1. Mirror Mirror on The Wall
Bunyi derit pintu memecah hening sebuah ruangan gelap. Segaris cahaya menyorot dari sela-sela pintu yang terbuka, memberi penerangan pada kegelapan absolut itu. Bayang-bayang raksasa tercipta saat seseorang bertudung melangkah masuk ke dalamnya.
Pintu kembali menutup, terbanting keras di belakang sosok yang kini tengah berjalan cepat ke arah sebuah cermin besar yang memendarkan cahaya biru. Bola cahaya yang menggantung pada salah satu sudut ruangan seketika menyala, menciptakan temaram cahaya yang mencekam.
Salah satu tangan sosok bertudung itu terulur pada permukaan cermin. Membuat pendar cahaya pada permukaannya beriak serupa pusaran air. Cahaya biru yang memancar dari cermin kemudian membesar sebelum perlahan memudar. Permukaan cermin itu kemudian menampilkan wajah rupawan sang perempuan bertudung.
Sosok itu menarik salah satu sudut bibir merahnya. Mata kelamnya menatap ke arah cermin lekat-lekat. "Duhai cermin ajaib, sekarang katakan padaku, siapa penyihir paling sakti di dunia?" Suara seraknya mengalun membelah keheningan ruangan.
Cahaya di permukaan cermin kembali beriak, membentuk pusaran, sebelum sebuah suara laki-laki yang berat dan dalam menjawab pertanyaan tersebut. "Saat ini, Andalah penyihir terkuat di dunia, Ratuku ...."
Bayangan perempuan di dalam cermin tersenyum lebar. Netranya berkilat penuh kepuasan.
"Akan tetapi ...."
Senyum pada bibir merah itu sontak meredup.
Cermin ajaib yang selalu berkata jujur itu melanjutkan ucapannya. "Tak lama lagi, Penyihir Snow akan menjadi penyihir terkuat di muka bumi. Tepat pada hari ulang tahunnya yang tinggal menghitung hari."
Jawaban yang sama seperti ribuan purnama yang lalu. Jawaban yang membuat perempuan bertudung itu mendidih. Ia tak ingin kehilangan kuasa barang sedikit pun.
Sosok yang membayang pada permukaan cermin itu memicingkan mata tak suka. Ujung jemarinya yang menyentuh permukaan cermin tertarik kembali ke dalam jubah. Mengepal menahan amarah. "Kau pasti salah, aku telah membunuh seluruh keturunan Snow. Tak ada lagi yang tersisa!" bantah perempuan itu. Nada suaranya tajam dan diliputi emosi.
Permukaan cermin memendarkan cahaya sebagai reaksi atas ucapannya. "Sepertinya, kau telah melakukan kesalahan, Ratuku. Cermin ajaib tidak pernah keliru dan berbohong."
Sosok berjubah itu menggeram. Bayangan rupawannya kini berubah berang. Sebelah lengannya terangkat, lalu dalam sepersekian detik diayunkan menghantam permukaan cermin. Cahaya biru memendar, memancarkan percikan api dengan warna senada. Perempuan bertudung itu segera menarik tinjuannya cepat.
Merasa tak puas, sosok berjubah itu mengambil sebuah kursi kayu kecil dari salah satu sudut gelap ruangan. Menyeret benda itu ke depan permukaan cermin, lalu memghantamkannya dengan gerakan cepat. Bunyi dentuman terdengar berkali-kali di antara deru napasnya yang memburu. Kemarahan menyala jelas dari sepasang netranya.
Cahaya biru yang bergerak liar pada permukaan cermin meredup saat sebuah retakan tercipta berkat hantaman terakhir kursi kayu. Retakan itu mengular, membentuk garis-garis bercahaya biru terang. Cermin ajaib itu retak.
"Sepertinya, kau telah melakukan kesalahan. Cermin ajaib tidak pernah keliru dan berbohong." Kata-kata itu kembali terulang, sebelum sosok berjubah menghantamankan kursi kayunya untuk yang terakhir kali dengan kekuatan penuh. Permukaan kacanya berderai, berhamburan seumpama bunga api. Kegelapan kemudian kembali memenuhi ruangan saat lampu di sudut ruangan seketika padam dan sosok berjubah tergesa meninggalkan ruangan.
🧙🧙🧙🧙
Perempuan bertudung merah berjalan tergesa, keluar dari ruangan berpintu ganda dengan ukiran emas. Langkah cepatnya menyusuri koridor temaram berlantai marmer menuju sebuah ruangan lain di penghujung lorong.
Saat ia telah berdiri tepat di depan pintu yang dituju, langkahnya terhenti. Sementara, lengannya memutar anak kunci dengan tergesa. Pintu terbuka dan ia menerobos masuk tanpa memedulikan daun pintu yang tak sepenuhnya menutup.
Perempuan itu memencet sakelar hingga lampu hias gantung di langit-langit ruangan menyala dalam cahaya temaram kekuningan. Pencahayaan itu membuat aura ruangan kosong itu diliputi nuansa mistis. Pada penghujung ruangan yang kosong, beberapa wadah perunggu terhatur di depan sederetan lilin hitam. Lilin-lilin itu tersusun di atas sebuah pentagram yang terukir dari sesuatu yang berwarna merah menyala pada lantai marmer dibawahnya.
Bibir merah perempuan bertudung menyeringai puas. Ia lantas berjalan perlahan mendekati peralatan ritualnya. Jubah dan gaunnya yang menyapu lantai, diangkatnya saat menapaki pentagram.
Perempuan berjubah itu lantas duduk bersila di tengah-tengah lingkaran. Tangannya terulur ke depan meraih salah satu wadah. Menatapnya sesaat, sebelum meraih isinya dalam genggaman. Sebongkah tulang segar yang masih berlumur darah, dengan sisa-sisa daging yang bahkan masih tertinggal, menempel pada beberapa bagian tulang.
Dengan gerakan takzim, ia meletakkan tulang tersebut pada sebuah wadah lain yang di bawahnya terdapat tungku pembakaran yang menyala. Bersamaan dengan itu, kidung mantra lirih melantun dari bibirnya.
Setelah tulang dalam wadah perunggu itu berubah jadi abu sepenuhnya, mantra yang dilantunkan perempuan bertudung itu terhenti. Ia meraup segenggam abu sisa pembakaran tulang, lalu melemparkannya ke arah sigil merah darah yang tercetak pada permukaan lantai tepat di hadapan pentagramnya. Lambang itu memendarkan cahaya yang entah berasal dari mana saat serpihan abu mengenainya. Sigil salah satu pangeran neraka. Beelzebub.
Perempuan bertudung merah lantas bersujud. Mantra kembali mengalun lembut, lirih dan dalam. Mengandung pengharapan sang pemuja. Entah berapa lama ia melafalkan kidung itu dalam posisi bersujud ketika tiba-tiba nyala lilin-lilin hitam yang berada pada setiap sudut pentagramnya bergerak liar, seolah diembus angin. Lampu hias bercahaya kekuningan berkedip-kedip, sebelum akhirnya padam.
Bau hangus seketika menyeruak indera penghidunya. Melawan rasa takut yang mulai merayapinya, perempuan bertudung itu bangkit dari posisi sujudnya. Kepalanya bergerak pelan hingga tudungnya sedikit terekspos, menampakkan sedikit lubang hidung yang mengendus udara. Akan tetapi, ia sama sekali tak membuka mata. Tak juga menyingkap tudung merah gelap yang menaungi kepala. Perempuan itu menunduk takzim dalam gerakan lambat. Menanti sesuatu yang mendatanginya dalam diam.
Asap hitam masuk dari setiap celah pintu dan jendela. Berkumpul pada sigil Beelzebub. Asap pekat itu membentuk sesosok lelaki tanpa rupa yang berdiri melayang sambil bersedekap. Bau asap tercium semakin kentara, penanda kedatangan sang iblis.
Perempuan bertudung sontak kembali tersungkur dalam sujudnya. Bahunya berguncang samar. Penghambaan yang disebabkan oleh pemujaan sekaligus rasa takut.
Tawa dalam nan berat terdengar dari kepulan asap hitam. Tawa pelan yang lambat laun menggelegar hingga memenuhi setiap sudut ruangan. "Apa yang kau inginkan, wahai Manusia?" tanya sang iblis pada budaknya.
Perempuan bertudung semakin tenggelam dalam sujud. Menyembunyikan wajah pada dinginnya lantai marmer. Meski penasaran menyusupinya, tetapi tak sedetik pun ia mencoba mengangkat wajah. Menatap sosok Beelzebub sama halnya dengan menantang kemarahannya. Kemarahannya berarti kematian.
"A-ampun, Yang Mulia Raja Beel. Hamba ingin mengajukan sebuah permintaan." ucapnya setelah mengumpulkan segenap keberanian. Perempuan itu berusaha kerasa menahan kelopak matanya agar tak terbuka.
"Ucapkanlah!" Suara berat itu menjawab. Embusan hawa panas sekilas menyapu punggungnya.
Tubuh perempuan berjubah merah itu menggigil hebat. Dalam suara lirih yang nyaris tak terdengar, perempuan itu lantas mulai melantunkan mantra dan puja-puji. Pada bagian akhir kidung pemujaannya, ia memohon lirih dengan terbata-bata.
Sementara kepulan asap hitam pekat di tengah sigil perlahan berubah menjadi sesosok monster raksasa bertubuh laba-laba dengan tiga kepala berbeda yang sangat mengerikan.
Salah satu mulut dari tiga kepala iblis itu menganga, mengeluarkan asap hitam pekat yang cukup banyak. Asap pekat itu lantas membentuk sesosok pemuda berjubah hitam yang sedang berlutut takzim dengan satu kaki di luar sigil. Menunduk penuh penghormatan pada sang penciptanya.
"Kabulkan permintaannya!" titah Beelzebub pada salah satu bala tentaranya itu.
Pemuda berjubah hitam itu mengangguk takzim. "Baik, tuanku."
Beelzebub lantas terbahak keras, sebelum sosoknya memudar dan memecah kembali menjadi kepulan asap hitam. Asap itu memecah di udara, sebelum akhirnya keluar melalui celah-celah jendela dan pintu.
Aura berat dan panas penanda kedatangan sang iblis seketika menguap bersamaan dengan menghilangnya kepulan asap hitam. Perempuan bertudung bangkit, sempoyongan di atas pentagramnya dan mendapati sosok utusan sang pangeran iblis.
Pemuda berjubah hitam itu sontak bangkit dari posisi berlututnya. Berdiri sempurna dan Siap menanti perintah.
"Temukan tongkat sihir keluarga Snow lalu bunuhlah siapapun pemiliknya."
Pemuda itu mengangkat wajah. Puncak hidungnya yang lancip terlihat dari balik tudung yang melingkupi nyaris seluruh wajahnya. Senyum asimetris tersungging pada bibir tipisnya. Ia mengangguk takzim.
Namun, di saat bersamaan sekelebat bayangan melintas pada celah pintu yang terbuka. Perempuan bertudung merah terkesiap. Ia menggeram dan kembali menatap pemuda titipan iblis Beelzebub itu. "Ah, ya, satu lagi. Hancurkan apapun yang coba menghalangiku!"
Pemuda iblis itu kembali mengangguk. "Aku akan melaksanakan sesuai perintahmu," sahutnya. Tubuh sang pemuda lantas memudar dan memecah menjadi kepulan asap tipis yang menghilang pada celah jendela.
Ia menyeringai puas, merasa segenap ritual dan pantangan telah ia jalankan. Kemenangan dan kemutlakan kuasa akan segera ia miliki dalam waktu dekat.
Perempuan itu lantas berjalan mendekati satu-satunya figura yang menggantung pada salah satu dinding ruangan. Tangannya terulur saat menatap lukisan sepasang gadis bergaun biru laut yang saling bergandengan tangan. Suasana musim panas yang terang benderang terlukis dengan kentara lewat contengan kuas dan perpaduan warna. Tawa pada wajah kedua gadis kecil itu sungguh nyata, sehingga menghadirkan memori yang seolah hidup dalam pikirannya.
"Kali ini, aku tidak akan kalah lagi," bisiknya lirih pada salah satu gadis kecil yang ada dalam lukisan.
TBC
Pontianak, 16 Juli 2020 pukul 23.44 wib (publikasi pertama)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top