6. The Vissgossar
Destinee dapat merasakan sebuah aura yang cukup menguras energinya saat sosok dari kegelapan itu akhirnya menampakkan wujud di bawah cahaya remang-remang. Wajah pucat dengan bola mata putih itu hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari wajahnya.
Jantung gadis itu berpacu hingga ia refleks memegangi dada kirinya seolah khawatir jikalau organ itu melompat dari rongganya. Destinee takut bukan kepalang. Namun, alih-alih berlari, ia tetap diam mematung di atas pijakan, sekuat tenaga bertahan. Sementara, di luar dugaan, sosok itu mendadak memekik jeri dan dengan cepat tertarik kembali ke dalam kegelapan, meninggalkan teriakan melengking yang mengerikan.
Sebuah letupan cahaya muncul di penghujung lorong gelap itu, disertai bunyi dentuman yang tak terlalu nyaring. Kelebat cahaya yang menerangi lorong itu selama beberapa detik memberikan Destinee kesempatan untuk melihat siapa atau apa yang ada di balik kegelapan.
Seorang pemuda dengan wajah tertunduk dan tubuh bersandar pada dinding lorong muncul di dalam kilatan cahaya. Sementara, Sosok mengerikan yang baru saja nyaris menyerang Destinee kini tak lagi terlihat, agaknya bunyi dentuman barusan merupakan penanda kepergiannya.
Dalam sisa letupan cahaya yang nyaris menghilang, Destinee berlari secepat yang ia bisa, mendekati sosok pemuda yang butuh pertolongan di tengah lorong. Saat kilatan cahaya akhirnya redup, gadis itu telah berada di sisi sang pemuda. Tubuh ringkih pemuda malang itu gemetaran dan terlalu dingin di dalam genggamannya dan hal itu membuat Destinee sedikit merinding ketakutan.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya setelah merangkul bahu sang pemuda yang masih merintih samar-samar.
"Di-dia menyerangmu," jawab pemuda itu dengan suara tersengal.
Kening Destinee mengerut. "Aku baik-baik saja. Makhluk itu sudah pergi."
"Apa? Tidak mungkin? Bagaimana bisa?"
Destinee mendengkus. "Kita tidak akan berdebat soal ini 'kan? Kita harus segera pergi dari sini." Mengacuhkan pertanyaan pemuda itu adalah pilihan bijak di tengah suasana genting yang baru saja mereka hadapi. Meski, sebenarnya, ada begitu banyak pertanyaan yang tentu saja ingin ia ajukan pada pemuda itu. Namun, bagaimana pun juga ini bukanlah saat yang tepat. Mereka harus segera pergi dari tempat itu, sebelum makhluk mengerikan tadi datang kembali.
"Kau bisa berdiri?" Destinee menarik pemuda itu dari posisinya.
Pemuda itu mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Bagus." Destinee lantas menuntunnya berdiri, kemudian berjalan pelan menyusuri lorong yang nyaris gelap gulita itu dengan langkah cepat. Pemuda disampingnya berjalan terseret-seret. Lampu senter kecil yang menyorot liar dalam genggaman gadis itu menjadi satu-satunya penerangan. Napas mereka yang memburu menjadi sumber suara pengiring dalam lorong yang lebarnya tak lebih dari satu meter itu. Tak sampai lima menit, mereka akhirnya berhasil tiba di penghujung lorong. Lampu di seberang jalanan yang telah sepi menyorotkan cahaya temaram sehingga Destinee dapat melihat betapa pucat dan ketakutannya wajah pemuda itu.
"Di mana rumahmu?"
"A-aku baik-baik saja. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih," sahut pemuda itu sembari menghindari kontak mata dengan Destinee. Tubuhnya masih gemetaran. Akan tetapi, ia menepiskan rengkuhan gadis itu dan mencoba berjalan dengan tertatih sendirian.
Namun, baru beberapa langkah mendahului Destinee, tubuh pemuda itu jatuh tersandung sesuatu pada jalanan yang temaram. Dengan sigap, Destinee menghampiri dan menyambut sebelah lengannya agar lutut pemuda itu urung menghantam jalanan aspal.
"Kau tidak terlihat baik-baik saja. Aku akan mengantarmu pulang."
Pemuda itu mengangkat wajahnya yang dipenuhi noda darah kering dan bekas tanah. Entah apa yang telah menimpanya sebelum Destinee datang, tetapi keadaannya benar-benar memprihatinkan.
Pupil mata sang pemuda kemudian melebar saat menatap wajahnya. "Destinee, kaukah itu?" tanyanya dengan suara parau.
Destinee mengernyit, memerhatikan wajah berantakan yang baru saja menyeru namanya dengan seksama. Ia sama sekali tak mengenali pemuda itu. Rambut keriting, mata cekung dan hidung lancipnya sama sekali tak familier. "Kau mengenaliku?"
"Ya, tentu saja," sahut pemuda berambut ikal itu canggung. Sekuat tenaga, ia mencoba menopang tubuhnya sendiri sambil sesekali mengusap sekilas wajahnya dengan telapak tangan. "Kita berkenalan melalui situs wisata. Kau mengirimiku e-mail beberapa waktu lalu ...."
Kernyitan di antara sepasang alis tebal Destinee tercetak semakin dalam. Dia mencoba mengingat-ingat, mencari kata kunci yang disebutkan pemuda itu di dalam kepalanya. Sebelum merencanakan pelariannya dan mendapatkan tongkat sang ibu dengan cara misterius, Destinee memang sempat mengatur beberapa rencana agar pencariannya di Salem membuahkan hasil yang diharapkan. Salah satunya adalah dengan menghubungi seorang pemandu wisata yang akan membantunya mencari alamat sang bibi. Tentu saja! Destinee ingat sekarang, pemuda itu adalah si pemandu wisata misterius yang hanya menampakkan topi eksentrik dan sedikit rambut keriting kecokelatan yang mencuat di bagian atasnya pada foto profil email-nya.
"Urbane? Kau Urbane Gordon-Reed, bukan?" Destinee bertanya hati-hati. Sesuatu di dalam dadanya bergejolak. Ia merasakan kegirangan dan kelegaan di saat bersamaan.
Pemuda itu mengangguk canggung seraya menarik salah satu sudut bibirnya yang memar.
"Ya Tuhan, Urbane! Aku baru saja tiba dan akan berniat mencarimu besok, tetapi aku kehilangan kertas yang bertuliskan nama, nomor kontak dan alamatmu. Aku tidak menyangka kita dapat bertemu dalam keadaan yang ...."
Urbane mengibaskan tangannya. "Maaf untuk pertemuan yang tidak menyenangkan ini. Seharusnya aku menghubungimu begitu kau mengirimiku email. Aku sibuk membantu kakekku di stan festival paranormal yang akan dimulai besok."
"Aku yang harusnya meminta maaf," kilah Destinee. Senyum kelegaan tersungging di bibirnya. "Bertemu denganmu sekarang adalah sebuah keajaiban." Destinee mengucapkan itu sungguh-sungguh dan karenanya ia tidak merasa seperti gadis hilang lagi.
Urbane berdeham, kemudian menyugar rambut kotornya sekilas. Ia tampak terlihat jauh lebih baik dan bersemangat karena percakapan dengan Destinee, terlepas dari memar-memar dan luka kering yang menjejak di kulit pucatnya.
"Kau menginap di sekitar sini?" tanya Urbane setelah sejurus hening yang menjeda percakapan mereka.
Destinee mengangguk. "Ya, di The Salem Inn."
"Mari kuantar. Rumahku juga tak jauh dari penginapan itu."
"Kau yakin? Kau tidak terlihat baik-baik saja. Lebih baik aku yang mengantarmu pulang," tolak Destinee halus.
Urbane menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja. Bagaimana kalau kita pulang bersama dengan berjalan kaki? Rasanya pasti akan lebih menyenangkan. Maksudku, tidak semenakutkan saat kita harus pulang dan berjalan sendiri. Malam ini gratis. Kau bisa membayar jasa guide-ku mulai besok," kelakarnya.
Destinee tergelak. Ketakutannya atas peristiwa barusan telah menguap sepenuhnya. Setidaknya ia tidak sendirian sekarang dan menemukan pemandu yang telah ia hubungi sebelumnya merupakan sebuah pertanda baik jika pencariannya di Salem akan berjalan lancar.
Mereka mulai berjalan menyusuri jalanan pusat Kota Salem yang perlahan mulai sepi. Namun, di beberapa sudut taman dan kafe yang mereka lewati, beberapa orang masih terlihat berkumpul. Beberapa kendaraan sesekali melintas di jalanan aspal yang mereka lalui dari arah berlawanan, membuat perjalanan mereka menjadi jauh lebih menyenangkan.
"Makhluk apa itu tadi?" tanya Destinee setelah mereka menghabiskan bermenit-menit dalam diam.
Pemuda dengan sweater berwarna gelap itu berdeham, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menerangkan kondisinya. Setelah sepersekian detik berpikir, ia akhirnya buka suara. "Aku tak yakin jika aku harus menceritakan padamu tentang ini. Sekarang. Apalagi beberapa saat yang lalu kita baru saja diserang. Ini perkara yang... tidak mudah, Destinee. Jadi, maafkan aku jika tidak bisa membahas persoalan itu sekarang."
Gadis berambut merah itu mendengkus, terlampau keras. "Aku tahu, hanya saja... " Destinee menggantung kata-katanya, "oh, ayolah Urbane, kita mengalaminya bersama. Aku ingin tahu makhluk apa itu. Kau hanya perlu menjawabnya," lanjutnya dengan nada ketus.
"A-aku tidak tahu apa itu tadi."
"Kau pasti bercanda!"
Urbane menghentikan langkahnya mendadak, lalu berbalik menghadap gadis berambut merah yang juga sontak berhenti. "Kita masih punya banyak waktu untuk mencari tahu, oke? Tapi tidak malam ini, terlebih setelah makhluk itu nyaris membunuhku. Aku perlu menenangkan diri."
Destinee membuka mulut hendak menyela lagi, tetapi urung saat Urbane melanjutkan perkataannya.
"Aku tidak mengalami hal ini setiap hari," ucap pemuda itu dengan suara serak. Lampu jalanan yang berjarak cukup dekat dari tempat mereka berhenti memberikan cukup cahaya bagi Destinee untuk mendapati rasa takut yang tersirat pada raut wajah Urbane.
"Apalagi ini tengah malam dan kita masih berada di luar. Besar kemungkinan makhluk itu atau makhluk sejenis mungkin saja menyerang kita lagi. Ralat, menyerangku," lanjutnya. Urbane melanjutkan langkah, kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Sementara Destinee mengekorinya setengah berlari.
"Baiklah. Lupakan pertanyaanku. Aku minta maaf, Urbane," ucap Destinee dengan napas terengah-engah. Akhirnya ia berhasil menyejajari pemuda itu lagi. "Lagi pula aku ke sini punya tujuan lain. Aku ingin mencari ibuku seperti yang kucantumkan di email tempo hari. Aku harap kau tidak lupa."
Urbane mengedikkan bahunya sekilas. Salah satu sudut bibirnya tertarik. "Tentu saja, aku akan menjemputmu besok."
"Baiklah," sahut Destinee. "Kau yakin tidak ingin kuantar pulang?" tanya gadis itu saat penginapannya telah terlihat hanya beberapa langkah dari posisi mereka.
Urbane menggeleng sambil mengulum senyum. "Tentu saja tidak. Jadi kau menginap di sana? Pilihan bagus, Nona Rambut Merah."
Destinee mengedikkan bahu. "Aku sudah memikirkannya matang-matang, Tuan Rambut Keriting," balasnya.
Urbane terkekeh geli. Saat mereka akhirnya benar-benar tiba di halaman penginapan, pemuda itu membiarkan Destinee melewatinya terlebih dahulu.
Gadis itu berbalik sekilas, memberi lambaian perpisahan pada Urbane yang berdiri canggung ditempatnya. Mendapat lambaian dari Destinee, pemuda itu lantas membalas lambaiannya sembari berucap, "baiklah, sampai ketemu besok. Dan, oh iya, terima kasih atas bantuannya malam ini."
🧙🧙🧙
Malam itu, Destinee tertidur dalam kegelisahan yang sama. Mimpi buruk yang menemaninya selama di mansion Czarina seolah enggan meninggalnya. Perempuan bertudung yang sedang merapal mantra pada sebuah ruangan gelap tergambar jelas dalam alam bawah sadarnya seolah ia sedang menonton video masa kecil yang sedang diputar berulang-ulang. Destinee bahkan dapat mendengar rintihan ketakutannya sendiri selama ia bergerak gelisah di atas pembaringan. Ia tidur, tetapi tak sepenuhnya terlelap.
Lantunan mantra yang Destinee dengar di alam mimpi berakhir kala bunyi ketukan pelan terdengar dari kaca jendela kamar penginapan lantai tiga yang tertutup tirai. Ajaibnya, Destinee sontak membuka kelopak matanya kala mendengar ketukan pelan untuk ketiga kalinya. Perlahan, gadis itu mengangkat tubuhnya dan bersandar pada pangkal tempat tidur. Ia mengucek matanya saat untuk kesekian kalinya bunyi ketukan itu terdengar lagi.
Bayangan dedaunan yang jatuh menerpa bagian dalam tirai bergerak seirama desau angin malam. Dingin perlahan merambati tubuh gadis itu tepat berasal dari telapak kakinya yang dibaluti kaos kaki. Embusan angin, entah bagaimana caranya, masuk melewati celah-celah jendela yang tertutup, menebarkan rasa takut dan was-was padanya.
Di atas nakas yang terletak tepat di depan jendela, sebongkah batu ametis pemberian seorang perempuan paruh baya di bandara memendarkan cahaya ungu samar-samar. Destinee nyaris melupakan benda itu dan menyimpannya asal begitu tiba di penginapan setelah bertemu dengan Urbane. Saat benda itu berpendar dalam kegelapan kamarnya, sontak membuat tubuh Destinee menegang di tempat.
Namun, otaknya kembali bekerja, mengingat pesan sang pemberi mengenai khasiat batu tersebut. Dengan gerakan cepat, Destinee menyambar benda itu dan menggenggamnya erat-erat, kemudian bergerak ke arah pintu. Satu-satunya yang dapat ia pikirkan adalah kabur dari tempat itu jika sesuatu melompat keluar dari jendela penginapan.
Belum sempat, Destinee memutar anak kunci, tirai jendela tiba-tiba tersibak dengan sendirinya, menampilkan sesosok bayangan hitam bertudung yang berdiri mengintai gadis itu dari balik jendela. Kilat pada mata makhluk itu menyebarkan rasa takut dalam benaknya. Destinee menjerit, saat sosok itu mendadak mencoba menghantam jendela.
Akan tetapi, sebelum sosok itu sempat menghantam kaca untuk kedua kalinya, batu ametis dalam genggaman Destinee memancarkan cahaya yang terang dan perlahan melingkupi seantero kamar penginapan. Dengan gerakan refleks gadis berambut merah itu lantas membuka genggaman tangannya, membiarkan cahaya itu bersinar lebih terang.
Dalam sepersekian detik yang terlampau cepat, tubuh Destinee seolah tersedot ke dalam lubang tak kasat mata sebelum akhirnya gadis itu membuka kelopak matanya. Titik-titik keringat membanjiri pelipisnya, saat pandangannya mendapati langit-langit kamar penginapan yang putih polos dengan sebuah lampu menggantung di tengah-tengahnya. Ternyata ia hanya bermimpi.
Perlahan Destinee bangkit dan menyangga punggungnya. Sesuatu yang terasa menusuk dalam genggamannya membuat gadis itu mengernyit sesaat. Ternyata batu ametis itu ada di dalam rengkuhan jari-jemarinya, tak berpendar, tetapi mampu menguarkan perasaan aman dan melegakan. Kali ini, untuk alasan yang sepenuhnya tak Destinee ketahui, ia merasa batu itu kembali menyelamatkannya.
Yuhuuu setelah sekian purnama akhirnya cerita ini update lagi. Salam sayang selalu dari Destinee Snow yaa 😘🌹
Dipublish pertama kali di Pontianak, 25 September 2020 pukul 23. WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top