Someone Attractive

Malam itu gerombolan alumni Avengers Mulya Karya berkumpul di kafe favorit mereka. Hujan di luar membuat mereka malas pulang meskipun sudah jam setengah 10 malam.

Tapi ada yang menarik saat itu. Gerombolan mereka bertambah satu. Elsa, junior Sani di kantor untuk kesekian kalinya bergabung dengan Sani dan teman-temannya di kafe itu. Dirinya kini tengah mengobrol seru dengan Aldo. Sani sendiri sedang memesan kue untuk makan malam bersama Reyna.

"Junior lo rajin dateng ke sini ya?"Kata Reyna pada Sani sembari mereka mengantri untuk memesan di kasir.

"Hah? Junior?" balas Sani bingung. Reyna nyaris tidak percaya, Elsa sudah satu jam bersama mereka tapi Sani tidak memperhatikan sama sekali. Betul-betul keterlaluan cueknya laki-laki yang satu ini.

"Iiissshh, gimana sih lo!! Itu tuh, yang lagi dicaperin Aldo!" bisik Reyna menahan gemas. Sani mencari Aldo dan dia baru menyadari kalau sejak tadi ada Elsa di sana.

"Oohh ... si Elsa ... lah iya juga ya? Kenapa jadi sering main ke sini tuh anak?"

"Dia naksir ama lo kali."

"Hahaha ... tuh anak banyak yang suka di kantor. Bisa abis gue dibunuhin para fans-nya kalo beneran dia naksir ama gue," kata Sani tak acuh. Reyna menimbang sejenak, kira-kira ia akan mengutarakan pendapatnya apa tidak.

"Gue tadinya mikir lo suka sama dia," Reyna memutuskan untuk mengutarakannya.

"Sama Elsa?"

"Iya ... abis waktu itu lo sampe ngenalin dia, nganterin dia balik, terus duduknya nempel-nempel gitu. Risih banget gue ngeliatnya."

"Tuh kan! Bikin risih kan ya?! Elo aja yang liat- eh, entar dulu ..." Sani seperti baru menyadari sesuatu. Dia terkekeh sendiri, tidak percaya kalau dia nyaris saja melewatkannya. Sani lalu mendekati wajah Reyna dan memasang cengiran jahil, "Lo risih ... karena jealous yaaa???"

"Jangan ngarep lo!" Reyna menyentil hidung mancung Sani dan Sani mengaduh.

"All denial aside," Reyna baru mau protes bahwa dia tidak sedang denial, tapi Sani buru-buru menahannya, "Gue ngga terlalu pewe kalo ada dia. Makanya nih gue sok-sok milih makanan lama banget. Hehehe ..."

"Si Aldo pewe sih tuh kayaknya," kata Reyna menunjuk Aldo yang makin gencar tebar pesona pada Elsa.

"Dia ama cewe cakep mah pasti pewe," kata Sani tak acuh sambil mempertahankan akting memilih-milih kue dan pastry.

"Jadi bener, menurut lo junior lo itu juga cakep?" tanya Reyna penasaran. Reyna juga tidak mengerti mengapa dia menjadi aneh begini terhadap junior Sani, tapi dia tidak bsia menahan diri untuk mencari tahu bagaimana pendapat Sani tentang perempuan itu. Apakah perasaan tidak nyaman Reyna pada Elsa itu normal, atau jangan-jangan tebakan Sani tadi ada benarnya ... ah, tidak. Tidak mungkin.

Sani langsung menengok dan melihat Reyna yang tak kalah acuhnya pura-pura melihat makanan. Ada nada tak suka dari kalimat Reyna tadi, yang Sani harap sebagai tanda bahwa Reyna cemburu.

"Rey, please ... I'm way beyond physical attraction ..." ucap Sani pelan dengan tatapan penuh arti pada Reyna. Reyna mengernyit.

"Jadi menurut lo fisik gue ngga kece?" tanya Reyna kesal. Sani mundur dan nampak terkejut. Luar biasa, maksudnya bermanis-manis, siapa sangka bisa ditangkap sedemikian sinis.

"Lo ngaca sendiri aja deh, Nyet!" ujar Sani gemas sambil menoyor Reyna. Dia lalu memesan sandwich tuna sementara Reyna memesan muffin blueberry. Saat itu dalam hati keduanya lega karena sikap mereka benar-benar tidak berubah aneh sejak malam pengakuan itu.

Tidak berubah, kecuali Sani menjadi lebih flirty dan Reyna lebih clingy.

Mereka kembali ke tempat duduk mereka, lalu Reyna memperhatikan Elsa diam-diam, kepalanya seperti menganalisa perempuan kecil yang nampaknya memiliki beda usia yang cukup besar dengan mereka berenam. Elsa memang cantik sekali. Seperti Revi, ia mudah menarik perhatian orang-orang. Hanya saja kalau pembandingnya Revi, makeup Elsa kelihatan lebih tebal.

Tapi hasil makeup Elsa tidak terlihat aneh karena sepertinya dia memang memiliki kemampuan yang cukup tinggi serta senang ber-makeup. Wajah Elsa terlihat flawless dan masih terkesan natural meskipun Reyna tahu setebal apa foundation, bedak, concealer dan shadingnya.

Reyna juga yakin 100% bahwa perempuan itu emang suka sama Sani. Wajah Elsa babyface dan tubuhnya imut-imut, tapi sikapnya pada Sani begitu genit dan agresif. Agak seperti tante-tante haus belaian kalau menurut Reyna. Sekilas Reyna merasa agak risih melihat Elsa dengan gencar mendekati Sani dan semua sahabatnya begini. Elsa begitu percaya diri bahwa dirinya mudah disukai. Terlalu percaya diri malah bagi Reyna.

Tapi mungkin memang begitulah realita hidup Elsa sehari-hari. Banyak yang suka pada dirinya dengan mudah, membuatnya merasa bisa sok dekat dengan siapapun yang ia mau.

"Kak Reyna dulu sekelas sama Kak Sani?" pertanyaan Elsa mengejutkan Reyna.

"Ngga, gue anak IPA. Sani IPS," jelas Reyna.

"Tapi tiap ulangan matematik minta diajarin gue mulu," goda Sani. Reyna mengernyit.

"Hah? Ngigo lo? Gue biasa kalo ngga ke Ivan ke Revi kali belajarnya. Elo mah ama Aldo tuh, hobi bikin contekan tapi gagal mulu. Cupu dasar," balas Reyna emosi.

"Cie, malu-malu aja, Nyet ..." goda Sani lagi. Reyna melotot, ini anak minta dikatai atau bagaimana sih?!

"Gue kali, bro, yang suka nanya matematik," celetuk Aldo.

"Terima kasih konfirmasinya, Bro Aldo. Tolong itu yang tadi kepedean idungnya berenti kembang-kempis bisa?," seru Reyna. Anak-anak lain tertawa mendengar celaan Reyna pada Sani. Tapi yang dicela masalh tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Wajah Reyna terlihat puas, seperti sedang memenangkan pertandingan.

"Mau siapa nanya siapa kek, tetep aja endingnya balik lagi ke pakem. anak-anak IPA ditutorin Ivan, anak-anak IPS ditutorin Revi," kata Wira. Reyna spontan merangkul Revi.

"Iya apes banget sih lo, Rev ... harus mentorin anak-anak otak dikit kayak Aldo sama Sani dulu," kata Reyna sok simpatik. Revi tertawa geli.

"Tetep aja nilai Sani paling tinggi satu sekolah," balas Revi. Wajah Reyna berubah datar. Ekspresi puasnya seperti merambat dan kini sudah berada sepenuhnya di wajah Sani.

"Gue ngga usah banyak ngomong, Rey ... sejarah sudah membuktikan," kata Sani angkuh.

"Jadi Kak Sani udah pinter banget ya dari SMA dulu?" tanya Elsa. Seluruh mata kini tertuju pada gadis mungil itu.

"Ehm ... Sani di kantor pinter banget ya, Sa?" tanya Ivan penasaran.

"Banget! Salah satu orang yang wajib ada di team pitching. Idenya ada aja. Aku belajar banyak selama satu team sama Kak Sani," puji Elsa habis-habisan. Senyum arogan Sani makin mengembang sementara mata teman-temannya sudah melihatnya tidak percaya.

"Lo pada lupa? Sani, The Mastermind, guys ..." ucap Sani yang sudah sangat besar kepala. Ia mengingatkan teman-temannya pada kejadian delapan tahun lalu saat dirinya memiliki ide untuk menjebak kepala sekolah korup agar turun tahta. Ya, memang kisah sekolah keenam anak ini begitu penuh drama. Tapi drama itulah yang mempertemukan dan mendekatkan mereka sampai menjadi seperti sekarang.

Dengan kompak kelima teman-teman Sani melempari Sani denga tisu bekas sementara Elsa hanya tertawa. Mereka kembali bercakap-cakap. Diam-diam Reyna kembali menganalisa Elsa. Dalam hati ia merasa bahwa Elsa ini boleh juga aksinya. Agresif tapi ternyata tidak se-tante-tante gatal yang ia pikirkan. Cara Elsa masuk ke percakapan mereka berenam sangat mulus dan tidak begitu mengganggu.

"Seru ya, punya temen yang masih rutin ngumpul dari SMA," kata Elsa.

"Bosen, Sa. kata yang tepat tuh bosen ..." respon Sani cepat.

"Ooohh ... jadi bosen banget lo, San ngumpul sama kita-kita?" sindir Reyna sambil mengangguk-angguk berlebihan. Mata Sani langsung melebar. Reyna yang mulai menyindir dan menggodanya di depan umum ini yang membuatnya bingung harus melakukan apa.

"Ya abis, pulang kantor gue ketemu. Weekend tempat gue diinvasi. Sampe gue kabur ke rumah bonyok juga anak-anak ini pada ngikutin. Heran gue, pada seneng banget mangkal di tempat tinggal gue ..." Dengan tergagap dan sedikit panik dia menambahkan penjelasan.

"Soalnya kalo di tempat orang lain, elo bakal males jalan buat ngumpul," balas Wira cepat sambil menunjuk Sani. Semua kompak menyetujui. Elsa kembali tertawa.

"Males lah gue, dijitakin mulu biasanya sama monyet satu tuh," Sani kembali pada kebiasaannya mengatai Reyna.

"Dih, kok jadi ngatain sih lo?! Salah gue apa coba, heran gue ..." ucap Reyna sewot.

"Kak Sani sama Kak Reyna gaya ngomongnya ... kok mirip ya?" kata Elsa tiba-tiba. Semua orang diam sejenak. Reyna dan Sani bertatapan tegang, takut ketahuan. Tapi kemudian Aldo dan Ivan tertawa, diikuti Wira dan Revi. Sani dan Reyna pun memutuskan buru-buru mengikuti arus.

"Saking seringnya berantem tuh! Jadi mirip kan?!" Sahut Ivan.

"Tau nih, jangan ikut-ikutan gue dong, Nyet!" Ejek Sani. Senyum Reyna hilang. Dia pun melotot.

"Emang kalo belom dijitak ngga bakal berenti yah nih Sariawan!" Reyna langsung mendekat dan menjitak kepala Sani sementara Sani hanya mengaduh. Ivan dan Wira masih sibuk membumbui pertengkaran mereka dengan celaan dan godaan.

"Kak Sani sama Kak Reyna tuh akrab banget ya Kak?" Tanya Elsa pada Aldo. Aldo yang setengah berkonsentrasi pada pertengkaran seru Reyna dan Sani berusaha menjawab.

"Mereka mah muhrim, udah kayak Kakak-Adek. Lagian biasanya Sani tuh tertarik sama cewe stunning kayak lo, bukan yang plain kayak Reyna gitu," jawab Aldo seadanya. Dia kembali berbalik dan menyoraki Sani sementara Elsa masih tersenyum mendengar omongan Aldo, berharap apa yang diucapkannya itu benar.

Karena Elsa tidak bisa menghentikan ketertarikannya untuk mendapatkan Sani.

***

Reyna menghabiskan sisa malamnya dengan mata terbuka. Tidak habis pikir dengan laki-laki yang beberapa hari lalu mengaku cinta padanya. Bagaimana ceritanya Sani dengan sikapnya yang penuh ejekan pada Reyna itu memiliki perasaan yang berkebalikan.

Reyna semakin ragu dengan kebenaran pernyataan cinta Sani. Makhluk menyebalkan yang satu itu hanya mengerti bagaimana cara membuatnya marah, mungkin pernyataan itu adalah salah satunya ...

Bzz!

Ponsel Reyna bergetar, mengejutkannya yang sedang termenung. Begitu menyadari bahwa dia baru saja memikirkan Sani dalam-dalam, Reyna menggelengkan kepalanya.

"Pait ... pait ... pait ..." kata Reyna seperti sedang mengusir tawon. Dia mengecek ponselnya. Ada pesan dari Sani,

"Is it too cheesy to say I'm sleepy but unable to shut my brain down cause they're busy thinking of you?"

Wajah Reyna memerah saking tidak tahan ingin tertawa. Sani dan gombalan murahnya. Bisa juga toh dia bicara seperti ini? Reyna saja geli sekali membacanya. Ya ... mengenal Sani, Reyna rasa tetap butuh mental yang besar baginya untuk mengirim pesan itu kepada Reyna. Tanpa sadar senyum Reyna mengembang.

Reyna: Hahaha!! Cheesy abis!

Sani: I just wish you like cheese.

Reyna: I'm lactose intolerant.

Sani: Really?

Reyna: Or Sani intolerant. Whatever works :p

Sani: Ouch ...

Reyna: San

Sani: Yep?

Bagaimana cara mengatakannya ... bahwa terlepas dari menggelikannya pesan-pesan manis Sani, Reyna menyukainya dan menikmati versi Sani yang seperti ini. Reyna ingin tahu berapa lama Sani bisa mempertahankan sikap yang manis penuh kode terang-terangan ini kepadanya.

Reyna: I start to think that cheese is probably tolerable.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top