04: Light and Darkness
Sore itu, cahaya matahari merambat turun melalui celah dedaunan, menari di atas tanah yang beralaskan rumput. Di sudut belakang gubuk kecil, Hiva berjongkok, tangannya sibuk menuangkan susu ke dalam mangkuk kayu.
Di sekelilingnya, beberapa ekor kucing liar berkumpul, ekor-ekor mereka melambai dengan penuh semangat. Ada yang berwarna abu-abu dengan corak belang di punggungnya, ada yang putih bersih, dan ada pula yang berbulu oranye kusut, tampak seperti pemimpin kecil dari kawanan itu.
Hiva tertawa kecil saat salah satu kucing yang paling kecil berusaha naik ke pangkuannya, mengeong pelan.
“Ayo, makanlah dengan tenang,” ucapnya lembut sambil mengelus kepala kucing itu.
Dari kejauhan, Rune bersandar di batang pohon, memperhatikan pemandangan itu dalam diam.
Matanya menyipit sedikit, bukan karena sinar matahari, tetapi karena sesuatu yang lain—sesuatu yang terasa asing namun tidak menyakitkan.
Senyum tipis muncul di wajahnya tanpa ia sadari. Hiva selalu seperti ini. Selalu peduli pada hal-hal kecil, bahkan pada makhluk yang sering diabaikan oleh dunia.
Kucing-kucing liar itu bukan peliharaan. Mereka tidak memiliki rumah, sama seperti dirinya yang telah lama menjadi pelarian tanpa tempat berpulang. Namun, bagi Hiva, mereka tetap pantas menerima kebaikan, tetap pantas mendapatkan kehangatan.
Dan itu mengingatkannya pada sesuatu yang selama ini berusaha ia lupakan—perasaan memiliki tempat untuk kembali.
Gadis berambut cokelat itu tiba-tiba menoleh dan menemukan Rune berdiri di sana. Ia tersenyum. “Apa kau mau memberi mereka makan juga?” tanyanya ceria.
Rune mendengus pelan, berjalan mendekat dengan langkah malas. “Aku tidak pandai berurusan dengan makhluk kecil yang berkaki empat.”
Hiva terkikik. “Tapi mereka menyukaimu.”
Saat Rune berhenti di dekatnya, salah satu kucing—yang berbulu oranye dan tampak paling berani—mendekatinya, menatapnya dengan mata kuning tajam.
Rune menatap balik dengan ekspresi datar. “Apa?”
Kucing itu mengeong, lalu tanpa ragu melompat naik ke kakinya.
Hiva tertawa. “Sepertinya kau sudah punya penggemar.”
Rune mendesah pelan, tetapi tidak menepis kucing itu. Tangannya terangkat sedikit, lalu dengan gerakan canggung, ia mengusap kepala si kucing dengan ujung jarinya.
Hiva memperhatikannya dengan mata berbinar. Entah kenapa, melihat Rune dalam momen kecil seperti ini—tanpa ketegangan, tanpa bayang-bayang kutukan—membuat dadanya terasa hangat.
Rune menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke langit. “Kenapa kau selalu melakukan ini?” tanyanya pelan.
Hiva menatapnya dengan bingung. “Melakukan apa?”
Rune kembali menatapnya, mata merahnya menyala lembut di bawah sinar matahari yang hampir terbenam. “Membawa cahaya ke tempat-tempat yang bahkan tidak memintanya.”
Hiva terdiam. Untuk pertama kalinya, Rune mengungkapkan sesuatu yang selama ini hanya ia pikirkan dalam diam. Bahwa di matanya, Hiva bukan hanya gadis biasa.
Dia adalah sesuatu yang lebih dari itu. Sebuah cahaya kecil yang membawa kehangatan ke dalam hidupnya yang beku.
Hiva tersenyum kecil, lalu dengan tenang menjawab, “Karena setiap tempat pasti membutuhkan sedikit cahaya, bukan?”
Rune menatapnya dalam diam. Dan tanpa sadar, hatinya kembali berbisik satu hal yang selalu ia tolak untuk akui, bahwa Hiva benar-benar terlihat seperti malaikat.
***
Malam telah turun ketika Hiva berjalan pulang dari desa seberang, keranjang rotinya kosong setelah berhasil menjual semuanya. Udara dingin menyelinap melalui kain lusuhnya, namun hatinya hangat membayangkan kehangatan perapian di rumah kecilnya.
Namun, langkahnya terhenti ketika bayangan gelap muncul di ujung jalan setapak. Tiga orang pria berdiri menghadangnya, pakaian mereka kotor dan lusuh, dengan mata penuh kelicikan yang mengawasi Hiva seperti seekor serigala melihat mangsanya.
“Lihat siapa yang berjalan sendirian di malam begini,” salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan luka di pipinya, berbicara sambil menyeringai.
Hiva mundur selangkah, jantungnya berdegup kencang. “Aku tidak punya apa-apa yang berharga,” katanya, berusaha terdengar tegar meskipun tangannya mulai gemetar.
Pria lain, yang lebih kurus dan memiliki pisau kecil di tangannya, tertawa rendah. “Kalau begitu, mungkin kami bisa mengambil sesuatu yang lain ...."
Mereka melangkah lebih dekat. Hiva menahan napas, mencari celah untuk melarikan diri. Namun, sebelum ia bisa bergerak, angin dingin tiba-tiba berembus kencang, membuat dedaunan berguguran di sekeliling mereka.
Kemudian, sebuah suara langkah ringan terdengar di belakang mereka.
“Sepertinya aku datang di waktu yang tepat.” Suara itu dalam dan tenang, tetapi ada bahaya yang tersembunyi di baliknya.
Para perampok menoleh dengan gerakan cepat, dan di sanalah dia—Rune, berdiri di bawah cahaya bulan, jubahnya berkibar oleh angin malam. Mata merahnya bersinar tajam seperti bara api di kegelapan.
Hening sejenak. Pria bertubuh besar itu menyipitkan mata. “Siapa kau?”
Rune tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat dengan langkah malas, seolah mereka bukan ancaman yang berarti.
Salah satu perampok, mungkin merasa terancam oleh sikap santai Rune, mengayunkan pisaunya ke arahnya.
Tetapi sebelum pisaunya bisa menyentuh udara, tubuhnya sudah melayang ke belakang dengan keras, menabrak batang pohon.
Hiva terkejut. Ia tidak melihat Rune bergerak—hanya angin dingin yang tiba-tiba bertiup, dan pria itu sudah terlempar begitu saja.
Rune mendekat, ekspresinya datar. “Aku akan memberimu satu kesempatan,” katanya pelan, nada suaranya berbahaya. “Pergi. Sekarang.”
Dua pria yang tersisa saling pandang, keringat mulai mengalir di pelipis mereka. Namun, pria bertubuh besar masih mencoba melawan. Ia menarik belati dari pinggangnya dan berlari ke arah Rune.
Tapi dalam sekejap, Rune mengangkat satu jari dan menggumamkan mantra singkat. Angin kembali berembus, tetapi kali ini lebih dingin, lebih tajam.
Tiba-tiba, tanah di sekitar pria itu membeku, es menjalar cepat di kakinya, mengunci tubuhnya di tempat.
Pria itu berteriak ketakutan, tetapi Rune hanya menatapnya tanpa emosi.
“Jika kau menyentuhnya lagi ....” Rune berbisik, “Aku tidak akan sebaik ini lain kali.”
Dingin yang mengelilinginya semakin kuat, hampir seolah akan menelannya hidup-hidup.
Perampok kurus yang tersisa sudah gemetar ketakutan. Ia langsung berbalik dan melarikan diri tanpa menoleh ke belakang.
Rune akhirnya menurunkan tangannya, dan es yang membekukan pria bertubuh besar mulai mencair, membebaskannya.
Tanpa membuang waktu, pria itu juga melarikan diri, tersandung beberapa kali sebelum akhirnya menghilang ke dalam kegelapan. Hening menyelimuti jalan setapak itu.
Hiva masih berdiri di tempatnya, jantungnya berdetak kencang. Rune menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu.
“Apa kau baik-baik saja?” Suaranya lebih lembut kali ini.
Hiva menelan ludah, lalu mengangguk perlahan. “Ya ... terima kasih, Rune.”
Rune mendesah pelan, berjalan mendekatinya. “Sudah kubilang, jangan pulang terlalu malam.”
Nada suaranya terdengar seperti teguran, tetapi ada sesuatu yang lain di baliknya—sesuatu yang membuat dada Hiva terasa hangat.
Rune menatapnya sebentar, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepas jubahnya dan menyampirkannya ke bahu Hiva.
Si gadis terkejut, tetapi Rune hanya menatap lurus ke depan. “Ayo pulang.”
Hiva tersenyum kecil, mengeratkan jubah itu di tubuhnya, dan mengikuti langkah Rune di bawah cahaya bulan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top