Sebulan sudah berlalu sejak pernikahan Wira dan Revi. Saat ini mereka sedang berkumpul di kafe tempat mereka terbiasa menongkrong. Apa sih yang spesial dari kafe itu? Kafe itu berada di tengah-tengah di antara kantor-kantor mereka sehingga tidak terlalu jauh kalau mau menongkrong di sana. Selain itu, di sana buka 24 jam dan menyediakan minuman jahe, favorit Reyna dan Revi. Memang perempuan selalu menang di antara mereka.
Sani tidak nampak berada di antara mereka karena dia harus lembur. Tapi hal itu tidak menyurutkan antusiasme mereka terhadap apa yang ada di depan mata mereka. Sebuah laptop yang sudah terisi folder "Foto dan Video Revi-Wira Wedding".
"Wah seru bangettt!! Mereka ngambil fotonya bagus-bagus banget ya?!" seru Aldo bersemangat.
"Temen gue itu emang jago, terus baru ngerintis juga bisnisnya jadi harganya masih kayak promo banget. Ngumpulin portfolio," jelas Wira tentang vendor dokumentasi milik teman kuliahnya.
"Lo ngga pake prewed dan cetak gede juga sih, jadi dikasih rada murah," tambah Ivan.
"Yoi ... foto prewed udah banyak dari SMA. Nanti aja kita post-wed. Iya ngga, sayang?" tanya Wira pada Revi sambil mengalungkan lengannya di belakang leher istrinya itu. Revi mengangguk sambil tersenyum geli. Setelah menikah, Wira makin tidak ragu memperlihatkan perhatian dan gestur sayang padanya sementara dia masih kagok. Belum terbiasa terlalu bermesraan di depan umum.
"Tapi foto-foto pas Revi abis makeup bagus banget! Ini yang lo berdua abis ijab sama sebelum resepsi aja feel-nya udah kayak prewed," kata Reyna sambil mengamati foto-foto Wira dan Revi. Keempat temannya yang lain mengangguk-angguk setuju.
Reyna masih merasa takjub dalam hati. Perasaan yang dulu kuat pada Wira menguap perlahan, tapi pasti. Sampai di sinilah dia, tidak terpengaruh melihat mesranya Wira dan Revi. Tidak pernah ia bayangkan akan datang masa dimana dia melihat Wira dan perasaannya datar begini. Tidak sedih ataupun sesak.
Semua ini ... karena Sani ya? Mengingat sahabat paling menyebalkannya itu, Reyna spontan celingukan. Mencari tanda, siapa tahu Sani sudah mau datang.
Tiba-tiba ia mendengar kikikan geli teman-temannya yang lain. Reyna mengernyit, lalu Aldo mulai bersuara.
"Lo sama Sani juga feel-nya ngga kalah prewed nih," kata Aldo sambil menunjuk-nunjuk layar laptop Wira.
"Hah?!" Reyna terkejut dan buru-buru melihat foto yang ditunjuk Aldo. Di sana terpampang fotonya dan Sani, bersandingan, saling tengok dan pandang dengan wajah haru. Wajah Reyna seketika merah. Ini saat mereka menyaksikan ijab kabul-nya Wira dan Revi!!!
Dengan panik Reyna menekan tombol next untuk mengganti foto, tapi ternyata foto berikutnya membuat teman-teman Reyna makin semangat berseru.
Di foto itu ada Sani yang menyentuh pipinya dengan telapak tangannya sementara mereka berdua berhadapan dan saling melempar senyum.
"Oooh ... kemaren temennya Wira emang bilang ada panitia yang so sweet banget, ternyata kamu sama Sani ya," ucap Revi. Kedengarannya polos dan lugu, tapi Reyna tahu betul saat itu Revi sedang jahil menggodanya.
"Apaan sih, Rev?!" ujar Reyna salah tingkah. Ingatan tentang Sani yang berada di sisinya untuk menemani, saat Sani mengusap pipinya dan membuat perasaannya semakin ringan ..... lalu tiba-tiba dia ingat lagi akan kejadian malam itu di sekolah, saat Sani mengecup pipinya.
Jantung Reyna berdebar kencang.
"Rey, lo sama Sani kan sama-sama jomblo. Udah jadian aja deh lo berdua," kata Ivan yang langsung ditoyor Reyna.
"Tapi kalian berdua tuh cocok loh," tambah Revi.
""Nah, gue juga selalu ngerasa gitu," lanjut Ivan lagi.
Reyna manyun dan kesal, otaknya berpikir keras mencari cara agar tidak dijodoh-jodohkan dengan Sani.
"Jangan ngatain gue sama Sani ah! Ngenes banget percintaan gue kalo end up sama dia. Lagian Sani tuh udah punya gebetan tau!" kata Reyna. Sontak semua teman-temannya terkejut.
"Coba-coba dijelaskan dengan lebih seksama ..." kata Ivan yang sudah sangat semangat. Sepanjang mereka bersahabat, memang Ivan paling penasaran dengan Sani. Tidak terbayang apa yang ada di pikiran Sani, melewati masa remaja dan dewasa muda tanpa pernah mencoba menemukan pasangan. Apa tidak kesepian ya?
“Jadi Sani pernah tuh cerita sama gue kalo dia lagi naksir sama seseorang!”
“Sama siapa?!”
“Cewe apa cowo, bro??”
“Kamu tuh nanyanya gimana sih, Cewe lah pasti, Do.”
“Aamiinn …”
“Loh, kok kamu juga ikut nge-aminin sih, Wir??”
“Sayang, Ini Sani. Orangnya ngga ketebak. Mending kita persiapin diri aja daripada nanti kaget lagi sama kelakuannya.”
“Cewe kok ceweee … dia bilangnya, ‘cewe yang gue sayang’ gitu. Gokil! Masih merinding gue pas inget denger dia ngomong gitu!”
“Emang dia ngomongnya gimana, Rey?”
“Yaa … gitu deh, gue lagi curhat mantan gitu gue. Tapi curhatan gue ngga penting ah, basi juga. Ini yang penting Sani udah punya gebetan,” ujar Reyna yang sedikit gelagapan.
“Alhamdulillaaaah … akhirnyaaaa ...” Aldo dan Ivan bicara dengan kompak.
“Mungkin temen kantornya ngga sih?” kata Wira.
“Temen kantor?”
“Ya dia kan udah tiga tahun kerja di kantornya yang sekarang. Siapa tau selama itu ada yang nyangkut,” kata Wira. Reyna dan Aldo langsung menunjuk penuh semangat.
“Bisa jadi!” kata Aldo seru sendiri sambil memandang Reyna yang sama semangatnya. Ivan, Wira dan Revi hanya tertawa melihat mereka berdua.
“Tuh anak seleranya kayak apa ya?” kata Reyna sambil menerawang.
“Yang cakep, Rey!” jawab Aldo cepat.
“Kok tau banget, Do?” tanya Revi penasaran.
“Dia kalo ada cewe lewat, ngga bakal ngelirik kalo ngga cakep,” jawab Aldo dengan tatapan yakin.
“Yeeeh!! Itu mah semua cowo juga gitu!” jawab Wira kesal.
“Kamu juga gitu?” tanya Revi. Wira pun langsung gelagapan. Reyna, Aldo dan Ivan tertawa terbahak-bahak.
“Ngetawain apa nih?” tiba-tiba Sani datang dan langsung duduk di bagian sofa. Semuanya langsung terdiam. Sani langsung melirik mereka satu per satu sambil memasang wajah heran.
“Kok diem?” tanya Sani lagi.
“Kalo ngomong, Wira mungkin malem ini tidur di sofa, San,” jawab Ivan. Reyna dan Aldo spontan tertawa terbahak-bahak sementara Wira dan Revi hanya tersenyum malu. Sementara Sani sudah tidak peduli. Tidak lama lagi juga diceritakan ulang oleh Aldo.
Sani duduk, memesan black coffee, lalu memainkan ponselnya. Selama itu juga kelima sahabatnya menatapnya dalam-dalam. Tapi memang dasar Sani, paling cuek dengan keadaan sekitar. Dia pun tidak sadar kalau sedang menjadi pusat perhatian.
"San ..." kata Ivan dengan cengiran jahil.
"Oy?" tanya Sani tanpa menengok.
"Jadi ..." ucap Ivan lagi perlahan. Kali ini Sani mendelik karena nadanya mencurigakan. Dia lalu terkejut mendapati teman-temannya melihatnya sambil menahan senyum.
"Siapa tuh cewe yang lo sayang?" tanya Ivan. Mata Sani langsung melotot. Dia melihat Reyna, si biang kerok.
"Si monyet mulut ember lo dasar!" ucap Sani kesal sambil menunjuk Reyna. Reyna langsung bersembunyi di balik Revi, tapi tetap memberi tanda peace. Sementara itu yang lain sudah sibuk menggoda Sani.
"Siapa sih?! Pake rahasia-rahasiaan!" Kata Wira.
"Cuma Reyna doang yang boleh tau, Bro??" Lanjut Aldo.
"I told her so she could felt better. Emang dasar ngga tau terima kasih!" Sani meremas tisu lalu melemparnya ke kepala Reyna.
"Sorry Sannn ..." kata Reyna dengan wajah tak enak. Dia baru saja mengorbankan Sani supaya dirinya tidak digoda teman-temannya.
"Temen kantor ya, San? Siapa siiihh??" Tanya Ivan sangat penasaran.
"Hmm ..." Sani berdeham bias. Anak-anak lain menganggapnya mengiyakan. Bagi Sani apa saja yang bisa membuat mereka berhenti mencecar akan dibiarkan saja lah.
Meja mereka malam itu kembali ramai dengan riuh dan tawa. Walau malam semakin larut, suasana malah semakin hangat.
***
Reyna tengah menghangatkan makanan ketika teman-teman kantornya nampak ramai mengelilingi seseorang. Dari jauh ia penasaran sehingga saat makanannya sudah selesai dihangatkan dalam microwave, dia pun mendatangi kerumunan itu.
"Ada apaan nih?" tanya Reyna.
"Ini si Sena baru balik naik gunung sama anak-anak gunung di kantor," ucap salah satu teman satu divisi Reyna.
Sena Gumilar, teman kantor Reyna yang usianya sebaya dengannya. Tapi karena mereka tidak berada di divisi dan team yang sama, mereka pun jarang bicara. Sena memang terkenal sebagai pendaki gunung. Dia bisa berkeliling Indonesia untuk mendaki. Terakhir kalau tidak salah dia sampai cuti kantor tiga hari agar dapat ikut pendakian gunung di Maluku.
Sebenarnya sudah lama Reyna penasaran. Mendaki gunung kedengaran seperti aktivitas yang menyenangkan dan menyegarkan. Reyna diam-diam senang mendengar cerita Sena saat dia berpetualang menaiki gunung Bromo, Papandayan, Merbabu, dan nama gunung-gunung terkenal lainnya.
"Seru banget ya kayaknya naik gunung tuh," celetuk Reyna.
"Ya seru, cuma capek juga sih. Kayak yang kemaren ke Gunung Binaiya, buat ke titik awal aja perjuangan banget. Habis itu jalurnya panjang banget! Naik turunnya lebih effort dari tujuh bukit penyesalan Rinjani. Makanya pas sampe puncak puasss banget!" jelas Sena penuh semangat. Reyna tersenyum memperhatikan Sena.
Bagi Reyna, seorang laki-laki akan terlihat sangat menarik saat bercerita tentang hal yang membuatnya antusias dan bersemangat. Begitulah laki-laki seharusnya, punya passion. Dengan caranya bercerita, Reyna bisa melihat jelas bahwa mendaki gunung telah lama menjadi passion Sena.
Sena balas menatapnya dan tersenyum kepadanya.
"Mau ikut, Rey? Naik gunung?" tanya Sena antusias, menangkap ketertarikan Reyna.
"Emang mau jalan kapan?" tanya Reyna.
"Jumat dua minggu lagi. Ke Semeru. Baliknya Minggu. Mau ngga lo?"
"Hmm ... boleh."
"Serius??" tanpa diduga Sena malah terlihat sangat terkejut, tapi senyum di wajahnya makin mengembang.
"Loh, kok kaget banget? Lo serius ngga nawarinnya?"
"Gue kira tipe cewe kayak lo paling males ngelakuin hal-hal effort kayak gini. Hahaha ..."
Wah, Reyna langsung merasa tertantang dalam sekejap.
"Ngga usah tengil, entar juga elo yang effort nyusulin gue dari belakang."
Sementara itu teman-teman kerja Reyna yang lain langsung menggoda mereka. Reyna dan Sena hanya menanggapi dengan tawa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top