Someone Worthy

Sudah nyaris pukul tiga malam di apartemen Sani ketika tangis Reyna mereda.

Sorry, San kalo gue …” kata Reyna. Walaupun ia sudah berada dalam dekapan Sani, tapi dia masih menahan tangisnya. Reyna masih berusaha tegar walaupun air mata tidak sanggup dia tahan untuk tidak keluar.

“Ngga usah minta maaf,” jawab Sani. Mereka berpelukan entah sudah berapa lama. Mereka tenggelam cukup lama sehingga mereka tidak menyadari waktu yang sudah berlalu.

"I should've told you ... tapi mulut gue tiba-tiba kaku kalo mau ceritain masalah gue sama bokap. Gue juga ngga ngert-"

"Rey ... gue ngerti. Udah ya, di sini lo aman," kata Sani sambil mengusap-usap bahu Reyna. Ada rasa nyaman yang luar biasa menjalar di seluruh tubuh Reyna. Bertahun-tahun Reyna hanya memiliki mamanya untuk berkeluh kesah tentang papanya. Tiap kali Reyna bercerita, hanya nasehat untuk menjadi anak yang lebih baik lah yang mamanya berikan.

Papa keras dan kasar pada Reyna karena Reyna tidak menjadi anak yang baik. Itu yang membekas di hati Reyna. Tumbuh dengan pemahaman seperti itu, tidak mudah bagi Reyna untuk menentang papanya meskipun setelah dewasa ia tahu bahwa yang ia pahami itu tidak benar.

Kadang logika sulit diikuti saat satu hal sudah begitu wajar dan terbiasa.

“Besok lo ke rumah bunda ya? Tinggal sama bokap nyokap gue dulu. Ngga apa-apa kan?” tanya Sani. Setelah dipikir-pikir, mungkin Reyna tidak sepenuhnya aman juga kalau tinggal bersamanya.

“Bonyok lo ngga apa-apa emang?” Reyna mengadah tanpa melepaskan pelukannya.

“Ya daripada tinggal sama gue, lebih resah lagi lah mereka. Mau gue apain nanti ini anak orang?”

“Hahahaa … bener juga lo," kata Reyna sambil mengingat wajah ayah dan bunda Sani. Akhirnya keluar juga tawa dari mulut Reyna. Sani pun merasa lebih lega.

"Eh, lo tidur gih. Gue biar tidur di sofa,” Reyna menepuk dada Sani dan menyudahi pelukan mereka.

“Gue aja yang di sofa, Nyet.”

“Udah ngga usah sok gentle. Badan gue lebih kecil, lebih muat buat tidur di sini,” kata Reyna sambil menepuk sofa Sani.

“Udah jam tiga, Rey. Kalo gue tidur sekarang bisa kebablasan ngga solat Subuh,” jawab Sani sambil memandang jam dinding di atas TV-nya.

“Oh iya juga ya …” Reyna pun mengangguk-angguk.

“Lo temenin gue ngobrol sini biar ngga ngantuk. Nanti abis Subuh kita tidur. Gimana?”

“Oke, gue ngikut kata tuan rumah aja deh,” kata Reyna nyengir. Sani langsung menepuk dahi Reyna.

“Ngga usah sok imut,” kata Sani sambil tersenyum jahil.

“Siapa yang sok imut deh, heran gue …”

“Bikinin teh anget dong, Rey. Gulanya yang banyak,” kata Sani mulai bergaya majikan.

“Kok gue jadi dibabuin sih, San?” Reyna protes.

“Ya kan gue tuan rumah, lo babu rumah-nya lah.”

“Sialan lo!”

“Kalo ngga mau jadi babu, jadi istri. Pilih mana?” kata Sani jahil. Jahil untung-untungan sih tepatnya. Siapa tahu Reyna kesambet dan menjawab mau jadi istrinya. Kan lumayan, dari acara mengungsi jadi acara melamar. Tapi tidak, Reyna langsung berdiri cemberut dan menuju dapur.

“Lo tuh sibuk banget ya, San di Singapur kemaren?” tanya Reyna dari dapur.

“Lumayan. Jadwal training-nya padet banget, Nyet,” Jawab Sani sambil meregangkan tubuhnya yang lelah. Sani lalu mengingat kembali ada panggilan tak terjawab dari Reyna saat dia berada di sana, “Waktu itu lo nelepon gue?”

“Iya …” kata Reyna singkat.

“Mau ngomongin soal bokap lo?” tebak Sani.

“Hmm …” jawab Reyna tidak jelas.

Untung sekarang dia di dapur dan tidak berhadapan dengan Sani. Kalau tidak, dia tidak tahu bagaimana menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah sangat merah karena terasa sangat panas saat itu.

Mana mungkin Reyna mengatakan bahwa di sela-sela pertengkarannya dengan Papanya, Reyna sangat merindukan kehadiran Sani. Tidak adanya Sani di hidupnya selama seminggu kemarin ternyata membuatnya sadar bahwa Sani adalah satu-satunya orang yang biasa membuat pikirannya teralih dan emosinya terlampiaskan setiap kali Reyna sedang berada dalam masalah.

“Nih,” Reyna akhirnya meletakkan dua mug berisi teh manis hangat di meja depan sofa. Sani langsung mengambil salah satunya.

By the way, siapa tuh yang di sebelah lo di postingan lo?” tanya Sani, tiba-tiba dia teringat akan sosok laki-laki perangkul tidak dikenal yang mengganggu pikirannya kemarin-kemarin.

“Hah? Fajri?” tanya Reyna.

“Ya mana gue tau …”

“Postingan gue yang terakhir bukan?”

“Iya yang itu.”

Manager gue yang baru,” jawab Reyna singkat.

"Yang lama kemana?"

"Pindah. Better opportunity."

“Hoo ... Sok akrab ya dia,” kata Sani bernada tidak suka.

"Siapa? Manager gue yang baru?"

"Iya."

Jealous?

“Biasa aja.” Sani menyeruput tehnya sementara Reyna terkekeh.

“Anaknya emang sok akrab sih, tapi pinter,” jawab Reyna, “Lagian sok akraban junior lo kali,” lanjut Reyna.

“Hah? Siapa?”

“Itu, si cewe gemes kalo kata Aldo,” jawab Reyna.

“Oh, si Elsa,” kata Sani dan mereka berdua pun tertawa. Aldo memang kelihatan sangat menyukai anak itu.

“Dia dateng ke kafe tuh, nanyain elo. Katanya dia nyoba ngehubungin lo tapi ngga lo respon.”

“Iya dia nge-chat gue, tapi ngga gue bales.”

“Kenapa?”

“Males. Lagian aneh. Nge-chat bukannya ngomongin kerjaan malah cuma buat nanya gue lagi apa. Apa urusannya ama dia coba kan?” kata Sani. Reyna menahan geli karena tumpulnya insting Sani.

“Kalo ngomongin kerjaan bakal lo bales?” balas Reyna.

“Kalo penting bales lah. Kenapa? ... jealous?” tanya Sani serius.

“Biasa aja …” Jawab Reyna asal, tidak sadar kalau balasannya mirip dengan Sani tadi.

"Gue ngga ngerti sama dia. Anaknya pinter tuh padahal, tapi kok gue ngerasa beban kerja gue nambah pas se-team ama dia," keluh Sani.

"Nambah gimana?" Tanya Reyna bingung.

"Ya dia kerjanya kadang bisa lambat banget sampe-sampe gue harus nungguin dia lembur. Terus dikit-dikit ke tempat gue nanya kerjaannya udah bener atau belum. Capek kan lama-lama, masa harus gue dikte step by step?"

Reyna mendesah. Sani benar-benar deh, tumpul banget soal perasaan perempuan.

Tapi kini Reyna jadi semakin menyadari besarnya perasaan Sani padanya. Sani yang sebegini tidak pekanya pada orang lain, malah menjadi teman paling perhatian bagi Reyna. Jadi orang yang paling pertama tahu saat Reyna senang maupun sedih.

Reyna menyenderkan kepalanya ke bahu Sani sambil tidak berhenti membatin, kita ini apa sih, San? Gue juga kenapa jadi gini sih sejak tau perasaan lo ke gue?

Rey, did you even miss me? tanya Sani tiba-tiba, mengejutkan Reyna yang baru saja mempertanyakan perasaannya tentang Sani.

“Mau banget dikangenin gue?” goda Reyna yang sudah bersender nyaman di bahu Sani.

“Mau,” kata Sani berterus terang, jauh di luar dugaan Reyna. Reyna spontan tertawa karena kejujuran itu.

“Kangen banget gue sama lo, San. Sampe nekat nelpon padahal ngga tau mau ngomongin apa,” jawab Reyna yang juga memutuskan jujur. Sedikit demi sedikit Sani makin memahami pola berinteraksi dengan Reyna. Kalau ingin Reyna melakukan apa yang dia mau, Sani harus melakukannya lebih dulu. Kalau mau Reyna jujur, Sani harus jujur lebih dulu.

“Lo nelpon bukannya mau cerita bokap lo?” tanya Sani. Reyna langsung menegakkan posisi duduknya dan menghadap Sani.

“Yaa ... gue berhadapan langsung depan muka lo aja masih ngga bisa cerita gitu aja soal bokap ... apalagi kalo ditelepon kan?”

Sani tidak dapat membendung senyumnya mendengar pengakuan Reyna.

“Hmm …” Sani melempar senyumnya pada Reyna.

“Kenapa lo?” tanya Reyna curiga.

“Gue seneng, Rey. Karena gue juga kangen.”

“Kangen banget?”

“Rey, gue sampe buka instagram gue. Kurang kangen apa coba?”

“Hahaha … curang lo. Lo bisa tau kabar gue, tapi gue ngga bisa tau kabar lo.”

“Nanti gue kabarin langsung kalo gue kemana-mana lagi. Pake telepon ama chat aja ya tapi.”

“Idih, niat banget!”

“Niatlah. Gue kan sayang sama lo.”

“Hihihi … aneh banget gue dengernya …” Reyna terkekeh. Alih-alih membalas, gantian Sani menyenderkan kepalanya ke bahu Reyna. Reyna tidak menghindar. Hatinya berdebar.

Seriously San, what are we?

***

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi saat Sani terbangun karena aroma kopi dan mentega yang terpadu. Dia mendapati Reyna yang sedang memasak sarapan untuk mereka berdua. Sani menahan dirinya untuk tidak memeluk Reyna dari belakang. Kalau dia lakukan bisa-bisa Reyna mengamuk dan memukulinya. Tidak, masih terlalu pagi untuk menerima pukulan. Tubuh Sani belum siap kesakitan.

“Kalah deh sarapan hotel dibanding sarapan dari babu gue sekarang,” kata Sani. Reyna berbalik terkejut. Sani tahu dia jatuh cinta pada Reyna, tapi saat dia melihat wajah Reyna pagi itu dia tidak bisa berhenti menahan debaran jantungnya yang tidak terprediksi sebelumnya. Entah sejak kapan keinginan Sani akan Reyna menjadi begini besar. Sani merasa semakin tamak, menjadi sahabat tidak lagi cukup baginya.

“Sekali lagi lo katain gue babu, ngga gue kasih sarapan lo,” kata Reyna ngambek. Sani menyukuri takdirnya untuk bisa mencicipi pagi bersama Reyna. Berdua saja.

Hari itu tanggal merah, sahabat-sahabat mereka merencanakan berkumpul bersama, entah menonton atau makan di restoran. Tapi Sani berkata bahwa ada urusan keluarga. Kompak dengan Reyna.

"Sorry guys, mau ngurusin calon istri dulu nih ..." batin Sani dalam hati.

Setelah sarapan, mereka bersiap berangkat ke rumah ayah dan bunda Sani. Sebelum keluar apartemen, Sani mengambil kesempatan lengahnya Reyna dan mengecup pipi perempuan itu secara cepat.

“Apa-apaan nih?!” kata Reyna tidak terima.

“Anggep aja bayaran sewa tempat semalem,” jawab Sani cuek sambil membuka pintu.

“Berasa murah banget deh gue …” kata Reyna lemah.

“Yaa … namanya juga harga temen,” balas Sani asal. Lalu mereka berdua pun tertawa dan meninggalkan tempat Sani.

***

Sani sudah mengabari bundanya sebelum berangkat, tapi kini Sani tidak berhenti merasa gugup. Bunda pasti menginterogasinya secara sengit nanti. Bunda Sani memang agak keras kalau menyangkut lawan jenis yang berduaan saja dalam satu ruangan. Tapi Sani juga bingung harus bagaimana kan?

Ia lalu mengamati perempuan di sebelahnya, sedang menyetir sambil menyenandungkan lagu yang terlantun di dalam mobilnya. Sekilas nampak tidak memiliki beban hidup, begitu normal ... siapa yang sangka bahwa perempuan ini baru saja melewati minggu terberat dalam hidupnya?

Sani tersenyum ketika Reyna menatapnya. Hanya Reyna yang membuatnya luluh dan mengabaikan prinsipnya lebih dari sekali. Dari sekian banyak perempuan yang pernah ia tolak ketika minta menginap di tempatnya; teman kuliah sampai rekan kantor; Reyna justru perempuan yang paling berbahaya untuk diajak menghabiskan malam bersama kalau mengingat besarnya perasaan Sani pada Reyna. Tapi Reyna pula yang mampu membuat Sani tak setega biasanya.

Ya, se-spesial itu perempuan ini.

"You're so lucky to have me," kata Sani setelah merangkum pemikirannya. Reyna yang tidak tahu apa-apa hanya mengerutkan kening dan menggeleng maklum.

Mereka tiba di rumah ayah dan bunda Sani. Bunda sudah sangat resah melihat Reyna dan Sani berjalan mendekat. Dari jauh Sani dan Reyna sudah sangat gugup melihat tatapan khawatir bunda. Tapi setelah keduanya mencium tangan ayah dan bunda Sani, Reyna langsung bicara tanpa aba-aba,

"Bun, jangan salahin Sani. Semua salah Reyna ... Sani udah nyuruh Reyna pulang, tapi Reyna ngga bisa pulang," kata Reyna melindungi Sani.

"Gue bisa ngejelasin sendiri ke nyokap gue, Rey," ucap Sani gemas, agak tidak terima juga rasanya keduluan dilindungi begini.

"Udah, udah ... kalian mandi dulu sana di kamar masing-masing, habis itu siap-siap makan siang ya," perintah bunda pada Sani dan Reyna. ayah Sani hanya diam, tanda beliau satu suara dengan bunda. Sani naik ke kamarnya sementara Reyna menggunakan kamar tamu di lantai dasar. Dalam kamarnya Sani langsung merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya sebentar. Sisa kelelahan semalam muncul sejenak dan Sani ingin beristirahat.

Ketika Sani membuka mata, ia terkejut karena sudah menghabiskan hampir satu jam untuk terlelap. Ia pun buru-buru mandi sambil bertanya-tanya kenapa tidak ada suara bunda yang membangunkannya. Setelah memakai baju ia buru-buru turun. Dia hanya melihat ayah dan bunda sedang bicara di meja makan. Bunda sedang menangis. Seketika suasana hati Sani mengkeruh. Ia cepat-cepat mendatangi ayah dan bundanya.

"Bun, Sani sama Reyna ngga ngapa-ngapain, Bun ... beneran ... Reyna butuh tempat buat tinggal semalem, itu aja, bunda jangan gini dong ..." kata Sani buru-buru menjelaskan. Dari banyak hal, Sani paling takut membuat bundanya kecewa. Tepukan pelan ayah menghentikan kepanikan Sani sementara, lalu bunda menyuruh Sani duduk bersama mereka.

"Bunda ngga nangis karena itu, San. Ada yang harus kamu tau ..." kata bunda di sela senggukan. Dada Sani berdebar kencang sekali. Dia memperhatikan bundanya dengan perasaan seperti akan mendapatkan berita buruk.

"Tadi bunda ngga sengaja masuk kamar Reyna pas dia lagi ganti baju ... San ... badan Reyna penuh luka dan memar bekas pukulan dan tendangan, San," isakan bunda lepas tanpa bisa ia kendalikan meskipun ia tetap berusaha memelankan suaranya, "Reyna itu korban kekerasan papanya, San ..."

Sani pernah merasa seperti disambar geledek dan nyaris mati saat mendengar suatu kabar, tapi kali ini ia pikir ia betul-betul sudah mati selama beberapa detik setelah bundanya bicara tadi. 

Selanjutnya pun tidak terdengar lebih baik.

Luka-luka memar itu masih baru. Tapi kegiatan itu seperti sudah menjadi hal lama bagi Reyna. Saat bunda tak sengaja melihat dan panik, Reyna malah terlihat ketakutan seolah dia telah berbuat kesalahan. Bunda menenangkan Reyna, tapi Reyna mulai menangis.

"Ini bukan salah Reyna, Bun ... Reyna juga ngga ngerti kenapa ... Reyna udah berusaha, Bun, tapi papa giniin Reyna terus ..." begitu racau Reyna yang panik, seolah bekas luka di tubuhnya adalah kenakalan yang ia sembunyikan dari orang lain.

Tiap kali Reyna bicara tentang pertengkaran dengan papanya, rupanya yang terjadi lebih dari sekadar adu mulut. Bunda Sani menemukan luka memar di beberapa bagian tubuh Reyna dan Reyna mengaku bahwa papanya lah yang melakukan semua itu. Reyna pasti dipukuli setidaknya satu hari dalam seminggu.

Tapi minggu lalu kekerasan itu terjadi setiap hari dan sehari sebelum Sani pulang, Reyna berusaha menyelamatkan dirinya. Sampai saat ini papa Reyna belum memperlihatkan tanda kalau ia peduli pada kepergian Reyna. Beliau tidak mencari Reyna dan menanyakan keberadaan anaknya pada teman-teman Reyna.

"Mungkin papa emang dari dulu maunya Reyna pergi dari rumah. Tapi Reyna ngga tau, Bun ... sebelum pergi, almarhum mama suruh Reyna buat jagain papa di rumah. Reyna ngga tau kalo papa justru mau hal yang sebaliknya," ucap Reyna dengan wajah yang sudah penuh dengan air mata.

Begitu juga wajah bunda dan Sani saat ini.

"Reyna itu udah dewasa, tapi dia meringkuk takut seperti anak kecil saat luka di tubuhnya ketahuan. Reyna bahkan mengaku bersyukur papanya ngga pernah melukai dia di tempat yang bisa terlihat orang lain. Bunda perih saat ngasih tau kalo perilaku papanya itu ngga wajar, ngga seharusnya Reyna mendapat perlakuan demikian ..."

Hati Sani sesak dan panas. Segala hal tentang Reyna kini terasa masuk akal. Sifat ketus dan kasarnya, keinginan Reyna untuk sendirian sekaligus kepeduliannya pada orang lain yang disakiti, kemalasannya untuk segera pulang ke rumah, serta kekesalannya terhadap papanya ...

Seumur hidup, Sani hanya pernah menangis sekali yaitu saat jatuh dari sepeda kelas empat SD. Bukan sok kuat, ia hanya merasa jarang sedih. Bahkan kalau kesakitan pun dia tidak mengeluarkan air mata.

Tapi usai mendengar ucapan bunda, Sani syok. Air matanya mengalir tidak berhenti. Semakin lama tubuhnya semakin berat sehingga ketika bunda selesai bercerita, Sani sudah terjerembap di pangkuan bunda.

Sani menangis sambil menahan suaranya dalam-dalam, menyadari bahwa perempuan yang ingin ia lindungi nyaris dia abaikan semalam. Hampir sembilan tahun mereka bersahabat dan saat ia pikir ia sudah melakukan semua untuk melindungi Reyna, ternyata selama ini ia gagal melakukannya.

"Sani harusnya tau, bun ... Sani harusnya tau ..." kata Sani berulang-ulang.

"Ngga ada yang harus kamu sesali, San, ini bukan salah kamu. Sekarang kamu tau, kamu harus bantuin Reyna! Lindungin Reyna! Bunda ngga kuat liat ada anak diperlakukan begini sama orang tuanya ..."

"Semalem Sani nyaris ngebuang dia ke jalanan, Bun ..." keluh Sani pada bunda. Sani merasa bersalah dan tak berguna.

"Nak ..." bunda Sani berhenti bicara. Ia mendekap anaknya sampai tangis tertahan Sani mereda. Setelah itu ayah Sani menepuk pundak Sani. Saat itulah Sani mengangkat tubuhnya, mengusap wajahnya sehingga air matanya tersapu dan memandang kedua orang tuanya.

"Kalo laki-laki udah ngeluarin air matanya untuk seorang perempuan, dia wajib ngelakuin yang terbaik untuk perempuan itu," kata ayahnya dengan serius. Saat itu Sani tahu bahwa ayah dan bundanya menyadari perasaan Sani pada Reyna dan mendukung perasaan itu.

"Sani ... Bahagiain Reyna ..." ucap bunda. Sani mengangguk. Ia sepakat, Reyna harus bahagia. Perempuan itu pantas mendapatkan kebahagiaan setelah semua yang dilaluinya.

"Iya, Bun."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top