06: Looming Death

Angin malam berembus lebih dingin dari biasanya. Langit yang tadinya cerah perlahan tertutup awan kelam, seolah alam merasakan firasat buruk yang mulai menyelimuti udara.

Rune berdiri di luar rumah, menatap gelapnya hutan. Sejak malam ketika ia menyadari perasaannya terhadap Hiva, ia tak bisa benar-benar tenang. Hatinya dipenuhi dilema-ia ingin menjauh, tetapi kaki dan hatinya selalu kembali ke tempat ini, ke gadis yang telah membawa cahaya dalam hidupnya yang kelam.

Namun, malam ini, sesuatu terasa berbeda. Udara dipenuhi dengan getaran sihir yang familiar, namun tidak berasal darinya. Rune menyipitkan mata, indranya waspada. Lalu ia merasakannya-sebuah energi gelap yang mendekat dengan cepat.

"Mereka datang."

***

Hiva terbangun karena suara ledakan. Ia tersentak, jantungnya berdegup kencang saat melihat cahaya merah menyala dari jendela kecil gubuknya.

"Rune?" panggilnya dengan suara serak.

Namun, sebelum ia bisa turun dari tempat tidur, pintu rumahnya terbuka dengan kasar.

"Hiva, tetap di dalam," suara Rune terdengar dingin dan tajam.

Hiva mendekat, dan matanya melebar saat melihat sosok Rune berdiri di ambang pintu, dikelilingi oleh kabut sihir yang berpendar. Mata merahnya menyala dalam kegelapan, wajahnya dipenuhi kewaspadaan.

Lalu, dari balik bahunya, Hiva melihatnya-sosok-sosok berpakaian hitam, menyelinap dari balik pepohonan, mata mereka berkilat dengan niat membunuh. Para pemburu kerajaan.

"Mereka menemukan kita," desis Rune.

Hiva menelan ludah. "Siapa mereka?"

Rune tidak menjawab, tetapi saat salah satu dari mereka melangkah maju, Hiva merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Sang penyihir buronan." Pria bertopeng di depan berbicara dengan nada penuh kebencian. "Kau membuat kami kesulitan, Rune."

Rune mendengus, matanya dipenuhi rasa muak. "Kalian tidak pernah belajar, ya?"

Pria itu tersenyum miring. "Kami tidak perlu belajar. Kami hanya perlu menghabisimu."
Secepat kilat, pria itu mengangkat tangannya, dan seberkas cahaya biru melesat ke arah Rune.

Hiva menjerit. Namun, sebelum sihir itu menyentuhnya, Rune sudah mengangkat tangannya. Sebuah perisai hitam muncul di sekelilingnya, memantulkan serangan itu dengan mudah.

"Kalian benar-benar menyebalkan," gumam Rune sebelum mengayunkan tangannya ke depan.

Ledakan sihir melesat dari telapak tangannya, menciptakan badai energi yang mengguncang tanah. Para pemburu terpental, beberapa dari mereka menabrak pohon dan jatuh tak sadarkan diri. Namun, mereka tidak menyerah.

Dari bayangan, lebih banyak sosok bermunculan, mengelilingi rumah kecil itu dengan formasi sempurna. Rune mengutuk dalam hati. Ia bisa mengalahkan mereka, tetapi tidak jika harus melindungi Hiva di saat yang sama.

"Hiva," Rune berbisik, matanya tak lepas dari para pemburu. "Dengar aku. Jika sesuatu terjadi, larilah."

Hiva menatapnya dengan mata melebar. "Aku tidak akan meninggalkanmu."

Rune menggertakkan giginya. "Jangan membantah."

Namun, Hiva tidak bergeming. "Kalau kau bertarung, aku akan bertahan di sini bersamamu."

Rune ingin berteriak. Gadis ini terlalu keras kepala. Terlalu baik. Dan itulah yang membuatnya dalam bahaya.

***

Pertarungan pecah dengan cepat. Rune melesat ke depan, menghadapi para pemburu dengan sihirnya. Bayangan hitam berputar di sekelilingnya, menciptakan pusaran energi yang menghancurkan tanah di bawahnya.

Hiva hanya bisa menyaksikan dari balik pintu, jantungnya berdegup kencang saat melihat betapa kuatnya Rune. Setiap gerakannya tajam, presisi, seolah ia telah bertarung sepanjang hidupnya. Sihir berwarna merah milik Rune serta milik para penyihir kerajaan meledak di udara malam yang dingin itu.

Namun, saat salah satu pemburu berhasil menerobos pertahanannya dan menyerang dari belakang, Rune terlambat bereaksi. Hiva melihatnya. Tanpa berpikir, ia berlari.

"Rune, AWAS!"

Rune berbalik tepat ketika Hiva mendorongnya ke samping. Sebuah bilah belati tajam hampir saja mengenai Rune, tetapi malah menyerempet lengan Hiva.

"Hiva!" Rune menangkapnya sebelum gadis itu jatuh ke tanah.

Darah mengalir dari luka di lengannya, membasahi pakaiannya. Hiva menggigit bibir, menahan rasa sakit. Rune membeku, kilasan masa lalu seperti berputar. Sesuatu dalam dirinya bergemuruh. Napasnya tersengal, bukan karena pertarungan, tetapi karena kesadaran mengerikan yang baru saja menghantamnya.

Darah ... luka Hiva ... kutukan itu mulai bekerja.

***

Para pemburu mundur setelah mendapat perintah dari pimpinan mereka. Sebagian dari mereka juga sudah terluka parah. Peringatan kecil itu mungkin mereka anggap sebagai awal dari penyerangan.

Kepergian para pemburu kerajaan menciptakan keheningan, tetapi Rune tidak bisa merasa lega. Ia duduk di dalam gubuk, membalut luka Hiva dengan tangan gemetar. Hiva menatapnya, menyadari ada sesuatu yang berbeda pada diri Rune.

"Kau baik-baik saja?" tanya Hiva pelan.
Rune tidak menjawab. Ia menatap luka di lengan Hiva, lalu menatap jemarinya sendiri-jemari yang telah bersimbah darah orang-orang yang ia cintai sebelumnya.

Ia merasakan sesuatu yang tidak bisa ia hentikan. Ketakutan.

Hiva hampir mati tadi. Bukan karena para pemburu, tapi karena dirinya. Rune mengepalkan tangan. Ia harus pergi. Ia harus menjauh sebelum kutukan ini mengambil Hiva darinya. Namun, saat ia menoleh ke arah Hiva, gadis itu tersenyum kecil.

"Jangan lihat aku seperti itu," ucapnya lembut. "Aku baik-baik saja."

Rune ingin berteriak. Hiva tidak mengerti. Gadis itu tidak tahu bahwa semakin lama mereka bersama, semakin dekat takdir kejam itu menghampiri. Tapi Hiva tetap tersenyum. Tetap menatapnya dengan mata penuh keyakinan. Tetap peduli padanya.

Malam itu, saat Hiva tertidur setelah kelelahan, Rune duduk di dekat jendela, menatap langit dengan ekspresi gelap. Ia harus melakukan sesuatu, sebelum semuanya terlambat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top