The Fog Forest *7

***7A***

Aku memang mulai terbiasa dengan tatapan itu, tatapan dingin darinya. Tapi, kalau disaat seperti ini, tatapan dingin itu justru lebih bisa dikatakan mengerikan daripada mengesalkan. Dia pasti sudah tahu kalau aku adalah Yako. Dia pasti sudah tahu mengenaiku dan Changes Power. Suasana masih hening, karena aku sama sekali tidak berani membuka topik pembicaraan sama sekali. Dan masih dengan tatapan itu, dia bertanya dengan dingin, membuatku membatu di tempat.

"Kau sedang apa?"

"A-aku melatih Changes Power-ku" jawabku setelah kupaksakan diriku untuk menjawab. Aku merutuk dalam hati saat langsung mendengarkan kegugupan yang luar biasa langsung dari mulutku. "Kau sendiri, sedang apa?"

Dia menatapku sejenak, lalu memalingkan wajahnya. Yang benar saja? Aku menunggu jawabannya, dan dia hanya diam merenungkan sesuatu dalam hatinya.

Dingin amat, pikirku.

Kurasakan ada angin yang menerpa rambutku, Tazu pun sepertinya merasakannya, dia melihat ke sekitarnya dan jubahnya sudah berkibar berputar. Sedangkan aku buru-buru duduk dan memeluk diriku dengan jubah pro yang selalu kukenakan jika sedang menjadi Yako. Yah, aku lebih memilih ditertawakan karena tingkahku daripada karena rokku terangkat.

Aku hampir tak bisa mengucapkan kata-kata, saat kulihat ada topan kecil yang berputar-putar mengelilingiku dan Tazu bergantian, dan akhirnya berakhir memutari Tazu membuat rambutnya acak-acakan.

"Ini kekuatanmu?" Tanyaku menahan emosi. Kalau dia menjawab 'Ya', aku akan menggamparnya karena dia mengeluarkan kekuatannya di depan seorang gadis yang memakai rok.

"Bukan." Jawabnya yang membuat emosiku mereda. "Ini peliharaanku, Pritalize."

Belum sempat aku mengagumi topan itu dua detik, topan kecil itu dengan usilnya mengelilingiku lagi, membuatku mempererat genggamanku. "Bisa suruh dia berhenti? Mengapa dia terus memutariku?"

"Wajar, karena kau mengganggu majikannya." Jawabnya dengan angkuh, membuatku melotot lebar ke arahnya. "Sudah hampir malam,"

Bagus, dia bakal pulang, pikirku kesenangan.

Baru saja aku berpikir begitu, tiba-tiba penglihatanku menggelap saat kurasakan sesuatu menutupi penglihatanku. Aku pun buru-buru menyingkirkan benda itu dari kepalaku.

Eh, Jubah?

 Aku mengedarkan pandanganku ke arah langit. Terlihat Tazu yang sudah berlalu dengan sapu terbangnya bersama Pritalize. Aku tidak yakin jubah ini terlepas dengan sendirinya dari bahunya, sebab aku ingat persis, cara memakai jubah sangatlah repot tetapi akan menjamin bahwa jubah akan selalu mengantung di bahu.

Mungkin dia tidak sejahat itu, pikirku sambil menghela nafas bingung.

*

Aku mengintip ke kelas pro sebelum masuk.Di tangan kananku, tergantung sebuah jubah putih disana. Aku tahu kenyataan tentang anggota Pro yang tidak diizinkan masuk bila tidak memakai jubah. Jubah putih adalah identitas dari anggota pro. Tapi sepertinya Tazu baik-baik saja tanpa perlu memakai jubah.

Yah, itu karena semua orang mengenalnya.

Dengan langkah penuh percaya diri, aku berjalan ke arah mejanya, lalu mengembalikan jubahnya padanya. "Nih, terima kasih."

Kurasa aku memang cukup percaya diri. Aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang Pro yang kini menatapku dan sesekali berbisik-bisik membicarakanku. Yah, bagaimana ceritanya aku bisa mendapatkan jubah lelaki? Dan bagaimana bisa lelaki itu adalah Tazu?

Tanpa mengucapkan satu katapun, dia mengambil jubahnya dan memasangkannya kembali pada bahunya. Aku kesal juga saat tahu bahwa aku tidak akan mendapatkan respon apapun darinya. Dan aku berjalan melewatinya, kembali duduk di tempat dudukku yang berada di belakangnya.

Lihat saja nanti, aku yang akan mendiamkanmu habis-habisan nanti!

.

.

Tidak mau kejadian yang sama terulang kembali, kali ini aku merubah diriku menjadi Piya di kamarku. Kupikir aku akan keluar sejenak dan terbang dengan sayapku, sebelum akhirnya kulihat sosok Rainna yang datang membawa setumpuk kertas dan mengendalikan sapunya ke arahku.

"Hai, Piyan!" Sapanya. Diserahkannya sebuah kertas yang ada di tangannya, membuatku menaikkan alis. "Piyan ikutan, ya! Ini semacam permainan yang dilakukan oleh magacal dari dulu. Karena belakangan ini sangat ramai, jadi acara ini dibuat lagi."

Aku memang bermaksud untuk menolak ajakan Rainna, tapi entah mengapa Rainna bisa mengetahuinya.

"Piyan, jangan tolak dong." Mintanya dengan wajah memelas, yang membuatku bahkan tak memiliki kesempatan untuk menolaknya, dan dengan ragu aku menerimanya. "Besok pagi ya, Piyan! Sebelum matahari tinggi. Aku masih harus membagikan ini, Byee!"

Aku membaca kertas itu dengan perasaan jengkel. Apa aku buang saja, ya kertas ini?, batinku ragu. Meskipun ada sedikit rasa bersalah, tapi aku tetap menekadkan diriku untuk membuangnya. Siapa suruh Rainna memaksaku?

Aku melemparnya ke lantai, dan ajaib, angin membawanya kembali padaku. Dengan perasaan penuh tanda tanya, aku meremuknya dan melemparkannya ke lantai, lagi-lagi angin membawanya kembali padaku, dan ajaibnya kertas itu kembali rapi tanpa lecet. Aku mulai geram, aku mengoyak kertas itu dan kertas itu kembali menyatu utuh dan tetap kembali padaku.

"Kertas sialan, acara sialan," Umpatku geram. Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku, tentunya bersama kertas sialan itu.

Aku melihat ruang kosong dimana aku bisa menuliskan namaku besar-besar. Baru saja aku menuliskan nama di sudut kiri bawah, tiba-tiba kertas itu malah melesat pergi meninggalkanku. Berkat tipisnya kertas itu, ia berhasil melewati celah pintu. Saat aku membuka pintu, aku menemukannya sudah terbang bagai di tiup angin--menjauh.

"Sudahlah, lagipula aku tak begitu perduli dengan acara itu." Gumamku, yang semata-mata untuk menutupi rasa heranku.

*

TOK TOK TOK, terdengar suara itu berulang kali, yang memaksaku untuk bangun pada akhirnya. Kupikir itu berasal dari arah pintu, rupanya dugaanku salah. Suara itu berasal dari tongkat sapuku yang mengetuk-ngetukkan tongkatnya pada lantai. Kukira dia mencoba membangunkanku.

"Ini masih pagi," Erangku sambil memeluk selimutku kembali. Lagi-lagi suara itu mengganggu tidurku, yang membuatku akhirnya berdecak geram. "Ada apa, sih?!"

Sapuku segera terbang menuju jendelaku yang ditutup oleh tirai, aku melihat usahanya untuk mengeser tirai dengan kesusahan. Merasa kasihan, akhirnya aku bangkit sendiri dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan saat aku menyibakkan tirai, aku hanya bisa melongo panjang.

"...Keren sekali!"

Ini benar-benar keren, maksudku, kemarin keadaan di sini masih terlihat biasa-biasa saja. Sekarang, aku bisa melihat ada banyak gelembung yang tak habis-habisnya muncul dari sana. Bendera warna-warni menghiasi hampir diseluruh tempat, bahkan aku bisa melihat kelopak bunga warna-warni yang berserakan, namun bergerak memutar layaknya menari.

"Apa ini karena acara itu?" Gumamku. Saat melihat para penyihir lewat dengan senyuman lebar mereka, aku menerjapkan mataku. "Banyak sekali yang ikut acara ini,"

TOK TOK TOK, Aku yakin kali ini pintulah yang diketuk, sebab sapuku berada disampingku--tak bergerak mengetuk lantai atau apapun itu. Aku pun membuka pintu dan menemukan Rainna disana, yang tiba-tiba terlihat mengerut wajahnya.

"Piyan, Astaga! Kenapa kau baru bangun? Ini sudah mau mulai, lho!" serunya panik.

"Aku tidak ikut deh, kertasku hilang kemarin." jawabku santai. "Terbang tiba-tiba."

Rainna mengecek kembali kertas yang ada di genggaman tangannya. "Bukan begitu, setelah kau menulis namamu di kertas itu, kertas itu akan langsung terkirim." jawabnya membuatku panik.

"Kau duluan! Lima menit lagi kususul! Tempatnya di sekolah, kan?"

"Iya." dia menatap jam besar di tengah-tengah lapangan di depan kamarku. "Ya sudah, aku duluan yah."

Secepat kilat, aku pun buru-buru menyiapkan semuanya. Akhirnya, tiga menit kemudian aku menerbangkan sapuku ke arah sekolah. Magacal normal akan sampai disekolah dalam lima sampai delapan menit dari kamar mereka. Tapi tidak denganku. Dalam semenit, sekolah tersebut dapat dicapai olehku. 

"Kau sudah datang, rupanya..." Invi menatapku sambil tersenyum tipis.

"Kau ikut acara ini juga?"

"Hm, begitulah. Ini kedua kalinya aku ikut. Tidak terlalu membosankan."

"Piyan!" pekik Rainna histeris dan ngos-ngosan. Kertas di dalam genggamannya nampak lecet untuk beberapa alasan.

"Rainna? Habis darimana? Kok ngos-ngosan gitu?" Tanyaku menatapnya perihatin. Mungkin dia terlalu capek menjadi panitia.

"Tadi aku coba memanggilmu, tapi-tapi..." ucapannya terpotong-potong bersiap-siap untuk menangis. Cuaca pun mulai mendung.

"Eh? Kenapa dia menangis?" tanyaku panik kepada Invi.

"Tadi kau melewatinya." jawab Invi setelah membaca pikiran Rainna.

"So-sorry yah, Rainna. Kalau hujan, acaranya tidak bakal mulai, dong." ujarku mencoba menghiburnya. Aku lega sekali saat sudah melihatnya tenang. "Aku cari Ryoka dulu. Siapa tau dia ikut." ujarku pada Invi dan Rainna. Mereka menganggukan kepala mereka menyetujuiku.

Aku mengendalikan sapuku dengan kecepatan tinggi. Beberapa saat yang lalu, aku sudah mendengarkan gema bunyi tanda acara akan dimulai. Dari kertas yang ada digenggaman Rainna tadi, aku bisa menyimpulkan bahwa Ryoka mengikuti acara ini juga. Tiba-tiba kulihat seseorang melintas melintang didepanku. Hendak mundur atau berhenti pun mustahil dilakukan. Tabrakan di langit pun terjadi. Aku segera membuat sayap dipundakku dan tentunya pundak orang itu.

"S-sorry!" Aku terbelalak saat tahu orang yang kutabrak itu adalah Tazu. Aku bahkan sudah tidak bisa membedakan antara sial dan kebetulan lagi.

"Jangan ngebut, bahaya." Sahutnya datar dan dia langsung memposisikan dirinya lagi di sapu yang ternyata masih ada di genggamannya. "Lepaskan kekuatanmu." Pintanya yang membuatku melepaskan sayap dari tubuhnya, lalu tanpa basa-basi dia pergi meninggalkanku.

Kata-kata kasar pun mengumpat dalam hatiku. Untung saja aku teringat Ryoka, Aku pun mengabaikannya dan lanjut terbang.

"Piya?" Aku bertemu Ryoka di tengah perjalanan dan dia tampak lelah.

"Sudah mau mulai, lho." Aku mengingatkannya.

"Bagaimana ini?" tanya Ryoka terlihat panik. "Piya, bisa tambah kecepatan sapuku?"

Aku mengangguk, lalu menempelkan sayap di sapunya dan kami berdua pun terbang dengan sangat cepat. Kami pun sampai bertepatan pada bel bunyi tanda keberangkatan berbunyi.

"Bagus! Kita sampai! Tepat pada-" sebelum aku melanjutkan ucapanku, aku melihat Ryoka terlihat pucat. "Maaf. Nggak terbiasa terbang cepat ya?"

Ryoka hanya menganggukan kepalanya dan menatapku dengan tatapan 'Aku tidak apa-apa'

"Pemilihan pasangan dalam waktu 5 menit! Segera laksanakan!"

Setelah kalimat itu terucap, semua magacal tampak seperti nyamuk yang haus mencari darah, sedangkan aku menatap kiri kanan dengan panik dan kebingungan. Tak sampai semenit, semua tampak sudah mendapatkan pasangan. Aku melihat sekelilingku yang sudah tampak kosong. Aku bahkan belum mendapat pasangan.

Apa jangan-jangan jumlah peserta yang ikut ini ganjil? Aku bergidik ngeri membayangkannya.

"Baiklah, sekarang siapa yang belum mendapat pasangan?"

Aku melihat disekitarku. Ternyata masih banyak yang belum berpasangan. Untunglah, kalau sampai ganjil, berarti aku harus sendiri.

"Mau berpasangan denganku?" tanya Sonic yang membuatku menghela nafas lega, karena aku masih berpasangan dengan orang yang kukenal, jadi kukira itu tidak masalah.

Aku tidak tau apa yang akan terjadi. Tapi sekarang, kami sedang berbaris.

"Sekarang, kita akan ke Hutan kabut bersama semuanya. Disana akan ada pertunjukan uji nyali." Vampix mengucapkannya dari depan sana.

"Katanya di Hutan kabut ada hantu-nya lho." ujar seseorang setengah berbisik. Aku yang tak sengaja menguping pun bergidik ngeri.

"Haha, kita sudah di dunia sihir dan kamu masih percaya yang begituan?" ledek teman bicaranya.

Orang itu semakin menatap lawan bicaranya dengan serius. "Coba pikirkan, dunia sihir yang kita kira tidak ada saja, ada. Kira-kira hantu bagaimana?"

"Benar juga, yah."

Aku tahu dan paham bahwa mendengarkan orang bergosip bisa membuat kita terpengaruh. Dan saat itulah aku mulai merinding ngeri. 

"Kau kenapa?" Tanya Sonic yang kubalas dengan gelengkan kepala, padahal, aku sedikit takut. "Kita hanya uji nyali di hutan kabut, kok. Kau berani, kan?"

Aku hanya bisa menertawakan ucapannya, dan menertawakan diriku sendiri tentunya.

Aku mulai memperhatikan pasangan orang-orang yang kukenal. Kebanyakan, mereka berpasangan dengan orang-orang yang tidak kukenal, membuatku akhirnya memutuskan untuk tidak melihat keadaan lagi.

***7B***

Kami berangkat. Katanya, butuh waktu setengah hari untuk sampai kesana. Sejujurnya, aku tidak suka mengiya-ngiyakan waktu. Tapi, tidak ada yang memintaku mempercepat penerbangan. Jadi, buat apa aku pamer?

"Kau tidak lelah hanya terbang seperti itu?" Tanya Sonic yang di sisi kananku.

"Hm, tidak." Balasku jujur. Sayap memang berat, tapi aku tidak merasa lelah.

Aku tersentak kaget saat dia menarik tangan kananku ke arah sapunya. Aku menarik tanganku kembali untuk menolaknya.

"Aku benar-benar tidak lelah."

Meski aku sudah mengucapkan itu berulang kali, Sonic tetap memaksaku untuk duduk di belakangnya.

Tiba-tiba, ada sesuatu dari belakang yang dengan cepatnya lewat diantara tangan kami, yang membuat Sonic secara otomatis melepaskan tangannya. Keningnya nampak mengerut bingung saat dia mencoba melihat ke depan.

"Apa itu?" tanyanya heran, memperhatikan arah dimana benda itu terbang.

Aku hanya mengendikan bahuku. Sonic masih memperhatikan arah dimana benda itu menghilang, meskipun benda itu sudah tak terlihat akibat masuk ke kerumunan orang-orang yang terbang di depan sana. Diam-diam, aku merasa berterimakasih pada benda itu. Tapi tadi itu apa?

"Piya, percepat semua kekuatan terbang." Pinta Tixe dan Jim-sensei sebagai pembimbing kami. Aku pun mempercepat semua sapu. Dan ternyata, hanya dalam waktu setengah jam kemudian, kami sampai.

"Kita buat dulu tenda disini. Nanti malam kita uji nyali. Sekarang, semuanya silahkan istirahat yang tenang."

Aku memandang sekitar hutan kabut. Hutan yang bahkan memiliki kabut di siang hari. Aku hanya bisa melihat jarak pohon yang berada sekitar radius lima meter dari depanku. Aku ngeri saat mengingat orang-orang membicarakan tentang penunggu yang ada di hutan kabut. Itu membuatku bergidik kembali. Firasat buruk muncul begitu saja, aku segera menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menghilangkan pemikiran buruk itu.

.

.

"Ki-Kita dapat nomor berapa?" tanyaku gugup setelah kembalinya Sonic dari depan usai mencabut nomor.

Sonic melirikku sejenak, lalu memamerkan kertas ditangannya padaku. "Limabelas," Jawabnya sambil tersenyum, yang membuatku benar-benar merasa lega.

Untung masih lama, pikirku seraya menghela nafas panjang.

Setelah melihat keterangan besar yang berisi tentang rute yang harus dilewati, aku dan Sonic pun menunggu di barisan. Aku deg-degan parah, mengingat beberapa menit lagi, giliran kamilah yang akan masuk ke dalam sana. Waktu berjalan terlalu cepat, kini giliran kami masuk. Aku ikut melangkah masuk menyusul Sonic. Kurasa ini tidak akan sulit. Aku hanya perlu berjalan sampai garis finish, kan?

Kami berjalan menelusuri hutan kabut dengan penuh keheningan. Semak-semak dan pepohonan beringin tampak menghiasi hutan kabut ini dan membuatnya horror. Apalagi kami masuk ke dalam sana tak dibekali penerang sedikitpun, kata mereka, kami harus mengandalkan kepekaan indra dan kekuatan kami selama berada di dalam hutan kabut.

"Piya," panggil Sonic memecahkan keheningan. Saat aku menoleh, dia melanjutkan. "Tidak ada penunggu di sini, jangan percaya rumor."

JLEB, karena aku mempercayainya sedaritadi.

"Siapa bilang aku percaya?"

Baru saja ucapan itu kusebutkan, tiba-tiba lewat benda bersinar didepan kami. Kukira aku baru saja dikutuk oleh ucapanku sendiri. Aku gemetaran tak karuan saat benda bersinar itu tiba-tiba hilang dari pandangan kami. Padahal, keadaan gelap tanpa penerang dan hutan ini di tutupi oleh kabut yang cukup tebal. Cahaya bulanpun hanya bisa masuk sedikit saja. Dalam keadaan remang-remang seperti ini, sebuah cahaya justru menjadi sesuatu yang patut dicurigakan.

"Apa itu?"

Sonic nampak mencari-cari keberadaan itu, sedangkan aku tak sudi berbalik meski hanya sedetik saja. Suasana mendadak menjadi hening kembali. Bahkan Orreus--hewan yang memiliki suara menyerupai jangkrik pun tak mengeluarkan suaranya. Ada semacam perasaan tidak enak yang makin menjalar diseluruh tubuhku. Akhirnya aku pun terduduk.

"Ada apa?" tanya Sonic.

Belum sempat menjawab sepatah katapun, tiba-tiba aku merasakan seseorang menarikku sangat jauh membuatku makin panik. Bahkan tiba-tiba rasanya mulutku di tutupinya, dan membuatku tidak bisa berteriak meskipun aku ingin. Sepertinya dia membawaku makin dalam ke dalam hutan, sebab saat dia berhenti, aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya karena ditutup oleh kabut.

Dan orang yang menarikku tadi, mendekatkan wajahnya ke arahku. "Kau tidak apa?"

"Tazu? Mengapa kau menarikku?!" Tanyaku setengah jengkel. "Memangnya kau tidak tahu, kalau kita tidak boleh berpisah dengan pasangan kita?"

Tazu hanya diam, lalu menuntunku berjalan ke arah lain. Meskipun setengah hati, aku tetap mengikutinya berjalan. Daripada aku ditinggal sendirian di sana?

Kami keluar dari area yang berkabut, tapi hanya sekitar dua meter saja, sebab sisanya adalah jurang gelap yang tak terlihat dasarnya. Aku terpana kagum saat melihat bintang-bintang dilangit, bercak bintang yang bertebaran berwarna ungu dan kehitaman seolah membawaku ke dunia lain. Tunggu, ini memang dunia lain. Ah, tapi sungguh, pemandangan di atas sana memang indah, meski kuakui, selangkah jalan lagi, bisa membuatku melihat surga.

"...Kau menyukainya?" Tanyanya yang membuatku tersadar dengan rasa jengkelku padanya.

Aku memalingkan wajahku dan melipat kedua tanganku. "Bukan urusanmu."

"Piya!"

Suara Sonic pun terdengar dari kejauhan. Aku baru saja hendak menyahut, sebelum Tazu menahan gerakanku dengan melangkah menghalangi jalanku.

"Apa?!" Tanyaku galak, menyuruhnya menyingkir agar aku bisa masuk kembali ke hutan kabut. "Aku bisa menyeretmu ke jurang itu, kalau aku mau." Gertakku. Tapi naas, lelaki di depanku ini sepertinya tidak takut mati, dia menatapku datar dan masih berdiri tak bergerak dari tempatnya.

"Aku juga bisa menyeretmu." Balasnya yang membuatku sedikit geram.

"Aku bisa terbang dengan sayapku!" Balasku tak mau kalah.

"Kau tidak akan membiarkanku jatuh."

Aku berdecak malas. Yakin sekali anak ini kalau aku segan menjatuhkannya. Malas berdebat dengannya, aku pun mendorongnya--tentu saja ke arah hutan kabut--agar aku bisa melewatinya tentunya. Aku tidak peduli lagi kalau aku akan tersesat atau apalah. Yang penting adalah menemukan Sonic dan segera mungkin keluar dari hutan kabut.

Saat aku menemukan Sonic, dia nampak kebingungan sekali. "Piya? Tadi kau kenapa?"

"Tadi aku tak sengaja mengaktifkan kekuatan Wings Maker-ku." Jawabku dengan cepat.  "Aku tidak hafal jalan, apa kau masih ingat?"

"Sepertinya kita sudah dekat dengan akhir." Ujar Sonic tanpa membahas masalah itu lagi.

Saat hendak melangkah menjauhi tempat itu, aku berbalik dan menemukan kabut tebal yang membuatku tak bisa melihat terlalu jauh. Ah, buat apa aku khawatir dengannya. Aku tidak mendorongnya ke jurang atau menerbangkannya ke langit. Tazu itu mandiri, dia pasti bisa keluar dari hutan kabut. Apalagi ini sudah dekat dengan garis finish. 

Tapi mengapa dia masuk ke hutan kabut sendirian, ya? Apa dia tidak punya pasangan?

"Lho? Dimana semuanya?" Tanya Sonic yang membuat lamunanku buyar.

Aku bisa melihat tulisan 'FINISH' disana. Tapi tidak ada seorangpun yang menyambut kami seperti semestinya. Itu membuatku dan Sonic saling menatap bingung.

Dari sekian banyak peluang dimana mereka berada, aku hanya bisa memikirkan peluang buruk saja.

"Jangan-jangan..."

***

PUBLISHED : 6 Juli 2015

REVISION : 14 Juni 2016

2785 words!

TBC

Hai and Bye in next Chaps!

CINDYANA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top