Extra Part - Shinozaki Kayato
a/n: Didedikasikan kepada para pejuang Ujian Nasional tahun 2018, baik yang sudah selesai maupun yang akan berperang besok lusa. GOOD LUCK. Didedikasikan juga buat kalian, para pejuang yang muak dengan hari senin hehe.
Time setting: Sebelum fenomena menyerang Tokyo.
Piyorin's
Ada masanya di mana aku tidak ingin berada di antara Kayaka dan Kayato.
Erm, aku mengatakan hal ini dalam artian yang baik, sungguh. Memang, ada masanya aku merasa bahwa aku hanyalah pengganggu kecil yang tidak pantas berada di antara mereka.
Aku adalah anak tunggal dan mereka adalah sahabat baikku sejak kecil. Jika bertanya kapan tepatnya, aku tidak pernah ingat. Ibuku dan Ibu mereka adalah teman sejak mereka SMP dan masih berlanjut hingga hari ini.
Setiap aku mencurahkan isi hatiku pada Kayaka tentang keinginanku memiliki seorang saudara, dia akan menyemangatiku dengan mengatakan, "Aku dan Kak Kayato adalah saudaramu! Hehe. Kau bisa saja menjadi Shinozaki Piyorin kapan saja, kalau kau mau." Dan atau bila dia sedang bertengkar dengan Kayato, dia akan berkata, "Rin, percaya padaku. Punya Kakak sepertinya hanya akan membuatmu sakit kepala."
Lalu, setiap Kayaka mengatakan demikian, aku akan teringat dengan kejadian saat kami baru kelas 3 SD. Saat itu anak kelas 4 diwajibkan untuk mengikuti darmawisata dan wajib menginap sehari dan Kayato untuk pertama kalinya tidak tidur bersama Kayaka.
Malam itu, Kayaka menangis seolah Kayato telah mengatakan bahwa Kayaka bukan lagi adiknya. Omong-omong, kejadian yang satu itu juga pernah terjadi saat mereka bertengkar hebat. Rasanya, Kayaka selalu menangis jika itu menyangkut soal keluarganya (dan diam-diam aku harus menambahan jika itu menyangkut kakaknya, karena sebenarnya dia sangat menyayangi Kayato).
"Rin, kau mau coba?" tanya Kayato sambil menyerahkan stick playstation padaku.
Kayaka melirikku dari ujung matanya dan jempolnya yang sedaritadi lincah memainkan permainannya, menjeda sejenak.
"Ah ... kurasa aku akan menonton saja," balasku dari kasur Kayato.
Sudah hampir setengah jam sejak aku datang ke rumah mereka dan tiduran berguling-guling di kasur Kayato tanpa melakukan apapun. Eh, tunggu. Berguling-guling pun sudah melakukan sesuatu, kan?
Dan tidak perlu heboh soal tidur di kasur siapa dan membesar-besarkan perkara. Kayato juga pernah tiduran di kasurku saat kami baru lima tahun. Terkadang saat aku menjelaskan ini pada orang lain, mereka menatapku dengan tatapan aneh dan kaget, seolah-olah jika tiduran di kasur orang lain itu bisa membuat bumi meledak.
"Hm, oke, Rin. Asal kau jangan ketiduran saja seperti kemarin," balas Kayato enteng, lalu kembali melanjutkan game-nya. "Kan ayahmu kaget saat melihatmu dipapah aku dan Kayaka."
Aku masih ingat kejadian itu. Malam itu adalah malam sebelum aku hendak berkunjung ke rumah Nenek di Osaka. Pagi itu aku susah dibangunkan dan dua kakak adik ini pun akhirnya memapahku sampai ke rumah. Papa yang membuka pintu langsung kaget setengah mati dan langsung membangunkanku. Aku melihat jelas bagaimana ekspresi ketakutannya saat itu, dan sejak hari itu aku berjanji untuk tidak lagi membuatnya khawatir.
"Kau tahu apa yang akan terjadi nanti?" tanya Kayato tanpa sedikit pun berbalik ke belakang untuk melihatku. Tangannya masih menekan stick dengan kecepatan penuh dan matanya juga sepertinya masih fokus dengan layar.
"Apa?" tanyaku.
"Ayahmu akan meneleponku untuk memintamu pulang. Mungkin sebentar la—"
Trrrttt ... trrrtt ... Ponsel Kayato yang ada di nakas tempat tidur bergetar. Aku langsung mendekat ke sana untuk membawakan ponselnya pada pemiliknya. Namun saat kulihat Ayah yang menelepon, maka aku langsung mengangkatnya.
"Halo, Ayah?"
"Pulang. Kau sedang apa?"
Tidak perlu aku mendeskripsikan nada marahnya karena putrinya belum kembali jam 1 pagi, kan? Atau pertanyaan-pertanyaan curiganya soal hal yang kulakukan di sini?
"Sedang sama Kayaka dan Kayato, kok."
"Buka kamera, biar video call."
Aku yang tadinya masih malas-malasan di kasur Kayato pun langsung berdiri tegak ala prajurit, lalu berlari ke Kayato dan Kayaka yang sedang memainkan game mereka sebelum menyalakan kamera.
Mereka menjeda game mereka dan menatap ke arah kamera. Kayato yang lebih dulu bereaksi saat menatap muka garang Ayah.
"Oh! Hai, Ayah."
"Siapa yang kau panggil Ayah?" tanya Ayah sembari menatapnya kesal.
Kayaka dari samping ikut memanggil. "Ayah! Boleh kan, Rin menginap hari ini?" tanya Kayaka.
"Boleh, tapi setelah telepon mati, kalian langsung ti—hei, apa kalian sedang di kamar Kayato?"
"Iya, Ayah!" balas kami bertiga kompak.
"Kenapa masih main game jam segini?"
Ayah tahu bahwa kami bermain game di kamar Kayato dan beliau jelas tidak menyukainya. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya Kayato yang bisa mendapat ranking satu setiap semesternya dan membuat Bibi Izumi mau tak mau harus membelikan apa yang telah dijanjikannya. Tapi sejauh yang kuingat, Kayato hanya pernah meminta playstation ini dan itupun saat SMP 1, baru setahun sejak keberadaan playstation ini muncul dan membuat dua Shinozaki kecanduan dan tergila-gila dengan hal ini.
"Nanti Yato ajak belajar deh," ujar Kayato dengan nada bercanda.
Belajar dengan Kayato juga tidak membantu sama sekali. Aku ingat saat Kayaka pertama kalinya meminta Kayato mengajarinya matematika. Saat itu tugas kami terlalu banyak sampai kami berdua memutuskan untuk membagi tugas.
Kayaka sengaja memberikan bagianku yang mudah, dengan alasan karena dia bisa bertanya pada Kayato nanti. Lalu saat Kayaka memintanya mengajari, Kayato malah menatap soal sejenak, lalu mengatakan, "Yang ini jawabannya 74,6. Kalau yang ini jawabannya 229,31..."
Kurasa hanya dia, guru matematika dan Tuhan yang mengerti bagaimana cara ia mengerjakan dalam pikirannya.
"Langsung tidur lho!"
"Siap, Ayah!" seru Kayaka dan Kayato dengan kompak.
Kupikir Ayah akan langsung menutup telepon, rupanya pikiranku salah. Ayah menatap ke arah kamera agak lama, sebelum kembali membuka suara.
"Kayato, kau terlalu cepat seribu tahun untuk memanggilku Ayah," ucapnya.
"Tidak sampai seribu tahun, Ayah. Tepatnya terlalu cepat ..." Ucapan Kayato terhenti selama beberapa saat. "Rin, menurutmu kapan waktu yang tepat untuk menikah?"
Aku memiringkan kepala, "Hah?"
"Jangan bertanya yang aneh-aneh pada Rin! Langsung tidur setelah aku tutup teleponnya!"
"Siap." Kayato lagi yang menjawab.
Setelah Ayah menutup telepon, aku baru memberanikan diri bersuara untuk mengurangi rasa penasaran di kepalaku. "Kayato."
"Hm? Iya, Rin?"
"Memanggil Ayah itu maksudnya ..." Aku menjeda karena kurang yakin dengan yang kupikirkan. Melihat Kayato memberikan senyuman sumringah senang, aku menatapnya cemberut. "Memangnya Ayah akan menikah dengan Bibi Izumi? Jadi Ayah akan memiliki dua istri?"
Kayaka di sampingku entah mengapa menutup mulutnya dan menahan sesuatu. Beberapa saat kemudian, aku menyadari bahwa Kayaka sesungguhnya sedang menahan tawa.
"Bukan begitu," jawab Kayato dengan alis mengerut.
"Lalu?"
"Tidak ada apa-apa," balas Kayaka sembari bangkit dari duduknya, lalu mengalihkan pandangannya pada Kayato yang menatapku dalam seolah ingin menyampaikan sesuatu yang hebat. "Tidak ada kan, Kak?"
Kayato berdeham, lalu menepuk kepalaku pelan. "Aku menganggapmu sebagai adik yang manis. Kalau Kayaka, adik yang bawel."
"Hei, aku masih di sini," sahut Kayaka sambil mengembungkan sebelah pipinya.
Kayato tertawa pelan. "Iya, Yaka. Iya."
Ada kalanya aku tidak ingin berada di antara Kayaka dan Kayato.
Tapi, aku lebih sering merasa bahwa aku ingin bersama mereka berdua selamanya.
***
Senin, 30 April 2018
a/n
Hai! Ini hadiah yang aku janjikan beberapa hari yang lalu. Doakan segalanya diperlancar agar aku bisa memberi kalian hadiah lagi pada awal mei.
Iya, awal mei, besok <3
Jangan ada yang coba-coba tebak apa hadiahnya yaaa.
Sebenarnya aku punya banyak ekstra part pendek seperti ini, apa kalian ingin aku mempublishkannya satu persatu?
Oh ya ... dan ... Yang kapalin KayatoRin, mana suaranyaaa?!
Satu lagi, pair mana yang ingin kalian baca selanjutnya? (Tidak boleh Tazu Piya :p--aku belum nulis soalnya haha).
Aku lagi seneng, soalnya. Jadi, kalian juga harus seneng dong.
See you tomorrow~
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top