01: Destiny Game
Rintik hujan baru saja reda ketika Hiva menyusuri hutan dengan keranjang kosong di tangannya. Ia baru saja menjual roti di desa terdekat dan memutuskan mengambil jalan pintas melewati pepohonan lebat. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu tergeletak di antara akar pohon besar—sesosok tubuh pria muda.
Hiva terkejut. Pemuda itu terluka parah, tubuhnya bersimbah darah dan luka di bahunya tampak membara dengan cahaya samar keunguan, seperti bukan luka biasa. Sesuatu di dalam dirinya berkata untuk pergi, untuk tidak terlibat dalam sesuatu yang berbahaya. Namun, hati kecilnya menolak.
Dengan ragu, si gadis berlutut dan menyentuh lengan pemuda itu. "Hei, apa kau masih hidup?" tanyanya dengan pelan.
Kelopak mata pemuda itu sedikit terbuka, memperlihatkan sepasang mata merah yang berkilat seperti darah. Pandangannya tajam meskipun dipenuhi rasa sakit.
"Pergi ..." Suaranya serak dan lemah.
Hiva mengerutkan kening. "Aku tak bisa meninggalkanmu di sini."
Tanpa memperdulikan protes samar yang keluar dari bibir pemuda itu, Hiva berusaha menopangnya. Meski tubuhnya terasa berat dan dingin, ia tetap bersikeras menyeretnya menuju rumah kecilnya yang tidak jauh dari sana.
Sesampainya di gubuk, Hiva membersihkan luka-luka pemuda itu dengan air hangat. Saat jari-jarinya menyentuh bekas luka yang bercahaya, sebuah energi aneh menjalar di kulitnya, membuatnya menggigil sesaat. Luka itu bukan sekadar luka biasa—ini luka sihir.
Malam itu, si gadis duduk di samping tempat tidur sederhana tempat si pemuda terbaring, maniknya memperhatikan pemuda asing yang masih tak sadarkan diri. Rambut peraknya yang berkilau di bawah cahaya bulan dan wajah tenangnya ketika tertidur itu.
Siapa dia? Apa yang membuatnya terluka seperti ini? Hiva tak tahu bahwa keputusannya untuk menolong orang asing di malam itu akan mengubah hidupnya selamanya.
***
Keesokan paginya, suara gerakan halus membuat Hiva terbangun. Saat ia menoleh, pemuda itu sudah terduduk di tepi tempat tidur, matanya yang berwarna merah menatapnya dengan tajam.
"Siapa kau?" Suaranya dingin, penuh kewaspadaan.
Hiva mengangkat kedua tangannya, mencoba menunjukkan bahwa ia bukan ancaman. "Aku Hiva. Aku menemukanmu di hutan, kau terluka parah, jadi aku membawamu kemari."
Pemuda itu diam beberapa saat, sebelum akhirnya bergumam, "Bodoh."
Hiva mengerutkan keningnya. "Apa?"
"Kau bodoh karena menolong orang yang bahkan tak kau kenal," jawab pemuda itu, nada suaranya ketus. Ia bahkan tampak menjaga jaraknya dari Hiva.
Hiva mendengus pelan. "Dan kau bahkan tak tahu bagaimana caranya berterima kasih."
Pemuda itu hanya menatapnya tanpa ekspresi, lalu mencoba berdiri. Namun, sesaat setelah ia melangkah, tubuhnya oleng, hampir jatuh. Dengan sigap, Hiva menahan lengannya.
"Hei! Kau belum sembuh!"
Pemuda itu mendecak, tetapi kali ini ia tidak menolak bantuan Hiva. Ia menatap tubuhnya yang hampir seluruhnya di perban. "Apakah ini tidak terlalu berlebihan?" tanyanya dengan nada melemah.
"Tidak." Hiva tertawa kecil kemudian bangkit dan tampak menatapnya dengan teliti. "Siapa namamu, Mata Merah?" tanya Hiva.
Ia menatapnya sejenak, ada sedikit keraguan di balik manik merahnya. "Rune."
Hiva menatapnya lekat. Nama itu terdengar asing, tapi juga familiar. Lalu, ia ingat sesuatu—sebuah pengumuman kerajaan yang pernah ia dengar di desa beberapa hari yang lalu.
Rune ... adalah nama seorang penyihir buronan yang sedang diburu oleh Kerajaan Gelidorn. Hiva menahan napasnya untuk beberapa saat, tersadar akan sesuatu. Ia baru saja menolong seorang pemuda yang dicari-cari oleh seluruh negeri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top