Destinee Snow

Destinee terkesiap. Kelopak matanya membuka paksa dengan perasaan tak menentu. Bulir keringat membasahi pelipis, leher, serta punggungnya. Padahal sepagi itu udara Asheville benar-benar menusuk tulang.

Setelah meraih segelas air putih yang selalu tersedia pada meja lampu di samping tempat tidur dan meneguknya hingga tandas, Destinee menurunkan tungkainya yang berbalut kaus pada lantai kamar yang terasa membeku. Gadis bersurai merah itu menjengit dan sontak menarik kembali tungkainya, lalu meraih selimut dan melilitkannya ke sekujur tubuh.

Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam di sisi tempat tidur. Menekuri mimpi yang tadi menyentaknya hingga terbangun. Mimpi itu telah berulang kali ia alami sejak menginjak usia 14 tahun. Destinee nyaris menghafalnya dan seringkali mengulangnya dalam lamunan. Ia berharap dapat menemukan petunjuk apa pun terkait dengan mimpi itu. Akan tetapi, hasilnya nihil. Tak satu bagian pun dari mimpi itu yang dapat ia mengerti, selain kengerian dan rasa takut yang mencekam.

Perempuan berjubah merah, ritual, dan iblis yang menatap tepat ke dalam matanya benar-benar terasa nyata dan teramat dekat. Destinee bergidik. Bulu kuduknya meremang tanpa alasan. Remaja itu mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya, lalu mengangkat wajah. Cermin panjang yang menggantung di dinding, tepat di hadapannya menampilkan wajah kuyu yang berantakan.

Beberapa tahun terakhir, tepatnya sejak kepindahannya di mansion mewah milik Czarina, ibu angkatnya, Destinee merasa tak mengenali dirinya sendiri lagi. Kulit pucatnya yang jarang terkena sinar matahari serta kantung kehitaman di bawah mata yang tak kunjung hilang--- tak peduli apapun yang ia gunakan untuk mengenyahkannya--- telah menjadi pemandangan sehari-hari setiap kali ia menatap cermin. Wajah polos dengan bibir pucat itu seolah telah kehilangan semangat hidup. Satu hal yang masih terlihat menyenangkan adalah warna rambutnya yang merah berkilau. Selebihnya, ia tak merasakan apa pun, tak melihat apa pun yang tersisa selain kehampaan.

Destinee mendengkus. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjejakkan telapak kakinya ke lantai. Melawan dingin yang terasa bagai sengatan listrik pada tumitnya. Selimut tidur masih setia membalut tubuh rampingnya, menyapu karpet beludru yang menutupi sebagian kecil lantai kamar. Gadis itu berjalan menuju kusen jendela besar yang biasa ia duduki, satu-satunya tempat untuk mengintip dunia luar, lalu menyandarkan punggung pada bantal yang berwarna krem senada dengan selimutnya sambil melempar pandangan kosong ke luar jendela.

Matahari telah terbit dan suara kicauan burung terdengar masuk melalui celah jendela yang baru saja ia buka sedikit. Destinee menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya, merasakan kebebasan sederhana yang dapat ia rasakan.

Czarina, ibu tirinya, mengatakan jika ia menderita alergi matahari yang cukup parah. Ia bahkan tak pernah tahu, sejak kapan ia memiliki alergi seperti itu. Namun, sejak sang ibu mengungkapkan hal tersebut, Destinee tak pernah lagi menampakkan diri di bawah matahari. Awalnya ia tak mempercayai ucapan ibunya, hingga suatu hari di musim panas, Destinee secara sembunyi-sembunyi keluar dari mansion untuk berjemur di sekitar kolam renang. Tak sampai lima menit, kulitnya lantas melepuh dan terasa amat nyeri. Sejak saat itu, Destinee menuruti kata-kata sang ibu. Tepatnya terpaksa percaya karena memang tak ada lagi yang dapat ia lakukan.

Dalam kejenuhan yang terus memuncak, Destinee terperangkap di tempat itu, bersembunyi di balik kaca gelap dan tirai brokat transparan sembari menatap iri pada remaja-remaja yang berkeliaran bebas di balik pagar tinggi mansion Czarina. Sekali lagi, ia merasa tak bisa berbuat apa-apa.

Destinee mengembuskan napas panjang, lalu mengulurkan salah satu lengannya. Mendorong jendela agar terbuka sedikit lebih lebar. Lagi pula, matahari belum terlalu terik dan ia masih bisa menyembunyikan wajah dari balik tirai brokat yang memang tak pernah tersingkap.

Angin sepoi-sepoi membelai rambut merahnya lembut seumpama tangan hangat seseorang yang amat ia rindukan. Destinee yang menekuk lutut, kemudian membenamkan wajah pada selimut pembungkus tubuh. Kicauan burung yang menenangkan kembali membuatnya terlelap dan menyeretnya kembali ke alam mimpi.

🧙🧙🧙

Tuk tuk tuk

Bunyi ketukan pada kaca jendela membuat Destinee terlonjak dari tidurnya. Tubuhnya berguling pada karpet beludru tebal yang melapisi lantai kamar. Gulungan selimut pada tubuhnya terlepas. Gadis berambut merah itu menggeliat sesaat, mengendurkan ketegangan pada oto-otot tubuhnya akibat tertidur dalam posisi yang tak seharusnya, sebelum membuka kelopak matanya lebar-lebar.

Seekor burung hantu berwarna dominan putih bertengger pada bagian luar kusen jendela kamarnya. Mata lebar hewan itu menyorot Destinee tajam.

Destinee terkesiap. Sesaat ia hanya memelototi makhluk itu sembari mencerna keadaan, barangkali yang ia hadapi sekarang adalah mimpi. Namun, sedetik kemudian ia bergerak cepat ke arah jendela untuk memastikan bahwa ia tak salah lihat.

Rupanya burung hantu itu menyadari gerak-geriknya. Makhluk yang seharusnya berkeliaran di malam hari itu segera merentangkan sepasang sayapnya, lalu terbang menghilang dari pandangan. Bunyi sesuatu yang cukup keras menyusul kepergian si burung hantu. Sesuatu menghantam kaca dan jatuh pada kusen jendela.

Rasa penasaran mendorong Destinee untuk membuka jendelanya sedikit lebih besar. Ia lupa jika sinar matahari yang semakin tinggi bisa saja membakar kulitnya seketika. Gadis itu terperanjat saat merasakan sinar yang menyengat kulitnya, kemudian sontak memundurkan langkah, bersembunyi di balik bayang-bayang lemari.

Untuk beberapa saat lamanya, ia hanya terdiam di posisi itu. Mengamati ambang jendela hingga matanya menumbuk pada sesuatu yang terbungkus kain hitam, tergeletak pada bagian luar kusen jendela. Ia harus mengambil benda itu. Setelah menimbang cukup lama, akhirnya Destinee mengambil sarung tangan karet yang selalu tersedia tak jauh dari ambang jendela. Mengenakannya cepat, lalu mengulurkan tangan melewati tirai brokat dan celah jendela untuk meraih benda itu.

Destinee merasakan jantungnya berpacu. Ia bahkan nyaris menahan napas. Perpaduan antara rasa takut pada sinar matahari dan rasa penasaran pada benda yang terbungkus beludru hitam itu. Sensasinya yang amat jarang ia rasakan dalam hidupnya yang terkunci dan monoton. Ia segera menutup jendela dan tirainya setelah berhasil meraih benda misterius yang ditinggalkan burung hantu tadi.

Senyumnya mengembang saat mengamati benda dalam genggaman. Ia dapat merasakan sebilah tongkat yang panjangnya tak lebih dari 30 cm di balik kain beludru hitam itu. Tali sewarna emas menjadi simpul pada salah satu sisinya. Dengan perasaan gugup, Destinee membuka simpul tersebut. Ketergesaannya membuat simpul yang sebenarnya mudah diurai menjadi membutuhkan sedikit usaha untuk terbuka.

Netra hijaunya membelalak begitu mendapati apa yang ada di dalam bungkus beludru tersebut. Perlahan Destinee menarik sebilah tongkat yang terlihat familier dari dalamnya.

"Apa ini?" Destinee mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi, ke arah sebaris cahaya yang menyelinap dari celah jendela. Tongkat itu berwarna hitam pekat dengan garis berwarna keemasan di kedua ujungnya. Sebuah bola kristal seukuran batu cincin bertakhta di atasnya seumpama mahkota aswad dan sederet huruf membentuk kata 'Snow' yang memendar samar. Akan tetapi, warna hitam tersebut ternyata tak sepenuhnya pekat, terlebih saat terkena cahaya. Pendar cahaya putih serupa bintang menyala samar. Destinee seolah dapat melihat pemandangan luar angkasa dengan taburan bintan pada tongkat itu.

Selembar amplop menyembul dari dalam sarung beludru hitam. Memecah atensi Destinee dari tongkatnya. Gadis itu segera meraih amplopnya, lalu mengamati segel lilin dengan sebuah lambang yang asing baginya, penanda jika surat itu belum pernah dibuka.

Destinee menyentuh segel hitam yang kemudian memendarkan cahaya putih selama beberapa detik, sebelum akhirnya terlepas dengan sendirinya. Peristiwa itu membuatnya terkesiap, lalu sontak mengambil langkah mundur perlahan. Amplop kusam itu terlepas dari genggamannya.

Setelah beberapa saat menanti dengan posisi siaga dan tak terjadi apapun terhadap amplop itu, Destinee memutuskan untuk memungutnya kembali. Gadis itu duduk bersila di atas permadaninya, kemudian mengeluarkan secarik kertas berwarna kuning kusam dari dalam amplop.

Dengan tangan gemetar, Destinee membuka lipatan kertas itu dan mendapati sebuah tulisan singkat dengan huruf-huruf yang saling terangkai, sekilas nyaris tak terbaca. Setelah ia memfokuskan perhatian, barulah ia dapat memahami tulisan yang tercetak di atasnya. Sebaris kata yang selanjutnya akan mengubah hidup gadis itu selamanya; Help, me! by Mom.

🧙🧙🧙

Destinee mengaduk-aduk sup krimnya tanpa minat. Asap tipis yang semula mengepul dari permukaan mangkuk itu kini telah lenyap seiring dengan suhunya yang mendingin.

"Kau tidak menyukainya?" Suara lembut dari ujung meja makan yang panjang itu membuyarkan lamunannya.

Destinee mengangkat wajah dari mangkuk sup. Menatap paras Czarina yang selalu terlihat menawan itu di bawah temaram cahaya ruang makan bergaya gotik. "Aku tidak lapar, Bu," sahutnya pelan.

"Kau bahkan melewatkan sarapanmu. Ada apa sebenarnya, Nak?" Perempuan itu meletakkan pisau dan sendoknya pelan. Namun, suara dentingan masih terdengar memecah kesunyian ruangan.

Remaja berambut merah itu mendengkus pelan. Alih-alih menatap mata lawan bicaranya, Destinee justru menyorot kosong pada permukaan meja kaca di antara mereka. "Aku ingin ke Salem, Bu. Aku ingin liburan ke sana sekaligus mengunjungi Bibi May," ucapnya setelah menimbang beberapa saat.

"Ingat penyakitmu, Destinee." Perempuan elegan berambut karamel itu menyilangkan tangannya di depan dada. Akan tetapi tak ada kemarahan pada raut wajahnya. Ia menyorot lembut pada remaja perempuan yang kini memutar bola matanya. Czarina memang selalu seperti itu. Tipikal ibu tiri yang sangat ideal. Namun, justru karena sikapnya yang terlalu baik, Destinee rasanya ingin berontak.

"Aku bisa bepergian di malam hari, Bu. Dan, selama di sana, aku berjanji akan berdiam di rumah Bibi May saja. Aku tak akan pergi ke mana pun. Aku janji." Destinee menangkupkan jari-jemarinya dan menampilkan gestur memohon.

Giliran Czarina yang mendengkus. Mengusap tengkuknya sekilas, sebelum kembali menatap Destinee. Jenis tatapan yang sebenarnya dapat meluluhkan hati siapa pun. Akan tetapi, tidak bagi remaja perempuan di seberang meja makan. "Kau masih terlalu kecil untuk bepergian seorang diri. Tunggulah setidaknya hingga umurmu menginjak 18 tahun," tolak sang ibu lembut.

"Ibu, aku mohon ..." Destinee belum menyerah.

Czarina menggeleng pelan seraya menyunggingkan senyum simpati, sebelum menyudahi ritual makan siang mereka yang agak terlalu singkat saat itu. Perempuan yang nyaris berusia setengah abad itu jelas-jelas menghindarinya.

Lagi-lagi ia gagal. Destinee mendengkus sembari meletakkan sendokya pada piring dengan kasar. Czarina pasti menyadari aksi protesnya itu. Akan tetapi, perempuan bertubuh ramping itu mengacuhkannya. Czarina melewatinya begitu saja sembari mengucek rambutnya sekilas.

Destinee mengerucutkan bibir. Aroma levender lembut berangsur memudar dari penciumannya bersamaan dengan sosok Czarina yang telah meninggalkan ruang makan mewah itu. Sementara, Destinee meremas kuat surat kaleng yang diterimanya barusan di bawah meja makan. Giginya gemeletuk. Tekadnya sudah bulat, kali ini ia akan berontak. Menutup mata atas semua kebaikan ibu tirinya dan angkat kaki dari mansion itu selamanya.

TBC
Publis pertama kali: Pontianak, 25 Juli 2020 pukul 23.47

Kontak penulis: Zuraida.thamrin (IG)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top