9. The Corspe
Destinee masih termor, tangannya gemetar, sementara tubuhnya terasa kaku saat guncangan keras menghampiri bahunya. Gadis berambut merah seumpama bara itu masih tak bergerak dan suara seseorang memanggil namanya terdengar jauh dan teredam. Tentu saja, tidak ada yang terbiasa ketika melihat kematian, terlebih kematian seseorang yang telah berbagi kebaikan denganmu. Meski, tidak yakin harus melakukan apa setelah ini, terhadap kematian ini, Destinee tetap tidak bisa memaksa dirinya untuk pulih hingga sebuah tamparan menggelenyar di pipi kirinya tanpa permisi.
"Destinee! Sadarlah!"
Seolah tertarik dari alam mimpi buruk, Destinee berpaling pada Urbanne dengan marah. Bekas tamparan di pipinya berkedut-kedut dan sukses mengalihkan atensi Destinee dari kematian yang diratapinya dalam diam. Destinee merasakan umpatan paling kasar mendesak di lidahnya dan siap disemburkan pada Urbanne kapan saja, tetapi pemandangan wajah shock pemuda itu seketika membuat amarah Destinee menguap begitu saja.
Bayangan yang terpantul pada bola mata Urbanne segera saja menyadarkan Destinee akan keadaan di sekitarnya. Kematian di hadapan mereka memang mengerikan, tetapi jika mereka tetap diam maka mereka mungkin saja akan menyaksikan kematian mereka sendiri.
"Kita harus pergi dari sini," rengek Urbanne dengan suara melengking yang aneh.
Destinee menggeleng. "Aku tahu. Aku tahu," katanya linglung. Lalu pandangannya bertemu dengan iblis jahat yang menjadi biang kerok pembawa kematian ini, Brave. Dengan penuh keangkuhan makhluk itu memamerkan seulas senyum mengejek yang membuat Destinee ingin muntah.
Czarina yang mengutusku.
Ucapan itu kembali terngiang di telinga Destinee seolah Brave sedang mengucapkannya lagi, meski nyatanya iblis itu tak mengatakan apapun. Brave kini berjalan ke arahnya dengan langkah senyap yang begitu hati-hati. Pandangannya menilik Destinee seumpama tatapan kucing terhadap tikus kecil yang sedang terperangkap. Dalam hal ini, Destinee benar-benar merasa seperti tikus kecil malang yang terperangkap. Namun, Alih-alih merasa ketakutan dan terancam, sesuatu di dalam dada Destinee seolah menyala, amarahnya terbakar. Ia berteriak bak orang kesetanan ke arah Brave yang hanya membalasnya dengan seringai mengejek.
Destinee berharap selain berteriak, ia dapat juga menggoreskan kuku-kuku panjangnya ke kulit Brave andai saja Urbanne tidak bertingkah bodoh dengan menahannya. Sepasang tungkainya menerjang-nerjang ke udara kosong dengan sia-sia, sementara Brave mulai tertawa terbahak-bahak.
Beribu tanya tumbuh di benak Destinee bagai sel kanker yang sulit dicegah. Setelah kemarahannya tumpah-ruah bersama teriakan frustrasi kepada Brave, pertanyaan-pertanyaan itu seolah mendesak untuk dijawab.
Mengapa Czarina ibu tirinya mengutus iblis untuk mencelakainya? Apakah Czarina ingin dirinya mati? Mengapa tidak membunuhnya secara langsung? Apakah dirinya adalah monster aneh ataukah penyihir hitam dengan kekuatan ajaib? Lantas, bagaimana ia bisa menciptakan rune dari darah? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantamnya bertubi-tubi hingga menimbulkan sensasi berdenging di telinga. Destinee nyaris tidak dapat menterjemahkan apa yang dirasakannya sekarang, karena rasanya bagai mendidih sekaligus patah hati. Orang yang selama ini dipercayainya sebagai sosok pelindung ternyata menusuknya dari belakang. Destinee benar-benar tidak dapat menerima semua ini.
Lagi pula, mengapa Brave justru ingin membunuhnya sekarang. Bukankah pemuda iblis itu memiliki banyak waktu saat bersamanya menuju bandara tanpa perlu membiarkan adanya saksi mata? Apakah pemuda iblis itu sengaja ingin menyiksanya dengan kematian di depan mata? Destinee benar-benar tak habis pikir.
"Me-mengapa?" tanya itu akhirnya pecah dari mulut Destinee dalam getar yang serak.
Dan, seolah dapat membaca pikiran gadis itu, seringai Brave mendadak padam. "Kau bisa menanyakannya sendiri pada ibumu!" sahutnya dalam suara rendah nan parau.
Destinee mengepalkan kedua tangannya. Menanyakan langsung kepada Czarina adalah hal yang tak mungkin terjadi. Barangkali ia akan sudah menjadi mayat sebelum bertemu lagi dengan sang ibu tiri. Akan tetapi, Destinee memang tak berniat mempertanyakan semua ini. Tidak ada gunanya meratapi apa yang sudah terjadi. Tujuan awalnya tetap sama, pergi dari sini dan mencari ibu kandungnya.
"Aku akan membalasnya!" gertak Destinee berang. Seharusnya ada yang bisa ia lakukan untuk sekadar memberi pelajaran pada si iblis sombong di hadapannya.
Namun, lagi-lagi Urbanne menahannya. "Kita harus pergi dari sini sekarang!"
Atensi Destinee kembali terpecah. Kata-kata Urbane sepenuhnya benar. Brave akan membunuhnya mungkin dalam hitungan detik seperti yang dilakukannya pada Nerida. Merenung mengenai pertanyaan-pertanyaan yang menghantui benaknya saat itu bukanlah hal yang tepat.
Destinee bangkit, lalu membiarkan Urbanne menarik lengannya untuk mencari jalan keluar. Namun, tentu saja upaya mereka tidak semudah yang dibayangkan. Terlebih saat ini mereka berhadapan dengan makhluk yang notabene bukan manusia. Dengan kecepatan cahaya, yang tentu saja tak tertangkap penglihatan Destinee, Brave telah bergerak lebih dulu, menghalangi satu-satunya jalan keluar dengan merentangkan sebelah lengannya. Dinding tempat Brave menumpu lengan berderak, memunculkan jalur retakan tipis. Mata merahnya menyorot nyalang penuh amarah.
Di luar dugaan, Urbane dengan nekat melayangkan tendangan ke perut Brave yang justru berakibat buruk padanya. Meski menyerupai manusia, tubuh Brave sekeras batu. Tendangan Urbane tak berarti apa pun baginya, malahan pemuda berambut keriting itu harus menjerit kesakitan, sebelum lengan Brave yang lain melibasnya, membuat tubuh Urbane sekali lagi menghantam dinding, lalu jatuh di atas puing-puing lantai keramik yang hancur.
"Urbane!" Destinee menjerit bersama tangis kesalnya yang pecah tak terbendung. Gadis berambut merah itu berbalik, hendak menolong rekannya yang telah bercucuran darah, nyaris kehilangan kesadaran. Akan tetapi, lagi-lagi apa pun yang ingin dilakukannya tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah satu lengan kokoh Brave menarik kerah bajunya hingga tubuh Destinee terangkat tinggi di udara.
"Lepaskan!" jeritnya marah. Sepasang lengan dan tungkainya bergerak liar, menggapai dan menendang-nendang ke segala arah berusaha mencari apa pun untuk melepaskan diri. Alih-alih terlepas, lengan Brave kini mulai mencekik lehernya dari belakang. Teriakkan Destinee sontak tercekat. Tangannya refleks memegangi leher, berusaha melepaskan cengkeraman jari-jari Brave dari sana.
"Kau pikir bisa melawanku, Manusia?!" hardik Brave dengan suara keras dan parau khas para monster. Rahangnya mengeras, sementara kebencian terpancar dari sepasang netra Brave yang merah menyala. Wajah tampan kaukasianya perlahan-lahan menghilang. Kulitnya menjadi hijau dengan urat-urat halus berwarna biru tua yang tercetak jelas di atasnya. Perlahan tetapi pasti, Brave mulai menunjukkan wujud aslinya.
Destinee menjerit lemah. pandangannya mulai gelap dan berkunang-kunang. Napasnya tersengal akibat sesak yang mencekik leher. Bayang-bayang kematian terasa begitu nyata di pelupuk matanya. Gadis berambut merah itu rasanya tak mampu lagi berpikir, apalagi melawan. Perlahan tetapi pasti pertahanannya mulai menyurut karena kehabisan tenaga.
"Sebutkan permintaan terakhirmu!" Brave menyeringai. Cengkeraman jari-jarinya di leher Destinee semakin mengetat, meski tentu saja dilakukannya nyaris tanpa upaya yang berarti.
Sementara, Destinee yang hampir hilang kesadaran hanya mampu menggerak-gerakkan bibirnya. Tak sepatah kata pun yang mampu ia suarakan. Ia tidak sedang menjawab Brave, tentu saja ia tak akan sudi. Andai ia dapat menyuarakannya, Destinee akan melaungkan umpatan paling kasar yang terpikir olehnya saat itu. Namun, jangankan bersuara, mempertahankan napasnya saja rasanya Destinee tak akan sanggup. Dadanya sesak, perih, rasanya seperti terbakar. Pada detik di saat pikirannya mulai tersesat dalam gelap dan nyaris menyerah akan rasa sakit, sebuah keajaiban lantas terjadi.
Destinee tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya menghangat dan perlahan-lahan kekuatan seolah mengisi setiap bagian tubuhnya. Rasa sakit di dada dan lehernya lamat-lamat mulai memudar.
Dari sudut matanya yang nyaris tertutup, Destinee melihat tetes-tetes darah yang keluar dari luka di kulit leher akibat tekanan kuku Brave melayang di udara, menjadi titik-titik merah kecil seumpama kunang-kunang. Untuk beberapa saat, Destinee mulai mengedip tak percaya, sementara waktu di sekitarnya seakan berhenti berdetak.
Cahaya samar mulai berpendar dari tiap titik darah yang melayang-layang di udara, lalu saling mendekat, sebelum pecah menjadi garis-garis yang membentuk sebuah simbol bercahaya dalam lingkaran merah.
Destinee masih tercengang takjub memandangi simbol yang tertoreh di udara dari tinta darahnya, ketika cengkeraman Brave di lehernya mendadak terlepas. Tubuh gadis itu jatuh terhempas ke atas lantai dalam sekali sentakan yang tak mampu diantisipasinya. Akan tetapi, anehnya, rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya membuat sakit akibat hempasan itu nyaris tak dirasainya. Dengan mudahnya gadis berambut merah itu bangkit, lalu berbalik dan mendapati Brave yang tengah jatuh berlutut Brave berteriak tertahan. Titisan iblis itu bergeming dengan netra membelalak yang terpaku pada simbol darah Destinee. Pemuda iblis itu berusaha menggeleng, tetapi tindakannya tak mengubah apa pun yang terjadi selanjutnya.
Dalam sepersekian detik yang tak terduga, simbol darah di udara itu berpendar terang sebelum memecah, lalu bersatu dengan udara di sekitarnya tanpa bekas. Di saat simbol itu pecah, tubuh kaku Nerida yang semula tergeletak bersimbah darah mendadak terangkat ke udara. Sesuatu tak kasat mata seolah menggerakkan mayat tersebut, mengisinya dengan nyawa hingga pada puncaknya, sepasang mata Nerida yang membelalak kosong tiba-tiba menyorotkan cahaya.
"Apa yang terjadi ...," Destinee terguncang dalam kepanikan yang kentara. Secara refleks kakinya bergerak mundur. Sementara, di sisi lain, Brave bergeming dengan mata membelalak waspada.
Saat tubuh kaku Nerida pada akhirnya menjejak lantai, Destinee tahu jika makhluk itu bukanlah Nerida. Melainkan, sesuatu yang menumpangi tubuh mati Nerida. Sepasang mata mayat hidup itu menyala merah, sementara luka-luka di tubuhnya menghitam dalam sepersekian detik, persis seperti daging yang telah mengalami pembusukan. Nerida melangkah dengan gestur aneh dan gerakan patah-patah. Mulutnya yang terbuka dengan gigi-gigi yang terlihat sedikit memanjang meloloskan bunyi konstan tanpa nada.
Akan tetapi, yang membuat Destinee syok bukan kepalang adalah fakta bahwa makhluk mengerikan itu dibangkitkan olehnya, atau sesuatu yang menyerupai mantra dan berasal dari darahnya.
Mayat Nerida itu mendekati Brave dengan langkah aneh yang sedikit menyerong. Kedua lengannya terentang lurus di depan dada, sementara kepalanya terkulai ke satu sisi dengan janggal. Mulutnya terus-menerus mendesis parau dalam nada rendah. Gerakannya tidak gesit, untuk itulah Brave merasa tidak perlu buru-buru menghindar.
"Monster apa yang kau ciptakan?" Brave yang masih menatap lekat mayat Nerida yang bergerak ke arahnya mengerling kepada Destinee dengan tampang serius, seolah ia tak menduga bahwa Destinee dapat menciptakan sesuatu.
Tanpa menanti jawaban Destinee, Brave lantas merangsek maju, menyerang makhluk itu dengan sebuah tinjuan. Mayat Nerida melolong jeri saat tubuhnya terpental dan menghantam dinding. Cetakan punggung tangan Brave membekas seperti kawah kecil di pipi yang berwarna merah kebiruan. Sementara, bekas daging yang hancur menempel pada dinding. Meski terlihat begitu rusak dan mengerikan, sosok itu bangkit kembali dengan langkah terseok dan menyerang Brave.
"Makhluk sialan!" umpat Brave sebelum kembali menerjang mayat Nerida. Kali ini tendangannya berhasil membuat sebelah tangan makhluk terlepas dari tempatnya. Potongan tangan Nerida terlempar tepat di bawah kaki Destinee.
Makhluk itu kembali ambruk, tetapi lagi-lagi dalam waktu singkat berhasil bangkit, meski dalam keadaan ganjil. Dengan tulang punggung yang patah, sebelah pelipis terkoyak, dan langkah yang diseret-seret, mayat Nerida kembali menyerang dengan lebih brutal.
Sementara itu, Brave yang berang akhirnya meraih sebilah patahan kayu dari reruntuhan dinding rumah Nerida. Kawat-kawat yang tercerabut mencuat dengan tajam, membuat Destinee bergidik ngeri membayangkan apa yang dapat menimpa tubuh Nerida yang nyaris hancur tak berbentuk. Meski tak mengenal perempuan berkulit gelap itu, penyerangan terhadap mayat bukanlah sesuatu yang ingin Destinee saksikan.
"Hentikan, Brave! Dia sudah mati!" jerit Destinee dengan suara tangis tertahan di tenggorokan.
Ucapannya sontak saja membuat Brave tidak senang. "Kau lihat, 'kan, makhluk mengerikan yang kau ciptakan ini?! Wajar saja jika Czarina ingin membunuhmu!" balasnya kasar, bahkan tanpa melihat kepada lawan bicaranya. Kata-kata Brave barusan rasanya lebih tajam dari ujung-ujung kawat yang mencuat dari patahan kayu. Dan, setelahnya, Brave bahkan mengabaikan Destinee dengan tetap pada tujuannya untuk menghajar Nerida yang sudah mati.
Bunyi kayu yang menghantam tulang-tulang berpadu dengan sobekan kawat pada daging segera saja memenuhi pendengaran Destinee. Gadis berambut merah itu sampai harus menutup kedua telinga dan mengalihkan pandangan ke sisi lain ruangan agar tak melihat Nerida. Akan tetapi, semua itu sudah cukup bagi Destinee untuk membuat bayangan mengerikan itu nyata di dalam pikirannya.
"Hentikan, Brave!" Destinee memperingatkan.
Brave masih mengabaikannya dan masih fokus menusuk daging tak bernyawa milik Nerida berkali-kali. Bunyi tusukan itu membuat Destinee sangat marah dan. Kesabarannya benar-benar telah habis. "Hentikan, Brave! Atau kau akan melihat hal yang lebih mengerikan lagi!" ancamnya.
Brave menancapkan patahan kayu berkawat itu untuk yang terakhir kali. Serpihan daging Nerida terlihat menempel pada beberapa sisi wajahnya. Pemuda itu menyeringai. "Kau pikir aku akan peduli?"
Tentu saja, Destinee tahu persis jika Brave tak akan peduli. Kenyataan ini sontak membuat Destinee naik pitam. Gadis itu lantas mengambil sebuah pecahan kaca di dekat kakinya, kemudian menorehkannya ringan ke atas pergelangan tangan hingga garis Semerah darah terbentuk di sana. Perlahan-lahan, Destinee merasakan sesuatu mengaliri tubuhnya dari telapak kaki, merambat naik ke tubuhnya hingga mencapai kepala. Hanya dalam waktu beberapa detik, Destinee merasakan kekuatan dahsyat merasukinya. Lalu, seperti yang sudah-sudah, titik-titik darah yang bercahaya keluar dari luka gores sebelum terangkat ke udara. Titik-titik darah itu berkumpul membentuk serangkaian simbol bercahaya, sementara pergerakan di sekitarnya seolah berhenti.
Setelah mengambang di udara selama beberapa detik, titik-titik darah itu lantas bergerak ke arah Brave dan tanpa disadarinya menempel pada keningnya. Brave yang masih belum puas membunuh Nerida tengah mengangkat sebilah kayu berkawat baru dan hendak menancapkannya pada daging Nerida yang nyaris tak berbentuk lagi, ketika pemuda itu tiba-tiba melolong nyaring.
Kayu berkelontang menghantam ubin retak di bawah kaki Brave, sementara pemuda itu mencengkeram kedua sisi kepalanya, kesakitan. Brave menjerit hingga suaranya terdengar parau. Sakit yang dirasakannya semakin menjadi-jadi hingga membuat Brave menjatuhkan lutut, meringkuk. Brave yang terlihat kesakitan berusaha keras menghantamkan kepalanya ke manapun yang dapat dijangkau. Akan tetapi, tubuhnya terpaku, seolah rantai besar mematrinya dalam posisi seperti itu.
Di tengah-tengah teriakan kesakitan Brave, sebuah simbol muncul di kening pemuda iblis itu. Simbol yang sama persis dengan simbol darah Destinee yang mengambang di udara beberapa saat lalu. Simbol itu berwarna merah darah dan memendarkan cahaya samar.
Detik itu juga, Destinee merasakan sesuatu yang hangat dan sedikit perih menoreh permukaan kulit keningnya. Dengan refleks, gadis berambut merah itu menyentuh kening dan mendapati noda darah pada permukaan jarinya. Alih-alih merasakan sakit yang berarti, benak Destinee justru dipenuhi oleh tanya yang menyesaki kepalanya. Apa yang terjadi? Mengapa Brave dan dirinya mengalami luka yang sama?
Akan tetapi, belum sempat Destinee memikirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sendiri, lolongan Brave menyeretnya kembali ke situasi yang tengah ia hadapi. Lelaki iblis itu melolong jeri dalam nada tinggi yang menunjukkan betapa hebat kesakitan yang menderanya. Detik berikutnya, tubuh tegap Brave jatuh ke lantai dalam kondisi kejang-kejang sebelum akhirnya menghilang menjadi kepulan asap hitam pekat yang semakin lama kian menipis. Sementara, simbol di keningnya menetap untuk beberapa detik setelah tubuh Brave menghilang, berpendar sebelum tiba-tiba redup tanpa bekas.
Pontianak, 12 Februari 2022, pukul 21.47 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top