The Mystery Of Disappear People *1

"Akhir-akhir ini, berita duka tentang hilangnya orang secara tiba-tiba semakin banyak. Korban hilang tanpa sisa, tanpa jejak, dan kali ini saya selaku pembawa berita akan membacakan nama-nama korban yang menghilang-"

BEEP

"Model terkenal, Mirai! Menghilang tadi pagi di depan para reporter dan berikut rekaman kilat yang sempat di-"

BEEP

"Diperkirakan dalam kurun waktu 2 setengah tahun lagi, bumi akan kosong tanpa manusia. Penelitian ini di teliti oleh-"

BEEP

"... Aku yakin melihatnya di depan mataku! Tiba-tiba saja tubuhnya mengeluarkan cahaya, aku tahu itu tanda-tanda orang akan menghilang. Tapi, aku sudah mencoba menangkapnya namun aku-"

BEEP

Televisi dimatikan. Aku melempar asal remote televisi setengah bergumam kesal,

"Nggak ada siaran bagus akhir-akhir ini."

"Piyorin!" seru seseorang membuatku menoleh cepat ke sumber suara. Kenalkan, dia adalah nenek sihir di rumah ini.

Bedak tebal, warna lipstik yang mencolok, pakaian dress dan rambut yang dicatok keriting di samping membuatnya makin terkesan seperti tante-tante, dan tak lupa tongkat sihirnya yang berbentuk sendok kayu yang terlihat berminyak dari sini.

"Apa?" tanyaku malas membuatnya menggeram, dia berjalan cepat ke arahku dan memukuliku tiga kali dengan sendok yang dipegangnya.

"Dasar anak kurang ajar! Kau berani bilang begitu?!" desisnya dengan suara tinggi membuatku melemparkan senyuman sinis dan tatapan kemenangan ke arahnya.

"Oh ya?" aku menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri dan berdecak sesekali membuatnya makin menggeram, "Kau itu, hanya orang yang diminta mengurusiku. Dan sekedar informasi ...," aku menatap tajam ke arahnya.

"-Kau bukan ibuku."

"Dasar kurang ajar!" bersamaan dengan suara tingginya, suara tamparan keras juga ikut mengisi suara di ruangan itu. Aku berdiri dari sofa yang sedaritadi ku duduki, memandangnya dengan tatapan sinis.

"Bagaimana kalau kau ulangi itu di depan papa?" tanyaku menantang, dia menjerit kesal, melempar sendok kayu itu ke lantai hingga sendok itu patah.

Dia menarik rambutku, memaksaku mengikutinya karena kesakitan yang kurasakan di seluruh akar rambut yang tertarik, menyeretku ke kamarku dan menguncinya dengan cepat. Kuperhatikan ada beberapa helai rambut yang rontok akibat jambakan kasar yang di buatnya.

"Itu akibatnya kalau kau tidak mendengarkan perkataanku! Jangan harap kau mendapat jatah makan malam hari ini!" serunya. Terdengar suara langkahnya menuruni anak tangga dan tak lama kemudian, suara langkah tadi di gantikan oleh keheningan.

"Pfft, baru juga dua bulan di sini, udah keluar sifat jeleknya, ckckck. Lama-lama keriput baru tau!" aku duduk di atas sepreiku yang empuk dan di kelilingi boneka serta buku-buku yang membuat kamarku tampak lebih feminim. Aku mengambil komik di salah satu rak dan membaca buku itu, sambil menekan ponsel hingga tertidur.

*

"Pagi!" sapaku kepada Kayaka yang nampaknya sedang berjalan lesu ke sekolah. Nama lengkapnya Shinozaki Kayaka, dia sahabatku.

"Pagi," jawabnya tanpa ekspresi membuatku heran, biasanya dia adalah tipe yang ceria, "Bagaimana keadaanmu kemarin?" tanya Kayaka membuatku teringat akan pesan yang kukirim kemarin malam kepadanya.

"Oh, aku nggak apa-apa, sih," jawabku santai. "Handphone-mu dibajak Kayato-Senpai* kan, semalam?"

Kayaka tidak menjawab pertanyaanku, dia melihatku dengan tatapan datar, air matanya sudah diujung pelupuk matanya, hanya dengan sekali kedipan halus, airmatanya tumpah dan jatuh dari tempatnya. "Iya," jawabnya sambil memaksa dirinya tersenyum. "Iya, Kayato-Nii* membajaknya, padahal sudah kukatakan padanya untuk berhenti." Aku makin memandang Kayaka dengan tatapan yang makin mengherankan. "Kau tahu? Kemarin malam, Kayato-Nii menghilang."

Mataku membulat, aku menutupi mulutku dengan kedua telapak tanganku, tidak mempercayai hal yang kudengar barusan. Tanpa sadar, pandanganku menjadi kabur, mataku berair dan tanpa kedipan sekalipun, airmataku tumpah. Sungguh, waktu tidak adil.

Kami saling menghibur diri agar tidak tenggelam dalam duka yang berlebihan, setelah mereda, kami memasuki sekolah Josei-Shyuu, sekolah khusus putri. Kami memang sengaja memilih sekolah ini sebagai sekolah kami. Karena, kami berdua sangat anti terhadap lelaki.

.

.

.

"Aku yakin, semua orang yang menghilang, berkumpul di suatu tempat yang tidak kita ketahui," simpul seorang gadis memberikan argumennya di kelas.

"Bagaimana kalau ternyata mereka benar-benar menghilang?" tanya teman-temannya memperlihatkan wajah yang sedih seakan larut dalam sebuah kesedihan yang baru saja terjadi.

"Ada apa?" tanyaku dan Kayaka bersamaan kepada mereka. Mata mereka sama bengkaknya dengan kami. Tidak ada yang matanya tidak bengkak dalam dua tahun ini dan jujur saja, setiap hari tetap saja ada yang menghilang dan tiap hari pula mata kami bengkak menangisinya.

"Ryuko menghilang tadi pagi," sahut sahabatnya sambil menahan isakan tangisnya, "Aku lihat sendiri tadi, di depan mataku." Ucapannya berhenti, dia malah makin terisak membuat kami semua berinisiatif menyuruhnya berhenti berbicara saat itu juga. "Aku sudah melapor ke orangtuanya."

Tiba-tiba saja, kepala sekolah memasuki ruangan kelas kami membuat kami semua terdiam. Larut wajahnya tidak dapat dibaca, dia menunduk dan akhirnya memecah keheningan, "Wali kelas kalian, Yumi-Sensei*, menghilang barusan di kantor guru."

*

Sepulangnya di rumah, nenek sihir itu pun berulah kembali, hal ini dikarenakan papa sedang tidak bergentayangan di rumah, membuat ruang geraknya semakin bebas dan leluasa. Dia mengomeliku tanpa alasan dan akhirnya kami berdebat panjang.

"Tunggu! Itu salahku?" tanyaku sambil menahan emosiku, tidak ingin mengeluarkan amarahku di hadapannya karena aku tau itu akan sia-sia.

"SALAHMU!" serunya dengan nada tinggi sambil menunjuk wajahku dengan menggunakan jadi telunjuknya, jaraknya pun hampir mengenai hidung yang membuatku semakin emosi. Selama ini, aku mencoba respect dengannya hanya karena dia jauh lebih tua dariku. Setidaknya aku tidak pernah mengasarinya seperti yang ia lakukan kepadaku.

"SUDAH JELAS-JELAS ITU SALAHMU!" bentakku dengan nada yang tak kalah tingginya. Aku menatapnya dengan tatapan tajam dan berulang kali menahan diri agar jangan sampai menyentuhnya.

"Oh, sudah mulai melawan rupanya." Dia tersenyum sinis dan kemudian mengulang adegan yang sama dengan kemarin, hanya saja, kali ini lebih menggunakan emosi dan kekuatannya.

Dia menyeretku masuk ke kamarku, mengunciku dan masih saja membentak kasar meskipun sudah dipisahkan oleh pintu.

"AKU BERHARAP KAU MENGHILANG!" serunya membuat emosiku semakin naik, akhirnya pintu menjadi pelampiasan amarahku, aku melayangkan tinju sekuat tenagaku ke arah pintu dan menghasilkan suara yang sangat keras. Namun tidak sampai merusak pintunya karena aku hanya seorang anak-anak yang berusia tigabelas tahun dan seorang perempuan.

"AKU JUGA BERHARAP SAMA!" balasku setelah meninju pintu itu, setelah itu, aku terduduk membelakangi pintu dan menjadikan pintu itu sebagai sandaranku. Ya, aku tidak berbohong. Aku memang sangat ingin menghilang, kalau bisa saat ini juga, detik ini juga.

Suara nenek sihir itu tidak terdengar lagi, kuperhatikan jam di ponselku menunjukan pukul 7 malam, cukup lama juga aku berdebat dengannya. Aku mulai merencanakan ide gila yang tiba-tiba melintas dan langsung saja menjadi ide yang bagus bagiku. Aku ingin pergi dari rumah ini.

Dengan cekatan, aku mengikat asal selimut dan sarung seprei serta tirai-tirai. Aku mengikatnya di kaki ranjang di kamarku yang memang telah dibuat menyatu oleh Papa. Dan akhirnya turun setelah membulatkan tekadku. Sepuluh menit kemudian, aku pun berhasil sampai di atas rumput di halaman belakang rumahku. Kamarku yang terletak di lantai tiga pun nampak aneh, jendelanya terbuka dengan kain-kain mengikat.

"Selamat tinggal, penderitaan!" sorakku sambil bernafas lega. Rasanya, ada sayap yang muncul dibelakang punggungku membuatku serasa bebas dari penderitaan yang kuemban.

Aku melirik ke rumah tetanggaku--Rumah Kayaka--menatap kamar Kayato-Senpai yang gelap. Begitupun kamar Kayaka. Kupikir sebaiknya aku tidak merepotkan mereka hari ini.

Segera saja, aku meninggalkan rumahku dan berlari kencang tak tahu tujuan.

Tentu saja aku tidak akan datang ke rumah Kayaka untuk bersembunyi seperti biasa. Biarlah sesekali Nenek Sihir itu dimarahi habis-habisan karena tak becus menjagaku.

Aku sudah sampai ditempat yang cukup jauh, dengan asal aku memasuki lorong-lorong sampai akhirnya gang yang benar-benar gelap total.

Bulan purnama malam ini membulat sempurna, aku mungkin orang terkonyol yang berani berjalan sendirian ditengah gelap seperti ini. Aku takut, tapi aku tidak ingin kembali ke sana.

Tiba-tiba, sebuah cahaya putih mendekatiku, meloncat-loncat di sekelilingku dan akhirnya membuatku tertarik untuk menangkapnya.

Begitu menyentuh cahaya itu, seluruh pandanganku menjadi putih.

Tubuhku berbaring di sebuah benda yang empuk di bawah cahaya kuning yang terang. Kurasakan hangat di kulitku. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berbicara, disaat mataku belum beradaptasi dengan cahaya terang itu.

"Kau sudah bangun?"

Suara seorang lelaki terdengar jelas, membuat kepalaku refleks menoleh ke sumber suara meskipun pandanganku masih berkunang-kunang.

"Dimana aku?" Tanyaku sambil berusaha untuk melihat orang yang berbicara itu. Mataku menyipit untuk melihat pelan-pelan.

"Selamat datang."

***TBC***
Mei, 2015
Di revisi: 25April 2016

N.B

*Senpai = Sebutan untuk 'kakak kelas' dalam bahasa Jepang

*Nii = Sebutan 'Kakak laki-laki' dalam bahasa Jepang

*Sensei = Sebutan untuk 'guru' dalam bahasa Jepang

Halo semua! Ini First Story-ku di Wattpad yah! Percayalah, ini awal yang membosankan! But I promise it will really better in next Chapter!

^ lol wht a positive girl here.

Salam, Cindyana
<3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top