Ten
N I G H T T E R R O R
Piers masih belum memejamkan mata. Tubuh dan pikirannya sudah sangat lelah. Ia tidak bisa tertidur pulas saat misi, juga belum sempat tertidur sejak kepulangannya siang tadi. Matanya menolak untuk terpejam. Ia masih ingin merengkuh [First Name] lebih lama, meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi padanya bukanlah sekedar mimpi atau ilusi.
[First Name] memilih untuk menonton film untuk menghabiskan waktu. Sayang, wanita itu terlelap lebih dulu. Piers tidak keberatan [First Name] menjadikan bahunya sebagai bantal, toh dengan begini ia bisa merasakan [First Name] berada di dekatnya.
Jemari Piers menyusuri lengan [First Name]. Meski sudah berbulan-bulan tidak berada di lapangan, beberapa bekas luka masih terasa di kulitnya. Ia tidak menganggap luka itu sebagai kekurangan [First Name], sebaliknya ia mengagumi wanita itu. Bekas luka ini adalah bukti nyata kemenangan dari setiap pertempurannya. Walaupun ia merasa bangga setiap kali [First Name] menyelesaikan misi, sejujurnya Piers merasa lebih tenang dengan situasi sekarang. Dimana [First Name] tidak perlu berhadapan langsung dengan kematian.
“P-Piers ...”
Iris hazelnya terfokus pada [First Name]. Ia berpikir kalau [First Name] terbangun, tapi tidak, matanya masih tertutup. Dahinya mengernyit mendapati ekspresi panik di wajah [First Name]. Tangan [First Name] mencengkeram kaus Piers dengan kuat. Sudut bibirnya terlihat bergetar seperti menahan tangis.
“Piers ... jangan tinggalkan aku. Kumohon ... jangan,” lirih [First Name] dalam tidurnya.
Sebelum Piers bisa memeluk [First Name] untuk menenangkannya, wanita itu sudah terbangun dan menjerit.
“Piers!”
“Aku di sini,” bisik Piers membawa [First Name] dalam pelukannya. “Tidak akan ada yang bisa menyakitimu selama aku berada di sisimu.”
“B-bukan aku,” isak [First Name] di bahu Piers. “Kau yang disakiti oleh mereka.”
Piers mengabaikan kenyataan bahwa kausnya basah akibat air mata [First Name]. Ia hampir tidak pernah berhadapan dengan seorang wanita yang menangis. Menyemangati anggota timnya sudah menjadi hal yang biasa untuknya, namun menenangkan seorang istri yang menangis adalah tantangan tersendiri bagi Piers.
“Mereka melakukan sesuatu padamu. Mereka menarikmu ke suatu tempat dan menahanmu di sana. A-aku mencoba untuk mengikutimu, tapi saat aku tiba di sana mereka ...” [First Name] kembali terisak. “Mereka sedang mencabik tubuhmu, Piers. Banyak sekali darah di sekitarmu. Banyak sekali darah. Aku berusaha menolongmu. Percayalah! Tapi mereka menginjeksimu dengan sesuatu dan kau berubah menjadi salah satu dari mereka Piers ... a-aku tidak bisa menolongmu. Tidak bisa.”
Piers tidak mengatakan apapun. Ia melakukan apa yang selalu [First Name] lakukan tiap kali ia mendapatkan mimpi buruk. Tangannya bergerak, mengelus punggung [First Name] dengan penuh kasih. Bibirnya berulang kali menempel di puncak kepala dan dahi [First Name].
“Aku takut mimpi burukku berubah menjadi kenyataan Piers. Aku takut kehilanganmu,” gumam [First Name] saat isakannya mereda.
“Aku bersamamu sekarang, Baby. Aku bersamamu,” Piers menangkup wajah [First Name] dengan sebelah tangan. “Tidak ada yang bisa menyakitiku atau menarikku dari hidupmu. Bukankah aku sudah berjanji akan selalu kembali tidak peduli berapa lama waktu yang harus kuhabiskan?”
“Kita tidak akan tahu tentang masa depan,” mata [First Name] masih terlihat berkaca-kaca. “Bagaimana kalau di misi selanjutnya aku akan kehilanganmu? Aku tidak ingin kehilanganmu. Entah apa yang akan kulakukan kalau hal itu terjadi.”
“Kau harus tetap melanjutkan hidupmu, tentu saja,” Piers mengusap jejak air mata di pipi [First Name]. “Tapi untuk saat ini, kau harus memercayaiku. Percayalah kalau aku akan selalu kembali untukmu. Percayalah bahkan di nafas terakhirku, aku mencoba untuk kembali ke sisimu. Apa kau percaya padaku?”
[First Name] mengangguk kecil.
Piers tersenyum samar lalu membawa kepala [First Name] pada pelukannya. Selama beberapa menit ia bertahan dengan posisi itu. Saat dirasa [First Name] kembali mengantuk, Piers menjauhkan diri. Ia terkekeh saat [First Name] mengerang kesal. Piers menyusupkan sebelah tangannya di bawah lutut [First Name] dan sebelah lengannya yang lain memeluk bahu [First Name].
“Apa yang kaulakukan?” tanya [First Name] dengan suara mengantuk.
“Menggendongmu kembali ke kamar. Aku tidak ingin lehermu sakit besok pagi,” Piers mencium dahi [First Name]. “Sekarang kembalilah tidur. Aku akan bersamamu saat kau bangun nanti.”
Piers membaringkan [First Name] dengan hati-hati, tidak ingin tidur istrinya terganggu. Ia merebahkan diri di sebelah istrinya, membawa [First Name] kembali dalam pelukannya. Jari-jarinya memainkan rambut [First Name], sesekali membelai kepalanya.
“Tidur yang nyenyak dan mimpi indah, [First Name],” bisik Piers saat bibirnya menyentuh kelopak mata [First Name].
“Karena jika mimpi burukmu menjadi nyata, percayalah aku akan tetap mencintaimu bahkan setelah berubah menjadi salah satu dari mereka.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top