4. The Savior

Pemuda berambut pirang itu menyeret Destinee begitu cepat, bahkan sebelum ia sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Pergelangan tangannya terasa berdenyut dalam cengkeraman yang amat mengintimidasi. Membuat bulu roma di sekujur tubuh Destinee meremang secara bersamaan. Kulit pemuda itu hangat, sehangat miliknya. Akan tetapi, sesuatu yang dingin pada auranya menguarkan hawa misterius. Bukan tentang hal yang terlihat secara fisik, melainkan sesuatu yang bersemayam di balik rupa dan raga itu.

"LEPASKAN!" Destinee menyentak pergelangan tangannya hingga lolos dari genggaman pemuda bernetra gelap itu. Langkah mereka kini terhenti di samping Chevrolet Aveo merah milik sang pemuda yang terparkir di bawah sebatang pohon oak.

Tanpa sadar, setitik air bening lolos dari pelupuk mata Destinee. Ia menyekanya cepat, tanpa mengalihkan tatapan nyalangnya dari pemuda itu. Sungguh ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan pemuda yang memperlakukannya begitu kasar. Meski, sebagian dirinya tak menampik keinginan untuk berterima kasih padanya.

"Ada banyak pemuda yang akan mengganggumu seperti tadi di luar sana." Pemuda pirang itu berkata dengan nada dingin dalam suaranya. Tangannya menyilang, terlipat di depan dada. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

"Kau pikir kau tidak seperti mereka! Kau menyakiti pergelangan tanganku." Destinee memijat pelan pergelangan tangannya yang menyisakan bekas kemerahan.

"Kau mau kemana? Aku akan mengantarmu."

"Tidak perlu!"

"Kupikir kau akan ke bandara."

Destinee yang telah melangkah menjauhi pemuda pirang itu dengan hentakan kaki yang mengandung kekesalan, seketika menoleh. Matanya membelalak. "Bagaimana kau ...."

"Kau sangat mudah ditebak. Dan ... terlihat sangat mencolok, juga ceroboh." Netra cokelat terang itu menyoroti penampilan Destinee penuh penghakiman sembari menggeleng pelan, masih dengan wajah datar.

Destinee mengernyit bingung dengan pemuda jangkung pirang yang kini berdiri di hadapannya. "Apa kau mengikutiku?" Gadis itu menudingkan salah satu jari telunjuknya ke depan wajah sang pemuda.

Pemuda itu mendengkus frustrasi. "Kau bergumam tidak jelas di selasar mini market. Aku ada di sana waktu itu. Lagi pula kau terlihat seperti gadis yang baru saja kabur dari rumah."

Destinee melotot. Mulutnya membuka hendak menyangkal. Akan tetapi, urung. Seolah ada yang menyekat tenggorokannya. Tentu saja yang diungkapkan pemuda itu benar adanya. Tanpa sadar ia bergumam saat memikirkan cara untuk sampai ke bandara sebelum matahari terbit. Sebagai tambahan, Destinee memang baru saja kabur dari rumah setelah bertahun-tahun bertahan di balik mansion mewah Czarina dan tak melihat dunia luar. Semua dugaan pemuda itu benar adanya.

"Kau bisa membayarku setelah kita sampai di bandara," lanjutnya lagi. Pemuda itu melewati Destinee dengan acuh dan meraih pegangan pintu mobil. Menekannya sampai terdengar bunyi 'klik' samar. Pintu terbuka dan ia meminta gadis itu masuk ke dalamnya dengan lirikan mata.

Destinee tersenyum kecut sembari bergerak pelan memasuki mobil yang terbuka. Ia benar-benar tak punya pilihan lain. "Jadi kau adalah supir taksi?"

Pemuda pirang itu mendengkus untuk yang kesekian kalinya. "Anggap saja begitu."

Tanpa bicara lagi, pemuda itu membanting pintu mobil. Setengah berlari mengitari mobilnya untuk menuju bagian kemudi. Dengan tergesa, ia menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya pada jalanan sepi yang seluruhnya tampak asing bagi Destinee.

Selama nyaris sejam dalam perjalanan itu, Destinee hanya diam, begitu pun juga dengan pemuda pirang di sebelahnya. Dalam hati, gadis berambut merah itu sangat bersyukur karena ia tak perlu bersusah payah mencari bahan pembicaraan. Menikmati pemandangan yang berkelebat di samping kaca mobil dengan tenang membuat kelelahannya menguap seketika. Destinee kembali bersemangat dan optimis dalam pelariannya ini.

Tepat saat mobil yang ia tumpangi akhirnya memasuki halaman bandara, Destinee segera merogoh sejumlah uang dari dalam tasnya. Kemudian meletakkan uang yang cukup banyak itu pada kursi kosong yang berada di samping kemudi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu melompat keluar dari mobil dan berlari cepat menuju bangunan utama bandara.

Destinee menoleh sekilas pada Chevrolet Aveo yang telah melaju meninggalkan bandara seraya bergumam dalam hati 'terima kasih'.

Masih ada beberapa jam sebelum pesawat paling pagi yang akan membawanya ke Salem berangkat. Destinee berbenah di kamar mandi umum. Mencuci wajahnya yang terasa lengket dan menyemprot rambutnya yang lepek dengan dry shampoo. Setelahnya, ia mengenakan jaket yang cukup tebal dan merapatkan resletingnya. Tak lupa ia mengenakan sarung tangan dan melilitkan syal di sekeliling leher, menyiapkan masker, kaca mata hitam dan sebuah topi lebar untuk mengurangi risiko sengatan matahari.

Destinee nyaris tak mengenali dirinya sendiri kala menatap cermin dalam kamar mandi besar yang sepi itu. Berkali-kali ia menarik napas dalam-dalam, sebelum mengembuskannya dengan gugup hingga uap putih menguar dari bibir merahnya. Matahari akan segera terbit. Beruntung, Destinee telah memesan tiket keberangkatan untuk penerbangan paling awal agar tak perlu menunggu berlama-lama di ruang tunggu yang terlampau terang. Ia ingin segera meninggalkan Asheville, sebelum Czarina sempat menyadari ketiadaanya di mansion mewah itu.

🧙🧙🧙

Kurang lebih dua jam penerbangan dari Asheville ke Salem membuat Destinee harus terperangkap dalam baju tebal yang lumayan membuatnya gerah dan nyaris kehabisan napas itu. Walaupun telah bersusah payah melindungi kulitnya dari sengatan sinar matahari, gadis itu tetap tak mampu mencegah munculnya bintik-bintik merah pada daerah pipi dan keningnya. Samar-samar sensasi rasa gatal menggelenyar pada permukaan kulit wajahnya. Celakanya, Destinee melupakan obat-obatan untuk alerginya saat melarikan diri.

Pukul 9 lewat 45 menit pagi, sesuai jadwal, pesawat yang ia tumpangi akhirnya menjejak Salem. Sinar matahari yang nyaris bertengger di atas kepala kembali menyambut kulit pucatnya. Sensasi gatal dan terbakar kembali menggelenyar pada kulit wajahnya yang tak tertutup masker, membuat gadis berambut merah itu meringis sesaat. Dengan langkah terseok akibat menahan perih di wajah, ia menuju pintu keluar, berdesakan dalam keramaian arus keluar bandara.

Sedikit kelegaan menyambangi hatinya saat akhirnya ia berhasil melewati keramaian itu dan berjalan tergesa menuju pintu keluar bandara. Beban di punggungnya sama sekali tak ia rasakan. Akan tetapi, kepanikan kembali menyerangnya kala merogoh saku jaketnya untuk mengambil secarik kertas berisi alamat dan nomor kontak kenalannya di Salem. Beberapa menit berlalu dan ia tak mendapatkan apapun dari dalam sana.

Destinee menggigit bibir, berusaha mengingat-ingat letak kertas penting itu. Saat tiba-tiba, seorang menyenggol bahu Destinee dengan cukup keras hingga menyebabkan syal yang melilit di lehernya terurai dan meluncur jatuh ke bawah kakinya. Di antara keramaian itu, susah payah Destinee membungkukkan tubuh untuk memungut syal berwarna merah marunnya. Sebuah senggokan kembali menghantam bagian belakang tubuhnya, membuat gadis itu jatuh terhuyung. Nyaris menghantam kursi besi yang berjajar di hadapannya.

Destinee nyaris mengumpat saat perempuan paruh baya berambut ikal kelabu terlihat berbalik dan menghampirinya. Membantunya berdiri dengan wajah khawatir. "Maafkan aku. Kau tak apa-apa?"

Destinee berdiri dengan bantuannya. "Aku baik-baik saja," tuturnya berbohong. Suara ringis kesakitan terdengar kentara dalam getar suaranya. Dengan gelagapan, gadis itu segera melilitkan syal tebalnya pada bagian leher. Menyembunyikan bercak kemerahan yang perlahan-lahan mencuat pada permukaan kulit lehernya. Andai saja Destinee berada di kamarnya sekarang, ia pasti telah menggaruk bintik merah itu dengan kesetanan.

Perempuan paruh baya itu tersenyum simpati. Perasaan bersalah tergurat jelas dalam sorot mata teduhnya. "Kau tidak terlihat baik-baik saja. Ada apa dengan wajahmu---" Ia membelalak dan mengulurkan sebelah tangannya hendak menyentuh pipi Destinee.

Namun, gadis itu lebih dulu mundur beberapa langkah. Menyembunyikan dirinya dalam kedua lengannya yang menyilang. "Maaf, Nyonya, aku sedang terburu-buru." Destinee hendak berbalik, mengakhiri percakapan yang membuat hatinya tak enak. Akan tetapi, belum sempat ia berlalu, perempuan itu meraih pergelangan tangannya.

Destinee berbalik. Membuka kacamata hitam yang bertengger pada batang hidungnya dengan gerakan cepat. Ia menatap perempuan berambut ikal itu penuh tanda tanya.

Genggamannya pada pergelangan tangan Destinee sontak telerai. Perempuan paruh baya itu melotot. Netra kelamnya seolah menangkap sesuatu yang tak terlihat oleh kabanyakan orang. Ia menatap sesuatu yang ada pada Destinee. Wajahnya mendadak memucat. "Kau terkena sihir, Nak. Kau tidak sedang baik-baik saja. Sesuatu telah memantraimu selama bertahun-tahun!" Perempuan itu berucap setengah berteriak, membuat beberapa orang di sekitar mereka memandang curiga.

Destinee menggeleng cepat. Meloloskan senyum canggung pada orang-orang yang mengernyit ke arahnya. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam hingga atensi orang-orang itu teralih sepenuhnya. Namun, setelahnya, Destinee tak sanggup lagi untuk tak melontarkan sanggahannya. "A-ku mengidap porfiria, Nyonya. Aku akan baik-baik saja setelah meminum obatku," cicitnya. Tentu saja ia berbohong.

Alih-alih memakluminya, perempuan paruh baya itu justru menggeleng cepat. "Tidak. Kau tidak sakit, seseorang memantraimu sehingga kau terlihat sakit." Perempuan itu bersikeras. Ia lantas merogoh sesuatu dari dalam tas selempang etnic-nya yang berwarna mencolok itu. Rumbai di bagian tengah tas itu bergerak liar seiring dengan gerakan tangan yang mengaduk tasnya semakin cepat. Beberapa detik kemudian, perempuan itu menarik lengannya dari dalam tas. Tangannya yang terkepal bergetar. Dari sela-sela jarinya terlihat secarik kain beludru hitam yang membungkus benda di dalam genggamannya.

"Ambil ini." Ia mengangsurkan kepalan tangannya pada telapak tangan Destinee.

Gadis berambut merah itu terkesiap. Pupil matanya melebar saat bersentuhan dengan permukaan beludru yang halus. Sebuah bobot tertentu menekan telapak tangannya hingga membuatnya refleks mengepalkan jari-jemarinya. "Apa ini?" Suaranya tercekat dan terdengar sangat jauh, bahkan di pendengarannya sendiri.

"Itu batu ametis. Jimat yang akan membersihkan auramu dan menjaga kesehatanmu. Terimalah."

Destinee menggeleng. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja, Nyonya."

Namun, perempuan paruh baya itu telah kadung berbalik, setelah sebelumnya menyunggingkan senyum simpati samar padanya. Punggung itu menghilang di balik keramaian dalam sekejap nata. Destinee yang sempat terpana dalam sepersekian detik lantas mengejarnya. Jejak perempuan paruh baya itu seolah menghilang tertelan hiruk pikuk bandara.

Garis-garis cahaya yang menerobos masuk dari ventilasi dan menyengat permukaan kulit kemudian menyadarkan gadis itu jika langkahnya nyaris melewati kanopi terakhir yang menaungi selasar bandara. Destinee kembali mundur, mencari salah satu sudut bandara yang agak temaram untuk berlindung. Berdiam dalam bayang-bayang. Akan tetapi, Destinee merasakan sensasi yang berbeda kini. Perih memang menusuk kulitnya, tetapi dalam intensitas yang tak terlalu mengusik seperti sebelumnya. Apakah ini berarti batu ametis itu benar-benar bekerja?

Destinee kembali memasuki ruang tunggu bandara dengan langkah lesu. Beruntung ia mendapatkan sebuah bangku besi panjang yang kosong pada salah satu sudut ruangan di saat yang tepat. Ia lantas menurunkan tas ransel dari bahunya, mengembuskan napas panjang, sebelum akhirnya mendudukkan bokongnya di sana. Ia lantas membuka kepalan telapak tangannya, menatap kain beludru hitam dengan batu ametis di dalamnya dengan kekaguman. Rasa penasaran kemudian mengusiknya, sehingga dengan gerakan tergesa ia membuka simpul kain beludru itu.

Sebongkah batu berwarna ungu yang tak lebih besar dari kepalan tangan bersemayam di dalamnya. Pendar cahaya samar yang berasal dari pantulan cahaya lampu ruangan pada permukaan batu itu membuat Destinee mengernyit. Batu itu benar-benar terlihat luar biasa.

Setelah puas menimang dan mengamati benda itu, Destinee segera menyimpannya ke dalam saku kemeja yang berada di balik jaket. Menekannya sesaat, sebelum benar-benar membiarkan benda itu bersemayam di sana. Ia kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar. Bandara yang semakin ramai dan cahaya matahari yang semakin terik membuatnya enggan beranjak dari tempat itu. Gadis itu bergidik sendiri saat membayangkan apa yang mungkin dialaminya jika nekat menerobos cahaya matahari. Tak ada pilihan lain, selain menanti malam untuk melanjutkan perjalanan. Meski, hal ini berarti kesempatannya untuk tertangkap Czarina semakin terbuka lebar.

Destinee kembali mengembuskan napas panjang, sebelum menjatuhkan kepala di atas tas ranselnya. Ia terlelap dan mimpi-mimpi gelap itu kembali membuainya.




TBC
Pontianak, 16 Agustus 2020, pukul 23.47 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top