3. Escape
Destinee membuka matanya di dalam kegelapan kamar. Melirik jam digital dengan angka bercahaya yang bertengger di atas nakas. Waktu menunjukan tepat pukul satu dini hari. Tak ada mimpi buruk yang membangunkannya malam itu. Mungkin itu adalah sebuah pertanda jika segala sesuatu yang mengungkungnya memang harus berakhir.
Remaja perempuan itu menyibak selimut yang membungkus setinggi dada dalam sebuah gerakan cepat, kemudian turun dalam senyap. Ia melangkah pelan menuju pintu yang tak tertutup rapat. Mengintip sekilas keadaan lengang dan gelap di luar sana. Aman. Czarina dan para pelayan sepertinya sudah terlelap.
Sesuai dengan rencana, maka ia akan kabur malam itu, melewati jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Destinee mengambil pakaian yang telah ia simpul menjadi seutas tali panjang dari balik selimut. Mengurainya cepat. Sengaja ia menyembunyikannya di sana agar tak mengundang kecurigaan sang ibu.
Setelahnya, Destinee membuka jendela kamar lebar-lebar. Langit gelap dan dingin angin malam menyambut remaja perempuan itu. Ia bergidik sekilas, kemudian dengan cekatan menyambar sebuah jaket bomber bertudung kepala berwarna hijau lumut yang tersampir pada lengan kursi dan memakainya. Tak lupa ia menaikkan ransel hitam berukuran sedang yang telah ia siapkan sejak sore ke atas punggung. Benda itu teronggok bisu di balik gorden yang menjadi tempat persembunyiannya.
Gadis berambut merah itu berdiri di ambang jendela yang terbuka selama beberapa saat. Menarik napas yang dalam, kemudian mengembuskannya hingga asap putih tipis mengepul samar dari mulut. Ia menoleh ke belakang pada seisi kamar yang akan ia tinggalkan. Menyerap dan mengingat seluruh kenangan yang pernah terjadi di sana. Bagaimanapun ia tak pernah membenci tempat itu. Ia hanya membenci keadaan yang memaksanya untuk selalu berada di sana.
"Selamat tinggal," bisiknya lirih. Sedetik kemudian ia tersenyum, tinggal selangkah lagi menuju kebebasan.
Dengan gerakan cepat dan tanpa keraguan, Destinee melempar gulungan tali buatannya ke luar jendela. Membiarkan satu ujungnya menjuntai dan menyentuh permukaan tanah. Sementara, ujung satunya ia ikatkan pada kusen jendela yang ia nilai cukup besar dan kokoh untuk menahan tubuh ringkihnya. Setelah memastikan simpul yang terikat itu kuat, Destinee mulai memanjat turun.
Butuh waktu cukup lama baginya untuk menuruni tali itu hingga satu kakinya berhasil menjejak permukaan tanah. Terlebih dengan membawa beban di punggung. Akan tetapi, keinginan untuk bebas dan bertemu dengan ibu kandungnya menjadi penyemangat untuk melakukan hal-hal yang sepertinya tak mungkin bagi seorang Destinee Snow.
Tepat saat kedua tungkainya telah menapak tanah, Destinee segera berlari menuju kebun belakang rumahnya yang lumayan luas. Menuju pagar darurat yang memang selalu tak terkunci. Ia sudah lama mengawasi tempat itu dari jendela dapur setiap kali mengambil minum atau membersihkan perangkat makannya sendiri. Terlebih, penerangan di sudut itu memang tak terlalu baik. Benar-benar jalan keluar yang tepat untuk kabur.
Derit engsel pagar besi yang berkarat saat ia dorong membuat jantung Destinee nyaris melompat dari rongganya. Namun, begitu ia berhasil melewati ambangnya, Destinee segera berlari menuju jalanan. Tubuh ringkihnya menghilang di balik pekat malam. Detik itu juga, ia merasa bebas.
🧙🧙🧙
Czarina selalu mengatakan jika tempat terbaik dan teraman bagi Destinee adalah mansion mewahnya. Apapun yang ia inginkan, perempuan anggun itu pasti akan menyediakannya, kecuali satu hal. Destinee tak diperbolehkan keluar rumah sama sekali. Selain akibat porfiria, gadis berkulit pucat itu bahkan tak diijinkan keluar rumah di malam hari. Harusnya porfiria tak akan menjadi penghalang jika ia ingin keluar di malam hari sewaktu-waktu. Akan tetapi, Czarina tetap melarangnya.
Tak hanya melarangnya keluar, Czarina juga melarangnya bersosialisasi. Perempuan yang nyaris berusia setengah abad itu sangat mengatur dalam hal dengan siapa Destinee berinteraksi. Selain, para pelayang di mansion mewah itu, Destinee hanya berteman dengan guru homeschooling-nya--- jika kegiatan belajar dan mengajar yang sangat kaku dapat dihitung sebagai pertemanan. Meski, ibu angkatnya itu memperlakukannya dengan sangat baik, tetapi tetap saja Destinee merasakan kehampaan. Keinginannya untuk kabur kian hari kian menguat.
Kedatangan tongkat sihir dan sepucuk surat dari ibu kandungnya adalah pemantik paling mumpuni. Pelecut yang membulatkan tekadnya untuk keluar dari kemewahan mansion dan kungkungan sang ibu angkat. Jiwa petualangnya meronta-ronta ingin dibebaskan.
Maka, saat Destinee berhasil meloloskan diri dari pagar belakang mansion itu, ia lantas berlari seumpama orang kesetanan. Ia berlari, nyaris tanpa memerhatikan deretan rumah yang ia lewati. Tak memedulikan betapa sepinya jalanan lewat tengah malam itu. Lampu-lampu labu berwarna jingga menyala yang terpasang di depan rumah-rumah yang ia lewati, menjadi pengiring pelariannya malam itu.
Destinee berhenti setelah ia melewati persimpangan dan berada di jalan yang cukup besar. Ia mengatur napas sembari mengamati keadaan di sekitar. Jalanan lengang, tetapi tak begitu sepi. Sesekali satu atau dua kendaraan melewati jalan besar di hadapannya.
Gadis berambut merah itu kemudian merogoh kantong kecil di bagian depan ranselnya. Sedetik kemudian mengeluarkan secarik kertas yang agak berantakan dari sana. Destinee melangkah ke arah lampu jalanan yang memendarkan cahaya kekuningan. Menunduk dalam pada kertas kecil di genggamannya.
"Urbane Gordon-Reed." Ia melafalkan nama yang tertera di sana itu keras-keras, kemudian membaca sederet alamat yang tertulis di bawah nama tersebut dalam diam.
Destinee memang terisolasi. Akan tetapi ia masih bisa berselancar di dunia maya melalui laptop keluaran terbaru yang disediakan Czarina. Meski ibu angkatnya itu secara berkala akan mengecek perangkat tersebut untuk menilik interaksinya dengan dunia luar, Destinee sedikit banyak telah merencanakan dan mempersiapkan pelarian itu sejak lama. Secara sembunyi-sembunyi, ia mencari dan berkenalan dengan seorang remaja yang tinggal di Salem.
Senyum kecil terkembang di bibir ranumnya. Sebuah senyum kemenangan. Ia menyimpan kembali kertas ronyok itu ke dalam saku jaketnya, kemudian melanjutkan langkah. Entah mengapa jalanan sepi musim gugur dengan udara dingin yang menusuk tulang itu sama sekali tak membuat Destinee gentar. Tujuannya setelah berhasil kabur adalah Asheville Regional Airport Ia hanya perlu menemukan stasiun kereta dan menumpanginya selama kurang lebih 30 jam, sebelum memeluk kebebasannya utuh.
🧙🧙🧙
Destinee merasa telah berjalan sepanjang malam--- mungkin hanya beberapa jam saja, tetapi ia merasa kakinya sangat lelah. Bagaimanapun ia tak pernah berjalan sejauh ini sebelumnya, meski mansion Czarina yang maha luas itu juga cukup melelahkan untuk dijelajahi. Ia memutuskan untuk berhenti sebentar pada sebuah mini market yang ia lewati untuk membeli beberapa roti dan minuman sebagai pengganjal perut.
Destinee melirik jam pada pergelangan tangannya, sebelum memakan rotinya dalam sebuah gigitan yang cukup besar. Mengunyahnya pelan sembari mengamati jalanan sepi dari arah teras mini market. Ia tak mungkin melanjutkan perjalanan ke Asheville Regional Airport dengan berjalan kaki. Ia tak segila itu untuk melakukannya. Ia harus mencari tumpangan, taksi atau apapun.
Sembari terus mengunyah rotinya, Destinee akhirnya memutuskan untuk melanjutkan langkah pelan menjauhi mini market 24 jam yang baru saja ia singgahi. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk meminta bantuan sang kasir untuk mencarikannya kendaraan yang dapat membawanya ke bandara. Namun, niatnya ia urungkan saat mendapati wajah memberengut pemuda yang tak tidur semalaman itu. Kantung mata hitam, bibir tipisnya yang mengerucut dan keengganannya berbincang dengan Destinee menjelaskan segalanya.
Destinee menyimpan plastik bekas rotinya ke dalam kantung jaket, setelah menelan kunyahan terakhir. Ia tak menemukan tempat sampah di sekitar situ dan mengantungi sampah sendiri menurutnya adalah pilihan terbaik. Kakinya terasa jauh lebih baik dan ia memutuskan untuk terus berjalan pelan saat beberapa pemuda berpenampilan punk menyeberangi jalan.
Destinee mendadak diserang gugup, terutama saat mata salah seorang pemuda yang berjalan paling depan menyorot fokus padanya. Dengan gelagapan, gadis itu menaikkan hoodie jaketnya dan mempercepat langkah. Berharap dapat melewati zebra crossing sebelum para pemuda itu tiba di seberang jalan. Akan tetapi, pengharapan Destinee sungguh tak sesuai dengan apa yang terjadi dalam beberapa detik berikutnya.
Sebuah sentakan keras pada salah satu lengannya refleks membuat Destinee mengangkat wajah. Tudung yang menyembunyikan rambut merahnya tersibak. Iris mata birunya kini bertatapan dengan iris mata cokelat seorang pemuda berpotongan rambut mohawk.
"Coba lihat si cantik ini!" serunya sembari tersenyum miring. Dua pemuda lainnya muncul dari balik punggung pemuda berambut mohawk, kemudian mengambil posisi nyaris mengitari Destinee.
Destinee merasakan jantungnya berdegup kencang. "Lepaskan!" bentaknya seraya menyentak lengannya yang masih dicekal oleh pemuda itu. Cekalan itu terlepas, tetapi pemuda lainnya yang berambut gondrong dengan tindikan di hidung meraih kembali lengannya.
"Kau mau ke mana, cantik? Temani kami minum dulu."
Suara tawa tiga pemuda itu membuat bulu kuduk Destinee meremang. Terlebih, saat si pemuda gondrong mengacungkan dua botol minuman keras di depan wajahnya dengan seringai licik yang mengembang di bibir.
"Lepaskan!" Destinee mencoba menarik lengannya. Alih-alih terlepas, cekalan pemuda gondrong itu justru semakin mengerat.
"Aku tidak akan melepaskan gadis secantik dirimu," tolaknya sembari menyentuh garis rahang Destinee dengan seduktif.
Perlakuan itu membuat Destinee mendidih. Dadanya bergolak menahan amarah. Pemuda itu sudah kelewatan. Destinee menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap keberaniannya yang telah menguap entah ke mana. Setelah itu, dengan gerakan cepat dan tak terduga, gadis itu menggigit lengan si pemuda gondrong.
Pemuda itu menjerit kesakitan dan cekalannya sontak terlepas. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Destinee. Ia berlari menerobos pemuda berambut mohawk yang coba menghalangi. Namun, dalam sepersekian detik, salah satu diantara ketiga pemuda itu berhasil menarik tubuh Destibee dari belakang. Mencengkeramnya erat lantas mengangkat dan menyeret tubuh gadis itu.
"LEPASKAN!" Destinee meraung. Sepasang tungkainya menendang liar pada udara kosong. Mencoba melepaskan diri.
Sesuatu yang tajam dan dingin mendadak menyentuh lehernya, membuat gerakan Destinee melemah. Gadis itu memang tak melihat apa yang mengenai lehernya. Akan tetapi, ia tahu benda itu dapat melukainya kapan saja.
"Diamlah, cantik! Atau aku akan menusuk leher jenjangmu yang menggiurkan ini!" Pemuda itu mengancam tepat di depan lubang telinganya. Embusan napas panas yang menguarkan aroma minuman keras, menyentuh permukaan kulit tengkuknya.
"Aku mohon lepaskan aku. Ka-kalian boleh mengambil semua uangku," tutur Destinee dengan suara gemetar.
Gelak tawa ketiga pemuda itu terdengar menyambut ucapannya. "Kami tidak butuh uang, cantik. Kami hanya perlu teman untuk menghabiskan minuman ini."
"Kau benar, dude. Asheville terlalu dingin. Kita perlu sesuatu yang hangat dan indah!"
Ketiga pemuda itu kembali terbahak.
Sial! Destinee tak ingin berakhir seperti keinginan ketiga pemuda itu. Tidak. Pelariannya baru saja dimulai. Ia harus menyelamatkan dirinya sendiri. Destinee kembali meronta dalam cengkeraman salah satu pemuda, sembari membenamkan kuku-kukunya yang dicat hitam pada lengan kekar yang melingkari perutnya.
Terdengar teriakan kesakitan dari pemuda yang menahan tubuhnya dari arah belakang itu, sebelum rambut Destinee tiba-tiba ditariknya dengan kasar. Ujung benda tajam menusuk lehernya. Rasanya perih. Sesuatu yang kental agaknya tengah mengalir pada permukaan kulit lehernya.
Destinee tetap tak mau menyerah. "TOLONG!"
Tiba-tiba cengkeraman di perut gadis itu terlepas sehingga tubuhnya ambruk menghantam aspal jalanan. Destinee menoleh saat berusaha bangkit dan mendapati pemandangan yang sama sekali tak ia duga.
Seorang pemuda jangkung dengan jaket kulit hitam dengan rambut yang nyaris menutupi sebelah matanya, tengah menghajar tiga pemuda punk yang tadi mengganggu Destinee. Dilihat dari sisi manapun, rasanya tak memerlukan waktu lama bagi pemuda berambut pirang itu untuk menumbangkan ketiga pemuda yang bersenjata pecahan botol minuman keras. Benar saja, tak sampai sepuluh detik, tiga pemuda itu telah tergelatak di jalanan aspal dalam kondisi babak belur.
Destinee tersadar dari keterpanaannya dan sedikit menyesal karena tak buru-buru meninggalkan tempat itu. Sepasang tungkainya terasa membeku pada pijakan saat pemuda bermata biru itu lantas menyorot padanya sembari menepis kotoran dari jaket kulitnya.
"Te-terima kasih," ucap Destinee dengan tenggorokan tercekat. Alih-alih menatap pemuda yang diajaknya bicara, Destinee malah menyorot aspal yang kini dipenuhi bercak darah. Tubuhnya kembali bergetar.
Dengan gerakan cepat, Destinee berbalik dan segera melangkahkan tungkainya sedikit terburu-buru. Namun, langkah itu kembali terhenti saat sebuah tepukan menyentuh pundaknya. Gadis itu sontak menoleh dan membelalak.
"A-apa yang kau inginkan?"
Pemuda dengan model rambut under cut itu menatapnya tajam. Iris birunya yang ditutupi bayang-bayang pepohonan menyiratkan aura dingin yang membuat Destinee merasa terintimidasi.
"Kau mau ke mana?" tanya pemuda itu. Suaranya dalam dan berat.
Destinee membuka mulutnya, tetapi tak sepatah kata pun lolos dari sela diantara bibirnya itu. Pada detik selanjutnya, tanpa Destinee sadari, pemuda itu telah menyeret sebelah pergelangan tangannya menuju sebuah Chevrolet Aveo berwarna merah yang terparkir di pinggir jalan.
TBC
Selesai ditulis: Pontianak, 31 Juli 2020.
Dipublikasikan: Pontianak, 03 Agustus 2020, pukul 05.40 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top