarak tempuh.
Namun, belum sampai pada pintu kamarnya, Aretha dikagetkan dengan kemunculan Amoreta yang mendadak keluar dari lorong di sisi kanan.
Langkah kedua saudari itu sontak terhenti, saling mengamati dengan mata emas masing-masing. Sekejap kemudian, senyum lembut terlukis di bibir Amoreta. Ia menghampiri Aretha dan berdiri di hadapannya. Kurang lebih setengah lusin dayang mengekor patuh di belakangnya.
"Saudariku, Aretha," kata Amoreta, mengalunkan nama Aretha dengan begitu lembut. "Kau tidak mau menemuiku setelah kembalinya dirimu dari tugas besar?"
"Agar kau dapat melihat apa saja yang telah kulakukan dalam pemenuhan tugas itu?" Aretha membalas ketus.
Amoreta terkekeh, mengibaskan tangannya dengan anggun. "Oh, kau selalu berprasangka buruk terhadapku."
"Aku sangat letih, Amoret. Jadi kumohon, kembali pada urusanmu dan biarkan aku beristirahat sejenak."
"Apa kau akan melewatkan kelas Sejarah Nalkava?" Kening Amoreta berkerut samar, ia tahu Aretha tidak pernah suka kelas tersebut, tetapi seberapa tidak sukanya pun, Aretha selalu hadir karena guru mereka cukup tegas pada ketiga muridnya.
"Ya," sahut Aretha. "Sekarang bisakah aku pergi?"
"Oh," desah Amoreta, sedikit kecewa karena tidak dapat bercengkerama lebih lama. "Aku membawa kabar dari Ayahanda Raja. Beliau menyuruhku untuk menyampaikannya kepadamu."
"Apa itu?"
"Karena kau tidak menghadiri upacara kedewasaan kita yang diadakan pada hari pertama Archelios, Ayahanda Raja ingin mengadakan perayaan lain di Domuin Eterma. Semua pangeran dan putri dari enam kerajaan akan datang ke Aeterra."
Aretha masih menatap datar pada sepasang iris emas saudarinya. "Perayaan apa tepatnya yang diadakan di arena latihan para prajurit?"
"Aku tidak tahu dengan pasti," jawab Amoreta. Wajahnya menjadi tampak gelisah. Ia tidak pernah suka kekerasan, dan arena latihan prajurit adalah salah satu tempat apa yang tidak ia suka itu bermuara.
"Mungkin karena ini perayaan besar yang akan dihadiri banyak orang sehingga memerlukan tempat yang luas. Para kesatria juga akan datang," Amoreta beralih menatap Azra yang sedang bergeming di belakang Aretha, "dan aku mendengar keluargamu juga akan menghadiri perayaan tersebut."
Azra tersenyum samar, tidak merasa perlu membalas ucapan Amoreta. Sementara Putri Ketiga Aeterra sedang mengerutkan keningnya, menatap Azra dan Amoreta bergantian. "Keluarganya?"
"Inilah mengapa aku selalu mengingatkanmu untuk tidak meremehkan masa lalu dan sejarah, Saudariku. Knael Azia, Azejla-sena, dan adik dari Azra Azia yang bernama Azhu Kalista. Mereka dalam perjalanan kembali dari pulau Lounis dan akan tiba di Aeterra malam ini."
"Memangnya kapan perayaan itu akan dilaksanakan?" Aretha kembali bertanya, ia tidak menyangka orangtua Azra yang katanya memutuskan untuk menetap dan mengabdi pada para tetua akan kembali ke Aeterra.
Keluarga Azra Azia menjadi amat terkenal di ketujuh kerajaan Elfynn karena pengaruh besar yang dimiliki ketiga anggotanya. Ia hanya tidak tahu Knael Azia ternyata mempunyai seorang putri.
"Pada hari kelima belas bulan Archelios. Segera setelah semua orang tiba dan matahari berada di puncak paling terangnya."
Itu artinya, tujuh hari dari sekarang. Aretha membutuhkan lebih banyak waktu untuk memikirkan cara melewatkan perayaan.
•••
The Soul of the Moon.
•••
26 Agustus 2016
Best Regards,
Alulalyriss.
[Revisi 02 Desember 2019]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top