10. The Secret Mansion

Destinee sempat mengira jika hal-hal buruk ini akan terus tersaji di depannya. Rumah Nerida dan mayatnya yang setengah hancur, di mana puing tembok dan serpihan daging busuk bergabung jadi satu, lalu Urbanne yang tergeletak sekarat, dan kenyataan jika Brave adalah iblis utusan sang ibu untuk menghabisinya, membuat Destinee semakin terpuruk. Sepasang tungkainya yang kehilangan tenaga jatuh berlutut, sementara kedua telapak tangannya menutupi wajah dengan erat untuk menutupi raungannya sendiri. Rasanya tidak ada yang akan jauh lebih buruk dari semua kekacauan ini.

Akan tetapi, Destinee salah besar. Yang lebih buruk akan tiba sesaat lagi, ketika mentalnya benar-benar sedang kacau.

Bunyi dobrakan terdengar cukup keras secara tiba-tiba, membuat Destinee terkesiap hingga refleks mengangkat wajah. Pintu rumah Nerida yang sebelumnya telah hancur, kini menjadi sebentuk terowongan yang bahkan lebih besar dari ambang pintu seharusnya. Asap putih mengepul samar, nyaris setinggi langit-langit rumah, tetapi beberapa sosok berjubah gelap tetap terlihat dari baliknya.

Bahu Destinee yang semula terkulai sontak menegang. Tatapannya nyalang dan waspada berusaha menembus tabir asap tipis. Gadis itu memilih untuk bungkam dan menanti dalam perasaan yang campur aduk.

"Mari kita lihat, siapa yang membuat kekacauan di sini." Sebuah suara rendah nan dalam terdengar diiringi langkah kaki. Sesosok lelaki bertudung keluar dari kepulan asap tipis untuk pertama kali dan langsung menemukan sepasang netra Destinee. Sebuah kalung panjang berbandul perak yang berbentuk matahari menggantung di lehernya dan bergerak-gerak seirama langkah kaki. Sosok itu berlutut tepat di hadapan Destinee dengan menyisakan jarak tak lebih dari satu meter.

Destinee menunduk, berusaha menyembunyikan diri. Meski sosok asing di hadapannya kini tak menunjukkan aura negatif serupa Brave, tetap saja ia merasa terintimidasi.

"Siapa kau?"  Sosok itu bertanya padanya sembari menelengkan kepala. Destinee masih menunduk, hanya saja bayangan gelap yang terpantul pada lantai ubin yang separuh hancur memberinya pemahaman mengenai gerstur sosok tersebut.

"Ya Tuhan, James! Seseorang telah membangkitkan Nerida dan membunuhnya sekali lagi! Benar-benar jahat dan mengerikan!"  Suara teriakan melengking seorang perempuan mengalihkan atensi sosok bertudung di hadapan Destinee.

Lelaki bertudung bernama James itu refleks berdiri menjauhi Destinee yang masih terpekur di posisinya. Namun, diam-diam gadis berambut merah itu sedikit mengangkat wajahnya untuk mengawasi para pendatang yang mengenali mayat Nerida. Destinee tiba-tiba saja merasa tidak enak, meski kematian Nerida tidak sepenuhnya atas kesalahannya. Menjadi satu-satunya yang masih sadar di antara puing-puing kehancuran di rumah Nerida akan memberatkannya dari sisi mana pun.

Lalu, suara-suara bisik-bisik terdengar diikuti beberapa langkah kaki yang menapak pecahan ubin yang berserakan dan berkumpul di setiap sudut ruang tamu Nerida. Seberapa keras pun Destinee mencoba memasang pendengarannya, tetap saja ia tak dapat memahami sepatah kata pun yang dibicarakan oleh para pendatang. Dan, hal tersebut tentu saja membuat Destinee semakin resah. Gadis itu lantas menoleh ke sisi kiri di seberang posisinya dan mendapati sosok Urbanne yang masih tak sadarkan diri. Jadi, dialah satu-satunya yang dapat dikatakan bertanggung jawab atas semua kekacauan ini.

Selagi Destinee memikirkan tentang berbagai kemungkinan tersebut, ia tak menyadari jika James dan dua sosok bertudung lainnya telah berada di dekatnya. James seperti sebelumnya, berjongkok waspada di hadapannya, sementara dua sosok lain berdiri di kedua sisi Destinee dengan intimidatif seolah siap meringkusnya kapan saja.

"Boleh aku tahu siapa namamu? Dan, apa yang kau lakukan di kediaman Nerida?" tanya sosok itu seraya menurunkan tudung dari kepalanya. Rambut cokelat terangnya yang sedikit gondrong dan berantakan mencuat dari balik tudung. Sebuah anting kecil berwarna hitam terbenam pada salah satu daun telinganya.

Suara itu terdengar tajam dan bernada sinis di telinga Destinee hingga membuatnya kehilangan kata-kata untuk beberapa saat.

"Dia berbahaya, James. Lebih baik kita cepat-cepat meringkusnya." Sebuah suara perempuan yang melengking menyela perkataan James. Destinee melirik sekilas pada sisi kiri di mana sosok itu berada. Perempuan itu tak memakai jubah seperti dua rekannya, tetapi ia memakai pakaian ketat serba hitam yang terbuat dari kulit mengilap. Rambut gelapnya dipotong sangat pendek dengan sepasang anting besar menjuntai di kedua telinga. Perempuan itu memegang sebuah senapan angin berlaras panjang, setidaknya itu yang Destinee kira pada awalnya, yang dijadikan penopang tubuh, sementara perempuan itu berdiri berkacak pinggang seraya menyorot Destinee dengan tatapan meremehkan.

Pada detik berikutnya, perempuan berambut pendek itu berjongkok persis di samping James, menelisik Destinee lekat-lekat. Perlahan-lahan, pupil matanya melebar dan bibir merah gelapnya terbuka membentuk lengkungan. "Aku melihat tanda-tanda seorang penyihir pada wajahnya!" serunya dengan suara dramatis.

Lelaki yang bernama James lantas kembali berjongkok, diiringi satu sosok berjubah yang berdiri di sisi kanan. Sosok itu ternyata adalah seorang pemuda berambut gelap yang terlihat seumuran dengan Urbanne. Keduanya melakukan hal yang sama, memelototi Destinee seolah gadis itu adalah barang antik atau semacam anomali.

Apa katanya tadi? penyihir?

Destinee refleks menggeleng gelagapan. Ia sangat ingin menjawab pertanyaan James sekaligus menjelaskan segala kekacauan di sini kepada si perempuan berambut pendek sekaligus menyangkalnya. Akan tetapi, nyatanya mulut Destinee berkhianat. Tak sepatah kata pun yang mampu terucap dari bibirnya. Kepalanya dipenuhi benang kusut yang tak jelas ujung dan pangkalnya.

"Siapa namamu?" ulang James tampak begitu sabar dan tenang. Berbeda dengan kedua rekannya yang bungkam dalam ketegangan.

"Aku ..." Destinee tersengal. Tenggorokannya terasa kering dan serak sehingga setiap kata yang hendak diucapkannya harus keluar dengan teramat susah payah. "Snow, Destinee Snow," sahutnya dengan suara tercekik.

James dan kedua rekannya saling pandang, tetapi tak mengatakan apa pun.  "Kau mengenal Nerida?" tanya lelaki itu hati-hati.

Destinee menggeleng. Matanya terasa panas. Bayangan kematian Nerida kembali berkelebat di pelupuk matanya seumpama video yang diputar ulang, begitu jelas dan gamblang. Destinee tak dapat lagi menahan Isak yang tersumbat di tenggorokannya. Gadis berambut merah itu menangis dengan kedua tangan gemetaran.

"Siapa yang membunuh Nerida dan membangkitkannya kembali?!"hardik perempuan berambut pendek dengan tidak sabar. Sepasang netra cokelatnya melotot ke arah Destinee.

Alih-alih menjawab, Destinee justru semakin histeris.

"Magdalena, kau tidak bisa melakukan ini," gerutu James seraya mengembuskan napas frustrasi. Lelaki itu bangkit, memisahkan diri dari kedua rekannya, lalu berjalan mengitari ruang tamu Nerida yang hancur porak poranda. Ia bergerak ke arah tumpukan puing-puing dinding yang bercampur dengan mayat Nerida, sebelum berjalan untuk memeriksa Urbanne yang tergeletak di sisi lain ruangan. "Pemuda ini masih hidup," tuturnya setelah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Urbanne.

Mendengar keadaan Urbanne yang baik-baik saja, tangis Destinee perlahan mereda. Setidaknya ia tidak sendirian di tengah kekacauan ini, meski Urbanne bahkan tidak turut mengalami kejadian terburuk hari itu.

"Aku bisa melihatnya dengan jelas, James. Bahkan, jika ia tak mengakuinya," sergah Magdalena tajam. Sepasang netranya menatap Destinee dengan jijik, sebelum berdiri dan bergabung bersama James di sisi lain ruangan. "Nerida jelas-jelas telah membusuk sebelum kembali bangkit. Dan, seseorang pasti telah menusuknya dengan brutal berkali-kali."

"Aku tahu. Tetap saja kita tidak bisa menuduh gadis itu. Lagi pula, aku mencium bau iblis yang sangat kuat di sini." James terlihat mengendus udara, lalu berbalik menatap Destinee. "Apakah ada orang lain yang datang ke tempat ini?"

Destinee menggeleng, masih sibuk menyeka air matanya, tetapi sedetik kemudian ia kembali mengangguk. Setelah berdeham berkali-kali dan merasa lebih tenang, gadis itu lantas buka suara. "Brave. Dia iblis,"sahutnya dengan suara parah.

"Kau lihat, 'kan?!" Magdalena berseru seolah telah memenangkan sebuah debat krusial dengan rekannya, James. Kedua alisnya terangkat dengan ekspresi maha tahu yang kentara. "Dugaanku benar. Kita harus menahan gadis ini dan memberinya pelajaran."

"Aku tidak tahu apa-apa! Brave yang membunuh Nerida! Iblis itu yang telah membunuhnya!" bantah Destinee sengit. Destinee refleks berdiri, meski sepasang tungkainya masih gemetaran. Entah dari mana ia mendapat keberanian untuk menyangkal Magdalena. Sangat jelas kata-kata perempuan itu begitu menyudutkannya hingga memantik kemarahannya begitu saja.

James mengangkat sebelah tangannya ketika Magdalena hendak membuka mulut. Lelaki itu mengamati Destinee serata melangkah ke arahnya seumpama langkah-langkah kucing yang sedang memerangkap seekor tikus malang. Pada jarak tertentu, James berhenti, memberi ruang bagi Destinee untuk mengendalikan rasa takutnya.

Sepasang netra James menyipit, menelisik. "Nona Snow, bagaimana kau mengenali Brave sebagai sesosok iblis?"

Destinee membelalak. Pertanyaan James barusan terdengar seperti pertanyaan jebakan, sehingga apa pun jawaban yang dilontarkannya akan membawa konsekuensi yang buruk. Dengan cepat, gadis itu mencari-cari jawaban terbaik di antara kemelut yang tengah berkecamuk di kepalanya. Ia tak boleh mengatakan sesuatu secara asal, terutama dalamestinee  kondisi seperti ini. Akan tetapi, rasanya Destinee tak dapat menemukan kebohongan yang masuk akal.

"Lihat, James, dia berusaha mencari alibi untuk berbohong," cibir Magdalena sambil mengusap moncong senjatanya dengan lengan baju. Perempuan itu seolah-oleh sedang bersiap untuk menembak seseorang.

Destinee bergidik ngeri. Ia tidak ingin mati, tidak, sebelum menemukan sang ibu. "Brave. Brave yang mengatakannya," sahutnya dengan suara bergetar. "Dia membanting Nerida hingga mati."

Tatapan James tak mengendur. Lelaki itu maju selangkah, mengikis jaraknya dengan Destinee. "Iblis itu bernama Brave?" ulangnya dalam suara dalam nan rendah.

Sejenak, Destinee diserang kebingungan. Kernyit samar muncul di antara sepasang alisnya. Dengan ragu, gadis itu mengangguk sembari mencerna arti tatapan, pertanyaan, serta gestur James. 

"Dia ... Iblis itu mengatakan langsung padamu?" 

Detik itu juga Destinee menyadari jika ia telah berbuat sebuah kesalahan fatal. Namun, ia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Sekali lagi, Destinee mengangguk ragu. Secara refleks, tubuhnya menegang waspada, bersiap untuk segala hal buruk yang mungkin saja terjadi.

"Jadi, siapa yang telah membangkitkan Nerida?" tanya James dengan suara meembut, tetapi terdengar tajam dan menusuk di telingan Destinee. Di sinilah letak kesalahannya dan Destinee tahu tak ada gunanya berbohong karena baik James maupun Magdalena sepertinya telah mengetahui banyak hal, bahkan hal-hal yang tak ia pahami.

Destinee refleks menggeleng, sebagai bentuk kebohongan rapuh yang pertama. Tentu saja, ekspresinya bahkan mengkhianatinya. "A-aku bisa jelaskan ...."

Tiba-tiba saja James menyeringai. Dalam sepersekian detik yang sangat tak terduga, lelaki berjubah itu menjentikkan jarinya, memberi aba-aba kepada kedua rekannya untuk meringkus Destinee. "Bawa dia ke Mansion. Gadis ini jelas-jelas berbahaya!"

"Tunggu. Aku bisa jelaskan!" Destinee segera mengambil kuda-kuda untuk berlari, tetapi kalah cepat dengan cengkeraman Magdalena dan satu rekannya. Kuku-kuku tajam Magdalena terasa menggerus sebelah lengannya, menimbulkan sensasi nyeri. Lalu, tanpa diduga, Magdalena menendang keras sebelah kaki Destinee hingga gadis berambut merah itu jatuh berlutut.

"Kau tidak perlu menjelaskan apa pun karena aku jelas-jelas bisa mengetahui siapa dirimu. Kau pikir bisa berkeliaran seenaknya dan mempraktikkan sihir jahatmu, hah?!" hardik Magdalena. Dengan berang tertahan, perempuan itu bahkan menyentak keras rambutnya.

"Aku bukan penyihir!" Destinee balik meneriakkan bantahan. Ia menggerak-gerakkan kedua lengannya agar cenkeraman dua orang asing itu terlepas, meski tahu usahanya hanyalah kesia-siaan belaka. "Lepaskan aku!"

"Selai berbahaya, rupanya kau juga sulit diatur dan keras kepala," gerutu Magdalena sebelum menghantam sebelah lengan kokohnya ke belakang kepala Destinee. Detik itu juga, Destinee langsung kehilangan kesadaran dan jatuh terkulai dalam cengkeramannya. 

***

Destinee terbangun dengan bau ramuan herbal tajam memenuhi penghidunya. Gadis itu terbatuk sesaat. Kepalanya terasa melayang ketika ia memaksa punggungnya bangkit. Setelah penglihatannya berfungsi secara sempurna, barulah Destinee menyadari di mana ia berada.

Sebuah kurungan mirip penjara yang sering dilihatnya dalam film-film menjadi tempatnya bernaung saat itu. Tidak ada lagi puing-puing ruang tamu Nerida yang hancur dan berdarah-darah seperti terakhir kali diingatnya. Namun, tentu saja, kurungan berjeruji besi di hadapannya kini jauh lebih mengerikan. Terlebih, setelah Destinee menyadari kesendiriannya dalam dinding-dinding batu kusam yang dingin serta berbau ramuan. Hal yang terburuk adalah Urbanne tak terlihat di mana pun, sejauh mata memandang. 

Perlahan-lahan, Destinee beringsut, bergeser pada tumpukan jerami di sudut ruangan untuk mencari kehangatan. Dingin perlahan-lahan mulai merambatinya dari telapak kaki, sementara kedua lengannya menyilang memeluk tubuh. Destinee lantas memperhatikan sekitarnya dengan perasaan gamang. Ruangan berjeruji besi itu begitu sempit, bahkan lebih kecil dari kamar tidurnya di rumah mewah Czarina. Sebuah rantai besi berkarat melilit bagian tengah jeruji besi yang sama berkaratnya. Tidak ada lampu di dalam penjara yang kini mengungkung Destinee, satu-satunya cahaya temaram berasal dari lampu kuning di luar jeruji. Sementara, udara di sekitarnya terasa lembab dan berbau ramuan.

Sejauh mata memandang, Destinee tak dapat menemukan sumber bau ramuan yang memenuhi udara dan penciumannya. Meski demikian, keadaan itu cukup membuatnya resah. Entah mengapa, bau ramuan yang begitu kuat mengingatkannya pada peristiwa di rumah Nerida. Dan, hal ini membuatnya sedikit trauma.

Ingatan mengenai kejadian mengerikan di rumah Nerida seketika berkelebat dalam ingatan Destinee. Gadis berambut merah itu seketika teringat akan sekelompok orang asing yang mendatangi rumah Nerida dan pukulan Magdalena di bagian belakang kepalanya. Rasa nyeri mendadak berkedut-kedut di area bekas pukulan  Magdalena hingga membuat Destinee meringis. Ia mengingat seluruh kejadian yang membuatnya berakhir di tempat ini.

James sempat menyebut tempat ini sebagai mansion, jika memang sekelompok orang asing itulah yang membawanya.

Destinee seolah-olah mendapat kekuatan dari amarah dan rasa kesal yang perlahan-lahan muncul di hatinya. Ia berdiri dengan berang, lalu beranjak ke arah jeruji, mencengkeramnya dengan kedua tangan. Dinginnya besi berkarat tak lagi mengganggunya.

"Hei, siapa pun, keluarkan aku dari tempat ini?!" teriaknya sekuat tenaga.

Namun, tak ada sahutan selain gema suaranya sendiri. Tempat itu terlampau hening dan anehnya tanpa penjaga seperti kebanyakan penjara yang Destinee lihat di film-film.

"Keluarkan aku dari sini!" Sekali lagi Destinee menjerit seraya refleks memukul jeruji dengan satu tangan.  Lagi-lagi hanya hening, tanpa jawaban.

Destinee meradang. Gadis itu menendang jeruji dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, lalu melaungkan umpatan penuh amarah. Dengan frustrasi diguncangnya rantai besi yang membredel jeruji.

Keheningan kembali merambat dalam senyap yang terasa begitu lama, hingga langkah-langkah kaki terdengar menapaki lantai di kejauhan. Destinee refleks mengangkat wajah dalam ketegangan sekaligus antusiasme karena keberhasilan upayanya. Dengan dada berdebar-debar dan napas yang nyaris tertahan, Destinee menanti kedatangan langkah kaki yang kian mendekat.


















Pontianak, 02 Maret 2022, pukul 00:33 WIB



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top