5. Welcome to Salem
Kegelapan menjejak Salem lebih cepat. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Destinee. Entah telah berapa lama ia tertidur di atas tas ranselnya dengan posisi yang tak mengenakkan pada kursi tunggu di salah satu sudut Bandara Memorial Salem. Saat ia terbangun, seluruh lampu telah menyala dan langit di luar gelap. Ia melewatkan sarapan dan makan siang begitu saja, dan kini ia terbangun dalam keadaan sangat kelaparan. Suara gemuruh dari dalam perutnya tak mampu lagi ia tahan. Beruntung keriuhan bandara menyelamatkannya dari rasa malu akibat bunyi tersebut.
Setelah merapikan jaket kusut yang ia kenakan seadanya, mengikat rambut dengan gelungan yang tak rapi, dan menyimpan asal syalnya pada sisa ruang dalam ransel, gadis itu segera melangkah setengah berlari menuju pintu keluar bandara. Tulisan exit menyala di ambang pintu seolah menjadi sesuatu yang paling ia cari. Pengunjung masih ramai dengan tas dorong di sisi mereka masing-masing, bergerak cepat dari berbagai arah, tetapi tak seramai siang tadi. Destinee dapat bergerak lebih leluasa dengan langkah-langkah canggungnya.
Begitu melewati ambang pintu utama bandara, Destinee mengembuskan napas lega. Udara malam rasanya membuat kelelahannya menguap dan semangatnya terpompa sampai batas maksimal. Ia berlari menyeberangi jalanan besar di depan bandara, menyusurinya dengan semangat menggebu. Saat perutnya kembali bergemuruh, Destinee kembali teringat bahwa ia sama sekali belum memasukkan apa-apa ke dalam mulutnya. Dengan spontan, ia berlari kecil saat melihat mini market yang tak begitu jauh dari posisinya. Sesampainya di sana, ia membeli beberapa potong roti sekaligus memesan taksi untuk membawanya menuju pusat kota Salem.
Tak sampai 10 menit, Destinee telah memangku sekantung roti dalam tas belanja berwarna cokelatnya. Ia telah duduk manis dalam sebuah taksi yang melaju membawanya menuju pusat kota Salem. Satu tangannya memegangi sepotong roti yang tinggal setengah. Mulutnya mengunyah pelan, sementara pandangannya menerawang ke luar jendela taksi yang sedikit terbuka. Angin malam yang berembus menerbangkan anak-anak rambut yang menutupi keningnya.
Kata-kata perempuan paruh baya berambut kelabu di bandara siang tadi kembali terngiang di kepalanya. Akal sehatnya tentu saja amat menolak tudingan tanpa alasan tersebut. Ia mengidap Porfiria dan itu bukanlah hal yang mengada-ada. Beberapa dokter yang telah diundang Czarinna ke mansion-nya memberikan keterangan yang sama. Akan tetapi, jika dipikir-pikir lagi, sikap Czarinna yang terlalu protektif sempat membuatnya berasumsi buruk pada sang ibu angkat. Sikapnya memang terlalu berlebihan.
Destinee meremas bungkus plastik rotinya setelah melahap potongan terakhir. Kunyahannya semakin pelan dan nyaris tanpa minat. Emosi yang sudah payah ia redakan tadi siang, kini kembali bergejolak. Di satu sisi, ia masih sangat ingin mempercayai sang ibu. Akan tetapi, di sisi lain, ia tak dapat memungkiri jika ucapan perempuan tua di bandara tadi siang mulai memengaruhinya.
Berbagai pertanyaan datang silih berganti seumpama gema yang melaung dalam pikirannya, berkali-kali hadir menuntut jawab. Ia mulai mempertanyakan keanehan sikap Czarinna selama ini. Jika memang ia memiliki alergi matahari, lantas mengapa Czarinna bersikeras menahannya di rumah, bahkan pada malam hari? Bukankah cahaya bulan sama sekali tak memengaruhi alerginya? Tanpa alasan yang jelas, Czarinna menyekapnya dalam tembok larangan dengan mengatasnamakan kebaikan dirinya dan membatasi segala bentuk pergaulan. Membuatnya menjadi gadis aneh yang selalu merasa canggung di tengah keramaian. Harusnya Czarinna tak memperlakukannya seperti itu. Sekarang, setelah semua hal yang dilaluinya, Destinee merasa benar-benar telah ditipu mentah-mentah oleh orang yang selama ini dinggapnya sebagai dewi penolong. Dengan demikian, keputusannya untuk mengunjungi Salem dan mencari keberadaan ibu kandungnya adalah pilihan yang tepat.
Destinee meremas bungkus rotinya lebih keras seolah hendak menghancurkannya. Menyalurkan amarah yang membuncah di dalam dada. Bunyi plastik yang remuk di dalam genggaman itu mengejutkan supir berkepala botak yang tengah fokus menyetir pada bangku kemudi.
"Anda baik-baik saja, Nona?" tanya pria berkumis tipis itu sopan setelah menoleh sekilas pada Destinee.
Gadis itu segera menyadari keanehan gelagatnya. Ia menyimpan plastik remuk itu ke dalam kantung belanja di pangkuannya dengan gelagapan. Mengatur ekspresi wajahnya sedemikian rupa, seraya menarik salah satu sudut bibirnya susah payah. "A-aku tidak apa-apa, Pak. Aku hanya kelelahan," kilahnya canggung.
Supir itu menoleh lagi kepadanya, sebelum dengan cepat kembali fokus pada jalanan di balik kemudinya. "Istirahatlah, Nona. Aku akan mengantarkan Anda pada penginapan terbaik di Salem. Anda berkunjung ke Salem pada waktu yang sangat tepat. Besok akan ada perayaan besar dan besok akan menjadi hari yang menyenangkan untuk berjalan-jalan di dalam kota," tutur laki-laki itu ramah. Salah satu lesung di pipinya mengembang saat ia tersenyum.
"Perayaan besar?" Penjelasan laki-laki paruh baya itu benar-benar telah mengalihkan atensi Destinee dari kemarahan yang nyaris kembali menggerogoti pikirannya.
Lelaki itu megernyit, seolah pertanyaan Destinee adalah pertanyaan paling aneh yang pernah ia dengar dari seluruh orang yang pernah menumpang di taksinya. "Nona benar-benar tidak tahu?" Logat Prancisnya yang kentara membuat pertanyaan itu terdengar lucu.
Destinee menggelengkan kepala. Tersenyum kecil sembari menanti penjelasan lebih lanjut dari sang supir.
Laki-laki tambun itu mengembuskan napas panjang, kemudian terkekeh pelan. "Kukira Anda kemari untuk berlibur, Nona. Kebanyakan pendatang yang berkunjung pada tanggal ini bertujuan untuk merayakan Halloween."
"Halloween?" Benar sekali. Destinee nyaris melupakannya. Bukankah Ashville juga dipenuhi lentera Jack O' Lattern di sepanjang pelariannya tadi malam? Ia hampir tak menyadarinya sama sekali. Padahal Halloween selalu menjadi penanda beberapa hari jelang hari lahirnya. Bagaimana bisa ia melupakannya? Gadis itu tertawa hambar, sebelum melanjutkan ucapannya, "aku kemari untuk mencari seseorang."
Supir taksi itu mengangguk antusias. Senyum yang terkembang di bibirnya sama sekali tak meredup. Barangkali ia merasa senang mendapat teman mengobrol dalam perjalanan malam musim gugur yang menusuk tulang itu. "Benar. Tepat tanggal 1 Oktober besok akan ada parade kostum dalam rangka Halloween. Jalan utama sepertinya akan ditutup. Namun, jangan khawatir, itu tak akan berlangsung seharian. Lagi pula, saranku, Nona, kau harus menikmati banyak hal di Salem terlebih dahulu sebelum menunaikan tujuanmu."
"Sepertinya menyenangkan," komentar Destinee lirih, kembali mengulas senyum hambar. Jika dalam kondisi normal, mungkin ia akan mengikuti saran sang supir. Menikmati keramaian dan keseruan Salem, meski hanya sehari tentu akan sangat menyenangkan. Ia memang sempat membaca beberapa informasi tentang Salem, tetapi pengetahuan itu rasanya menguap begitu saja jika mengingat kejadian-kejadian aneh yang dialaminya secara bertubi-tubi belakangan ini. Ia hanya ingin menemukan sang ibu, pemilik tongkat sihir. Mungkin setelahnya, ia akan berpikir untuk menikmati Salem.
Supir itu mengangguk. Senyum simpati tersungging pada bibir tebalnya yang menghitam. Agaknya dia mengetahui ketidaktertarikan Destinee untuk melanjutkan percakapan. "Nona yakin tidak ingin diantar ke tempat keluarga atau kenalan? Salem yang ramai tidak terlalu ramah bagi gadis yang sendirian." Ia kembali bertanya setelah beberapa detik fokus pada jalanan untuk menyalip sebuah mobil boks besar dihadapan taksinya.
"Aku akan mencarinya sendiri nanti, Pak. Jangan khawatir."
"Begini, Nona. Salem sedang ramai saat ini. Aku khawatir, Anda---"
Belum lagi sang supir menyelesaikan ucapannya, Destinee memotong. "Jangan khawatir."
Sopir itu tersenyum untuk yang terakhir kali di sepanjang sisa perjalanan. Jawaban Destinee berhasil menutup percakapan mereka. Gadis itu kembali membuang pandangan pada kegelapan Salem yang semakin pekat. Langit berawan menandakan bahwa hujan bisa saja turun sewaktu-waktu. Sepanjang jalanan yang tidak terlalu ramai itu pohon-pohon yang meranggas dengan dedaunan berwarna kuning kemerahan menjadi pemandangan yang mengisi kepekatan malam musim gugur. Destinee terhenyak di kursinya menikmati waktu yang merambat perlahan dalam keheningan sembari membayangkan petualangan seperti apa yang mungkin ia hadapi di Salem.
🧙🧙🧙
Taksi berwarna hijau bergambar penyihir tua berpakaian serba hitam yang menaiki sapu terbang berhenti tepat di depan sebuah bangunan dengan dominasi warna merah berlantai tiga. Sebuah papan nama yang cukup besar bertuliskan 'The Salem Inn' bertengger pada bagian atas pintu masuk utama. Setelah membayar si supir taksi, Destinee langsung memasuki penginapan dan memesan kamar. Setelahnya, ia menyeret langkah beratnya menaiki tangga. Hal pertama yang ia lakukan adalah membersihkan diri di kamar mandi selama mungkin. Rasa lelah yang mengungkungnya seketika menguap, tubuhnya terasa segar seusai mandi.
Setelah bosan menggonta-ganti saluran televisi, sementara matanya terlampau segar untuk dipaksa tidur, Destinee akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar penginapan. Jika beruntung, barangkali ia akan menemukan menu untuk makan malam.
Kota Salem pada malam musim gugur seperti itu terasa cukup menyenangkan bagi Destinee. Meski hampir tengah malam dan angin dingin menusuk tulang, jalanan masih terlihat hidup. Kendaraan yang berlalu-lalang dan orang-orang yang berjalan sendirian atau bergerombol menjadi pemandangan yang menyenangkan. Setidaknya, Destinee merasa ia tidak sendirian.
Ornamen-ornamen dan lampu-lampu hias Jack O'Latern terpasang di setiap sudut kota. Patung-patung mengerikan bertebaran di sepanjang jalanan utama menjadi suatu hal yang lumrah untuk ditemui di tempat itu, menandakan bahwa Halloween sebentar lagi akan tiba. Hawa dingin rupanya tak menyurutkan minat orang-orang untuk meghabiskan malam di jalanan Salem dan mengagumi semarak kota menjelang Halloween. Sudah dapat dipastikan, orang-orang itu adalah para pendatang, sama seperti Destinee.
Destinee memeluk tubuhnya saat embusan angin musim gugur bertiup dari arah berlawanan. Bulu kuduknya seketika meremang. Keramaian malam yang menyenangkan, berangsur-angsur menghilang. Pohon-pohon di pinggir jalanan Kota Salem yang sebagian besar telah meranggas membentuk bayangan hitam dengan ranting-ranting pohon, seumpama tangan monster mengerikan yang hendak menggapainya. Gadis berambut merah itu mempercepat langkah, entah mengapa, rasa takut seketika menyergapnya.
Sepuluh menit telah berlalu dalam perasaan was-was. Jalanan yang semula terlihat ramai, perlahan menjadi sepi, berganti dengan pemandangan pelataran rumah dan toko-toko yang telah tutup. Sepi dan sunyi. Kendaraan yang melewati jalanan semakin jarang. Pada sebuah tikungan remang-remang yang berada di luar jangkauan lampu jalan, Destinee tiba-tiba mendengar sayup-sayup suara rintih kesakitan. Gadis itu sontak melambatkan langkah, menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari asal suara. Pandangannya kemudian terpaku pada sebuah lorong sempit yang gelap di antara dua banguanan toko yang telah sepi dan gelap. Alih-alih merasa takut, ia justru merasa sangat penasaran.
Dengan dada berdebar, Destinee mendekati lorong sempit yang nyaris sepenuhnya gelap itu. Suara tangisan lirih terdengar semakin jelas dari suatu tempat di dalam kegelapan. Sebuah bayangan hitam tiba-tiba berkelebat pada salah satu sisi tembok lorong yang memantulkan cahaya, membuat Destinee refleks memasang kuda-kuda. Harusnya ia dapat segera memahami tanda bahaya itu dan segera berlari meninggalkan kegelapan. Namun, sepasang tungkainya seolah terpaku di sana.
"Siapa kau? Berani-beraninya ikut campur!" Sosok di dalam kegelapan itu mendesis parau. Sementara suara tangisan lirih yang memancing Destinee mendatangi lorong itu sontak menghilang. Hawa dingin mendadak menerpa wajah gadis berambut merah itu, pertanda sesuatu dengan aura pekat mendekatinya.
"Pergilah. Aku tak apa-apa ...."
Suara lirih itu terdengar samar, jauh di tengah-tengah lorong. Membuat kegamangan dan ketakutan yang menyergap Destinee menjadi tak ada artinya. Ia benar-benar ingin menyelamatkan siapa pun yang ada di sana.
"Tolong, jangan sakiti orang itu," ucap Destinee dengan suara bergetar. Hawa dingin itu menusuk kulitnya semakin kentara. Dalam sepersekian detik seraut wajah pucat dengan keseluruhan mata yang memutih muncul dari kegelapan, mendekat pada wajahnya. Tubuh Destinee gemetar, teruta saat menyadari jika jarak mereka tak lebih dari sejengkal.
Sosok itu menggeram marah. "Jangan macam-macam denganku!"
Destinee membelalak. Mulutnya menganga, sementara tak sepatah katapun yang keluar dari sana. Ia shock. Dalam seumur hidupnya yang hanya terkurung dalam mansion Czarinna, gadis itu tak pernah melihat makhluk mengerikan atau yang semacamnya. Andai memungkinkan, ia pasti sudah berlari meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, genderang perang agaknya telah ditabuh. Pantang bagi Destinee untuk mengurungkan perlawanan. Tekadnya sudah bulat, ia akan menyelamatkan siapa pun yang berada di dalam kegelapan lorong itu, apapun yang terjadi.
TBC.
Pontianak, 19 Agustus 2020 pukul 23.56 wib
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top