Someone Away

Sani mendadak berdiri ketika Reyna masuk ke kafe. Teman-teman yang tadinya sibuk sendiri kini memperhatikannya bingung, termasuk Reyna.

"Toilet bentar," kata Sani sambil buru-buru beranjak. Ia ke toilet dan mencuci mukanya. Sudah seminggu sejak Sani tahu kekerasan yang dilakukan papa Reyna kepada anaknya. Tapi semuanya masih menempel kuat dan membuat pikirannya tidak tenang. Apalagi setelah ia melakukan percakapan dengan Reyna malam itu di rumah bunda ...


"Lo ngga seharusnya nyimpen ini semua sendiri, Rey ..."

"Ngga tau, San ... gue ngga tau gimana mulainya. Gue bahkan lupa kapan ini semua dimulai. Tau-tau ini udah jadi keseharian gue."

"Kita nyaris sembilan tahun sahabatan, Rey. Ngga pernah sekalipun lo nyinggung ini semua. Lo tau apa yang dilakuin Om Sofyan tuh ngga bener kan?"

"Pas SMP, gue selalu dipandang berbeda. Cuma kalian yang bisa perlakuin gue biasa aja dan bikin gue ngerasa kayak anak normal. Kalo gue cerita ... gue ngga bakal jadi normal lagi di mata kalian."

"Persahabatan kita ... apa yang udah kita laluin bareng-bareng, mana ada sih yang normal dari itu semua, Rey?"

"Gue masih takut sama dia walaupun kerjaan gue tiap hari ngelawan omongannya dia. Gue takut kualat, takut nyokap kecewa sama gue ... gue ngga kuat ngebayangin muka anak-anak lain ngeliat gue kayak lo liat gue sekarang, San. Gue ngerasa lemah tau ngga?!"

"Rey-"

"San, jangan bilang ke anak-anak ya? Please ... Cuma kalian yang gue punya sekarang. Biarin gue jadi normal lebih lama lagi, San ... please ..."

"Rey, percaya sama anak-anak. Lo bakal tetep sama di mata kita walaupun kita tau yang sebenernya."

"Gimana caranya gue percaya, lo sendiri sadar ngga kalo sekarang lo udah perlakuin gue berbeda dari biasa?"

"Emang biasanya gimana?"

"Ya ngga selembut ini! Ngga ngeliat gue kayak gue fragile dan harus dilindungin tiap saat gini!"

"Gue kayak gini bukan karena gue tau yang sebenernya, tapi karena emang gue sayang ama lo. Lo lupa?"

"Apapun itu ... ini masalah gue, dan gue belom siap ngebuka masalah ini ke orang lain. I hope you could respect that ..."

"Apapun buat lo, Rey ..."

Sani menutup wajahnya dan kembali mengusapnya dengan air. Apapun ... apa yang dijanjikan Sani saat itu ternyata jauh lebih berat dari dugaannya.


Sani keluar dan ia menemukan kelima sahabatnya sudah bercengkrama. Ia mendekat ke meja itu. Reyna duduk di paling ujung bangku yang bisa berisi tiga orang dengan Revi dan Aldo di sebelah kirinya. Sani duduk di depan Reyna, bersebelahan dengan Wira dan Ivan.

"Ih, kayak pas di kantin dulu ya," kata Wira saat Sani baru duduk. Semua langsung bersemangat mengingat masa mereka sekolah dulu.

"Kurang Revi ama Wira diem-diem liat-liatan aja nih, sampe gue eneg pura-pura ngga ngeliatnya," kata Sani yang langsung dihadiahi toyoran Wira karena anak-anak lain sukses tertawa. Ya, mereka masih mengingat masa pendekatan Revi dan Wira yang kadang menggelikan kadang juga menggemaskan itu.

"Tahun depan udah sepuluh tahun ya ..." kata Ivan bernostalgia. Mereka baru sadar kalau mereka baru saja melewati sembilan tahun bersama-sama nyaris setiap saat.

"Lama juga ya," kata Aldo. Semua melihat ke arahnya.

"Ya lama, ibarat bayi sekarang udah SD," sahut Reyna.

"Kayak baru kemaren gue ketemu lo semua di ruang BK," kata Aldo geleng-geleng kepala, tidak menyangka momen tidak sengaja tersebut menjadi masa dimana ia bertemu sahabat-sahabat sejatinya.

"Tapi aku ngerti kok, aku juga rasanya masih inget waktu tanganku ditarik Reyna buat kabur pas di-bully Ellen ..." tambah Revi, menambah senyum penuh nostalgia keenam anak itu.

"Rasanya baru kemaren juga si Sani sama Reyna berisik banget saling cela 'monyet-sariawan'," tambah Wira. Sani menatap Reyna dan Reyna membalasnya dengan senyum canggung.

"Tapi ngomong-ngomong iya juga ya ... Lo berdua kok sekarang jadi jarang berantem ya, bro??" tanya Aldo tiba-tiba. Hening sejenak.

"Wah, bener juga ... udah seminggu hidup gue damai. Gue kira kenapa, ngga taunya Sani sama Reyna ngga berisik lagi," Ivan langsung mengutarakan persetujuannya. Reyna panik. Sani pun bingung.

Bagaimana mengatakan pada mereka kalau Sani tidak bisa lagi berlaku kasar pada Reyna sejak mengetahui bahwa Reyna sudah cukup kenyang menerima kekasaran papanya.

"Perasaan lo aja kali. Rey, mau balik ngga?" tanya Sani buru-buru.

"Lah, gue kan baru dateng!" protes Reyna.

"Balik sekarang deh, gue sekalian mau ke tempat bunda," balas Sani.

"Kalo ke tempat bunda kenapa harus ngajak Reyna?" tanya Revi polos. Reyna memelotot.

"Kan searah, Rev. Udah yuk, buruan. Duluan ya," Sani mengambil tas Reyna tanpa ijin, memastikan Reyna mengikutinya. Reyna pun mau tak mau mengejar Sani. Dompetnya ada di dalam tas itu.

"Gila ya, lo ngeselin banget, asli!" kata Reyna kesal saat mereka sudah di dalam mobil.

"Lo sendiri yang ngelarang gue buat cerita ke mereka tentang bokap lo," jawab Sani sambil menyalakan mobil.

"Lo bisa diem-diem suka ama gue di depan mereka, tapi ngga bisa diem tentang masalah gue??" tanya Reyna kesal.

"Gue ngga bisa jawab mereka kenapa bersikap kayak biasa lagi, Rey ..." Sani masih pura-pura tenang.

"Lagian kenapa lo sekarang berubah sih?"

"Lo ngga suka?"

" ... aneh, San."

"Aneh?"

"Can't we just go back to we used to be? You mock me, I punch you, and everyone is happy?"

"How could I?" Sani menatap Reyna nanar. Reyna tahu tatapan itu. Tatapan kasihan, seperti bunda Sani saat melihat luka di tubuhnya. Reyna menunduk.

"Gue ngga bisa kayak gini, San! Gue ngga mau lo kasihanin! Sekarang gue ini apa buat lo?? Perasaan lo ke gue tuh sebenernya gimana?? Gue ngga tau batasnya ..." ucap Reyna kebingungan sendiri.

"Kenapa jadi bawa-bawa perasaan gue? I love you, and it hurts me to know you're being hurt. Sesederhana itu aja!"

"Tapi semua ngga sederhana buat gue! Gue ngga suka situasi kayak gini! Gue ngga tau apa lo itu sahabat gue, keluarga gue, cowo gue, atau apa ... gue ngga tau! Semuanya ngga keliatan batasnya ..."

"Apa itu penting, Rey?"

"Gue harus tau batasnya, kita tuh apa?? Sahabat tuh ngga kayak gini ..."

"Ya kenapa harus dibikin ribet sih, Rey? Perlakuin aja gue kayak yang lo mau ..."

"Masalahnya gue ngga tau gimana harus perlakuin lo! Sikap lo bikin gue bingung."

"Bikin bingung gimana?!"

"Ya kayak sekarang ini!! This is not us!! Ini bukan hal yang biasa Sani lakuin dan gue ... gue ngga bisa mikir dalam situasi ngga jelas kayak gini. We're not a couple, San, but we acted like one. Gue pun belum ngerti perasaan gue ke elo kayak apa dan lo ngga berhenti ngedesak gue untuk memperlakukan lo lebih dari sahabat. Gue ngga bisa!"

"Jadi ...?"

"Kasih gue waktu, San ... give me some space. Gue butuh jeda buat ngerti apa yang sebenernya lagi gue rasain ke elo."

Sani terpaku. Matanya berkaca-kaca.

"Lo ngga bisa ya, sebentar aja ngga ribet?" tanya Sani dengan suara bergetar dan tawa kecil. Sani mengambil nafas panjang dan menyetir. Dia lalu menatap Reyna kembali. Perasaannya kacau. Untuk pertama kalinya Reyna menjauhinya dan Sani baru sadar bahwa dia tidak akan pernah siap dengan ini. Tapi cepat atau lambat Sani memang harus menghadapi ini semua.

"Just promise me one thing," kata Sani.

"Anything," balas Reyna.

"Kalo lo ngerasa bahwa perasaan kita ngga sama, atau ada cowo lain yang lo mau buat ngedampingin lo, please give me a heads up. Secepatnya. Jangan segan atau takut, pokoknya gue harus tau secepatnya dari dari mulut lo," pinta Sani sungguh-sungguh.

Sudah saatnya ia mempersiapkan hatinya bahwa meskipun dia sudah mengerahkan yang terbaik untuk perempuan itu, ada kemungkinan bahwa pada akhirnya dia tidak bisa bersama Reyna.

Reyna mengangguk. Dia lalu menggenggam tangan Sani, "Makasih banyak, San ..."

"Lo pantes dapetin apa yang lo mau, Rey. Lo pantes bahagia. Gue bakal lakuin apapun buat mastiin itu semua."

Dari wajah Sani, Reyna tahu bahwa Sani bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Reyna tidak bisa berhenti merasakan debaran yang masih tidak ia tahu apa artinya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top