Painful Reality*15
"Mengapa kau bisa ada disini?" Tanyaku dengan nada bergetar.
Sepasang mata itu enggan menatapku. Namun dia memperlihatkan lengannya yang tertutup dengan jubah khas BlackMix yang membuat hatiku begitu perih dan nyilu dengan hanya melihatnya.
"Kau lihat ini? Itulah mengapa aku tak bisa bersamamu sekarang." Suaranya mulai serak, bersamaan dengan tatapanku yang teriris-iris saat melihat lambang ditangannya menyerupai huruf X. Lambang itu tercetak jelas, dan menyerupai luka yang sangat dalam. Bahkan kulitnya terlihat mengelupas.
"Aku benar-benar rindu padamu, Rin!" sahut Kazie sambil memelukku.
"Kau kenal dia?" tanya Tazu, masih waswas meskipun aku telah membalas pelukan Kazie.
"Dia sahabatku, Shinozaki Kayaka." jawabku seraya melingkarkan pelukanku di punggungnya.
Aku tidak pernah menyangka, Kazie adalah Kayaka. Kazie dari pasukan BlackMix, salah satu anggota BlackMix yang paling berbahaya ternyata adalah sahabatku.
"Su-sudah bertemu Kayato-senpai?" tanyaku berusaha menahan tangisku.
"Sudah. Aku dengar, kekuatannya Ghost&Spirit. Pas sama kesukaannya yang meneliti roh." baru saja mendengar kata 'roh', aku merinding.
"Roh?"
"Lho? Piyorin tidak tahu yah?" ujarnya sambil tersenyum.
Aku menggelengkan kepalaku. Lalu sorotan mata Kayaka berubah menjadi serius, lalu diliriknya lengannya. Aku bisa melihat tanda X pada lengannya mulai bersinar berwarna merah darah.
"Aku harus kembali, mereka tidak boleh tahu kalau aku menemuimu." ujarnya sambil memakai kembali topengnya. "Oh ya! Piya," Kayaka mendekatkan bibirnya di telingaku. Dia membisikan sesuatu yang pendek namun berhasil membuat mataku membulat total. "Sudah dulu yah" ujarnya. Setelah dia memelukku, dia berjalan berkebalikan dari arah kami tadi.
"Dia bilang apa?" tanya Tazu dengan nada penasaran. "Piya!" panggil Tazu agak keras untuk membubarkan lamunanku. Seketika itu juga, kakiku tak lagi mampu menahan berat badanku. Aku terduduk, tapi Tazu menahanku agar jangan terjatuh dengan keras. "Piya...?"
"Aku harus menyelamatkannya,"
"Siapa?" Keningnya mengerut bingung, "Kazie?"
Aku menggelengkan kepalaku, lalu menatap balik manik mata coklatnya. "Ibuku."
*
"Kalian lama sekali, tadi!" sahut Flya-Sensei kepada kami berdua. Tentu saja kami lama, kami sempat salah arah saat hendak menyusul mereka. Terbayang betapa lamanya kami? Saat melihat rombongan mereka, barulah aku langsung datang dan tanpa basa-basi mempercepat penerbangan kami. "Jadi, sudah selesai urusannya di sana?" tanya Flya-Sensei.
"Su-sudah," jawabku sambil mengelus tengkukku.
"Kalau begitu, istirahatlah. Besok sekolah seperti biasanya" ujar Flya-Sensei hendak pergi.
Namun pertanyaan di kepalaku memaksaku untuk menghentikannya, "Tunggu!"
"Ada apa?" tanya Flya-Sensei heran, begitu juga dengan Tazu.
"Kekuatan sensei?" tanyaku. Mendengar itu, Tazu langsung memandang kearah Flya-Sensei.
"Aku juga belum pernah dengar."
"Oh. Tidak ada yang istimewa," ujar Flya-Sensei sambil tersenyum. "Kalian punya kekuatan yang lebih hebat dariku." lanjut Flya-Sensei sambil menepuk kepala kami berdua. Aku memandang kearah Tazu. Wajahnya menunjukan kalau dia tidak suka diperlakukan begitu.
"Jangan menganggap kami anak kecil lagi, Sensei." ujarnya sambil menepis pelan tangan sensei.
Sensei langsung menghentikannya. "Kekuatanku hanya biasa-biasa saja. Sama seperti kompas, Rightest Way." lanjutnya sebelum berlalu meninggalkanku yang terkagum sejenak.
Begitu punggung Flya-Sensei tak terlihat sepenuhnya, aku menatap lelaki disampingku ini dengan tatapan meledek. "Kepala raja, ya?"
"Tidak, mau mencoba?"
Dia langsung menarik tanganku dan mengarahkannya di atas rambutnya, aku langsung merinding begitu merasakan rambutnya yang tajam bersentuhan dengan kulit tanganku.
Aku buru-buru menarik tanganku dari kepalanya. "Kau ngapain!?" seruku sambil memukul punggungnya tanpa ampun.
"Hanya memastikan," gumamnya pelan. "Sudah ya, aku duluan."
*
Apa kalian tahu mantra untuk menutupi kesedihan?
Akan kuberitahu, hal seperti itu tidak membutuhkan mantra, karena kenyataannya kesedihanku tertutupi oleh kebahagian semu yang dibuat-buat. Aku lupa, kapan terakhir kali aku tersenyum tulus karena benar-benar bahagia.
Yang kutahu hanyalah, terakhir kali itu, pastilah sangat lama sekali.
"Aku harus ke sana," Aku langsung membuat sebuah kartu sayap dengan kekuatanku. Buku 'All the Power Of Magacal List' ternyata bermanfaat saat itu juga. "Besok, berikan ini kepada-"
Mataku mengeluarkan cairan, yang langsung buru-buru kuhapus karena memang aku tidak pernah membiarkan orang lain melihatku menangis. Seketika juga ada pertanyaan di kepalaku. Siapa yang harus kuberikan kartu ini? Yaa-Chi memandangku dengan gelisah. Memangnya untuk apa aku mengeluarkan ini? Pasti begitu pikirnya.
"Aku sapumu, aku bisa merasakan hatimu. Sejak aku tercipta, aku memang sudah dilekatkan untukmu." ujar Yaa-Chi sambil mengembalikan kartu itu "Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kau benar-benar sedang sedih saat ini. Hatimu retak, begitupun denganku. Hati kita terhubung dimanapun." Yaa-Chi berhenti berbicara. "Selagi aku retak, bagaimana kalau kau melanjutkannya? Aku tidak ingin merasakan retak seperti ini lain kali."
Kali ini aku benar-benar tidak bisa bersembunyi lagi. Aku menangis sepuas-puasnya didalam kamarku.
Pikiranku masih saja terus mengingat perkataan Kayaka tadi.
"Mamamu ada diantara BlackMix,"
Aku menangisi diriku, menangisi kekuranganku dan kelemahanku. Aku menangisi ketidakmampuanku. Salahku terlalu lemah. Salahku. Kalau saja aku lebih kuat, aku pasti biasa menyelamatkan Kayaka dan Ibuku.
Dua perempuan hebat yang tuhan berikan padaku.
Dua perempuan yang menjadi alasanku hidup selama ini.
*
"Piyan! Piyan!" Seru Rainna sambil mengedor pintu. Hanya Rainna yang memanggilku dengan nama panggilan seperti itu.
"Tidak ada suara," sambung Mai sambil melekatkan daun telinganya pada daun pintu.
"Aku akan periksa," kata Nai sambil membuat gelembung untuk memeriksa keadaan didalam. "Dia kenapa ya?"
Aku sadar dan bahkan tahu. Sudah beberapa hari aku tidak keluar dari kamarku. Aku harus menemukan jalan untuk menyelamatkan mamaku dan tentunya semua orang yang ada disini. Selain itu, aku juga tahu mataku membengkak. Aku tidak bisa berhenti menangis sampai baru saja--sebelum mereka memanggil pintu. Katakanlah aku seorang gadis yang cengeng, karena memang begitulah kenyataannya.
Aku gadis cengeng, manja dan lemah. Entah apa kelebihanku ini.
"Piya, mau dibuka pintunya?" tanya Yaa-Chi ketika mendengar suara ketukan pintu lagi. Entah siapa saja yang sedaritadi mengetuk pintu, berusaha membujukku keluar kamar. Ada beberapa kali suara yang tak kukenal memanggilku keluar.
"Tidak, jangan." Balasku cepat. "Wajahku kacau sekali,"
"Piya, kenapa kau masih mengurung diri disana?" Suara Ryoka terdengar.
"Apa kami punya salah denganmu sehingga kau menghindari kami?" tanya Vilia yang lebih kuanggap tuduhan daripada persepsi.
"Kalian tidak bersalah." jawabku pelan, dan mungkin tidak akan terdengar oleh mereka saking pelannya. "Aku yang salah."
*
"Hei! Yako!" panggil seseorang dari belakang
"Ya?" aku membalikkan badanku sambil memeluk setumpuk kertas pemberian Jim-Sensei.
Tambahkan lagi satu panggilan 'pengecut' padaku, karena aku lebih percaya diri muncul sebagai karakter bayanganku daripada aku sendiri. Aku hampir selalu muncul sebagai Yako setiap Piya tersakiti, tersinggung atau sedang menghindari seseorang.
Lihat? Betapa pengecutnya aku? Lalu mengapa seorang pengecut sepertiku bisa mendapat kekuatan Wings Maker? Aku bingung.
"Sudah lama sekali aku tidak melihatmu." ujar Yanda dengan tajam. "Kau salah satu anggota BlackMix-kah?" tanya Yanda sehingga membuatku sedikit kaget. "Bukannya aku mau menuduhmu. Tapi kalau kau dengar gosip tentang salah satu penyusup BlackMix disini, sebaiknya kau lebih sering hadir di kelas." Ucap Yanda sambil berjalan mendahuluiku.
Setelah kejadian yang terjadi seminggu yang lalu di Life River, otakku sudah terasa berat. Bagaimana tidak? Keputusan besarku terjadi dua hari yang lalu. Apakah aku harus keluar dari kamarku atau tidak. Sepele, tetapi berat.
Tiba-tiba aku tersadar, "barusan..." gumamku. "Barusan, Yanda mengkhawatirkanku?" tanyaku seorang diri, sambil membawa setumpuk kertas itu menelusuri koridor.
BRUK!
AH! aku menjatuhkannya lagi!, batinku dengan geram.
Sudah ketiga kalinya tumpukan kertas ini jatuh berturut-turut. Tapi itu bukan masalahnya. Aku lebih malas untuk mengutipnya kembali satu per satu. Kekuatan Changes Powerku belum terlalu terkendalikan. Apalagi untuk hal sebanyak ini.
"Butuh bantuan?"
Aku tidak membalikan kepalaku dan terus mengutip. Karena aku sudah mengetahui siapa yang datang itu. "Tidak perlu, Kaichou." [Ketua]
"Jangan penutup begitu," Ucap Vampix dengan nada mengintimidasi. "Aku ingin berbicara sesuatu denganmu, boleh kan?"
"Silahkan saja bicara sekarang."
"Jangan terlalu risih begitu, Yako."
Aku tersentak saat menyadari bahwa Vampix bisa mengetahui rasa risihku terhadapnya. Dan aku bersumpah bena-benar sangat kaget saat dia meraih pergelangan tanganku dan hendak mendekatkannya ke mulutnya, yang membuatku dengan cepat menepis tanganku.
"Apa yang kau lakukan!?" bentakku.
Dia tampak tersenyum sedikit dan kemudian mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Hey, Yako." Bisiknya, sebelum melanjutkan. "Boleh aku mengigitmu?"
Tapi tiba-tiba seseorang datang, membuatku yang hampir mengampar Vampix terhenti. Karena berkat lelaki itu, Vampix melepaskan tanganku darinya.
"Oh, Kaichou."
"Bukannya sudah kubilang? Kau tunggu aku di ruanganku." kata Vampix dengan agak kesal.
Tapi justru itulah yang membuatku berterimakasih sebanyak-banyaknya padanya. Untung saja Hize datang.
"Siapa ini?" tanya Hize sambil memandangku datar. Aku sedikit kaget saat mengingat ekspresi wajahnya ketika berada di dapur dan sekarang, berubah total! Maksudku, Hize terlihat begitu ramah saat di dapur hari itu, berbeda total dengan sekarang yang terlihat...menilaiku?
"A-aku Yako," jawabku sambil memungut kertas yang berserakan.
Hize pun merunduk sambil membantuku memungut kertas itu. Ternyata memang dia sangat baik! Melihat itu, Vampix pun mulai melangkah menuju ruangannya.
"Hize, Yako kalian keruanganku setelah ini."
Dalam mimpimu!, makiku dalam hati.
"Hei, kau tau? Aku punya firasat buruk dipanggil ke sana," bisiknya padaku. "Beberapa hari yang lalu, dia terus menanyakan informasi tentang-" Hize menghentikan ucapannya sebentar dan kemudian melanjutkannya kembali. "Beberapa hari yang lalu, dia menanyakan informasi tentang Tazu." lanjutnya.
Dengan refleks, aku menatapnya dengan sedikit bingung dan kemudian beralih pandang kembali ke kertas tadi. "Kenapa kau bilang itu padaku?" tanyaku.
"Kau hati-hati, jangan sampai digigit olehnya." kata Hize. "Kau bisa dikendalikan olehnya, kau akan dikendalikan penuh olehnya." Terangnya serius.
Aku menatapnya dengan sama seriusnya, lalu membawa setengah ketas yang tadi kubawakan. Setengahnya lagi sudah berpindah tangan di Hize yang nampaknya berniat membantuku.
"Ngomong-ngomong, ini mau dibawa kemana?" tanya Hize.
"Di ruang Jim-Sensei."
"Kau Pro ya? Pantas saja aku tidak pernah melihatmu." ujarnya sambil mulai berjalan.
Sekilas, aku mengingat tiba-tiba pertemuan pertamaku dan Hize. "Hei, Hize. Bagaimana menurutmu tentang Invi?" tanyaku membuatnya langsung membalikkan kepalanya dengan cepat. Namun respond-nya tidak secepat gerakan matanya.
"Kau mengenalku?"
"Tadi kan kaichou sempat menyebutkan namamu!"
"Oh, aku tidak mendengarnya. Ngomong-ngomong, kau jangan datang di ruangannya nanti. Aku serius memperingatkanmu."
Aku menganggukan kepalaku, siapa juga yang gila mau datang ke ruangannya?
Begitu kami sampai di depan ruangan Jim-Sensei dan melihat tanda pintu yang bertuliskan 'sibuk', kami pun memutuskan untuk menaruh semua kertas-kertas itu di depan ruangannya saja. Lagipula, bukan hanya ada kertas yang kami taruh di depan sana.
"Aku duluan,"
Aku mengangguk, lalu menatap punggungnya yang semakin cepat menjauh dariku.
Barulah aku tersadar, Dia mengalihkan topik?
.
.
"Yako, silahkan duduk dulu di sana. Aku harus bicara dulu dengan Hize." ujar Vampix sambil menunjuk sofa dibalik tirai.
"iya," jawabku. Pada akhirnya, aku menyusul Hize kemari. Ada beberapa alasan yang membuatku kemari dan tentunya bukan karena aku gila!
Tak lama setelah keheningan terjadi, akhirnya Vampix membuka topik pembicaraan mereka.
"Jadi, apa hubunganmu dengan Tazu di bumi?"
"Kami tidak punya hubungan apa-apa. Karena dia sama sekali tidak mengenalku" jawab Hize dengan tenangnya.
"Aku tahu, kalian ada hubungan. Jangan berbohong." balasnya dengan sama tenangnya.
"Aku tidak berbohong,"
"Dia tidak mengenalmu, huh? Dan kau mengenalnya?" tanya Vampix.
"Ya. Tapi aku sudah berjanji dengannya untuk tidak mengatakan idetitas asli kami berdua."
"Cepat katakan atau-"
Aku yang sedaritadi hanya mendengarkan, pun bingung karena keheningan yang ada. Aku pun mengintip dari balik tirai, dan melihat Vampix sedang mengigit lengan Hize. Hize tampak diam dengan wajah yang tak diketahui ekspresinya.
"Sekarang, jawab." ucap Vampix sambil mengangkat kerah seragamnya.
"Aku harus berbuat sesuatu! Aku harus kabur!" gumamku yang hampir menyamai bisikan.
Aku pun menyentuh dinding di belakangku. Dinding yang kusentuh pun berubah menjadi jendela. Aku buru-buru membukanya dan aku juga harus buru-buru memilih; langsung lompat atau membuka sayap terlebih dahulu.
Ketika aku mendengar suara bantingan yang sangat kuat dari arah tirai, tanpa berpikir panjang lagi aku langsung melompat. Bagaimana tidak? Perasaan panik sangat-sangat menganjal saat itu. Aku jatuh! Tidak mungkin aku membuka sayap seperti biasa kan?
Aku sudah siap jika nanti tulang punggungku akan remuk semua, meloncat dari tempat setinggi itu, tetapi anehnya, aku tidak merasakan sakit.
"Kau lompat dari sana?" Aku langsung mengalihkan pandanganku kefokus lain. Lalu mengangguk pelan. "Lain kali hati-hati," ujarnya menurunkanku dari angin sepoi-sepoi miliknya dan hendak pergi namun aku langsung menahannya.
"Tazu, tunggu!"
Saat lelaki itu berbalik, aku pun tak bisa menahan diri untuk mengatakan apa yang membuatku meloncat dari atas tadi.
"Hize ada di dalam sana dan dia dalam bahaya!"
***TBC***
UPDATED : SEPT 2015
REVISIONED : 19 JULY 2016
CINDYANA H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top