Wings Maker and Changes Power *5

Pisah jadi dua part ya, ternyata chapter ini banyak banget, hiks.

***PART 5A***

"Dia Wings Maker?" Tazu menaikan sebelah alisnya, menatapku dengan sedikit tak percaya.

Aku dengan cepat menyela tidak senang, "Bukan! Aku bukan Wings Maker!"

"Tidak salah lagi, dia Wings Maker!" salah satu pengawal BlackMix mulai mendekatiku. "Cepat bawa dia ke markas!" pinta sang komando, aku mulai risih dan dengan cepat mereka segera mengepungiku.

"Tak secepat itu!" teriakku sambil meronta. Mereka malah tertawa meremehkanku.

"Sudahlah! Jangan main-main lagi!" bentak sang komando. "Cepat bawa dia!"

Aku menatap ke arah Tazu, memberinya tatapan agar dia menyelamatkanku. Tapi bukannya mengeluarkan kekuatannya untuk menyelamatkanku, dia malah melafalkan mantra dan membuka Give Pocket-nya dengan tenangnya. Tapi tidak ada yang menyadari hal itu karena mereka semua terlalu fokus dengan keberadaanku.

Tazu mengeluarkan sebuah ramuan dan menyiramnya ke arah mereka, asap tebal pun muncul membuat pandangan sama sekali tak terlihat. Lalu, aku merasakan tarikan pelan pada pergelangan tanganku. Tazu sudah membawaku keluar dari asap tebal dan orang-orang BlackMix itu.

"Kenapa kau tidak mengeluarkan kekuatanmu aja sih?" gerutuku kesal. Setengah hatiku yang lega dan setengahnya lagi berharap dia akan mengeluarkan kekuatannya di depanku untuk menyelamatkanku. Aku benar-benar penasaran dengan kekuatannya.

"Sudahlah." potong Tazu nada agak kesal.

Kami pun melewati hutan-hutan yang cukup lebat, beberapa kali pandangan Tazu terlihat menyisir sekitaran tanah tandus, barulah akhirnya dia menunjuk sebuah rumah kecil hampir menyerupai pondok di depan kami. Setelah perdebatan singkat tentang siapa yang akan mengetuk rumah Lica, kami pun mengetuk pintu rumah peramal Lica bersamaan.

"Siapa kalian?" tanya seorang gadis yang umurnya kira-kira lebih tua beberapa tahun dariku. Kukira dia berwujud nenek tua, tapi rupanya dia masih sangat muda! Rambut coklatnya sangat panjang dan di tutupi oleh sebuah mantel panjang berwarna hitam (aku bisa mengetahui itu panjang karena ada beberapa anak rambut yang keluar).

"Aku Piya, dia Tazu. Kami datang karena aku ingin meramal padamu." Ucapku dengan sedikit gugup.

"Silahkan masuk," Ucapnya sambil menggeser tubuhnya dan memberi jalan.

*

"Apa tujuanmu datang kemari, Piya?"

"Aku hanya ingin tahu...apakah aku ini Wings Maker?" tanyaku ragu, enggan dan gugup menjadi satu.

Lica hanya menatapku sejenak, lalu memejamkan matanya. Hanya berselang beberapa detik saja, Lica pun akhirnya membuka matanya dan menyimpulkan jawabanku. "Benar. Kau ini Wings Maker."

Tentu saja. Aku sangat kaget. Berbeda dengan Tazu yang hanya menatap kami berdua dengan tatapan sedatar tiplek. Seolah telah menerkanya.

"Hati-hati." Tazu menggelengkan kepalanya.

Aku hanya bisa memincingkan mataku tanpa bisa membalas perkataannya sedikitpun.

"Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu." Lica menatapku dalam. Dari nada bicaranya, aku menerka-nerka bahwa ini mungkin adalah pembahasan yang penting. "Kemarilah."

"Itu rahasia?" Tanya Tazu, memperlihatkan wajah heran.

"Rahasia." jawab Lica singkat dan tegas, yang membuat Tazu segera beranjak dari duduknya.

"Aku di depan dulu." Ucapnya sambil melangkah menjauhi kami.

Setelah memastikan bahwa Tazu sudah benar-benar di depan (karena Lica bilang ini 'rahasia'), barulah aku memberanikan diri bertanya, "Ada apa?"

"Kau punya dua kekuatan, bukan?" Bahkan sebelum aku menjawab, Lica langsung melanjutkan. "Kusarankan kau menyembunyikan kekuatan Changes Power-mu." Ucapnya dengan nada meyakinkan.

"Kenapa?" Aku mengernyitkan keningku tak mengerti.

"Akan ada sesuatu yang terjadi nanti," Jawabnya. "Tidak masalah, dua orang itu bisa menjaga rahasia. Setidaknya itu akan berguna nantinya." Aku tersentak karena Lica baru saja terdengar seperti membaca pikiranku.

"Baiklah, aku akan merahasiakan Changes Power."
.

.

.

Suasana begitu hening di saat perjalanan pulang. Kuakui, aku memang tidak suka keributan yang berlebihan. Tapi kalau keheningan seperti ini..., jujur, aku juga tidak tahan. Maka aku memberanikan diri menyusul Tazu yang berada di depanku dan langsung bertanya tanpa meminta izin.

"Kenapa kau tidak suka dengan kekuatanmu?"

Tazu menolehkan pandangannya kepadaku, "Hm?"

"Kalau kau tidak suka kekuatanmu, mana mungkin kau akan menggunakannya! Bagaimana kalau kau dalam bahaya? Bagaimanapun juga kurasa kau harus menggunakannya."

"Kau orang pertama yang akan tahu, nanti." sahut Tazu tanpa membalas omonganku.

Aku berdecak. "Tentu saja! Kau juga orang tahu kalau aku ini Wings Maker! Maksudku setelah aku sudah mengonfirmasinya langsung dengan Lica."

"Hm."

"Jadi... apa kau ingin kekuatan lain?"

Tatapannya berubah sinis. "Urusi dulu dirimu, Wings Maker." Ucapnya dengan nada angkuh. "Kau lebih dalam bahaya."

Setelah itu, aku sama sekali tak berbicara dengannya lagi. Bahkan saat kami saling berbelok berlawanan arah ke kamar kami masing-masing, kami tak saling melempar salam.

*

"Darimana kau bisa tahu?" tanya Sonic begitu aku mengonfirmasikan bahwa aku adalah Wings Maker.

"Lica yang memberitahuku."

"Apa kau bertemu dengan pasukan BlackMix?" terka Sonic berhasil membuatku tersentak sejenak.

"Sebenarnya, iya," jawabku, "Tapi, aku tidak apa-apa. Ada Tazu yang menolongku."

Ekspresi Sonic langsung berbeda saat aku mengucapkan nama Tazu. Dia terlihat canggung. "Oh. Dia," Aku hanya mengangguk, heran dengan ekspresinya yang berubah cepat. Dia diam dengan muka seriusnya, dan itu menambah rasa ingin tahuku, tapi aku tak bertanya alasannya.

"Aku duluan, aku harus mengonfirmasikan kekuatanku ke Mixe-Sensei." Ucapku langsung berjalan pergi.

Ada yang aneh...

Kelas Junior masih tampak seperti biasanya, Tixe-Sensei yang sedang membantu kami menyelesaikan mantra dan juga pembekalan setiap kelas akan selesai. Aku suka bagaimana dia menjelaskannya, mudah dipahami.

"Kalian harus mengembangkan kekuatan kalian. Minimal, nanti pergunakan kekuatanmu beberapa kali dalam seminggu." Tambah Tixe-sensei sebelum akhir pelajarannya.

"Apa sekolah ini wajib di datangi setiap hari?" Nai bertanya.

"Tidak kok. Ini bukan Bumi," jawab Tixe-Sensei sambil terkekeh pelan. "Memangnya kenapa, kau tanya begitu?"

"Aku ingin ke Rawa Dasar dengan Mai. Aku membaca buku dan kabarnya kekuatan sepasang kembaran akan lebih cepat kalau mengunakan campuran air dan satu jenis tanaman dari sana. Dan aku kira, kami nggak akan kembali tepat waktu." terang Nai membuat Tixe-Sensei tersenyum.

"Silahkan, tapi selalu hargai waktumu."

Setelah berpikir keras sekitar tiga hari, akhirnya aku memutuskan sesuatu. Aku akan coba mengubah diriku jadi orang lain. Jadi, aku bisa mengikuti perkembangan kekuatan tanpa ada yang tau bahwa aku adalah Piya. Dan menurutku, ini ide yang sangat bagus dan menguntungkan. Rahasiaku aman dan kekuatan keduaku juga bisa berkembang.

Aku coba memikirkan wajah yang tidak ada pemiliknya. Tapi itu tidak segampang perkiraanku. Jadi, aku melihat cermin. Lalu aku membayangkan rambutku menjadi panjang bergelombang dan tinggi badanku menjadi lebih tinggi. Wajahku lebih terlihat seperti diriku dua tahun ke depan daripada sosok oranglain. Saat aku menampakan diriku di depan Vampix, aku lega sekali dia tak menyadari bahwa aku adalah Piya. Bahkan dia mengizinkanku masuk newbie tanpa bertanya lebih jauh.

"Siapa namamu?" Flya-Sensei bertanya.

"Yako." ucapku tersenyum canggung, memikirkan apakah Flya-sensei mencurigaiku. Aku bisa mendengar jelas bagaimana kaum adam bersorak saat melihat kedatanganku. Yang pastinya, aku ingat bahwa aku tak disambut seheboh ini saat menjadi Piya, ini membuatku risih.

Tak sampai 1 jam, Uji terbangku berjalan sangat mulus. Kata Flya-Sensei, aku berhasil memecah rekor Piya sebagai Newbie tercepat. Aku merasa konyol sendiri. Begitu pula di kelas Middle, bahkan Mixe-sensei pun tak menyadarinya. Seharian itu, aku sudah menjadi Senior! Kelas Middle dan Junior Class lulus uji begitu saja! Dan sekarang, Yako-ku sudah Senior. Lebih cepat daripada diriku yang sebenarnya. Menyedihkan.

Katanya, yang menentukan masuk ke Senior atau Pro-Senior adalah Vampix, maka disinilah aku, bertemu dengannya untuk yang kedua kalinya setelah tadi pagi.

"Yako?" Vampix akhirnya menghentikan pekerjaannya ketika melihatku di ambang pintu, "Sepertinya tadi pagi kau baru meminta izin masuk? Ah, sudahlah. Apa kekuatanmu?"

"Changes Power."

"Changes Power...hm...," Vampix mengulang. "Mana sapumu?" tanyanya. Aku pun takut-takut dan berpikir kalau sepertinya dia agak curiga. Dengan lihai, aku mengubah nama Ukiran di sapuku dengan kekuatanku. Lalu kuberikan pada Vampix. Dia menatapnya sejenak, lalu mengembalikannya kepadaku. "Mulai besok kamu boleh masuk Senior."

"Ya." jawabku bersiap-siap bangkit, namun akhirnya aku ditahan oleh kata-kata Vampix.

"Kau sudah bisa kendalikan kekuatanmu?" tanya Vampix menaikan alisnya, aku pun menjawab dengan segan dikarenanya.

"Belum terlalu,"

"Coba ubah sesuatu disini menjadi jubah putih. kalau kau lulus, kau punya hak untuk masuk Pro-Senior." kata Vampix. Tawaran yang cukup mengiurkan. Siapapun tahu bahwa kelas itu adalah tingkat kelas tertinggi, bukan?

"Aku akan ubah kertas ini." jawabku meraih sebuah kertas yang ada di depanku, kertas kosong itu pun berubah menjadi jubah putih setelah kusentuh.

Aku sendiri kaget dengan perubahan itu, kukira aku akan butuh beberapa menit untuk mengubah itu, ini percobaan pertama dan aku hanya membayangkan sebuah jubah putih. Aku tidak tahu kalau Changes Power-ku akan berkembang secepat ini.

Vampix mengangguk puas sambil meraih jubah itu, nampaknya ingin merasakan teksturnya juga. Setelah beberapa saat menyentuhnya, dia menyerahkan jubah itu kepadaku.

"Kau lulus," Ucapnya. "Jangan lupa kenakan ini di Pro nanti.

"Uhm...Baiklah. Apa aku boleh pulang?"

"Pulanglah, dan selamat bergabung di Pro-Senior. Kau akan banyak mengikuti perang dan kesibukan lainnya. Bersiaplah." Itulah yang dikatakannya sebelum aku keluar dari ruangannya.

***PART 5B***

Aku mulai merasa 'aneh' sama kelakuan semua orang padaku. Semua orang memperlakukan diriku dengan baik dan sopan. Tentu saja berbeda saat aku menjadi Piya. Aku berjalan dengan cepat, ingin rasanya cepat-cepat kembali ke kamar dan merubah diri kembali seperti semula. Namun niat itu terhambat saat aku tanpa sadar menabrak seseorang.

"Ah, maaf!"

Aku menerjapkan mataku dan sangat terkejut saat kulihat orang yang kutabrak tadi adalah Tazu.

Tazu hanya diam menatapku sejenak, dan berlalu dengan begitu saja. Tanpa mengiyakan permintaan maafku, atau membantuku naik.

"Sombong sekali, sih? Aku kan sudah minta maaf!" bisikku kesal. Aku pun bangkit sendiri dan meninggalkan tempat itu sambil mengucapkan makian untuk sang penabrak tadi.

Keesokan harinya, aku sudah masuk ke dalam Pro-Class. Aku benar-benar deg-degan untuk kelas yang satu ini, kali ini lebih berbeda daripada saat berada di kelas-kelas lainnya. Mungkin karena aku tahu bahwa aku berhadapan dengan semua penyihir terpilih dan hebat yang ada di dunia sihir. Kali ini, aku di sambut kembali oleh semua orang yang ada di sini, seperti ketika aku memasuki kelas Newbie, Middle dan Junior.

"Siapa namamu?" tanya Jim-Sensei. Ini pertama kalinya aku berbicara dengannya. Tampangnya terlihat garang, tetapi Nai pernah bilang bahwa Jim-Sensei tak segarang itu.

"Yako."

Yang benar saja! Lagi-lagi semua kaum adam bersorak ria dengan heboh. Aku hanya bisa menaikan alisku bingung. Aku menatap sekeliling kelas, barulah aku menyadari bahwa semua orang menggunakan jubah putih. Pantas saja Tazu dan Sonic memakai jubah hari itu, rupanya ini tanda pro. Begitu aku melihat sudut, aku bisa melihat dua orang yang kumaksud tadi berada di sana.

"Kau duduk disamping Sonic." Kata Jim-sensei seraya menunjuk ke arah yang sama dengan pandangan mataku.

Ternyata, Tazu dan Sonic duduk sangat dekat, hanya berjarak depan-belakang. Aku pun memperkenalkan diriku ke Sonic ketika aku duduk di sampingnya.

"Aku Yako."

"Sonic." katanya sambil tersenyum, lalu dia menghadap kembali kedepan.

Aku memandang ke depan, menunggu Tazu berbalik dan berbicara denganku. Beberapa detik kemudian aku tersadar, lelaki sombong ini tidak mungkin akan melakukan hal itu. Maka aku mengetuk kursinya dengan telunjukku.

"Aku Yako."

Dia membalikan setengah kepalanya dan menatapku lewat ekor matanya. Sempat ada jeda selama beberapa detik, sampai akhirnya dia menjawab dengan dingin, "Tazu," Lalu dia menatap ke depan kembali.

Aku tanpa sadar mengutuk kelakuan Tazu dalam hati, sombong amat, ck.

"Kekuatanmu apa?" Tiba-tiba Sonic melempar pertanyaan kepadaku, membuatku langsung menerjap bingung sebelum menjawab,

"Changes Power. Kau?"

"Iron King."

Dan tentu saja aku harus berpura-pura ber-oh ria. Karena kenyataannya aku sudah tahu mengenai hal itu. Sekedar formalitas. Aku kembali melirik Tazu, aku tidak berani bertanya tentang kekuatannya. Dipastikan dia akan mengatakan aku sok tahu, atau kemungkinan terburuknya, aku akan diabaikan.

Dasar, kekuatan dan pemiliknya benar-benar mirip. Sama-sama misterius!

.

.

.

Sepulangnya dari Pro, aku tanpa ragu kembali menjadi Piya di kamarku. Lalu aku keluar lagi, hendak mencari angin. Rasanya aku ingin terbang bebas saat ini. Aku benar-benar kesal dengan kelakuan Tazu. Hanya dia yang memperlakukan Yako-ku seperti itu.

Aku hampir mengumpat saat tanpa sengaja kami bertemu lagi. Aku bahkan tanpa sadar memutar bola mataku bosan.

"Kenapa?" Tanyanya begitu melihatku.

"Apanya?" Tanyaku balik dengan kerutan kesal di keningku.

"Kemana saja kau?" Tanyanya seraya berjalan mendekatiku. Tentu saja aku buru-buru menjauhinya sambil mencibir tidak senang.

"Urusi urusanmu dulu, Wings Maker." Aku mengikuti gaya bicaranya. "Iya, aku mengurusi diriku sendiri, lalu apa? Kau juga, urusi dirimu sendiri mulai hari ini." Ucapku jengkel.

"Kau marah?" Tazu memasang wajah heran.

"Tidak, aku tidak punya hak marah denganmu," Ucapku. "Sudah dulu."

Aku langsung berlalu meninggalkannya. Sepertinya benar, dia hanya memperlakukan Yako-ku sedingin itu. Di depan Piya? Huft, aku lelah memikirkan ini.

*

Keesokan harinya, aku absen dari posisiku sebagai Yako, begitupun dua hari berikutnya. Aku lelah harus bertemu kembali dengan Tazu atau harus berinteraksi dengan orang-orang yang nampaknya menuntutku untuk mengenal mereka. Aku tahu, menjadi diri sendiri memang lebih baik. Tapi apa daya, aku hanya menerima saran dari Lica saja.

"Yanda, kau dipanggil Vampix." Rainna menunju kearah pintu, aku ikut melihat ke arah pintu.

Disana, seorang lelaki berjubah putih dan menghadap membelakangi pintu tampak mengobrol dengan beberapa kaum hawa disana. Yanda tanpa berkata apa-apa pun berjalan ke arah pintu dan langsung berbicara dengan Vampix. Tak lama kemudian, aku bisa melihat Vampix berjalan menjauhi Junior bersama Yanda.

"Aku sudah jadi Magacal, lho, Piya!" ucap Rainna sambil menunjukan surat. Surat yang tak salah lagi, surat yang pernah kudapatkan setelah meminum ramuan tersebut. Aku hanya bisa melemparkan senyuman ke arah Rainna.

"Selamat ya! Apa kekuatanmu?"

"Kalau kekuatan sih aku belum tahu. Aku akan tanya pada Invi. Dia bisa membaca kekuatan juga." kata Rainna yang membuatku langsung shock!

Aku baru teringat janjiku dan Invi hari itu. Setelah menghitung hari, aku juga baru ingat kalau kami berjanji hari ini.

"Aku akan kembali." kataku sambil beranjak dan dengan cepat menerbangkan sapuku ke atap sekolah.

"Invi?" panggilku ketika melihat sosok seorang wanita tiba-tiba berdiri di depanku. Aku tak yakin dia hanya memiliki kekuatan Mind reader saja. Dia bisa muncul begitu tiba-tiba di depanku.

"Ya, kau memang benar. Kekuatan yang kau maksud itu kekuatan keduaku, Invisible Transparant," Ungkapnya. "Benar, aku memang punya dua kekuatan."Memangnya bisa? "Hanya ada seratus penyihir di dunia sihir yang bisa memiliki dua kekuatan." ucap Invi. Aku mendesis dalam hati, Ternyata sangat susah berbicara dengan orang yang tau kekuatan kita.

"Begitu..." jawabku lesu, lebih tepatnya lelah karena aku hanya perlu bergulat dengan pikiranku tanpa perlu membuka suara untuk berbicara dengannya. "Kau punya dua kekuatan yang hebat." sahutku sungguh-sungguh.

"Kau juga," Balasnya. "Ada perbedaan di kekuatan kita. Kekuatanku hanya bisa mempertahankan, kalau kekuatanmu, bisa menyerang."

Aku terdiam agak lama, berpikir panjang. "Memangnya apa kelebihan Wings Maker?"

"Itu-"

TRAKK! Tiba-tiba, Invi menggunakan sapunya untuk memukul sesuatu yang muncul tiba-tiba dibelakangku. Gerakannya mirip dengan gerakan memukul baseball, namun Invi menjatuhkan benda itu ke bawah, bukan ke atas. Benda itu pun terbanting dengan lantai agar gerakannya berhenti dan dia bisa melihat benda apa yang menyerang kami barusan. Ternyata, benda yang ditahannya tadi adalah panah besi.

"Apa itu?" tanyaku agak panik. Tanganku bergetar saat aku menyadari bahwa panah itu hampir menusuk punggungku jika saja Invi tak memukulnya.

"Sebentar lagi BlackMix akan kemari," kata Invi. Aku mulai panik. Mereka pasti mencoba menangkapku. "Ayo," sahut Invi menyentuh tanganku. Dia tidak terlihat panik. Lalu dia pun mengeluarkan kekuatannya. Kami pun menjadi transparant dan segera dia membawaku kesuatu tempat yang belum pernah kumasuki.

"Dimana ini?"

"Ruang Laporan Perang," jawab Invi. Dia pun masuk ke ruangan itu dan melaporkan perang, membiarkanku di luar bersama hal-hal asing yang menyergapi diriku.

"Lindungi Wings Maker!"

Tiba-tiba ada yang membawaku tanpa ada yang menyentuhku. Aku nyaris memekik saat aku berputar 360 derajat dengan keadaan kepala di bawah. Aku seperti sedang diluar angkasa tanpa gravitasi sedikitpun, hanya saja aku masih bisa bernafas meskipun itu sulit (karena aku dalam keadaan terbalik).

"Ayo, cepat ke tempat rahasia! Perang akan dilaksanakan!"

Aku melihat Tixe-sensei dengan muka seriusnya memindahkanku di ruang bawah tanah."Aku baru dapat berita kalau kau ini Wings Maker." kata Tixe-sensei. Aku juga baru tahu kalau sensei bisa serius, balasku dalam hati.

"Ajak Yanda di perang ini!" seru Jim-sensei. "Utuskan semua Pro-Senior untuk ikut!" tambahnya dengan suara keras.

"Invi, kau di kelas mana?"

"aku Senior," jawabnya yang membuatku sedikit tenang. Semuanya, kumohon selamat.

"Ajak Yako dalam perang ini!" pinta Vampix membuat mukaku pucat sekali.

"Dia tidak ada," jawab Mixe-sensei sambil menatapku. Sepertinya Mixe-sensei sudah mengetahuinya.

Semua penyihir yang belum menjadi magacal merasa takut, begitupun aku. Coba saja aku bisa membantu perang ini..., pasti...

"Piya, jangan khawatir." kata Invi memotong ucapanku. Ryoka yang sepertinya mengetahui bahwa aku sedang gelisah pun mencoba menenangkanku dengan menepuk pelan punggungku.

"Ada yang aneh pada Yanda!" kata Nai saat melihat kearah monitor raksasa didepan kami.

"Iya, dia kenapa?" balas Rainna sambil menatap temannya dari layar monitor.

Dari monitor, tampak Yanda menggerakan tangannya dari atas kebawah dan tiba-tiba. Semua lawan terjatuh tiba-tiba. Mata Yanda yang bewarna Coklat itupun berangsur-angsur berubah menjadi merah darah. Pasukan yang bahkan belum sempat menyerang itu pun segera mundur begitu menyadari bahwa mereka dalam bahaya besar, jika terus berlanjut.

"Kita menang!"

Bagaimana bisa?

Kekuatan Yanda...apa?

***

Published : Juni 2015

Revision : 3 Juni 2016

Saya capek revisi yang satu ini, lelahhh. Dari jam 12 malam, jam 2 pagi baru kelar. Huft.

Salam, Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top