HALLOWEEN : Trick or Treat
HALLOWEEN 2016
Eh. Jadi aku nggak tau kalau chapter ini dulunya aku private dan tau-tau auto unpublish oleh Wattpad.
Buat yang belum baca, selamat membaca. Buat yang sudah membaca, aku pengin kasih tau kalau aku bikin extra part khusus Halloween di akun dyana_h yang judulnya Hide and Seek.
Sementara judul ini akan aku ganti jadi Trick or Treat, oke?
Tazu's POV juga kena unpublish, mungkin akan kupublishkan kembali nanti.
Baiklah, yang di bawah bintang ini belum direvisi.
Selamat membaca!
***
Comment=menghargai 5500 words yang saya tulis dan baru kelar barusan. Lol :v. Boleh dong ya, saya minta kalian komen? Hari ini sibuk banget dan saya berusaha nyelesaiin ini sebelum jam 12 malam, tapi akhirnya kelewat juga. Bhakk.
WARNING! Siapin minuman atau apapun yang rasanya pahit, guna membuat kadar gula dalam tubuh tetap seimbang, terima kasih.
Happy reading!
*
Sky Academy, 30 Oktober
Nuasa pepohonan yang mengering tandus di musim gugur membuat semuanya semakin sempurna. Angin yang berhembus menerbangkan daun gugur, membawa aroma khas musim gugur yang telah lama di nanti-nanti.
Sudah hampir seminggu, alarm yang membangunkan kami tak mengeluarkan musik alunan biola kematian seperti biasanya, meski alunan piano itu terdengar begitu menakutkan, namun jika ada pengambilan suara mengenai penetapan dering alarm, aku yakin semua orang akan memberi suara untuk alunan piano itu.
Besok adalah hari puncaknya, hari dimana usaha kami akan terlihat sepenuhnya. Seminggu penuh kami menghias semua tempat ini dengan nuasa horror di sela-sela waktu luang kami. Percaya atau tidak, semuanya merasakan antusiasme yang sangat dalam, semuanya kompak dalam membuat akademi ini terlihat angker.
Semuanya sempurna, tanaman berduri melilit pagar hitam yang tak jarang terbuka meski hanya untuk menerima tamu, buah labu dengan berbagai ekspresi sangar yang baru dibuat pagi tadi agar tidak lunak sebelum waktunya, kelelawar yang menggantung di langit-langit, tulang berulang palsu yang diletakan sembarang tempat, nyanyian burung hantu dan suara kepakan lebar yang terdengar jelas, lentera yang menyala khusus pada malam hari, seperti saat ini, misalnya.
Menu malam ini dan malam-malam sebelumnya adalah labu, sebenarnya aku mudah merasa bosan dengan menu yang sama terus-menerus, terlebih menu itu sudah disajikan seminggu. Tapi sudah kukatakan berkali-kali, tim yang memasak di dapur pantas dipuji berulang kali.
"Menurutmu, aku akan dapat apa besok?" Rainna bertanya sambil menangkup kedua pipinya dengan kedua tangannya.
Aku mengunyah makananku sebelum menjawabnya, "Harusnya kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun, Rainna. Aku sudah sering melihatmu dengan kostum yang heboh dan kau tampak sempurna dengan kostum apapun. Harusnya, akulah yang gelisah soal itu, aku tak cocok memakai kostum apapun."
"Kau cocok menjadi malaikat!" Yanda menimpali, membuat pipiku sempat bersemu sejenak mendengarnya, "...maut!" tambahnya yang membuatku sontak menatapnya datar, melanjutkan makanku tanpa minat.
"Sebenarnya, aku kurang mengerti..." aku menatap satu-satu orang yang duduk mengelilingiku, "Kenapa kalian semua duduk di sini, sih? Tempat lain kan masih kosong!"
Bukan, aku tidak jahat! Meja yang aku duduki bersama Kayaka dan Ryoka tadi adalah meja dengan ukuran yang hanya bisa menampung enam orang maksimalnya (Standart 4) dan aku tidak mengerti mengapa mereka semua menyeret kursi ke meja kami. Awalnya hanya Rainna dan Yanda yang datang, lalu yang lain ikut duduk dan mengobrol.
"Memangnya tidak boleh? Kami datang juga karena mau menemani kalian bertiga yang baru kemari," sahut Vilia sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Oh, sebenarnya tadi kami bertiga membantu Stona—gadis dengan kekuatan Stone (batu)—yang meminta langsung bantuan dari kami. Tadi aku membantu Stona mencari tempat strategis untuk meletakan nisan. Kayaka, Ryoka dan beberapa orang lainnya, menyempurnakan nisan itu. Stona cukup terkenal saat di dunia sihir dulu (dan semoga saja bukan aku satu-satunya orang yang tidak mengenalnya), itu karena Stona adalah satu-satunya perempuan yang memiliki kekuatan elemen. Air oleh Aquane, angin oleh Gran dan Api oleh Tazu.
Biasanya setiap pagi dan sore, Ryoka akan membangunkan para bunga, namun dia sudah tak melakukannya sejak pergantian musim gugur, dan katanya dia juga tidak akan melakukannya di musim dingin nanti. Dia terdengar seperti bekerja paruh waktu—paruh tahun, maksudku—Kedengarannya keren.
"Oh ya, Stona-nya mana?" tanya seorang gadis yang tak kuketahui namanya.
Kayaka yang memang dasarnya selalu menghabiskan makanannya dengan cepat itu pun menjawab, "Sekarang dia sedang membangun nisan lain di tanah kosong di belakang gedung cadangan,"
"Huah, Stona memang pemberani sekali, dia tidak takut apa, sendirian malam-malam begini?"
Kalau aku sih jujur, sedaritadi sudah ngeri sebelum matahari tenggelam sepenuhnya, tapi memang dari yang kudengar sejak awal, Stona memang sangat pemberani.
"Yah, mau bagaimana lagi? Acaranya tidak akan seru kalau tidak semua tempat bernuasa Halloween," Rainna mengucapkannya sambil menatap ke atas, entah membayangkan apa. "Stona orangnya perfeksionis pula, mana mungkin dia mengerjakannya setengah-setengah."
Yang lain hanya bisa mengangguk menyetujui.
Baru saja aku menyelesaikan makanku dan hendak merapikan piring-piring kotorku, Riva—gadis pembuat ilusi (yang direferensikan di chapter terakhir LMP)—membuka topik. "Eh, bicara tentang tanah kosong yang ada di gedung belakang, aku pernah dengar kalau lahan kosong itu dulunya adalah kuburan tua,"
Seseorang menimpali lagi saat aku merasa tidak nyaman, "Oh! Aku juga pernah dengar, katanya sudah diratakan dengan tanah tiga tahun yang lalu sebelum semua tanah ini dibeli, kan?"
"Aku pernah dengarnya, lahan kosong itu bekas rumah sakit, katanya sih setelah tanah di ratakan, mereka membangun rumah sakit,"
Aku yang sebenarnya hampir meninggalkan cafeteria pun diseret tanpa siapapun yang melakukannya, aku menduga bahwa yang melakukannya Yanda saat melihat tangannya diulurkannya ke arahku.
"Tapi rumah sakit itu tidak beroperasi dengan lancar, jadi selama bertahun-tahun, gedung rumah sakit itu benar-benar di biarkan kosong." Seseorang menimpali lagi.
Aku hanya bisa berpura-pura tak mendengar, sekalipun aku telah mendengarkan keseluruhan cerita, aku menatap Kayaka dengan ekspresi meminta belas kasihan, berharap Kayaka akan membawaku sejauh-jauhnya dari cafeteria.
"Rin, kau mau-"
DUAARRR!!
Suara guntur yang amat keras membuatku langsung memeluk Kayaka erat, aku diam-diam melirik Rainna, melihat apakah memang dia yang melakukannya atau bukan. Bukan hal yang aneh jika hujan datang di musim gugur, karena badai sekalipun suka mengunjungi di musim itu. Tapi yang jelas, saat petir membahana dan hujan turun dengan derasnya, Rainna terlihat baik-baik saja—malahan, dia menatapku dengan sorot kebingungan.
"Piyan takut petir, ya?"
Aku tak bisa menjawab, dan Kayaka yang pengertian menggantikanku menjawabnya, "Piya punya phobia terhadap petir,"
Semuanya mengangguk mengerti, dan kulihat Rainna memejamkan matanya dengan sorot wajah serius, sebelum akhirnya membuka matanya dan menatap ke arah jendela, "Awan hari ini ekstrem," gumamnya.
"Kau tidak bisa menghentikannya?" tanya seseorang penasaran.
"Bisa saja, sih. Akhir-akhir ini aku sudah belajar mengendalikan cuaca radius 2km."
Yanda menopang dagunya, "Pasti sulit ya, mempunyai kekuatan cuaca? Cuaca melibatkan awan, air, dan petir kan?"
Rainna tertawa, tapi memutar bola matanya disaat bersamaan, "Itu masih mudah sih, yang susah itu mengendalikan musim," curhatnya. "Tapi buat apa sih, kau mikirin itu? Kekuatanmu jauh lebih sulit dikendalikan, kan?"
Aku menghela nafas lega, untunglah mereka tak membahas soal tanah kosong di belakang gedung-
"Oh ya! Aku dengar-dengar, katanya ada laki-laki yang mati penasaran di hari Halloween, beberapa tahun yang lalu! Dia selalu muncul setiap Halloween!" Riva mengucapkannya dengan menggebu-ngebu.
"Keren tidak? Kalau iya, aku akan memintanya untuk menjadi partner-ku di pemilihan kostum terbaik besok. Semoga saja aku mendapat kostum Halloween." Seseorang yang tidak kuketahui namanya, bercanda tanpa merasa khawatir.
Riva berpikir keras, "Aku pernah dengar sih, katanya keren."
"Kau bercanda! Kalau aku sih, tidak akan mau memilih hantu sebagai partnerku!"
Hei, hei, bisa hentikan topik itu, kumohon?
"...Kalau kalian benar-benar ingin bertemu dengannya, mengapa tidak minta bantuan Kakakku saja? Dia bisa memanggilnya untuk kalian," Kayaka dengan usul konyolnya itu bersuara, "Yah...itupun kalau memang issue itu memang benar."
"Memang benar, kok!"
Kayaka mengendikan bahu, "Benar atau tidak, kita lihat saja besok. Aku akan meminta Kakakku memanggilnya, sebaiknya kalian segera tidur kalau tak mau melewatkan acara besok pagi. Selamat malam." Kayaka memegang tanganku dan Ryoka, lalu membawa kami berteleportasi tanpa berkata apa-apa.
"Kayaka, kau keren!" pekikku senang.
Baru beberapa saat setelah aku memekik begitu, suara halilintar kembali terdengar, membuatku tanpa sadar meloncat ke arah ranjangku dan masuk ke dalam selimut tebal milikku.
"Yah, memang sebaiknya kau tidur duluan." Kayaka mengucapkannya dari luar selimut, "Oh ya, jangan lupa ganti pakaianmu dengan piyama."
"Sudah kuubah!" balasku dari balik selimut.
"Piyorin, Kayaka, selamat malam." Ryoka mematikan lampu beberapa saat kemudian, keheningan seharusnya bisa menguasai keadaan, tapi tidak, karena halilintar tak kunjung berhenti menjerit sendirian diluar sana.
*
Acara pagi benar-benar membuatku habis pikir. Maksudku, mencari permen di Halloween pagi? Bukankah itu sudah cukup konyol untuk membuktikan bahwa tidak ada permainan apapun yang dibisa dimainkan di sini? Tapi aku menyadari itu, mereka tidak akan membiarkan kami melewati Halloween tanpa kesan. Aku yakin, sesuatu telah direncanakan disini.
Semua orang memiliki satu permen, dan kami diharuskan untuk menukar permen itu dengan lawan jenis kami. Sebenarnya aku berniat menukarkannya dengan Kayato-Senpai—agar lebih gampang—tapi aku tahu pula Kayaka juga mendambakan kemudahan, jadi aku memilih mencari oranglain saja.
Masalahnya, rata-rata dari mereka sudah menukar permen itu dengan lawan jenis mereka, dan lagi-lagi aku merasa panik, jangan-jangan jumlah murid disini ganjil?!
"Err, kau sudah trade?" aku sudah berulang kali menanyakan hal yang sama pada laki-laki random yang kutemui di koridor, dan jawaban mereka sama, "sudah" dan helaan nafas menyayangkan.
Aku pun mencari orang-orang lagi, berusaha optimis bahwa jumlah orang-orang disini tidaklah ganjil jumlahnya. Yang harus kulakukan adalah mencari laki-laki yang masih memegang permen berwarna merah muda, dan permen biru itu akan kutukar dengan permen merah muda itu—sesuai dengan aturannya.
Aku terus menelusuri koridor, masuk ke satu persatu kelas, namun semuanya telah memakai kostum yang beraneka macam, yang kutahu karena efek dari permen ini. Tidak semua permen menghasilkan kostum bertemakan Halloween, karena itulah tidak semua orang bisa mengikuti pemilihan kostum terbaik meski sebenarnya kostum itu didapatkan bukan berdasarkan keinginan kita.
Baiklah, sebenarnya aku lebih peduli dengan keadaanku saat ini yang masih memakai pakaian casual.
Ada yang memakai pakaian yang dikenakan patung Liberty, dewa-dewi Yunani lengkap dengan barang bawaan mereka, gaun pesta yang berkilau dan ada pula yang menjadi tokoh dalam cerita dongeng.
Oh yaampun! Lihat, Ryoka yang menggunakan pakaian gadis berkerudung merah itu! Dia manis sekali! Aku sempat melambaikan tanganku untuk memanggil Ryoka, tapi sepertinya dia tak mendengarku karena jarak yang terpaut jauh.
Otak licikku sempat berpikir untuk langsung merubah diriku tanpa memakan permen merah muda itu, tapi permen biru yang ada di tanganku juga tak tahu harus kuapakan.
Dan kemunculan seorang lelaki di ujung koridor sana membuatku sontak tersenyum lebar. Maksudku, dia masih menggunakan pakaian biasa!
Aku pun mulai melangkah mendekatinya, melewati kurcaci, peri, musketeer, dan orang-orang berkostum lainnya. Dan sejauh ini, aku hanya melihat beberapa orang memakai kostum dengan tema Halloween, hanya beberapa saja.
Lelaki itu memiliki iris mata abu, garis hitam yang cukup tebal di bawah matanya dan alis yang cukup tebal. Rambutnya berwarna senada dengan bola matanya, dan kulitnya sangat putih pucat. Dia menggunakan kemeja putih dan celana hitam, terlihat masih belum tersentuh oleh sihir akibat permen-nya. Dia nampak sedang mencari-cari suatu keberadaan di lantai yang penuh dengan cap tangan layaknya darah.
"Kau sudah trade permen?"
Lelaki itu mendongkak terlihat bingung, namun akhirnya menggeleng yang membuatku langsung menyerahkan permen berbungkus biru itu kepadanya. Lelaki itu menerima permen itu, tapi belum kunjung memberikan permen merah muda kepadaku. Dan sorot matanya yang bingung membuatku berpikir bahwa dia telah kehilangan permen itu.
"Kau kehilangan permennya, ya?"
Lelaki itu menerjap sejenak sebelum membalas dengan senyuman lebar, "Iya, maaf ya?"
"Yasudahlah, itu untukmu saja. Lagipula aku bisa mengganti kostumku sendiri, kok." Ucapku tak peduli. Aku mulai mengira-ngira kostum apa yang akan kugunakan, tapi saat itu juga mataku menangkap keberadaan Tazu dari ujung koridor yang lain. "Ah, sudah dulu ya, aku duluan."
Tanpa berkomentar apapun, aku pun melangkah ke arah koridor yang kini penuh dengan orang-orang berkostum yang kini memuji lelaki itu. Tazu saat ini memakai setelan serba hitam dengan sayap hitam yang membuat aura-nya semakin terlihat saja, itu kostum iblis dan tentu saja cocok dengan tema Halloween. Aku melambai dengan semangat dari kejauhan, tapi tidak diabaikan, sedikit kesal juga karena tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku sedaritadi.
Baru saja berniat mendekat lagi, lelaki di belakangku muncul kembali di depanku, dengan senyuman lebar.
"Ada apa?" tanyaku dengan sorot bingung, "Kenapa kau belum makan permennya?"
"Nanti saja," balasnya ramah, aku bisa melihat kantung matanya dengan jelas saat matanya menyipit karena tersenyum. "Aku Jun, kau?"
"Piya,"
"Oke, Piya...bolehkah kau menemaniku sehari ini?"
Aku mengangkat alisku, sejujurnya tidak nyaman dengan tawarannya itu. Maksudku, dia masih berstatus orang asing karena baru berkenalan tak sampai semenit yang lalu, dan aku bukan tipe orang yang menyenangkan di pertemuan pertama.
"Aku-"
"Kalau begitu..., sejam?"
Aku menerjapkan mata, "Satu jam?"
"Piya,"
Aku buru-buru membalikkan kepalaku begitu mendengar suara datar nan dingin di belakangku, lalu tertawa hambar begitu melihat tatapan datarnya itu. "Hai, kostummu keren," Ujarku kaku.
"...Kau sedang apa?" tanyanya, "Kau belum trade?"
Aku mengelus tengkukku, "Ah, tadi..." Aku menunjuk Jun tanpa berbalik, "Kami trade, tapi permen merah muda-nya hilang, jadi-"
"Siapa?"
"Jun,"
Tazu melirik ke belakangku dengan datar sejenak, lalu menatap kembali ke arahku, "Kau mau permenku?"
"Kau tidak trade?" tanyaku sambil mengangkat alis.
Tazu mengeluarkan permen dengan bungkus merah muda dan menyerahkannya kepadaku, "Tadi ada yang bersedia memberikannya tanpa trade,"
Aku menerima permen itu sembari tersenyum dan segera memakannya. Strowberry. Dan pakaianku mengeluarkan cahaya putih sejenak sebelum aku termenung memperhatikan kostum baruku.
Gaun hitam selutut dengan renda-renda berwarna putih yang manis di ujungnya, atau mungkin bukan hanya di ujungnya karena ada banyak renda di pakaian itu. Pakaian ini cukup tertutup, membuatku sedikit lega—setidaknya pakaian ini sangat tertutup dibanding kostum peri atau yang lain. Lengan gaun ini berdesain khas victorian gothic, ada sarung tangan yang menutupi kedua tanganku dan ada pula kaos kaki hitam yang panjang. Tak lupa payung hitam yang masih tertutup muncul begitu saja dipelukanku.
Cukup lama juga aku merenung memperhatikan diriku sendiri, hingga akhirnya tersadar bahwa Tazu juga ikut memperhatikan kostumku sedaritadi, "Puji saja kalau memang bagus, aku sudah memujimu kok, tadi."
Tazu menatapku sejenak lalu memalingkan wajahnya, "Aku tidak memintamu memujiku."
Aku tertawa, "Ngomong-ngomong, kau dapat kostum tema Halloween tuh, kau akan ikut lomba itu atau tidak?" Aku tetap saja bertanya meski tahu jawabannya.
"Tidak," jawabnya datar, "Kau ingat janjimu kemarin, kan?"
Aku menepuk keningku lantaran baru mengingatnya sekarang, "whoopsie, maaf. Gimana kalau sekarang saja? Kau sudah sarapan?"
"Ayo,"
Sudah berbicara panjang-lebar begini, aku baru teringat kembali dengan keberadaan Jun. Astaga, aku mengabaikannya lama sekali. "Err, maaf, Jun. Mungkin lain-" Dan saat berbalik, aku tak menemukan siapapun di belakangku, "...Eh? Jun mana?"
"Jun siapa?" tanya Tazu masih dengan nada datarnya.
Aku mengerutkan kening sejenak, bingung dengan apa yang terjadi, "Ah, sudahlah. Ayo sarapan dulu." Ucapku pada akhirnya.
*
Lucu sekali rasanya melihat semua yang mengantri menggunakan kostum. Lihat saja Yanda dengan gaun penuh mutiara-nya, dia benar-benar luar biasa kan? Atau..., hm, oh! Invi dengan kostum pemanah yang dominan hitam dan Hize yang dibelakangnya memakai setelan jas? Baiklah, tidak matching itu wajar.
Rainna muncul dengan kostum Alice dan langsung ikut mengantri dibelakangku dengan semangat, "Wah, Piyan manis sekali!"
Padahal kenyataannya, Rainna jauh lebih manis.
Aku hanya tersenyum meresponnya, lalu melirik Vampix yang rupanya mengantri di barisan paling depan dengan kostum bajak laut-nya.
Rainna yang sepertinya mengerti jalan pikiranku pun tertawa pelan, "Lucu ya, acak-acakan begini. Ini lebih mirip acara cosplay daripada pesta halloween." Dia menahan geli, "Sonic berkostum ninja, dan dia benar-benar menghilang seperti ninja sekarang."
Aku ikut tertawa juga mendengarnya, Sonic memang lebih mirip ninja karena sering sekali menghilang tiba-tiba sejak di dunia sihir dulu. Dia punya bakat itu.
"Tazu dapat kostum Devil? Dia memang selalu keren ya?" tanya Rainna yang terdengar menggodaku.
Aku hanya bisa tertawa masam, "Ya, begitulah."
Aku melirik antrian laki-laki, tak sengaja mataku menangkap Aquane dan Light yang sedang berbincang. Aquane dengan kostum matador dan Light dengan kostum ala magician. Tak jauh dari sana, tampak pula Kayato dengan kostum koboi lengkap dengan topi, tali dan bros bintang ala sherife. Tampaknya semuanya jauh dari kostum halloween.
"Wow, kau dapat Victorian gothic ya?" Kayaka yang sudah membawa mapan dengan lauk labu yang dimaniskan itu pun berhenti sejenak di samping antrianku guna mengobrol sejenak.
Kayaka memakai kostum ala ratu mesir dengan gaun panjang berwarna putih dengan aksesoris gelang dan gelang kaki. Anting-antingnya yang berkilauan membuat Kayaka tampak lebih feminim dibanding biasanya.
"Iya, hehe."
"Itu kan tema halloween, jadi, kau ikut tidak?"
Aku menggeleng pelan seraya melangkahkan kakiku selangkah karena antrian mulai berjalan sedikit demi sedikit, "Malas,"
Tampang Kayaka seolah terbaca, 'sudah kuduga' namun tak diumbarkannya, "Aku duduk di sana ya," Kayaka menunjuk kursi yang biasa kami duduki.
"Aduh, maaf ya, Kayaka. Aku sudah janji dengan Tazu nih,"
Bibir Kayaka membentuk huruf o sejenak, "Oh, gara-gara itu ya?" Aku menganggukan kepalaku. "Sebenarnya, aku masih tak percaya sih, kalau Tazu itu..., dia."
Aku menarik nafas panjang sambil melirik Rainna—yang nampak kebingungan—sejenak, dia tak, "Iya, sama."
.
.
.
HIZE-INVI
"Invi," Suara itu membuat Invi tersentak sejenak sebelum menatap Hize yang berkostum mata-mata (SPY) dengan tatapan kesal. "Maaf membuatmu kaget. Oh, kau pasti berpikir kalau aku lagi-lagi baru saja membaca pikiranmu, kan?"
Invi memutar bola matanya tanpa berkata apa-apa.
"...Ah, jangan marah ya? Aku akan menghilangkan kekuatanku, kalau memang itu membuatmu senang." Ujarnya sungguh-sungguh, "Aku bisa membuatmu membaca pikiranku."
Invi menatapnya datar, "Aku tidak berniat membaca pikiranmu," ucapnya penuh penekanan.
"Iya, sama-sama." Dirangkulnya gadis itu dengan sedikit hati-hati karena beberapa anak panah tajam yang dibawa oleh gadis itu, sebenarnya kalau ia terkena anak panah itupun, dia tidak akan terluka, tapi masalahnya dia sedang melepaskan kekuatannya. "Sudah terdengar, kan?"
Invi sontak menepis tangan lelaki itu dari pundaknya dengan sedikit merona, "Kau sudah mengatakannya berkali-kali, ratusan kali atau mungkin ribuan kali! Apa kau tidak punya malu, huh?"
"Ayahku bilang, mengatakan sayang pada orang yang kita sayang bisa membuat kita sehat." Hize menahan senyumnya, yaampun, lucu sekali Invi ini, pikirnya. "Aku sering mengatakannya padamu, kan? Makanya aku sehat dan tidak pernah sakit."
Invi lagi-lagi memutar bola matanya jengah, "Kau tidak sakit karena kekuatanmu, virus-pun tak akan bisa menyerangmu, dan bukan karena mengatakan sayang setiap hari!"
"Iya, iya, intinya aku sayang padamu."
Invi tahu Hize tak membohonginya, tadi lelaki itu melepaskan kekuatannya selama sepuluh detik, tapi Invi bisa mendengarkan kalimat itu lebih dari sepuluh kali. Daripada merasa sehat, Invi lebih merasa sakit. Buktinya, jantungnya selalu tak terkontrol dengan baik saat dia berada di dekat lelaki itu.
Mereka sedang berada di cafeteria, penuh dengan orang-orang yang memakai kostum macam-macam, tadinya Hize yang menghampirinya yang duduk di sudut—jauh dari orang-orang yang kini saling mengomentari kostum yang mereka dapatkan hari ini.
"Kau yang masak ini ya?"
Hize menerjap, namun tersenyum lebar. "Kok tahu? Kau kan belum memakannya? Ini yah, yang namanya ikatan batin?"
Invi berdengus, "Aku hanya menebak."
"Iya, hari ini resepnya aku yang bikin, jadi atau enggaknya belum tahu, sih." Ujarnya sambil ikut menyendokan labu yang telah lunak dan bersauskan bumbu dan kuah hangat yang mengungah selera. "Enak?" tanyanya ragu saat Invi telah memakannya.
"Enak," balasnya pelan. "Harusnya Tazu bukan hanya mengangkatmu sebagai Bodyguard-nya, tapi juga koki-nya. Dasar bodoh."
Hize mengelus tengkuknya canggung, "Sepertinya kau salah paham, dia tidak mengangkatku sebagai bodyguard, kok. Dia bisa menjaga dirinya lebih dari siapapun."
"Terserahlah pendapatmu, tapi Tuan-mu itu juga bakal kalah telak kalau berhadapan dengan Piya," ujar Invi dengan penuh ejekan di nada bicaranya.
Hize hanya diam, karena sebenarnya dia juga membenarkan perkataan Invi dalam hati.
"...Kalau kau tidak sibuk, ajari aku memasak ya, kapan-kapan."
Hize tersenyum tipis mendengarnya, "Tidak masalah,"
*
SONIC-RAINNA
Rainna berjalan menelusuri lorong koridor dengan kebingungan, sesekali dia membalas senyuman dari orang-orang yang menyapanya. Saat seseorang dengan kostum jamur raksasa menyapanya dengan semangat, diam-diam Rainna menghela nafas juga, untung saja dia mendapat kostum yang memudahkannya bergerak.
Tertimpa kebingungan yang teramat sangat, Rainna melirik awan yang mendung dengan perasaan kacau balau.
Dimana Sonic, ya?
Rainna kaget bukan main saat mendapati lelaki yang dicarinya sedaritadi itu menatapnya datar dengan hidung dan mulut yang ditutupi oleh penutup berwarna hitam. Hanya dari matanya saja, Rainna bisa menebak kalau itu adalah Sonic.
"Kau kenapa?"
Rainna merasa kalimat itu lebih pantas ditujuan kepada lelaki itu sendiri, namun dirinya tak berkomentar banyak mengenai hal itu. "Kau sudah makan?"
"Sudah," Balas Sonic singkat. "Kenapa langitnya mendung begini?"
Rainna meringis, lalu mengutuk dirinya sendiri karena sempat berpikir bahwa anugrah itu baru saja dipikirkannya sebagai kutukan. "Aku mencarimu, tahu."
Sonic mengangkat sebelah alisnya, sebelum akhirnya membuka penutup itu dan menampakan hidung dan mulutnya, "Kenapa mencariku?"
Banyak jawaban gila yang sebenarnya sudah siap dilontarkan oleh Rainna, tapi Rainna memilih opsi yang dianggapnya paling aman, "Karena aku ingin bertemu denganmu. Segitu cukup deh, nggak usah nanya-nanya lagi, nanti nyesal, lho."
Meskipun ekspresi lelaki itu menunjukan kebingungan, akhirnya dia menutup kembali penutup mulutnya, "Oke."
Tidak perlu terburu-buru, Reina, Rainna memekik dalam hati, karena dia akan menjadi milikmu nanti.
Usai berpikir demikian, Rainna menarik nafas panjang dan melepaskannya perlahan. "Aku akan membuatnya cerah kembali, seperti yang biasa kau inginkan."
*
LIGHT-KAZIE
Light melirik gadis yang ada disebelahnya setengah kagum, Kazie benar-benar sangat...! Pokoknya, dimata Light, Kazie akan selalu menjadi yang paling menarik diantara gadis lain manapun.
Kazie nampaknya tak nyaman dengan lengannya yang terbuka, terbukti dari kain lain yang diambil Kazie entah kapan dan digunakannya sebagai selimut untuk menutupi lengannya.
"Light, jadi main playstation-nya tidak?"
Light bukannya tidak mau, kebetulan Kazie adalah teman sepermainan yang sangat menyenangkan—sama seperti Kakaknya, tapi Light akan sangat-amat tidak nyaman bila dia hanya berdua dengan gadis itu di ruangan yang sama. Bisa-bisa bukan hanya jantungnya saja yang akan terserang halilintar, tapi juga asrama ini.
Sebenarnya niat awalnya tadi adalah bermain dengan Piya, tapi karena sahabatnya itu juga sibuk dengan sesuatu, Kazie tidak punya pilihan lain selain mengajak oranglain bermain, dan dia memilih teman terbaiknya.
"Nanti deh, kalau Kato balik."
Kazie menatap Light malas, "Orang sepertinya dia tidak pantas ditunggu, tahu? Yang ada kalau dia balik itu, dia tidak akan membiarkanmu main playstation."
Light termangut, "Oh, kau masih tidak mengaku kalah ya, kemarin?"
"Kemarin itu hanya poor, buktinya aku tidak meng-upgrade assassin dan mage dari awal."
Light tersenyum masam saja, meski penampilan Kazie berubah drastis dari ini, sifatnya tidak berubah sedikitpun. Diam-diam lelaki itu berucap syukur dalam hati karena Kazie mencairkan suasana mereka meskipun secara tak langsung dan tak disadari gadis itu.
Berduaan dengan Kazie di satu ruangan yang sama tidak pernah menjadi ide yang baik sejak dulu. Tapi nampaknya Kazie tak menyadari ketidaknyamanan Light sejak dulu. Yah, karena gadis itu selalu menganggapnya sebagai teman yang baik.
Lagi-lagi Light meringis, Friendzone ini agak sadis ya?
Tepat setelah ia berpikir begitu, Kato dengan pakaian koboi lengkap dengan topinya pun membuka pintu dengan sedikit tergesa-gesa.
"Yaka-ku tidak apa-apa?! Yaampun, adikku cantik sekali! Sini Nii-San foto terus kirim ke Mama!"
Kazie menatap Light dengan tatapan datar seolah mengatakan, tuh kan, apa kubilang?
Sister complex ini juga agak sadis, pikirnya dengan senyuman yang dipaksakannya.
*
"Lho, Jun?"
Aku mengerutkan kening melihat lelaki beriris abu itu tengah meratapi ujung pemandangan yang jauh tak terlihat di atap sekolah. Ini jelas adalah hal yang kebetulan karena aku sempat berpikir bahwa kemungkinan kami tidak akan bertemu lagi hari ini, terlebih lagi karena hari telah sore dan night party akan dimulai beberapa jam lagi.
Jun tersenyum tipis melihatku, aku mengerutkan keningku saat menyadari bahwa ia masih menggunakan kemeja putih dan celana hitamnya itu, tanda bahwa dia belum memakan permen pemberianku.
"Senang bertemu denganmu, Piya, kau baik sekali."
Aku tersenyum canggung, aku bukan orang yang baik, sebab barusan aku juga mengeluh soal permintaan Jun tadi yang terdengar ingin merepotkanku.
"Terima kasih untuk permennya,"
Aku menghela nafas pendek, "Sama-sama."
Jun kembali meratapi matahari yang sudah nyaris tenggelam itu. Silaunya matahari membuatku memincingkan mataku dan menurunkan payung hitamku sedikit guna menutupi mataku.
"Aku kehilangan sesuatu di tanah kosong belakang... Apa kau bisa membantuku mencarinya?"
Aku terpaku sejenak karena tatapannya yang terlihat memohon dengan sungguh-sungguh, tapi aku juga langsung merinding begitu dia menyebut tempat itu, jelas saja aku ngeri apalagi setelah mendengar celotehan tak berguna yang disampaikan oleh Riva kemarin malam.
"...Apa itu penting?" tanyaku sedikit enggan, mungkin aku bisa membantunya jika itu memang penting. "Apa kau punya oranglain untuk membantumu?"
"Penting sekali," jawabnya, "Aku tidak punya siapapun untuk membantuku. Aku tidak akan memaksamu kalau memang kau tidak ingin."
Aku menggigit bibir bawahku, menimang-nimang permintaannya yang akan membuatku sedikit terlambat malam ini.
Yah, aku yakin dia tak akan keberatan dengan keputusanku. Yah...
"Baiklah, sampai matahari tenggelam saja ya?"
Aku tidak tahu apakah aku menyesali hal itu atau tidak, tapi akhirnya aku menenangkan diriku dan meyakinkan bahwa aku tak melakukan keputusan yang salah.
Aku membuka sayapku dan Jun sudah nampak melayang dengan anggunnya layaknya Peterpan. Aku mengerutkan keningku sambil tersenyum tipis, "Itu kekuatanmu?"
"Yah, begitulah..." balasnya sambil tersenyum.
Kami pun langsung terbang menuju lokasi tanpa berbasa-basi lagi.
.
.
AQUANE-RYOKA
Aquane semakin ahli mengendalikan air dri hari ke hari, Ryoka yang duduk memperhatikannya latihan pun hanya bisa menopang dagunya dan menatap air yang berterbangan tanpa terjatuh setetespun. Air yang bervolume lebih dari berapa ribu kubik itu pun kembali masuk ke kolam setelah Aquane mengendalikannya perlahan ke sana.
Matahari sore yang mulai tenggelam, menyilaukan pandangan Ryoka. Gadis itu pun menyipitkan matanya saat Aquane mendekat.
"Kau tidak bosan, disini terus?" tanya Aquane sambil berdiri dihadapannya, membuat bayangan guna menutupi Ryoka.
Ryoka memalingkan wajahnya, "Aku tidak menyuruhmu di sini," Balasnya ke lelaki berkostum matador itu.
"Apa yang sebenarnya kau tunggu disini?"
Ryoka terdiam sejenak, memikirkan jawabannya dalam hati, "bukan urusanmu."
Aquane masih berdiri di depannya, memperhatikan gadis itu dengan seksama, "...Kau hanya bersikap jahat kepadaku, ya?"
Ryoka masih saja diam, tak menatap balik lelaki itu.
"Hanya aku yang tahu sisimu ini?"
Gadis itu masih bersikeras tak menjawab pertanyaan Aquane, baik balasan dari ucapan ataupun bahasa tubuh.
Tanpa di duga lelaki itu mengangkat tangannya dan mengelus puncak kepala gadis itu, membuat Ryoka langsung mendongkak dan melotot menatapnya. Tentu saja Aquane merasa senang akan itu.
"Kau boleh memanfaatkanku, karena kau memang membutuhkanku."
Ryoka nampak ingin membalas kata-katanya, semuanya tampak jelas hanya dari tatapannya itu, tapi dia tak membalas apapun untuk pernyataan itu.
"Aku akan menerimanya dengan senang hati, karena aku juga membutuhkanmu."
Kening gadis itu mengerut heran, dia pun memberanikan diri untuk bertanya, "Apa itu yang membuatmu keras kepala? Kalau begitu, kau butuh apa dariku?"
Aquane terdiam sejenak, tampak ragu untuk menjawabnya, tapi tuntutan dari tatapan gadis itu akhirnya membuatnya lengah.
"I need you because I love you, not I love you because I need you."
Aquane tersenyum lembut pada gadis itu, sedangkan tubuh Ryoka telah menegang dan pipinya sudah bersemu merah.
"...Ngomong-ngomong, kau tahu tidak, kalau Matador bisa mati tanpa kain merah?" tanya Aquane tanpa mempedulikan keadaan Ryoka yang sudah sangat bersemu, "Kau merah." Ucapnya sambil tersenyum lebar.
Entah membicarakan soal situasi itu atau Ryoka yang masih merona.
*
Aku memperhatikan kiri-kanan. Aku tidak pernah datang ke tanah kosong hingga hari ini, pantas saja namanya tanah kosong, karena sejak dari tembok halaman belakang sampai ujung sana, disana benar-benar kosong dan rata oleh tanah.
Rupanya pemikiran tentang Stona yang membangun nisan sebanyak mungkin disini adalah pemikiran yang salah.
"Apa yang kau cari disini?" tanyaku ke Jun yang masih saja merenung di satu titik, namun kali ini di tanah, bukan lagi di langit.
Tak lama kemudian, Jun menunjuk titik yang sedaritadi di lihatnya. "Ini..."
Aku memiringkan kepalaku bingung, lalu mendekat memperhatikan titik itu dengan tidak mengerti. "Apa itu?"
"...Tiga tahun yang lalu, batun nisanku masih ada, aku tidak mengerti mengapa saat ini sudah tidak ada..."
Dan satu kalimat itu, mampu membuat semua bulu kudukku merinding hebat, "...Mak-maksudmu?"
"Aku arwah yang kalian bicarakan kemarin, aku mendengar pembicaraan kalian." Sahutnya, "Aku senang sekali, kau bisa melihatku dan memberiku permen. Dan rupanya aku benar, penyihir benar-benar ada!"
Masih dengan ketakutan yang sama, aku berpikir tentang kebahagiaan sederhana itu, sebuah permen.
"Meninggal di malam halloween karena mencari permen benar-benar terdengar lucu ya? Ah, aku tidak akan memintamu memberikanku ribuan ton permen untukku," Jun masih tersenyum sambil melayang tak teratur, "Aku hanya ingin tempatku ini ditandai sebagai makamku, tolong ya?"
Aku mengangguk meski ketakutan setengah mati, meski sudah terlalu sering melihat arwah berkat ulah Kayato-Senpai, aku tetap saja takut jika melihat arwah berwujud mirip manusia, dan untungnya Jun tidak bersimbah darah atau kehilangan salah satu tubuhnya yang bisa saja membuatku pingsan detik ini juga.
"Senang bertemu denganmu, Piya." Jun tersenyum hangat, dan tatapannya itu sedikit menyiratkan penyesalan yang teramat dalam, "...Masa lalumu tidak begitu baik, ya? Ah, waktuku hampir habis. Sampai bertemu lagi tahun depan!"
Lelaki itu melayang mendekat, tangannya terulur ke arahku, namun belum sempat mendekat lagi, dirinya menghilang bersamaan dengan matahari tenggelam.
Bersamaan dengan itu pula, sebuah permen dengan bungkusan biru terjatuh dari sana.
*
VAMPIX-YANDA
Yanda dengan kostum penuh mutiaranya, membuatnya mendapat julukan Pearl Princess untuk malam ini. Memang sih, kostumnya bukanlah kostum terbaik, sebab banyak kostum lain yang lebih sederhana namun lebih enak dipandang daripada berkilauan setiap waktu saat ada sorot cahaya yang mengenainya, namun tak bisa dipungkiri pula bahwa Yanda terlihat amat sangat luar biasa.
Semuanya sudah berkumpul di gedung olahraga, meskipun penuh dengan hiasan labu yang menyala, cahaya yang minim dan lampu sorot dan hanya mengarah pada tribun teratas yang disulap menjadi panggung, beberapa orang telah berkumpul menunggu yang lain.
Saat ini masih sesi pendaftaran untuk kostum halloween terbaik, dengan kostum mutiaranya, tentu saja mustahil bagi Yanda untuk mengikutinya. Tapi, Yanda sendiri tak ambil pusing, dia memang tak berniat mengikuti lomba ini sekalipun dia mendapatkan kostum halloween.
Yanda mengecek dari sudut ke sudut, hingga akhirnya dia menemukan Vampix sedang dikerubungi oleh para gadis berpakaian pesta seperti dirinya, bahkan Yanda sempat bergidik saat melihat seseorang berkostum mermaid, mengesot hanya untuk mendekati sosok itu.
Vampix dengan sebelah penutup mata yang menutupi mata kanannya hanya bisa mengelus tengkuknya ragu, sebelum akhirnya dia melihat sosok Yanda yang menatapnya datar dengan senyuman mematikan yang membuat gadis-gadis itu betah melihatnya, namun penuh dengan kecurigaan yang sama, sehingga semuanya ikut menoleh ke arah yang sama dengan Vampix.
"Yanda, sini."
Yang dipanggil namanya pun mendekat, lalu memotong kerumunan tanpa izin. Selanjutnya, dia menatap satu-satu gadis itu dengan tatapan memusuhi.
"Maaf ya, Ladies, aku sudah janji dengan Yanda." Ucap Vampix yang membuat Yanda mengangkat sebelah alisnya dengan curiga. Sedikit banyak, Yanda dapat mendengar nada bangga di kalimat itu.
Gadis-gadis itu mengeluh, beberapa diantaranya sudah meninggalkan kerumunan, namun ada beberapa yang masih bersikukuh menunggu di sana.
"Tunggu apa lagi?" tanya Yanda dengan nada angkuh dan tajam, "Pergi, sana."
Sisa gadis-gadis itu menggerutu saat Yanda menjauhi tempat itu sambil membawa Vampix, Vampix hanya bisa tertawa dalam hati melihat tingkah Yanda.
"Kau cemburu ya? Manis sekali,"
Yanda melemparkan tatapan tajam, lalu menghempaskan tangan lelaki itu kuat-kuat. "Kau ini...belajarlah dari Tazu! Lihat dia, selalu menolak langsung sepertiku. Kalau kau diam-diam terus, mereka akan terus mengajakmu!"
Vampix tersenyum masam, "Duh, jangan bawa-bawa Tazu dong."
"Dan ngomong-ngomong soal cemburu, Kaito-San... caramu juga tidak beda jauh denganku."
"Lah, beda dong, yang mengerubungimu itu laki-laki semua," balasnya tak terima.
Yanda membalas tak terima juga, "Oh, jadi yang mengelilingimu tadi itu bukan perempuan semua, begitu?"
"Laki-laki lebih bahaya, Yanami-San."
Memang, jika keduanya sedang berdebat, keduanya akan saling memanggil nama mereka dengan embel '-San'.
"Pokoknya, kau harus belajar menolak ajakan mereka!" Yanda menekankan dengan sungguh-sungguh.
"Oke, sebagai gantinya..." Wajah Vampix mendekat ke Yanda, Yanda terlalu kaget sampai-sampai mundur selangkah karenanya, tapi Vampix ikut melangkah maju mendekatkan wajahnya ke wajah Yanda.
"A-a-apa?" Tanya gadis itu dengan gugup, "Kau..., tidak berencana menggigitku, kan?"
Vampix hampir saja tergelak saat melihat Yanda melindungi lehernya dengan tatapan bengis. Dia bahkan belum pernah merasakan darah gadis di depannya itu sekalipun. Kalau boleh jujur, darah Yanda akan terasa sangat manis karena Vampix memiliki rasa terhadapnya, tapi itu akan sangat sakit, kan?
Lagipula, Vampix bukan hidup bergantung dari darah, jadi dia tidak akan menggigitnya. Lebih baik mati saja daripada melakukan itu.
"Tiba-tiba Yanda takut, ya?" tanya Vampix setengah mengejek, dia menjauhkan jarak mereka. "Liburan musim dingin nanti, aku datang ke rumahmu ya? Boleh kan?"
Tubuh Yanda langsung menegang mendengarnya. "Da-datang ke rumah? Buat apa?"
"Tentu saja mau berkenalan dengan orangtuamu, Yanami-San." Jawabnya sambil mengacak rambut gadis itu. "Oh, kau punya kakak dan adik juga kan?"
Itu bukan ide yang bagus, bagi Yanda.
"Boleh ya?"
Yanda masih saja memikirkan jawabannya. Jangan sampai.
"Kalau kau tidak mengizinkan, aku akan menggigitmu."Ancamnya dengan nada bercanda. Vampix tahu benar kalau Yanda sangat takut dengan ancaman-
"Nih, nih, nih! Gigit saja!" Yanda menekankan tangannya ke pipi Vampix semakin kuat setiap sekali 'Nih'. "Jangan buru-buru ah, nanti Ayahku kira aku kenapa-napa lagi. Lain kali saja."
Vampix memelas menatapnya, sambil menjauhkan telapak tangannya dari pipinya, tentu saja. "Yaaahhh..."
Sebenarnya, aku lebih suka tak mengenalkanmu pada mereka, Vampix, pikir Yanda sambil menghela nafas, dan lebih baik kau tak pernah bertemu mereka.
*
TAZU-PIYA
Aku sudah meminta Stona untuk membuat satu nisan yang telah ditandai olehku sendiri tadi. Untunglah Stona langsung menyanggupinya di permintaan pertamaku.
Saat ini aku berada di atap asrama, semua labu dan pohon kering yang ada dibawah sana menyala bagaikan terkena cairan glow in the dark, bahkan dari kejauhan, aku bisa melihat bagaimana terangnya ujung bangunan sana—gedung olahraga—yang saat ini sedang mengadakan perlombaan kostum terbaik Halloween.
Aku memang mendapat kostum Halloween, tapi aku tak mengikuti lomba itu karena tidak berminat.
Biasanya aku takut sendirian malam-malam begini, tapi aku sengaja melakukannya saat ini, mungkin saja aku bisa bertemu dengan Jun lagi nanti? Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya.
...Masa lalu?
Aku berharap ini tak ada hubungannya dengan hilangnya ingatanku.
Suara langkah mendekat, membuatku menolehkan kepalaku ke arah suara itu. Laki-laki bersayap hitam dan seluruh pakaian yang hampir sepenuhnya hitam itu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, membuatku menoleh kembali ke depan dengan cepat.
Wahai pipi, berhentilah memanas!
Untunglah atap asrama tak terlalu terang, dan untunglah aku bisa mengontrol jantungku sebaik-baiknya, atau efek ramuan sialan itu membuatnya dapat mendengarkan detakan orang dengan tajam.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya begitu berdiri di sampingku.
"Aku baik-baik saja,"
Aku tahu, Tazu sedang menatap ke arahku, dan aku tahu bahwa dia tak berkedip sedikitpun, dan yang harus kulakukan adalah berpura-pura tak mengetahui semua itu atau aku bisa saja terbang sampai lapisan atmosfer terluar.
"...Kau tidak ke gedung olahraga? Pesta dansa-nya mungkin sudah dimulai,"
Tazu melipat kedua tangannya, menatapku datar, "Ayo?"
Aku menerjapkan mataku, apa itu sebuah ajakan?
"Biar sekalian,"
Pasti bukan.
"Oke," balasku sambil melangkah mendahului Tazu untuk menuruni tangga, tentu saja kami melewati tangga yang berbeda karena ada aturan yang mengatakan bahwa kami tak boleh mengunjungi asrama lawan jenis.
Yah, meskipun Kayaka dan aku sering melakukannya sih. Formalitas.
Saat sampai di bawah, kami berjalan bersama menuju gedung olahraga yang jaraknya lebih jauh dibandingkan dengan bangunan cadangan.
Diam-diam aku mensyukuri itu, jarak yang jauh itu.
Memangnya kapan lagi, bisa jalan lama-lama dengan Tazu?
Ah, iya... kalian tahu tidak sih?
Aku menyukainya,
Aku baru menyadari itu setelah sekian lama, bodoh sekali ya?
Tapi, mustahil saja dia menyukaiku kembali, dia terlalu sempurna untuk menjadi Pangeran berkuda putihku. Aku sudah sadar bahwa hidup selamanya tak berakhir sama seperti akhir yang membahagiakan di dongeng-dongeng.
Jadi...ya, begitulah. Biarkan semuanya tetap seperti ini saja dulu.
Langkahku terhenti saat aku samar-samar mendengar suara Jun dari kejauhan, "Terima kasih, Piya."
Aku berbalik ke belakang, sambil tersenyum.
"Piya, ayo," Tazu mengulurkan tangannya ke arahku, "Selagi suhu tanganku masih hangat."
Dan aku tahu, meraih tangan itu bukanlah pilihan yang salah.
***XTRA PART***
31 Oktober 2016, Senin.
A/N
Happy halloween, everybody!
Lol, jangan timpuk adek pake batu kalo moment mereka ancur yaa, lol.
Sebenarnya kemarin-kemarin ceritanya ga kayak gini, rasa-rasanya yang chapter hari itu hanya mengutamakan kedekatan pairing, itupun hanya Tazu-Piya sama Vampix-Yanda doang, beeh, boro-boro suka, geli sendiri saya bacanya.
But it's okay, yang ini udah lebih mendingan kok, meskipun saya buatnya cuman 3 hari (plus dimasa-masa uts yang bikin pusing itu).
1. Nah, kalian di team mana nih, setelah membaca satu scene semua pairing?
2. Cowok yang paling romantis siapaa?
3. Cowok yang paling gregetin siapaa?
4. Favorite Quotes di chapter inihh?
Info Xtra Part bakalan tetap di singgung di SKY ACADEMY (kalo ada). Nah, yang belum baca SKY Academy-nya, jangan lupa mampir yaa~
Cindyana
🍭🍬Happy Halloween🎃👻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top