7. The Attack
Destinee tidak memejamkan mata lagi setelah mimpi aneh yang menariknya paksa dari tidur. Perasaannya tidak karuan, tetapi sebagian besar didominasi oleh ketidaknyamanan. Ia terus duduk dan bersandar pada sandaran tempat tidur sembari menggenggam erat batu ametisnya seolah benda tersebut adalah pengobat rasa takut.
Gadis itu akhirnya beringsut setelah matahari benar-benar telah terbit dari peraduan. Pelipisnya dihantam nyeri akibat kurang tidur saat ia beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Langkahnya terhuyung. Gadis itu bergegas mempersiapkan diri, meski godaan untuk kembali bergelung di tempat tidur terasa sangat kuat. Udara pagi musim gugur di Salem membuatnya menggigil.
Jam beker berbentuk lebah yang bertengger di atas nakas yang ia bawa dari rumah menunjukkan pukul 6 tepat saat Destinee keluar dari kamar mandi. Dia tak ingin menunda-nunda pencarian sekaligus pelariannya lagi, terlebih Czarinna pagi ini mungkin saja sudah menyadari ketiadaanya di dalam kamar. Sang ibu pasti panik dan mulai menyusuri jejaknya dengan menggeledah seluruh isi kamar guna menemukan petunjuk.
Kaus hitam polos dan jaket jeans berwarna hijau lumut menjadi pilihannya pagi itu. Untuk menghindari udara dingin ia meraih jaket kulit panjangnya sebagai tambahan. Ia juga mengikat rambut merah setengah basahnya asal, tinggi-tinggi, guna menghindari anak-anak rambut yang mungkin saja turun menutupi kening dan wajahnya. Firasatnya, hari itu akan menjadi hari yang sibuk dan panjang. Tak lupa, ia menyimpan batu ametis di dalam kantong jaketnya, tempat yang paling mudah dijangkau.
Setelahnya, tanpa membuang banyak waktu, gadis itu mengemasi tas ransel dan koper dorongnya untuk sekalian check out dari penginapan. Untuk menyulitkan pencarian Czarina, ia tak akan pernah menginap lebih dari satu malam di satu tempat yang sama.
Seperti yang telah dijanjikan, Urbane telah menjemputnya. Saat Destinee menjejakkan kaki di loby dengan menyeret koper berodanya, pemuda itu lantas bangkit menyambutnya dengan senyum ramah.
Pemuda itu terlihat jauh lebih tampan dari pada saat mereka bertemu pertama kali. Urbane mengenakan overall berwarna cokelat gelap dengan tali bercorak garis-garis, sementara kemeja oversize berwarna lebih terang menjadi dalaman yang ia kenakan. Rambut keriting pirangnya ditutupi oleh sebuah topi fedora berwarna krem.
"Hai, selamat pagi Destinee. Kau sudah siap?" sapa pemuda itu setelah berdeham beberapa kali. Sebuah tanda pengenal sebagai pemandu wisata menggantung di lehernya dengan tali berwarna merah menyala. Rupanya dia sudah sangat siap bertugas.
"Aku tidak menyangka jika kau datang sepagi ini," sahut Destinee. Meski lega, dia masih terkejut atas kedatangan Urbane yang tepat waktu, bahkan mungkin terlalu awal. Ia melirik sekilas jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Benar saja. Jarum pendek jamnya masih mengarah di angka 7.
Urbane terkekeh. "Aku adalah pemandu wisata profesional. Tentu saja aku akan datang tepat waktu. Prinsipku, jangan biarkan tamuku menunggu."
Destinee tersenyum. "Wah, aku harus membayar mahal untuk profesionalismemu ini."
"Tidak perlu. Cukup tarif normal yang sudah kita sepakati di email, tapi ... kalau kau mau membayar lebih, aku tidak akan menolak."
Kelakar Urbane barusan membuat kedua remaja itu sontak tergelak bersama. Setelah Destinee selesai berurusan dengan resepsionis, mereka keluar beriringan.
"Kau punya alamat bibimu?" Urbane berdiri, kemudian menenggerkan kacamata bulat di atas batang hidungnya. Sebelah tangannya mendorong koper beroda yang dibawa Destinee.
Destinee lantas mengangsurkan selembar kertas kusam pada pemuda itu.
Urbane mengernyit sembari membenamkan bibirnya, tampak berpikir selama beberapa detik. "Sepertinya aku mengenali alamat ini," gumamnya lebih kepada diri sendiri. Pemuda itu lantas mengangkat pandangannya dari kertas yang diberikan Destinee. "Jalanan utama sedang ditutup karena festival telah dimulai, kita memerlukan lebih banyak waktu jika harus mencari jalan lain. Saranku, kita susuri saja jalanan utama sembari menikmati festival, bagaimana menurutmu?" Urbane menaik-turunkan kedua lengkung alisnya dengan jenaka.
Destinee mendengkus. "Kau tidak sedang mempermainkanku 'kan?"
Urbane tergelak. "Anggap saja aku sedikit mempermainkanmu." Pemuda itu lantas melirik tas koper yang sedikit menyusahkannya itu. Mereka memasuki sebuah taksi bergambar penyihir berwarna hijau menyala yang telah menanti tepat di depan penginapan. "Barang-barangmu cukup menyusahkan, Nona. Di mana kau akan menginap selanjutnya?" tanyanya lagi.
"Mungkin aku akan menginap di tempat bibiku, jika kita menemukan rumahnya lebih cepat. Bagaimana menurutmu?" Destinee menggigit bibir bawahnya tampak berpikir. Sementara mobil yang mereka tumpangi bergerak lambat menjauhi Salem Hotel, membelah kerumunan peserta parade yang mulai memenuhi jalanan di depannya.
Jalanan Salem telah ramai sepagi itu. Orang-orang dengan aneka kostum bertebaran di jalanan menjadi pemandangan yang sangat menarik. Destinee sampai menurunkan sedikit kaca mobil yang dia tumpangi dengan raut penasaran agar dapat melihat pemandangan unik itu lebih jelas. Berbagai jenis hantu dalam aneka warna bergerak di setiap sudut kota. Menyeramkan sekaligus memesona di saat bersamaan. Sepanjang jalan yang mereka lewati juga dipenuh hiasan dan umbul-umbul sebagai penanda perayaan Halloween yang didominasi warna hitam dan orange menyala.
"Sayang sekali kau tak menggunakan kostum hari ini," celetuk Urbane saat melihat keterpanaan yang tersirat pada bola mata gadis itu.
Mendengar ucapan tersebut, Destinee sontak menoleh padanya, mengalihkan pandangan dari orang-orang berkostum unik yang sedang berjalan kaki. "Jadi kau mengenakan kostum?" Gadis itu meliriknya dari kepala hingga ke ujung kaki, menilai penampilan pemuda itu.
"Tentu saja," sahut Urbane sembari menarik-narik tali overall-nya dengan gerakan jenaka. "Apakah kau bisa menebak aku menjadi apa?" tanyanya.
Destinee menimbang sesaat, sebelum menggeleng pelan. "Entahlah, kukira kau hanya ingin tampil lebih rapi hari ini."
"Oh ayolah, Destinee, di mana letak imajinasimu. Aku berkostum Pinokio."
"Pinokio? Tanpa hidung yang panjang?" Destinee menaikkan sebelah alisnya.
Urbane mendengkus. "Dengar, Destinee. Pinokio berhidung panjang karena dikutuk jika ia berkata bohong. Ketika Pinokio berkata jujur, hidungnya akan normal dan terlihat tampan sepertiku." Pemuda itu berkilah, sementara di sampingnya Destinee terkekeh pelan sebelum kembali memfokuskan pandangann pada keramaian di luar taksi.
Jalanan semakin ramai dan kendaraan umum mulai sulit bergerak. Beberapa polisi bertopi penyihir terlihat berlalu-lalang mengatur jalanan, sebagian lagi tampak berjaga di beberapa sudut kota dan bertugas menjaga keamanan festival. Taksi yang mereka tumpangi seringkali berhenti untuk waktu yang cukup lama akibat antrian kendaraan yang mengular.
"Bagaimana kalau melewati jalan lain?" tanya supir taksi berperawakan tambun setelah menekan klakson beberapa kali dengan frustrasi. Butir-butir keringat menempel di keningnya.
"Bagaimana menurutmu, Destinee? Sepertinya kita tidak bisa menerobos jalanan karena sebentar lagi pawai akan segera dimulai. Kalau pun kita mau melewati rute ini berarti kita harus menunggu sampai pawai selesai menjelang tengah hari nanti." Urbane terlihat mengecek ponselnya.
"Berapa jarak tempat ini dan rumah bibiku?" tanya Destinee tanpa mengalihkan pandang dari jendela yang terbuka.
"Sekitar satu jam berkendara," sahut pemuda itu. "Kau mau menunggu?" tanyanya lagi.
Destinee menggeleng. "Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus cepat bertemu dengannya." Wajah Czarinna membayang dalam benaknya sekilas. Dia tidak bisa menunggu lebih lama jika tak ingin ditemukan Czarina sebelum menyelamatkan ibunya. Gadis itu mengembuskan napas panjang berusaha mengusir segala bentuk kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya saat itu.
"Oke. Baiklah, aku mengerti." Urbane menyimpan ponselnya, menatap lurus ke depan, ke arah supir yang meliriknya gusar dari kaca spion. "Kita lewat jalan lain, Pak," ucapnya.
Sang supir mengembuskan napas lega, kemudian menyeka sekilas keringat di pelipisnya. Mobil hijau menyala itu masih melaju dengan mulus untuk beberapa menit hingga seorang polisi memberi kode agar kendaraan mereka segera menepi.
"Sial!" decak sang supir.
"Ada apa?" tanya Destinee sembari melirik polisi yang mendatangi mereka. Mobil yang mereka tumpangi pun menepi di pinggir jalanan yang dipadati pelancong.
"Pawai dan parade rupanya akan segera dimulai," sahut Urbane sedikit kecewa.
"Baiklah, sepertinya kita memang harus menunda perjalanan." Destinee mengembuskan napas panjang. "Boleh aku ke toilet sebentar?"
"Tentu saja. Kau mau kutemani? Maksudku ... aku akan menunjukkan jalan menuju toilet umum terbaik di sekitar sini."
Destinee terkekeh. "Tentu saja."
🧙🧙🧙
Destinee dan Urbane harus berjalan cukup jauh dari keramaian untuk menemukan toilet umum terbaik versi Urbane. Gadis itu menurut saja karena memang menginginkan sedikit privasi sejenak untuk menenangkan pikirannya. Keramaian, meski awalnya terlihat menarik dan menyenangkan lambat laun membuat Destinee sedikit terganggu. Bagaimanapun, ia telah terlalu terbiasa sendiri dan terkurung di dalam kamar.
Destinee mengembuskan napas panjang saat akhirnya dia berdiri di depan wastafel dengan sebuah cermin menggantung di hadapannya. Gadis itu mencuci tangan singkat di bawah air keran yang mengalir tidak terlalu deras, sebelum berlama-lama membasuh wajahnya dengan air. Air dingin yang menyentuh kulit wajah seketika membuatnya sedikit tenang. Dalam hati, berkali-kali dia berucap meyakinkan diri jika segala sesuatu yang direncanakannya untuk pelarian ini akan berjalan lancar. Semua akan baik-baik saja dan ia akan segera menemukan ibunya.
Tiba-tiba derit pintu toilet terdengar membuyarkan lamunan Destinee, diiringi bunyi debum keras yang refleks membuat gadis itu memalingkan wajah. Jantungnya berdegup lebih kencang saat mendapati pintu toilet yang telah tertutup dan tak ada apapun di balik keremangan itu. Bulu kuduknya seketika meremang.
Dengan bergegas, Destinee merapikan ikatan rambutnya sebagai bentuk pengalih rasa takut yang perlahan merambatinya. Gadis itu berniat melangkah ke arah pintu dan segera keluar dari toilet. Namun sesuatu yang berat tetapi tak terlihat tiba-tiba mendorong tubuhnya kuat ke arah dinding porselen toilet. Destinee berteriak ketakutan saat tubuhnya kemudian melayang di udara dan berakhir menghantam dinding dan merosot di lantai ubin.
Gadis itu mengerang kesakitan sembari mengedarkan pandangan waspada ke sekelilingnya. Namun, ia tak menemukan apapun selain toilet kosong yang lampunya mulai berkedip-kedip. Suasana toilet itu mendadak menjadi temaram saat dua lampu mendadak padam, menyisakan hanya satu lampu menyala.
Kengerian menjalarinya dalam sekejap. Susah payah gadis itu mengangkat tubuhnya untuk bangkit, meski rasa nyeri berdenyar di belakang kepala dan punggungnya. Ia tak boleh berdiam di tempat itu lebih lama lagi. Ia harus bisa mencapai pintu.
Dengan langkah tertatih, Destinee memaksa tubuhnya berjalan. Akan tetapi, lagi-lagi sesuatu yang tak terlihat kembali mendorong tubuhnya. Kali ini ke samping, ke arah kaca wastafel. Sekilas sebelum tubuhnya menghantam kaca sepanjang 3 meter itu, Destinee dapat melihat sekelebat bayangan hitam yang terlihat familier berdiri sembari menyeringai di belakangnya. Gadis itu mencoba mengingat-ingat, tetapi tak dapat segera mengenalinya karena rasa takut dan kepanikan yang masih menguasainya.
Destinee terkesiap, jeritannya yang sempat terputus, kemudian kembali terdengar bersamaan dengan bunyi kaca yang pecah berderai akibat hantaman tubuhnya.
Destinee merintih menahan sakit. Pandangannya menumbuk pada ruang kosong yang sebelumnya menjadi tempat keberadaan sosok hitam yang terlihat di cermin. Tidak ada apapun di sana. Ketakutan dan amarah membuatnya nyaris meledak. "Siapa kau? Apa maumu?!" teriaknya berang. Namun lagi-lagi tak ada jawaban.
Gadis itu beringsut turun dari meja wastafel. Sekujur tubuhnya terasa ngilu dan nyeri karena terkena pecahan beling di beberapa bagian. Pecahan kaca berguguran saat akhirnya ia berhasil menapakkan kedua kakinya ke lantai ubin dingin. Namun, ketenangannya tak berlangsung lama salah satu pipinya kembali dihantam pukulan keras sehingga ujung bibirnya sobek dan berdarah.
Destinee semakin meradang. Nyeri yang berkedut di ujung bibir tak ia indahkan. "Kalau berani, tampakkan dirimu! Aku akan menghajarmu!" Gadis itu mengambil kuda-kuda canggung. Matanya menatap liar ke sekeliling.
Dari arah pintu terdengar gedoran yang menuntut dan teriakan panik Urbane. Sesuatu--- apapun itu yang tak terlihat telah mengunci pintu toilet dari luar, membuatnya terkurung dan bahkan akan membunuhnya. "Urbane cari bantuan!" balasnya dari dalam, meski sedetik kemudian aku sadar bahwa bantuan sama sekali tak berguna dalam menghadapi makhluk yang tak terlihat ini. Bunyi gedoran Urbane sontak menghilang. Agaknya pemuda itu benar-benar mencari bantuan untuk dapat mengeluarkan Destinee dari toilet.
"Aku tahu kau ada di sini, keluarlah, tampakkan dirimu! Lawan aku!" teriak Destinee berang. Kepalan tangannya yang terangkat di depan dada dalam kuda-kuda canggung itu gemetaran, sama persis dengan suaranya. Gadis itu ketakutan setengah mati.
Untuk sesaat, suasana toilet menjadi hening. Namun, ketegangan menguar pada udara yang rasanya membeku. Dengan tertatih sembari menyeret tubuhnya, Destinee bergeser menuju pintu toilet. Kali ini tak ada apapun yang menyerangnya, atau mungkin belum. Dengan langkah lebih percaya diri dan tetap waspada akhirnya gadis itu berhasil mencapai gagang pintu. Destinee menariknya dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, tetapi pintu itu tak dapat terbuka.
Destinee yang panik lantas menggedor-gedor pintu sembari berteriak meminta pertolongan. Namun, dalam sepersekian detik, tubuh Destinee mendadak kembali terlempar ke udara, menjauh dari pintu hingga akhirnya kembali menghantam dinding toilet dengan lebih keras. Gadis itu mengerang. Tubuhnya benar-benar terasa remuk. Darah segar mengalir keluar dari salah satu sudut bibirnya.
Destinee mengusap darah kental itu, menampungnya dalam kepalan tangan. Tiba-tiba suara raungan memekik nyaring terdengar dari berbagai penjuru toilet diiringi deru angin yang berpusat mengisi ruangan. Pendengaran Destinee terasa ditikam dengan senjata tajam, sementara tubuh ringkihnya berusaha untuk tetap menjejak lantai ubin. Angin membebaskan ikatan rambut merahnya. Dengan gerakan refleks, sebelah tangan gadis itu lantas menempel di telinga, sementara sebelah tangan lainnya terulur lurus di depan dada dengan telapak tangan terbuka.
Sebuah keajaiban terjadi. Pada detik berikutnya, darah yang menempel pada telapak tangan Destinee seolah bangkit dan terangkat perlahan ke udara membentuk sebuah rune yang memendarkan cahaya keemasan. Darah itu bergerak dinudara seolah ada yang menuliskannya dengan sebuah kuas membentuk sebuah sinbol yang sama sekali tak Destinee pahami. Setelah rune terbentuk sempurna, sinar keemasan memancarkan cahaya yang menerangi seluruh pelosok toilet. Suara teriakan misterius yang memekakkan telinga itu mendadak berubah menjadi lolongan. Sementara, pusaran angin menghilang begitu saja tanpa jejak. Seberkas bayangan hitam terbang melayang, seolah tersedot dan menghantamkan dirinya pada rune darah Destinee, sebelum akhirnya hancur menjadi partikel kecil seperti abu.
Destinee terpana menyaksikan apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Sungguh sebuah kejadian yang tak pernah ia bayangkan. Namun, rasa nyeri yang mencengkeram sekujur tubuhnya lantas membuat pandangan gadis itu mengabur dan sedetik kemudian tubuhnya merosot lemah pada lantai ubin. Destinee tenggelam dalam ketidaksadaran.
Pontianak, Rabu, 14 Oktober 2020, pukul 19.30 WIB.
Author's note: huaaa akhirnya update lagi setelah beberapa kali mentok 🤣. Selanjutnya semoga aku bisa ngegas bgt updatenya, giliran sama dua ceritaku yang lain jg yg harus kutamatkan tahun ini huhu. Terima kasih sudah mampir. ❤️ Untuk info seputar cerita bisa kepoin IG-ku: zuraida.thamrin🧙😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top