Someone Disclose
Reyna terkejut mendapati Revi di kantornya, siap menjemputnya untuk makan siang bersama.
"Sangkain bercanda lo, Rev. Tumben ..." kata Reyna sambil menghampiri Revi.
"Lagi kepingin aja, kantor kita kan ngga terlalu jauh tapi kok jarang main pas makan siang ..." jawab Revi.
"Ya soalnya udah tau kalo malemnya pasti ketemu lagi kan kita?" Balas Reyna ringan.
"Hai, Rev."
Reyna dan Revi berbalik. Mereka melihat Sena sudah berdiri di dekat mereka.
"Hai, Sen ..." sapa Revi sopan.
"Mau makan berdua ya? Mind if I join?" Tanya Sena penuh percaya diri.
"Sen, gue sama Revi mau ngomong private. Sorry ..." ucap Reyna. Revi mendelik kaget mendengarnya. Menebak apakah ini hanya alasan untuk menghindari Sena atau Reyna benar-benar tahu tujuannya?
"Owh, oke ngga apa-apa. Rey, awal bulan depan gue sama anak-anak mau naik lagi loh ke Papandayan. Pemandangannya di sana bagus banget kalo udah sampe puncak. Mau ikutan?" Tanya Sena antusias.
"Awal bulan depan gue sibuk. Ada rencana travelling, Sen. Lain kali ya?" Jawab Reyna seadanya sambil memberi senyum yang manis. Sena pun mengangguk paham. Reyna memang paling tegas kalau sudah memberi kode. Jarang ada laki-laki yang tidak paham kalau Reyna sedang minta dijauhi.
Revi hanya diam dan memperhatikan interaksi Reyna dan Sena. Dia menahan geli, dalam hati menebak bagaimana girangnya Sani kalau melihat percakapan Reyna dan Sena ini.
Mereka memutuskan untuk makan di restoran dekat gedung kantor Reyna. Setelah masing-masing memesan makanannya, mereka pun mulai bercakap-cakap.
"Biar udah selalu ketemuan nyaris tiap hari, lucu juga rasanya makan siang bareng lo," kata Reyna sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Kita sejak lulus SMA ngga pernah kayaknya makan siang bareng," Revi mencoba mengingat-ingat.
"Iya ya ... ketemuan kalo ngga sore ya malem ... atau sore sampe malem!" Kata Reyna yang dilanjutkan dengan tawa mereka. Keduanya mengingat bahwa sejak kuliah di tempat yang berbeda-beda, waktu berkumpul mereka pun berubah. Sempat ada pikiran bahwa mungkin mereka berenam lambat laun akan menjauh. Tapi tidak, hubungan mereka mssih sama eratnya.
Masih ...
"Pas sekolah dulu, tiap makan siang kayak udah ada posisinya sendiri-sendiri. Aku pasti di samping kamu," kata Revi mengingat-ingat sambil berusaha masuh ke topik yang ia ingin diskusikan.
"Iya, depan gue si otak dikit ..." gerutu Reyna.
"Depan aku Wira ..." lanjut Revi. Reyna tersenyum mendengarnya.
"Dari depan-depanan jadi sanding-sandingan ya?" Goda Reyna sambil menaik-naikkan alisnya.
"Kalo waktu itu dia di depan kamu gimana ya, Rey?" Tanya Revi. Senyum Reyna hilang, nerganti kerutan alis tanda heran.
"Ya ngga gimana-gimana lah. Emang lo pikir bakal gimana?" Tanya Reyna sambil menyeruput minumannya.
"Ya bisa aja jadinya kamu yang akhirnya sama Wira," ucap Revi yang sukses membuat Reyna tersedak.
"Aduh, ada-ada aja sih lo, Rev ... sampe kaget gue," ucap Reyna setelah terbatuk beberapa kali. Jantungnya berdegup kencang mendengar Revi berandai-andai tentangnya dan Wira.
"Bukan berarti kamu ngga mau kan?" Ucap Revi sambil memandang Reyna dengan serius.
Reyna tertawa segan, tapi ada sesuatu di mata Revi yang membuatnya berhenti. Jantungnya serasa dipukul-pukul dan tiap pukulannya membuat wajahnya berkedut nyeri.
"Rey ... aku tau," kata Revi singkat dengan mata yang sudah berkaca-kaca membayangkan reaksi Reyna setelah kalimat singkat itu ia ucapkan.
Reyna terbelalak. Kepalanya seperti meledak mendengar tiga kata itu keluar dari mulut Revi. Hatinya sempat memberi penyanggahan, belum tentu itu yang Revi maksud. Tapi dari ekspresi serius Revi saat ini rasanya tidak mungkin.
Air mata Reyna pun tergenang. Malu, takut dan kesal pada dirinya sendiri membaur dan bergelut dalam dirinya, entah perasaan mana yang lebih kuat. Dengan sigap ia menangkap tangan Revi di atas meja.
"G-gue bisa jelasin, Rev ... gue minta maaf" kata Reyna bergetar. Air mata Revi pun jatuh mendengarnya.
"Aku juga minta maaf, Rey," kata Revi. Kalau tidak ingat mereka sedang berada di restoran yang sangat ramai karena sedang jam makan siang, mereka pasti sudah berpelukan dan menangis tersedu-sedu. Tapi karena keadaan tidak memungkinkan, mereka merendahkan badan mereka dan menahan isakan mereka sambil saling bertatapan dan bergenggaman. Keduanya lalu tertawa. Rahasia terbesar dalam hidup mereka dibuka dalam situasi yang terlalu sederhana.
Tapi mungkin memang beginilah semua seharusnya berjalan. Sederhana, apa adanya.
Mereka saling memandang dengan mata berkaca-kaca untuk beberapa saat. Reyna melempar senyum ragu, mengecek persahabatan mereka setelah perasaan yang dipendamnya bertahun-tahun itu akhirnya terkuak ke permukaan. Revi melepas tawanya sekaligus tetesan air di matanya. Entah bagaimana dia tahu, mereka masih baik-baik saja.
Begitu pun Reyna. Keduanya akhirnya tertawa bersama. Genggaman tangan mereka semakin erat, seerat ikatan mereka setelah percakapan yang akan mereka lakukan.
***
Reyna melihat ragu ponselnya, bolak-balik melihat nama yang sama di daftar kontaknya. Setelah berguling di atas kasurnya beberapa kali, ia pun memutuskan untuk meneleponnya.
"Nyet? Napa lo?" kata suara menyebalkan di seberang sana. Sedikit menyesal Reyna sudah memutuskan meneleponnya. Tapi kalau dipikir-pikir, mereka berdua memang jarang saling menelepon sih. Apalagi kalau tidak sedang janjian.
"Ngga boleh?" tanya Reyna menahan malu. Kenapa juga dia harus merajuk?!
"Ya masa ngga boleh? Hehehe ..." kata Sani melunak, tidak seketus sebelumnya. Daripada teleponnya diputuskan Reyna, pikirnya. Reyna memajukan bibirnya, tapi akhirnya ia putuskan untuk memberi tahu Sani.
"Tadi siang gue ngobrol sama Revi ... soal perasaan gue ke Wira," kata Reyna terus terang.
"Hmm ... terus?" Tanya Sani. Reyna mengernyit.
"Kok datar banget sih, San?" Tanya Reyna kesal. Ia mengharapkan nada yang lebih antusias sari satu-satunya manusia yang mengetahui rahasia terpendamnya itu.
"Mau cerita ngga nih?" Tanya Sani tegas. Sani awalnya sedikit khawatir kalau Reyna curiga bahwa dia sudah tahu tentang Revi. Tapi dia tidak terlalu peduli sebenarnya kalau posisinya dalam rahasia-rahasia rumit ini diketahui baik oleh Reyna maupun Revi. Toh sepertinya semua sudah selesai, sudah dibicarakan.
"Ya mau ..."
"Jadi ...?"
"Jadiii ... tadi Revi ngajak gue makan siang bareng."
"Lah, tumben banget?"
"I know right?! Ternyata itu adalah sebuah jebakan betmen ..." keluh Reyna saat mengingat lagi betapa mudahnya dia digiring untuk diajak diskusi soal perasaannya pada Wira oleh Revi.
"Jebakan gimana maksud lo?"
"Yaaaa ... jadi, dia tuh ternyata udah tau, San kalo gue mendem perasaan ke Wira."
"Terus?"
" ... terus ya awalnya gue panik, takut bahwa kita bakal berantem sebentar lagi. Eh, akhirnya kita malah cerita-cerita."
"Dia cerita gimana ke elo?" Sani begitu tenang menanggapi Reyna, membuat Reyna yang tadinya masih heboh dan meletup-letup menjadi ikut tenang. Ia merebahkan dirinya di kasur dan mulai memberitahu Sani apa yang ingin ia ceritakan sejak tadi dengan nada yang lebih terkontrol.
"Dia bilang, dia udah lama tahu gue suka sama Wira. Inget ngga waktu dia beberapa kali sempet galau dan ngga jelas sampe Wira uring-uringan?"
"Hm?"
"Ternyata itu karena dia tau gue suka Wira. Gila ngga tuh??" Ucap Reyna kembali bersemangat. Ingatannya jatuh pada momen di mana Revi bercerita tentang masa-masa terberatnya saat menjalani hubungan dengan Wira setelah setahun kuliah di tempat yang berbeda dulu. Jantung Reyna seperti mau berhenti saat mengetahui itu semua karena dia, bukan karena Revi merasa tidak yakin pada hubungannya seperti yang dulu pernah Revi akui.
"Biasa aja sih, Nyet." ... dan semangat Reyna pun mengempis. Cerita dengan Sani terasa begitu anti-klimaks dan tidak fulfilling sekali ternyata.
"Lo tuh ngga asik banget deh dicurhatin. Jadi males gue lama-lama."
"Beuh, gila banget!! Terus lo bilang apaan ke dia abis ituuu???" perubahan nada suara Sani membuat Reyna terkekeh. Dia lalu melanjutkan ceritanya.
"Gue belom bilang apa-apa. Dia malah minta maaf duluan ke gue, bilang kalo harusnya dia ngga diem aja selama ini. Bilang kalo dia bingung, dia ngerasa egois."
"Egois?"
"Iya, dia bilang dia mau punya semuanya. Dia mau gue tetep jadi sahabatnya dan Wira tetep pasangannya, makanya dia mutusin buat diem aja. Gue ketawa aja dengernya."
"Kenapa ketawa?"
"Ya soalnya selama ini gue yang ngerasa jahat sama dia. Bertahun-tahun naksir pacarnya diem-diem. Kalo gue khilaf terus nge-backstab gimana? Kan bukan ngga pernah tuh gue kepikiran mau nikung."
"Terus ... kok ngga nikung?"
"Ngga bisa gue gituin Revi. In the end Revi lebih penting buat gue daripada Wira. Toh sekarang perasaan gue ke Wira juga udah ilang total. Udah ngga ada rasanya lagi."
"Ah, masa?"
"Iya bener! Kenapa sih semua orang pada ngga percaya?!"
"Gara-gara gue bukan, Rey?"
Wajah Reyna memerah, entah karena kesal atau malu.
"Oke, sekarang gue ngerti kenapa gue ngga pernah curhat ataupun telpon-telponan ama lo. Ngga guna! Bikin kesel aja! Udah ah ... bye," Reyna menutup percakapan antara dirinya dan Sani. Ia melempar ponselnya sembarangan di kasurnya. Tak lama terdenagn bunyi pesan masuk. Reyna membuka pesan tersebut,
Sani: It's an honor to be the one you stepped on when you're on the move.
Debaran di jantung Reyna menguat. Apapun itu, Reyna tahu ada yang tidak normal dengan perasaannya terhadap Sani. Mengapa setiap reaksi Sani pada akhirnya selalu membawa senyum di wajahnya?
Reyna mengingat keputusan terakhir mereka saat bicara di tempat Sani waktu itu. Sani mencintainya dan dia tidak memiliki perasaan yang sama. Namun keinginan Sani untuk berada di dekatnya mirip dengan keinginannya agar Sani tetap menjadi sahabatnya. Karena itulah sampai sekarang mereka memutuskan untuk terus berhubungan seperti biasa.
Tapi persahabatan mereka tidak pernah lagi sama sejak saat itu. Bahkan mungkin tidak lagi sama sejak Sani memeluknya di sekolah mereka malam itu. Mengetahui bahwa Sani memperhatikannya dari jauh tidak pernah berhenti membuat Reyna merasa aman dan nyaman. Reyna menyukai perasaan itu.
Ia bahkan tidak bisa menahan diri untuk menelepon Sani malam ini. Ia menikmati perhatian Sani yang tidak berlebihan, kalimat godaan yang dilemparkan laki-laki itu serta pesan tanpa gengsi yang membuat Reyna salpai kini masih tersenyum di atas kasurnya.
Reyna tidak menjawabnya tadi, tapi tebakan Sani benar. Sejak ia menyadari perasaan Sani, perasaannya pada Wira perlahan menghilang. Ditambah dengan debaran yang membuat perasaannya bahagia, sangat berbeda dengan debaran penuh sesak saat mencintai Wira dahulu.
Aneh, tapi semakin lama rasanya semakin sulit melihat Sani sebagai sahabat.
***
Malam ini geng Avengers sekolah masih berkumpul di tempat Sani. Malam Senin yang sebenarnya ingin dipakai Sani bersantai sendirian harus rela ia lepas. Toh sebagai tuan rumah, ia tidak bernah bekerja mengurusi tamunya. Tidak selama ada Reyna.
Perempuan itu memang penjamu sejati. Bahkan sampai pulang nanti dia akan membereskan apartemen Sani terlebih dahulu. Sani tidak bisa melarangnya ketika Reyna berkata bahwa itu adalah hobinya.
Tuan rumah yang malas melayani tamu dan perempuan penjamu yang tidak memiliki tempat tinggal sendiri ... Sani selalu menahan senyum kalau sedang menyatukan keduanya dalam pikirannya.
"Wir, kata Revi lo terakhir nyoba masakin dia ya?" Tiba-tiba Reyna menghampiri Wira. Sani memperhatikan dalam diam interaksi kedua orang itu, bagaimana Wira yang nampak gugup sementara Reyna sendiri seluwes saat sedang tebar pesona dengan laki-laki.
Wah ... kenapa jantung Sani menjadi berdebar melihatnya ya?
"Eh, i-iya Rey ... gagal tapi, hehehe ..." balas Wira.
"Lo kenapa ngga nanya gue sih? Kan gue bisa bantuin ..."
"Hehehe ... iya juga ya ..." wajah Wira terlihat sangat senang mendengar Reyna. Baginya kalimat itu adalah penerimaan bahwa mereka memang bersahabat.
"Mana coba liat resepnya."
"Nih, Rey ... gw kemaren bikin cream soup. Tapi teksturnya jadi salah banget."
"Jadi kekentalan atau terlalu encer?"
"Jadi kekentalan. Padet banget, eneg gitu rasanya."
"Tepung kanjinya udah sesuai resep belom?"
"Nah ... pas gue coba sesuai resep tuh encer banget, Rey. Jadi gue tambahin."
"Oooh ... jadi gini, Wir. Abis dikasih tepung kanji, biasanya emang ada jeda beberapa waktu biar sup-nya mengental. Kalo emang masih keliatan cair, tambahinnya per satu sendok teh aja. Campurin air dulu ... terus ..."
Sani memandang puas Reyna dan Wira yang sedang berinteraksi. Aldo dan Ivan mungkin tidak sadar, tapi Sani tahu betul bahwa momen ini sudah lama tidak terjadi. Reyna dan Wira bicara, dan Sani tidak melihat lagi sisa-sisa patah hati Reyna.
Tiba-tiba Revi duduk di samping Sani. Sani lalu merasa ketahuan, dia terlambat mengalihkan pandangannya dari Reyna dan Wira.
"Ngga apa-apa kan, Reynanya dipinjem?" Tanya Revi jahil. Sani geli mendengarnya.
"Suka-suka dia lah," jawab Sani singkat. Revi pun melihat ke arah yang sama sementara Ivan dan Aldo sibuk bermain PS.
"Aku lega sekarang. Aku, Reyna sama Wira udah lepas dari pura-pura ngga ada apa-apa ini ... bener kata kamu, rasanya bebas banget setelah semuanya jelas ..." Revi mengedepankan tubuhnya sehingga Sani mau tak mau memberi perhatian padanya, lalu berkata pelan dengan gaya yang iseng, "Kamu sendiri kapan mau berhenti pura-pura jadi sahabat Reyna dan ngejelasin status kalian?"
Sani menelan ludah, tidak bisa menjawab pertanyaan Revi. Ia pun memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top