02: Hidden Secret
Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kecil gubuk, menyoroti ruangan sederhana yang kini terasa lebih sesak sejak kehadiran Rune. Hiva berdiri di sudut, memperhatikan pemuda itu yang masih duduk di ranjang dengan ekspresi datar.
Luka-lukanya yang kemarin begitu parah, kini telah mengering, bahkan nyaris sembuh.
Hiva menggigit bibirnya. Itu tidak masuk akal. Luka seperti itu seharusnya membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk pulih, tetapi dalam semalam saja, Rune sudah bisa berdiri meski sedikit goyah.
"Kau ... bagaimana bisa sembuh secepat itu?" tanyanya akhirnya.
Rune menoleh, mata merahnya berkilat tajam seakan menilai Hiva. “Kau terlalu banyak bertanya.”
Hiva mendesah. “Tentu saja aku bertanya. Ini tidak normal.”
Rune tidak menjawab, hanya menutup matanya seolah tidak ingin diganggu. Hiva mendengus, merasa frustasi dengan sikap dinginnya. Pemuda itu memang selalu bersikap ketus, dingin dan cuek kepadanya.
***
Seiring hari berlalu, Hiva mulai memperhatikan lebih banyak hal aneh tentang Rune. Selain luka-lukanya yang pulih dengan kecepatan luar biasa, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Suatu malam, Hiva terbangun mendengar suara aneh. Ia menoleh dan melihat Rune duduk di lantai, bersandar di dinding dengan napas terengah-engah. Keringat membasahi dahinya, dan tubuhnya bergetar hebat. Mata merahnya seakan menyala, namun penuh kekosongan.
"Rune?" Hiva mendekatinya dengan hati-hati. "Apa kau baik-baik saja?"
Rune tidak menjawab. Ia menundukkan kepala, rambut putihnya yang berantakan jatuh menutupi wajahnya. Namun, Hiva bisa melihat kilatan cahaya samar di udara, berpendar di sekeliling tubuhnya.
Energi.
Hiva mundur selangkah, merasakan hawa panas yang perlahan menyelimuti ruangan. Lilin-lilin di meja berkedip tak menentu, lalu tiba-tiba api mereka membesar, menyala seperti kobaran liar.
"Rune!" Hiva berlutut di sampingnya, menggenggam lengannya tanpa sadar. Kulitnya terasa lebih panas dari biasanya, seolah demam tinggi.
Rune membuka mata, dan seketika Hiva terperangah. Mata merah itu bersinar, bukan seperti manusia—melainkan seperti api yang membara dalam kegelapan.
“Hiva ... pergi,” suara Rune terdengar serak, nyaris seperti bisikan.
“Tapi kau—”
“PERGI!”
Hiva tersentak ketika tiba-tiba angin kencang meledak di dalam ruangan, seakan menciptakan badai kecil di dalam gubuk.
Kursi-kursi terlempar, pintu berderak keras, dan api di lilin membesar, hampir menjilat langit-langit.
Hiva tahu ia harus melarikan diri. Tapi alih-alih kabur, ia justru meraih bahu Rune dan mengguncangnya. “Rune! Kau harus tenang!” serunya. Si gadis menatap khawatir, tanpa takut sedikitpun ia mengenggam erat tangan pemuda itu, berusaha memberikannya ketenangan.
Rune tampak berjuang menahan sesuatu dalam dirinya. Napasnya memburu, tangannya mencengkeram lantai kayu hingga retak. Namun, setelah beberapa saat, perlahan-lahan, energi di sekelilingnya mulai mereda. Api lilin kembali normal, angin berhenti berputar, dan tubuh Rune akhirnya merosot lemas ke lantai.
Hiva menelan ludah. Apa yang baru saja terjadi?
Rune, dengan napas masih terengah, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku sudah bilang ... pergi ....”
Hiva menggeleng, masih berusaha memahami semuanya. "Apa yang baru saja terjadi?"
Rune mengalihkan pandangannya, seolah tak ingin menjawab. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berucap dengan nada rendah, “Sekarang kau tahu ... aku bukan manusia biasa.”
Hiva menggigit bibirnya. Ia memang sudah menebaknya, tapi melihat sendiri betapa mengerikannya kekuatan Rune saat tak terkendali membuat hatinya mencelos. Bukannya takut akan hal itu, ia justru merasa ingin melindungi Rune jika pemuda itu dalam keadaan yang sama lagi.
Rune menarik napas panjang sebelum menatapnya lagi. “Aku berbahaya, Hiva.”
Hiva menatap pemuda itu lama. Ia tahu Rune sedang berusaha membuatnya takut, berusaha menjaga jarak. Tapi, entah mengapa, hatinya berkata bahwa ia tidak ingin pergi. Ia ingin tetap di sini, menjaga Rune.
“Aku tidak peduli,” ujar Hiva akhirnya. “Aku sudah menolongmu, jadi kau adalah tanggung jawabku sekarang. Aku akan menjagamu.”
Rune menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Lebih ke sebuah perasaan tak percaya. Kemudian, ia menunduk, menghela napas panjang, sebelum akhirnya berbisik pelan—nyaris tidak terdengar.
“Kau akan menyesalinya.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top